Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Abu Bakar RA
Abu
Bakar RA adalah orang dewasa pertama yang masuk islam, tetapi bukan itu saja,
Rasullullah SAW juga memujinya karena
cara penerimaan ajakan Rasullullah SAW untuk memeluk islam. Tentang hal ini
Beliau bersabda, "Tiada pernah aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada
hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku
menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu
sedikitpun."
Abu Bakar RA juga sahabat
Rasullullah SAW jauh sebelum Beliau mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya
bertaut dua tahun lebih muda, dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan
orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasullullah SAW.
Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi SAW sebagai cerminan dan teladan untuk
meningkatkan kualitas dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan
keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah SAW
sendiripun memujinya. Beliau
bersabda tentang dirinya "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat,
akan lebih berat keimanan Abu Bakar." (HR Iman Baihaqi, dalam Asy Syib)
Masih
banyak lagi pujian Nabi SAW terhadap Abu Bakar, misalnya : Pemimpin jamaah di
surga, Semua pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama
yang masuk surga dari umat Nabi SAW, dll.
Kegigihan Abu Bakar RA dalam Menjalankan dan Mendakwahkan Agamanya
Abu
Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah,
selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecakapan,
berkemauan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang
mulia dari Bangsa Quraisy. Nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab
Rasullullah SAW pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya
untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan
kemuliaannya tersebut.
Tidak mudah bagi
Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula
memeluk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan
tekanan semakin dahsyat, dia meminta
ijin kepada Rasullullah SAW untuk berhijrah ke Habsyi, dan Rasullullah SAW pun
mengijinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama
"Barkulimat", Abu Bakar RA bertemu dengan Ibnu Addaghnah, pemimpin
suku setempat . Ketika ditanya tentang
perjalanannya tersebut, Abu Bakar RA menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari
Makkah) oleh kaumku, dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah
kepada Rabbku."
Mendengar jawaban
itu, Ibnu Addaghnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak
boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka
bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah, dan menghormati tamu.
Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah ke Makkah, dan sembahlah Tuhanmu di
negerimu."
Budaya
"Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan
suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai
"Pelindung" bagi seseorang, maka maka harta, darah dan kehormatan orang
tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini
pula yang membantu Nabi SAW mendakwahkan
Islam di tengah penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy Makkah karena Abu
Thalib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasullullah SAW. Begitu
Abu Thalib meninggal, Rasullullah SAW mengalami siksaan dan penghinaan yang tak
kalah hebatnya dengan sahabat-sahabat beliau yang lain.
Abu
Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addaghnah mengumumkan "Perlindungan"
yang diberikannya pada Abu Bakar, dia
melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang-orang kafir Quraisy tak berkutik,
tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah,
karena khawatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addaghnah
dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.
Abu
Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, dia shalat dan membaca Qur'an
di sana . Setiap
kali selesai membaca Qur'an, dia selalu menangis, hal ini membuat wanita dan
anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa
yang dilakukan Abu Bakar. Kaum kafir Quraisy
pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addaghnah. Ibnu Addaghnahpun mendatangi
Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang
Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu, atau engkau kembalikan
perlindunganku?"
Dengan jawaban
yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar RA pun menjawab, "Aku
kembalikan janji perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah
SWT."
Mulailah Abu
Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT
sebagaimana sebelumnya.
Setelah
memeluk Islam, Abu Bakar RA mengurangi aktivitas perdagangan yang sebenarnya
cukup sukses, dan mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang
diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim
karena ajakan Abu Bakar, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin
Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman
bin Auf. Mereka ini adalah sebagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin
akan masuk surga sebagaimana diberitakan Nabi SAW pada Aisyah RA. Selain itu,
Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga
mengikuti ajakan Abu Bakar untuk masuk islam pada periode awal.
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan budak-budak yang
disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin
Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, Budak wanita dari Bani
Muamil dan Hammamah, Zanirah, budak Umar bin Khaththab, dan lain-lain.
Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah
Dikukuhkannya
Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan orang-orang Quraisy, meninggalkan
banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin
Khaththab, karena secara sepintas perjanjian Hudaibiyah itu
cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu
Bakar yang yakin 100% atas keputusan Rasulullah SAW, bahkan ia memberikan
jawaban yang sama persis dengan Nabi SAW, ketika Umar yang kritis sempat
mempertanyakan keputusan Rasulullah SAW menerima perjanjian ini. Abu Bakar
memberikan nasehat pada Umar bin Khaththab karena sikapnya tersebut, "Patuhlah engkau pada perintah dan
larangan Rasulullah sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di
atas kebenaran."
Sikap
Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya, ketika Rasulullah SAW memberitakan
peristiwa Isra dan Mi'raj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy,
sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi
SAW, tanpa setitikpun ada kesangsian. Karena sikapnya pada peristiwa Isra' Mi'raj ini Abu Bakar digelari Nabi SAW "ash Shiddiq"
Ketika sebagian
besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan
adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain, ia
berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada
perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai
apa yang terjadi antara Nabi SAW dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu
tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba,
sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."
Bersama Rasullullah SAW, tetapi Rasullullah tidak Terlihat
Kedekatan
dan kecintaan Abu Bakar terhadap Nabi SAW tidak diragukan lagi, bahkan telah
terjalin sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam.
Maka tak heran ketika Nabi SAW mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun
ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila
ia sendiri yang mengalaminya.
Setelah
turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai
Pembawa Kayu Bakar dalam Surah
tsb, begitu marah kepada Rasullullah SAW. Dengan membawa batu besar ia datang
menghampiri Nabi SAW yang saat itu sedang
duduk bersama Abu Bakar, Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil tsb. Tetapi
Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, ia tidak
melihatku."
Benar
saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar RA, "Hai Abu
Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan
mengatakan : ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari
sabut…Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu
ini."
Itulah Abu Bakar, Rasulullah SAW yang ingin disakiti, itupun telah membuatnya sedih.
Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah SAW
Setelah berlangsungnya
Baiatul Aqabah kedua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah
SAW menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Sebagian besar
berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti
Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang
langsung berangkat ke Madinah.
Dua bulan lebih
setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah
meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan
keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah. Ketika Abu Bakar meminta ijin
Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu,
sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan
berangkat bersama-sama)..!!”
“Demi bapakku
menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih
menunggu ijin??”
Nabi SAW
mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah tidaklah mengatakan atau
melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan
petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha).
Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi
salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah
mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada
saat-saat seperti ini…!”
Abu Bakar
berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku
di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”
Nabi SAW sampai
di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan,
beliau segera masuk dan berkata,
“Aku sudah
diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
“Demi ayah dan
ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau
(dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
“Benar” Kata
Rasulullah SAW.
Hati Abu Bakar
menjadi gembira. Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi SAW
dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh
dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu
beliau pulang.
Pada awal malam
di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi SAW dengan
niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada
Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah
dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan
berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang
engkau khawatirkan itu!!”
Ali melaksanakan
perintah Rasulullah tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh
Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka
yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur,
tetapi tidak bisa melihat Nabi SAW yang melewati mereka dan tidak merasakan
pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka.
Nabi SAW
bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah.
Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke
arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer,
mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi SAW yang
tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak
gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu
Bakar berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya
sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah
aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”
Abu Bakar
memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena
khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian
matelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi SAW
memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi SAW berbaring
dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu
Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular
atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau
menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah. Ia berusaha
keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah,
dan beliau terbangun.
“Apa yang
terjadi denganmu, wahai Abu Bakar?”
Tanya Rasulullah SAW.
“Demi ayah dan
ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
Nabi SAW bangkit
dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka
tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar menghilang.
Mereka berdua
bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu
Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah,
layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah
seorang pelayan Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung
tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar,
Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring
domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat
Abdullah.
Sebenarnya ada
beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu
Bakar berbisik kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka
mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
“Diamlah, wahai
Abu Bakar,” Kata Nabi SAW dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga
adalah Allah!!”
Sebagian riwayat
menyebutkan, di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan
pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut
baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada
di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada
orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba
yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga
hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah disertai oleh Amir bin
Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang ketika itu masih
beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu
Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang
Nabi SAW, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika
bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka
bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
Abu Bakar selalu
menjawab, “Dia orang yang menunjukkan
jalan kepadaku..!!”
Tentunya Abu
Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya
mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut.
Beberapa
peristiwa terjadi dalam perjalanan ini, seperti pengejaran oleh Suraqah bin
Malik bin Ju’syum, beristirahat di tenda Ummu Ma’bad, (lihat kisahnya di bagian
lain Percik Kisah Sahabat Nabi SAW ini), dan lain-lainnya yang tidak perlu
dijabarkan secara mendetail dalam kisah Abu Bakar ini. Yang jelas, Abu Bakar selalu
mendampingi dan melindungi Nabi SAW dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti
atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Madinah.
Kekhawatiran Abu Bakar
Walaupun
menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah SAW, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan
bahwa ia dijamin masuk surga, bahkan delapan pintu surga memanggilnya untuk
memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah
suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di
antaranya.
"Alangkah baiknya jika
aku…."
Walaupun
kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah SAW, tetapi Abu Bakar
tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa
khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan
ungkapan yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya
"Alangkah
baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu
bakar."
"Alangkah
baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan
ternak."
Ketika
sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau,
dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan,
minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan
hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung."
"..telah aku anggap benar
padahal sebenarnya tidak…"
Suatu
saat Ummul Mukminin Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu
menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada beban amat
berat yang ditanggungnya, karena itu ia
bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu
kesusahan?"
Abu Bakar hanya
memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, ia memanggil
putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan
tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi SAW (Hadits) yang telah kuberikan
kepadamu dulu!"
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang
dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera
membakarnya, dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut
mengandung banyak riwayat tentang Nabi SAW, yang kukumpulkan dan kuperoleh dari
orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku
meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan
aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu
kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi SAW yang
paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia
sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi SAW masih hidup ia diberi
tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman,
Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muadz bin Jabal,
Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud
tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi SAW.
Gaji Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah
Abu
Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan
berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin
Khaththab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana
dengan urusan kekhalifahan?"
"Kalau
tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab
Abu Bakar.
"Marilah
kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi SAW 'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)"
Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal."
Mereka berdua pergi menemui Abu
Ubaidah yang memang dipercaya Nabi SAW memegang Baitul Mal. Setelah mendengar
penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai
khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai
penghasilan tetap.
Suatu
ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan, tetapi Abu Bakar berkata
kalau ia tidak mempunyai uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau
mengijinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga
dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan..!"
Abu
Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari, istrinya menyerahkan
kepadanya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah
menerima uang tsb. Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari
pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan
dari Baitul Mal."
Karena itu uang
tersebut tidak jadi dibelikan bahan manisan, tetapi disetorkan kembali ke Baitul
Mal. Dan ia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak
yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Sebelum
meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah
SAW, Aisyah RA, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul
Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya.
Ia juga berkata
pada Aisyah, "Sebenarnya aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi
Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan
dengan perdaganganku, dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan
lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan
kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima
selama ini."
Ketika wasiyat
ini ditunaikan dan Umar bin Khaththab menerimanya, ia berkata, "Semoga
Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk
diikuti pengganti-penggantinya. Satu
riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah
mangkuk dan seorang hamba
sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah
selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani. Wallahu A’lam.
trims
BalasHapus