Minggu, 20 Oktober 2013

Abdullah bin Ziyad RA (Al Mujadzdzir)

Abdullah bin Ziyad RA adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Ghanm, suku Khazraj, dan salah seorang sahabat ahlul Badar. Ia lebih dikenal dengan nama al Mujadzdzir, sang Pembongkar Urat, karena terkenal sebagai tipe orang yang sangat kasar di masa jahiliah. Ketika terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara suku Aus dan Khazraj di Madinah sebelum masa keislaman, ia membunuh Suwaid bin Shamit yang saat itu telah memeluk Islam. Tetapi kemudian ia menyertai tujuhpuluh lima orang Madinah yang berba'iat kepada Nabi SAW di Ba'iatul Aqabah ke dua untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah, Nabi SAW berpesan untuk tidak membunuh Abbas bin Abdul Muthalib dan Abul Bakhtary bin Hisyam. Dua orang tokoh Quraisy ini tidak pernah memusuhi Nabi SAW ketika di Makkah, mereka juga membantu orang-orang muslim walaupun dengan diam-diam. Bahkan Abul Bakhtary salah satu orang yang berinisiatif dan berperan membatalkan piagam pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim dan Bani Muthalib (yakni keluarga besar Nabi Muhammad SAW)
Dalam peperangan ini, Mujadzdzir bertemu dengan Abul Bakhtary, yang berperang bersisian dengan temannya, Junadah bin Malihah. Mujadzdzir berkata, "Wahai Abul Bakhtary, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami membunuh engkau..!!"
"Bagaimana dengan temanku ini?" Tanya Abul Bakhtary.
"Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu..!!"
Karena tidak ada perintah lain dari Nabi SAW sehubungan dengan teman yang bersama Abul Bakhtary, jawaban itulah yang paling tepat disampaikan Mujadzdzir. Tetapi Abul Bakhtary berkata, "Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama temanku ini. Aku tidak ingin para wanita Quraisy mengatakan aku meninggalkan temanku karena ingin tetap hidup!!"
Setelah itu mereka berdua menyerang Mujadzdzir, dan tidak ada pilihan lain baginya kecuali melakukan perlawanan daripada harus mati konyol. Akhirnya mereka berdua tewas di tangan Mujadzdzir. Usai pertempuran, Mujadzdzir menghadap Nabi SAW sambil memohon maaf, ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku telah berusaha untuk hanya menawan Abul Bakhtary dan membawanya ke hadapan engkau. Tetapi ia tidak mau menyerah dan berkeras melakukan perlawanan sehingga dengan terpaksa saya membunuhnya!!”
Tampak penyesalan di wajah Nabi SAW, tetapi bagaimana lagi. Namanya pertempuran adalah membunuh atau terbunuh (kill or to be kill), dan tentunya bukan sepenuhnya kesalahan Mujadzdzir kalau ia tidak bisa memenuhi pesan Nabi SAW tersebut. 
            Dalam perang Uhud, Mujadzdzir menemui syahidnya di tangan Harits bin Suwaid, putra dari Suwaid bin Shamit yang telah dibunuhnya pada Perang Bu'ats. Sebenarnya mereka berdua berada di kubu yang sama, pasukan muslim, hanya saja Harits belum memeluk Islam. Harits berprasangka bahwa Mujadzdzir akan membunuhnya jika telah kembali ke Madinah, karena itu ia bertindak mendahuluinya dengan menikam Mujadzdzir hingga tewas. Tetapi kemudian Harits menyesali tindakannya ini dan memeluk Islam. Ia juga gugur di Perang Uhud ini sebagai seorang muslim.

Tsabit bin Arqam al Ajlani RA

Tsabit bin Arqam RA adalah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Bani Ajlan, ia juga termasuk salah satu dari sahabat Ahlu Badar. Sebagaimana sebagian besar sahabat-sahabat beliau yang memeluk Islam pada masa awal, ia selalu terjun dalam medan jihad demi impian untuk memperoleh syahid, termasuk di dalam perang Mu'tah, pertempuran tidak berimbang antara 3.000 tentara muslim dengan 200.000 tentara Romawi dan sekutu-sekutunya.
Sejak awal Nabi SAW membentuk pasukan yang dikirimkan ke Mu'tah, beliau telah menentukan bahwa komandan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika ia gugur, digantikan Ja'far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Sangat mudah ditebak bagaimana kesudahan pertempuran antara tigaribu orang melawan 200.000 orang, walaupun sebenarnya Rasulullah SAW tidak tahu dan tidak menduga bahwa Romawi mengerahkan tentara sebanyak itu. Zaid gugur, panji pasukan muslim diambil Ja'far. Ja'far juga gugur, panji diambil oleh Ibnu Rawahah. Setelah Ibnu Rawahah gugur, panji pasukan muslim tergeletak begitu saja, tidak ada yang berani mengambilnya karena Rasulullah SAW tidak berpesan kepada siapa lagi panji itu harus diberikan setelah kematiannya.
Pasukan muslim sepertinya hanya menanti takdir untuk ditumpas habis oleh pasukan Romawi yang datang gelombang demi gelombang. Keadaan pasukan kaum muslimin saat itu tak ubahnya anak-anak ayam tanpa induknya, sementara burung-burung elang siap menyambarnya. Ketika keadaan makin kritis seperti itu, Tsabit bin Arqam al Ajlani memacu kudanya dan mengambil panji pasukan muslim. Ia memacu kudanya berputar-putar sambil mengangkat tinggi panji tersebut, dan kemudian menuju kepada Khalid bin Walid, yang saat itu baru memeluk Islam dan hanya sebagai prajurit biasa. Tsabit berkata, "Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman..!!"
Abu Sulaiman adalah nama kunyah Khalid bin Walid. Khalid tahu diri, saat itu di sana banyak sekali sahabat Muhajirin dan Anshar yang terlebih dahulu memeluk Islam dan telah banyak berjasa kepada Islam, ia berkata kepada Tsabit, "Jangan saya, jangan saya yang memegang panji ini. Anda yang lebih berhak memegangnya, anda lebih tua dan telah menyertai Rasulullah SAW dalam Perang Badar dan berbagai pertempuran lainnya…!!
"Ambillah," Kata Tsabit lagi, "Anda lebih tahu muslihat dan strategi peperangan daripada aku. Demi Allah, aku  tidak mengambil panji ini kecuali untuk aku serahkan kepada anda…!!"
Sesaat kemudian Tsabit berpaling kepada pasukan muslim lainnya dan berkata, "Sediakah kalian semua berjuang di bawah pimpinan Khalid…!!"
Seluruh pasukan muslim dengan serempak menyetujui usulan Tsabit ini, sehingga Khalid tidak punya pilihan lain kecuali menerima amanat tersebut. Dan ternyata pilihan Tsabit memang tidak salah, Khalid berhasil memimpin pasukan untuk menahan gempuran pasukan Romawi, dan berhasil meloloskan diri dari kemusnahan total yang telah tampak di depan mata. Suatu perkara yang pasukan Romawi sendiri tidak bias mempercayainya, bahwa mereka tidak bisa menang mutlak dalam peperangan ini.
Akan halnya Rasulullah SAW di Madinah, beliau seolah-olah menyaksikan "tayangan langsung" pertempuran ini dan menceritakannya kepada para sahabat. Dengan berlinang air mata beliau menceritakan bagaimana Zaid berjuang memimpin pasukan kemudian gugur. Disusul oleh Ja'far memimpin kemudian gugur, kemudian Ibnu Rawahah memimpin dan ia juga gugur. Beberapa saat kemudian tampak sinar cerah di wajah beliau yang mengherankan para sahabat, padahal belum lama berselang wajah beliau diliputi kesedihan mendalam. Ternyata beliau bersabda, "…hingga salah satu dari pedang-pedang Allah membawa panji ini, dan Allah membukakan pintu kemenangan bagi mereka…"
Inilah peran dan keputusan yang cepat dan tepat dari Tsabit bin Arqam sehingga menyelamatkan pasukan muslim dari kemusnahan total dalam perang Mu'tah. Dan sebagian riwayat menyatakan, itulah saat pertama Khalid bin Walid mendapat gelar "Saifullah", Si Pedang Allah.

Abdurrahman bin Abu Bakar RA

Kalau Abu Bakar adalah merupakan lelaki pertama yang meyakini dan memeluk Islam, kemudian diikuti oleh anak-anaknya, teman dan kerabat lainnya, maka putranya yang satu ini, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk yang "teguh" pendiriannya dalam kekafiran. Sementara saudaranya, Asma dan Abdullah bin Abu Bakar berperan aktif untuk membantu Nabi SAW dan ayahnya ketika akan berhijrah, Abdurrahman "aktif" pula membantu kaum kafir Quraisy untuk menemukan dan menghalangi hijrah mereka berdua, bahkan kalau perlu membunuhnya.
Dalam perang Badar, Abdurrahman masih berdiri teguh di barisan kaum kafir Quraisy. Abu Bakar sempat menyapanya dengan lembut dengan harapan akan meluluhkan hatinya, tetapi jawabannya tegas, "Yang ada saat ini hanyalah senjata dan kuda, serta pedang tajam yang siap membabat orang tua yang sudah renta (maksudnya, bapaknya sendiri)."
Abu Bakar bermaksud menghadapi anaknya ini dan membunuhnya, tetapi ia dicegah oleh Rasulullah SAW.
Ketika berlangsung perang Uhud, Abdurrahman memimpin pasukan panah kaum Quraisy. Sekali lagi Abu  Bakar bermaksud memerangi putranya ini dan membunuhnya, tetapi lagi-lagi Rasulullah SAW menghalanginya. Akan halnya Abdurrahman sendiri, ia berkali-kali melihat posisi Abu Bakar dalam pertempuran tersebut, tetapi ia berusaha menghindari bentrokan dengan ayahnya. Ketika telah memeluk Islam dan ia menyampaikan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, "Demi Allah, sekiranya aku melihatmu saat itu, aku pasti akan membunuhmu…!!"
Dalam setiap pertempuran di fihak kaum kafir Quraisy, Abdurrahman selalu saja selamat, sampai kemudian hidayah Allah datang kepadanya saat Fathul Makkah. Dan tampaknya Allah ingin menyempurnakan kemuliaan keluarga Abu Bakar, ayahnya Abu Quhafah yang telah renta dan buta juga memeluk Islam pada saat yang hampir bersamaan dengan cucunya tersebut.
Sejak keislamannya, Abdurrahman tidak ingin lagi tertinggal berjuang menegakkan panji-panji keimanan dan  keislaman, baik ketika Nabi SAW masih hidup, atau ketika beliau telah wafat. Kepahlawanannya tampak menonjol  pada perang Yamamah pada masa kekhalifahan Abu Bakar, perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kadzdzab.
Musailamah bin Tsumamah bin Kabir bin Hubaib berasal dari Bani Hanifah di Yamamah, ia memeluk Islam bersama beberapa orang dari kabilahnya pada tahun 9 Hijriah. Bani Hanifah memang merupakan kabilah yang memiliki pasukan yang kuat, jarang sekali terkalahkan dalam berbagai pertempuran yang diterjuninya. Sejak keislamannya, Musailamah yang pada dasarnya orang yang sombong, makin meningkat keangkuhannya. Ia merasa mempunyai kedudukan yang sederajad dengan Nabi SAW, karena itu ia menuntut kepada Nabi SAW untuk berbagi kekuasaan dan kenabian. Ia mengaku memperoleh wahyu yang menjadikannya sebagai Nabi sebagai sekutu Nabi SAW, sebagaimana Nabi Harun bersekutu dengan Nabi Musa. Salah satu tangan kanan Musailamah dalam menjalankan  "pemerintahan" tandingan Islam adalah Mahkam bin Thufeil, dialah  "otak" yang mengatur dan merencanakan strategi pemberontakan Musailamah.
Pada pertempuran Yamamah, awalnya pasukan muslimin dapat dipukul mundur oleh pasukan Musailamah. Tetapi ketika komandan pasukan diserahkan kepada Khalid bin Walid, mereka mulai menyusun kekuatan kembali dengan strategi yang diterapkan oleh "si Pedang Allah" ini. Abdurrahman bin Abu Bakar berhasil membunuh Mahkam bin Thufeil sehingga pertahanan pasukan Musailamah menjadi goyah. Tak lama kemudian Wahsyi bin Harb berhasil membunuh Musailamah dengan tombak andalannya. Tanpa dua orang pucuk pimpinannya tersebut, pasukan Musailamah lari tunggang-langgang dan akhirnya menyerah kalah. Berakhir sudah petualangan sang nabi palsu, Musailamah, dan peran Abdurrahman cukup menentukan dalam peperangan ini.
Berlalulah waktu, Abdurrahman selalu membaktikan sisa hidupnya untuk ibadah demi ibadah. Tiba masa-masa fitnah, ia memilih tetap tinggal di Madinah seperti sebagian besar sahabat lainnya. Namun, ketika Muawiyah memutuskan untuk mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah penggantinya, ia mulai angkat bicara.
Muawiyah mengirimkan surat kepada para gubernurnya, untuk memerintahkan ba'iat kepada putranya tersebut. Ketika Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih kerabat dekat Muawiyah, membacakan surat perintah ba'iat ini, tentunya dengan dikawal kekuatan bersenjata, suasana jadi hening. Jelas sekali kalau secara umum ada penolakan, tetapi tidak ada yang berani memberikan tanggapan (penolakan) secara langsung. Akhirnya Abdurrahman bin Abu Bakar angkat bicara, "Demi Allah, rupanya bukan kebebasan memilih yang anda berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW, tetapi anda hendak menjadikannya sebagai kerajaan seperti di Romawi, kalau seorang kaisar meninggal, maka tampillah kaisar lain dari keturunannya….!!"
Abdurrahman menentang dengan keras rencana ba'iat tersebut, dengan keras ia menyatakan bahwa ba'iat seperti itu batal, berbagai argumen disampaikannya dan ternyata Marwan tidak berkutik. Ia melaporkan perkara ini kepada Muawiyah di Syam.
Beberapa waktu kemudian, datanglah utusan Muawiyah menemui Abdurrahman, ia menawarkan uang sebanyak seratus ribu dirham, tetapi Abdurrahman harus menarik ucapannya tersebut dan bersedia memba'iat Yazid sebagai khalifah. Abdurrahman berkata tegas kepada utusan Muawiyah, "Kembalikan uang itu kepadanya (Muawiyah), dan katakan bahwa Abdurrahman tidak akan menjual agamanya dengan dunia sebanyak apapun…!!"
Melihat negosiasinya gagal, Muawiyah bermaksud mendatangi langsung Abdurrahman ke Madinah. Tetapi  mendengar rencana Muawiyah ini, Abdurrahman segera pergi ke Makkah untuk menghindari pertemuan yang dianggapnya tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Ia sangat mengenal watak dan karakter Muawiyah yang ambisius dan ingin mencapai tujuannya dengan cara apapun. Ketika sampai di luar kota Makkah, ia tinggal sebentar, dan maut menjemputnya di sana. Orang-orang membawa jenazah Abdurrahman ke dataran tinggi di Makkah dan memakamnya di sana.
Sebagian riwayat menyebutkan terjadinya pertemuan antara Abdurrahman dan Muawiyah sebelum ia pergi ke Makkah, atau mungkin pertemuan itu terjadi sebelum Muawiyah melakukan upaya suap seratus ribu dirham. Dan  dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan. Atas penolakan Abdurrahman untuk dipilihnya Yazid sebagai khalifah penggantinya, Muawiyah berkata, "Bukankah sama saja dengan ayahmu, dimana Abu Bakar telah memilih Umar sebagai khalifah penggantinya…!!"
Abdurrahman berkata tegas, "Tetapi ayahku tidak mengangkat siapapun dari anggota keluarganya, dan Umar adalah manusia terbaik pada saat itu ..!!"
            Muawiyah tidak berkutik dengan hujjah ini dan ia tidak bisa berkata apapun lagi.

Ibnu Hanzhaliyyah RA

Ibnu Hanzhaliyyah RA, seorang sahabat Nabi SAW yang tinggal dan menghabiskan usianya di Damaskus setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ia seorang sahabat yang suka menyendiri, jarang sekali ia duduk-duduk bersama manusia kecuali ketika shalat berjamaah di masjid. Setelah selesai shalat dan berdzikir, ia memilih untuk pulang dan tinggal di rumahnya sampai waktu shalat berikutnya.
Suatu ketika, selesai shalat dan akan pulang ke rumahnya, ia melalui tempat tinggal Abu Darda, sahabat Nabi SAW yang juga tinggal di Damaskus. Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapa dan berkata kepadanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Sebagai seorang sahabat penyendiri, tentulah Ibnu Hanzhaliyyah tidak suka menonjolkan diri. Karena itu ia memilih untuk menceritakan suatu peristiwa bersama Rasulullah SAW. Ia menceritakan bahwa beliau pernah mengirim suatu pasukan ke suatu tempat. Setelah pulang dan berkumpul bersama di majelis Nabi SAW, salah seorang anggota pasukan berkata kepada teman di sebelahnya, "Bagaimana pendapatmu, ketika kami sedang berhadapan dengan musuh, salah seorang dari kami berkata : Rasakanlah tikaman dariku!! Aku adalah pemuda Ghiffar!!"
Teman yang diajaknya bicara berkata, "Menurut pendapatku, orang itu telah hilang pahalanya…!!"
Tetapi teman lainnya yang mendengar pembicaraan itu ikut berkata, "Menurut pendapatku tidak apa-apa orang itu berkata seperti itu (ia tetap memperoleh pahala)…!!"
Dua orang yang berbeda pendapat ini saling berdebat dengan argumen masing-masing, sehingga Nabi SAW kemudian menengahinya dan bersabda, "Subkhanallah (Maha Suci Allah), tidak apa-apa, ia tetap mendapat pahala dan tetap terpuji (di sisi Allah)..!!"
Abu Darda tampak gembira sekali mendengar cerita Ibnu Hanzhaliyyah itu, dan berkata, "Engkau mendengar sendiri keterangan itu dari Rasulullah SAW!!"
"Ya…!!" Kata Ibnu Hanzhaliyyah memastikan.
Tetapi Abu Darda masih mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, seolah-olah minta "keberkahan" hadits yang diterima oleh Ibnu Hanzhaliyyah tersebut, dan ia tetap mengiyakannya.
Pada hari dan kesempatan yang lain yang hampir sama, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Orang yang memberi belanja kepada kudanya (yang dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah), seperti orang yang membentangkan tangannya dengan shadaqah (yakni, dermawan), dan bukan orang yang menggenggamkan tangannya (yakni orang yang kikir)..!!"
Sikap Abu Darda yang seperti sebelumnya juga terulang ketika ia mendengar hadits ini dari Ibnu Hanzhaliyyah.
Pada hari dan kesempatan yang lain lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Rasulullah pernah bersabda : Sebaik-baiknya orang adalah Khuraim al Usaidy, seandainya ia tidak berambut  panjang dan ia tidak memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki. Setelah mendengar sabda Nabi SAW ini dari salah seorang temannya, Khuraim mengambil pisau dan memotong rambutnya hingga dua telinganya, dan ia menaikkan kainnya hingga pertengahan kedua betisnya…!!"
Setelah selesai mendengar hadist ini, Abu Darda bersikap seperti sebelum-sebelumnya.
Pada hari dan kesempatan yang berbeda lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti kejadian sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Nabi SAW berpesan kepada kami : Sesungguhnya kamu sekalian akan kembali kepada saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan baguskanlah pakaianmu, sehingga seolah-olah kamu merupakan tahi lalat di tengah-tengah manusia. Karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor, baik dalam pakaian atau dalam hal perkataan…!!"
Sekali lagi Abu Darda bersikap seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.

Abu Musa al Asy'ari RA

Abdullah bin Qais RA, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Musa al Asy'ari telah memeluk Islam ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Abu Musa yang berasal dari kabilah Bani Asy’ari (Kaum Asy’ariyyiin) di Yaman ini, sejak awal memang tidak menyukai kebiasaan orang-orang Arab jahiliah menyembah berhala. Karena itu, setelah mendengar adanya seseorang yang menyeru kepada agama tauhid dan mencela berhala-berhala, ia segera memacu tunggangannya mengarungi padang pasir luas menuju Makkah.
Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan mendengar penjelasan beliau tentang Risalah Islam yang beliau bawa, tanpa keraguan sedikitpun Abu Musa berba'iat memeluk Islam. Ia tinggal beberapa waktu di Makkah untuk memperoleh pengajaran Nabi SAW, kemudian beliau menyuruhnya kembali dahulu ke daerahnya, sampai nanti Islam telah memperoleh kemapanan. Akan berbahaya baginya kalau tetap tinggal di Makkah saat itu, karena kaum kafir Quraisy tidak henti-hentinya melakukan halangan dan penyiksaan kepada mereka yang mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Beberapa tahun berlalu, Abu Musa berhasil mendakwahkan Islam di kabilahnya di Yaman. Ia juga mendengar bahwa Nabi SAW dan kaum muslimin telah tinggal di Madinah dan memperoleh kemapanan di sana. Ketika ia mendengar Nabi SAW menghimpun pasukan untuk menyerang Khaibar, bersama limapuluh orang lebih, termasuk  dua saudara kandungnya, Abu Ruhum dan Abu Burdah, ia memutuskan berhijrah ke Madinah. Ia berharap bisa bergabung dan berjihad bersama beliau dalam peperangan tersebut.
Abu Musa dan kaum muslimin yang bersamanya, memutuskan melalui jalur lautan dengan perahu karena dianggapnya lebih cepat daripada harus mengarungi padang pasir. Tetapi perahu mereka terdampar di Habasyah karena mengalami kerusakan. Ja'far bin Abu Thalib yang masih tinggal di sana menjumpai rombongan tersebut di pesisir, ia berkata kepada Abu Musa, "Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami tinggal di sini, maka menetaplah bersama kami di sini!"
Tidak ada pilihan lain bagi Abu Musa kecuali memenuhi tawaran Ja'far, sambil memperbaiki perahu mereka. Tetapi belum lama tinggal di sana, datang utusan Rasulullah SAW yang memerintahkan mereka agar segera berhijrah ke Madinah. Dua rombongan inipun kembali berperahu menyeberangi Laut Merah, kemudian menyeberang padang pasir menyusul Rasulullah SAW yang masih berada di Khaibar. Mereka berharap masih bisa ikut berjihad melawan kaum Yahudi di sana, tetapi ternyata mereka bertemu Nabi SAW ketika pasukan muslim telah menaklukan Khaibar. Beliau menyambut gembira dua rombongan muhajirin ini dan memberikan bagian ghanimah perang Khaibar kepada mereka.
Nabi SAW menggelari kelompok Abu Musa sebagai kaum Asy'ari atau Asy'ariyyin, dan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Beliau memberi gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
Suatu ketika Umar bin Khaththab mendatangi rumah putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, Hafshah. Di sana ia bertemu dengan Asma binti Umais, yang ikut berhijrah ke Habasyah. Ia menanyakan kepada Hafshah siapa tamunya tersebut. Setelah dijelaskan sebagai Asma binti Umais, Umar berkata, "Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan itu?"
Asma mengiyakan. Umar berkata lagi, "Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami lebih berhak kepada Rasulullah SAW daripada kalian."
Asma binti Umais tidak terima dengan pernyataan Umar dan membantahnya. Ia juga berkata kepada Umar  bahwa akan mengadukan perkara ini kepada Nabi SAW. Tak lama setelah Umar pulang, Nabi SAW datang. Asma  menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Beliau bersabda, "Umar tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan berhijrah dua kali."
Ketika mendengar peristiwa Asma dan Umar tersebut, Abu Musa dan kaum Asy'ariyyin lainnya segera mendatangi Asma, dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Mereka ikut merasa bangga karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah dari Habasyah.
Abu Musa al Asy'ary merupakan tipikal sahabat yang lengkap. Seorang yang saleh dan alim, rajin beribadah dan menuntut ilmu ketika sedang mukim (tidak sedang berjihad), dan seorang prajurit yang perkasa, cerdik dan arif  ketika sedang terjun dalam berbagai pertempuran, tanpa kehilangan keikhlasannya.
Allah memberikan karunia suara yang luar biasa kepada Abu Musa al Asy'ary. Kalau ia membaca Al Qur'an, suaranya akan mendayu menggetarkan hati. Para sahabat enggan meninggalkan masjid kalau ia sedang melantunkan kalam Ilahi, seakan ada magnit yang menahan mereka untuk mendengarkan bacaannya sampai selesai. Nabi SAW pernah bersabda tentang suaranya ini, "Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!!"
Nabi Daud AS memang seorang nabi yang dikaruniai Allah SWT suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau sedang mengaji (melantunkan bacaan) Zabur atau sedang berdzikir, pastilah burung-burung, gunung-gunung, dan berbagai binatang lainnya mendengarkan dan ikut serta bertasbih kepada Allah, mengiringi alunan suara beliau.
Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khaththab seringkali memanggil Abu Musa dan berkata, "Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa….!!"
Dari seorang hamba yang sedang khusyu' beribadah, bahkan terkadang ia menangis dalam tawajuh-tawajuhnya, tiba-tiba Abu Musa berubah menjadi prajurit tangguh di garis depan, ketika ia terjun dalam pertempuran. Sejak bergabung dengan Nabi SAW di Madinah, ia hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran untuk menegakkan panji-panji Islam, baik bersama atau tanpa Rasulullah SAW. Sebagai gambaran bagaimana semangatnya dalam terjun di medan jihad ini, ia berkata, "Kami pernah mengikuti suatu pertempuran bersama Rasulullah SAW hingga terompah (sepatu) kami pecah dan berlobang, begitu juga dengan sepatuku, sehingga kuku jariku habis terkelupas. Terpaksa kami harus membalut telapak kaki-kaki kami dengan sobekan kain…!!"
Peristiwa yang dimaksudkan Abu Musa itu adalah perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada tahun 7 hijriah. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan yang dirasakan para sahabat tersebut, apalagi dalam perjalanan di padang pasir yang panas menyengat. Mengenai kegigihan Abu Musa di medan jihad ini, Nabi SAW bersabda, "Pemimpin dari orang-orang yang berkuda (dalam pertempuran) adalah Abu Musa….!!"
Di masa khalifah Umar, Abu Musa diangkat sebagai pemimpin dari pasukan untuk membebaskan Isfahan dari belenggu tirani Persia. Setelah bertempur beberapa waktu lamanya dan pasukan Persia hampir kalah, mereka minta berdamai dan berjanji untuk membayar upeti, tetapi mereka meminta tempo waktu untuk mengumpulkan hartanya. Abu Musa memenuhi permintaan tersebut, namun demikian ia memerintahkan pasukannya untuk tetap siaga dan tidak menurunkan kewaspadaan. Ia mencium siasat busuk dalam permintaan damai pasukan Persia ini. Benarlah apa yang diperkirakan Abu Musa, pada waktu yang tidak terduga, pasukan Persia melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan muslim. Disangkanya pasukan muslim sedang terlena dan tidak bersiaga, tetapi mereka salah besar, dan akhirnya dengan mudah pasukan Persia dikalahkan, jatuhlah Isfahan ke pelukan Islam.
Di masa Khalifah Umar juga, Abu Musa ikut terjun dalam pasukan besar untuk menyerang Tustar, benteng terakhir imperium Persia. Setelah makin banyak wilayah Persia yang jatuh atau bergabung dengan Islam, seluruh pasukan Persia ditarik mundur ke kota Tustar. Kota yang dikelilingi dengan benteng ini dipertahankan habis-habisan oleh pasukan Persia yang dipimpin oleh Hurmuzan.
Pasukan muslim mengepung kota tersebut selama berhari-hari, tetapi tidak mudah untuk menerobos dan melumpuhkannya.  Ketika banyak cara yang dicoba untuk menerobos benteng Persia mengalami kegagalan, Abu Musa menyusun suatu siasat. Ia mengirim beberapa prajurit perintis yang menyamar sebagai pedagang, dan beberapa prajurit lainnya lagi sebagai pengembala. Dengan membawa duaratus ekor kuda dan beberapa domba, mereka mulai berjalan  dari tempat yang cukup jauh dari batas kota Tustar. Sementara itu pasukan induk bersembunyi di sekitar pintu gerbang benteng. Ketika sekelompok "pedagang dan penggembala" ini tiba di pintu gerbang, pasukan Persia membukakan pintu untuk mereka. Tetapi sebelum sempat mereka menutup kembali, pasukan perintis yang menyamar ini melakukan penyerangan, diikuti kemudian oleh pasukan induk yang menerobos pintu gerbang Kota Tustar. Terjadi pertempuran dahsyat antara kedua pasukan, sampai akhirnya pasukan Persia menyerah kalah.
Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam, penduduk Syam yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Ali memindahkan ibukota Islam dari Madinah ke Kufah di Irak.
Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa Tahkim (lihat peristiwanya dalam kisah "Amr bin Ash RA"), Muawiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah tipikal sahabat saleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.
Pada dasarnya Abu Musa mengetahui bahwa Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi  mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar Muawiyah tetap menjadi khalifah.
Dengan kelicinan siasatnya, Amr berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing, setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’ jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum muslimin, walau dicurangi seperti itu.
Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash, tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata, "Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!"
Abu Musa terus melakukan bantahan dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan  tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.
Di saat-saat terakhir kehidupannya, ia berpesan, “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”

Senin, 30 September 2013

Abu Lubabah RA

Ketika Nabi SAW memobilisasi pasukan ke Tabuk, ada beberapa orang tertinggal atau tidak mengikuti beliau dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar memang orang-orang yang tertuduh sebagai kaum munafik, mereka ini berjumlah sekitar delapan puluh orang. Ada juga sejumlah sahabat yang tidak memperoleh tunggangan dan perbekalan untuk berangkat, seperti sekelompok sahabat yang dipimpin Abdullah bin Ma'qil al Muzanni. Termasuk juga  sepuluh orang dari Bani Muqrin. Mereka ini datang kepada Nabi SAW, tetapi beliau tidak memiliki apa-apa lagi untuk bisa memberangkatkan mereka, baik kendaraan atau perbekalan. Mereka pulang dengan berlinang air mata karena tidak bisa menyertai beliau berjihad.  Namun demikian ada enam atau tujuh sahabat lainnya, yang tertinggal karena berbagai alasan yang tidak tepat, namun mereka menyadari kesalahannya ini, antara lain adalah Abu Lubabah.
Setelah beberapa hari berlalu sejak Nabi SAW dan pasukannya meninggalkan Madinah menuju Tabuk, Abu Lubabah beserta tiga (atau dua, dalam riwayat lainnya) temannya menyadari kesalahannya. Mereka menyesal, tetapi tidak mungkin untuk mengejar atau menyusul pasukan tersebut. Abu Lubabah berkata, "Kita di sini berada di naungan pohon yang sejuk, hidup tentram bersama istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum muslimin sedang berjihad…sungguh, celakalah kita…."
Tak habis-habisnya mereka menyesal, mereka yakin bahwa bahaya akan menimpa karena ketertinggalannya ini. Untuk mengekspresikan penyesalannya ini, Abu Lubabah berkata kepada kawannya, "Marilah kita mengikatkan diri ke tiang masjid, kita tidak akan melepaskan diri kecuali jika Rasulullah sendiri yang melepaskannya…!!"
Teman-temannya, Aus bin Khudzam, Tsa'labah bin Wadiah dan Mirdas (atau tanpa Mirdas, pada riwayat dua orang temannya) menyetujui usulan ini. Mereka tetap terikat pada tiang tersebut sampai Nabi SAW pulang, kecuali ketika mereka akan melaksanakan shalat. Ketika Nabi SAW pulang dari Tabuk dan masuk ke Masjid, beliau berkata, "Siapakah yang diikat di tiang-tiang masjid itu?"
"Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak menyertai engkau berjihad, ya Rasulullah," Kata seorang sahabat, "Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri, kecuali jika tuan yang melepaskannya…!!"
Nabi SAW bersabda, "Aku tidak akan melepaskan mereka kecuali jika mendapat perintah dari Allah…!!"
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi SAW bersabda tentang mereka, "Aku tidak akan melepaskannya sampai saatnya ada pertempuran lagi…!!"
Suatu hari menjelang subuh, ketika itu Nabi SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah, tiba-tiba beliau tertawa kecil. Ummu Salamah heran dengan sikap beliau ini dan berkata, "Apa yang engkau tertawakan, Ya Rasulullah?"
"Abu Lubabah dan teman-temannya diterima taubatnya…!!" Kata Nabi SAW.
Saat itu Nabi SAW memang menerima wahyu, Surah Taubah ayat 102, yang menegaskan diterimanya taubat mereka yang berdosa karena ketertinggalannya menyertai jihad bersama Nabi SAW. Ummu Salamah berkata, "Bolehkah aku memberitahukan kepada Abu Lubabah, ya Rasulullah..?"
"Terserah engkau saja..!!" Kata Nabi SAW
Ummu Salamah berdiri di depan pintu atau jendela kamarnya yang memang menghadap masjid dan berkata, "Hai Abu Lubabah, bergembiralah karena telah diampuni dosamu, telah diterima taubatmu…!!"
Mereka bergembira, begitu juga dengan para sahabat yang telah berkumpul di masjid untuk shalat shubuh. Mereka ini ingin melepaskan ikatan Abu Lubabah dan teman-temannya, tetapi Abu Lubabah berkata, "Tunggulah sampai datang Rasulullah dan melepaskan sendiri ikatanku…!!"
Nabi SAW masuk masjid dan melepaskan sendiri ikatan-ikatan mereka. Pagi harinya, Abu Lubabah dan tiga temannya menghadap Nabi SAW sambil membawa harta yang dipunyainya. Ia berkata, "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami, shadaqahkanlah atas nama kami, dan tolong mintakan ampunan bagi kami…."
Nabi SAW bersabda, "Aku tidak diperintahkan untuk menerima harta sedikitpun (berkaitan dengan penerimaan taubat ini)…!!"
Tetapi tak lama berselang, Nabi SAW memperoleh wahyu, Surah Taubah ayat 103, yang memerintahkan agar beliau untuk menerima shadaqah dari Abu Lubabah dan teman-temannya, dan mendoakan mereka. Beliau melaksanakan perintah ayat tersebut, dan itu membuat Abu Lubabah dan teman-temannya menjadi lebih gembira dan tentram hatinya.
Riwayat lain menyebutkan, peristiwa Abu Lubabah mengikatkan diri di tiang Masjid Nabi bukan berkaitan dengan Perang Tabuk, tetapi dengan Perang Bani Quraizhah.
Setelah berakhirnya Perang Khandaq (parit) atau Perang Ahzab karena pasukan kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya diporak-porandakan oleh angin dan badai di waktu subuh, Nabi SAW dan kaum muslimin segera kembali ke Madinah. Angin dan badai tersebut sebenarnya adalah pasukan malaikat yang dikirim Allah untuk membantu kaum muslimin, dan di waktu dhuhur, Jibril yang menjadi pimpinan pasukan malaikat menemui Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau meletakkan senjata sedangkan kami belum meletakkan senjata. Serulah mereka untuk menuju Bani Quraizhah, dan kami akan berada di depanmu. Akan aku guncangkan benteng mereka dan aku susupkan ketakutan di hari mereka…!!”
Bani Quraizhah adalah kaum Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah. Tetapi ketika terjadi pengepungan Madinah oleh pasukan kafir Quraisy dan sekutunya, mereka justru berpihak kepada pasukan musuh dan memasok kebutuhan makanannya. Mereka juga berencana menyerang penampungan kaum wanita dengan mengirim seorang mata-mata terlebih dahulu. Untung saja, berkat keberanian bibi Rasulullah SAW, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, mereka membatalkan rencananya itu. Shafiyah berhasil membunuh mata-mata tersebut dan menggelindingkan mayatnya ke arah pasukan Bani Quraizhah yang siap menyerang, karena itu mereka beranggapan bahwa ada pasukan muslim yang menjaga para kaum wanitanya, padahal tidak ada.
Segera saja Nabi SAW memerintahkan Bilal untuk menyerukan panggilan jihad, “Siapa saja yang tunduk dan patuh, janganlah melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah!!”
Dalam kondisi baru tiba (pulang) setelah mempertahankan diri dari pengepungan kaum kafir Quraisy dan sekutunya selama satu bulan, ternyata tidak mudah untuk mengumpulkan seluruh pasukan. Karena itu Nabi SAW memerintahkan agar mereka yang telah siap, walau dalam kelompok yang kecil, agar segera berangkat. Kelompok demi kelompok akhirnya berkumpul di tempat Bani Quraizhah ketika telah menjelang waktu isya’, dan pada saat itulah  mereka melaksanakan shalat ashar sesuai perintah Nabi SAW.
Kaum muslimin melakukan pengepungan selama beberapa hari lamanya, dan akhirnya pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad mengirim utusan kepada Nabi SAW sebagai tanda menyerah. Tetapi mereka juga meminta Nabi SAW mengirim Abu Lubabah untuk melakukan pembicaraan dan mendengar pendapatnya. Abu Lubabah memang sekutu terbaik kaum Yahudi Bani Quraizhah sebelum Islam datang, bahkan saat itu harta kekayaan dan anak Abu Lubabah ada yang masih tinggal (tertinggal) di wilayah kaum Yahudi tersebut. Dan ternyata, dalam situasi yang seperti itu Nabi SAW memenuhi permintaan mereka.
Ketika Abu Lubabah memasuki benteng dan perkampungan Bani Quraizhah, mereka mengelu-elukan dirinya, para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Hal itu membuat Abu Lubabah terharu dan merasa kasihan. Ka’b berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad??”
“Begitulah!!” Kata Abu Lubabah, tanpa sadar ia memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di lehernya, isyarat bahwa mereka akan dihukum mati. Mungkin karena suasana yang dilihatnya atau rasa kedekatannya selama ini yang membuat ia bersikap seperti itu.
Tetapi seketika itu ia menyadari apa yang dilakukannya, yang sama artinya bahwa ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Tanpa bicara apa-apa lagi ia berlari keluar, bukannya kembali menghadap Nabi SAW, tetapi menuju masjid Nabawi dan mengikatkan dirinya di tiang masjid sembari bersumpah tidak akan pernah memasuki Bani Quraizhah, dan juga tidak akan melepaskan ikatannya kecuali Nabi SAW sendiri yang melepaskannya.
Rasulullah SAW menunggu-nunggu kedatangan Abu Lubabah, karena tidak datang juga, beliau mengirimkan seorang utusan lainnya. Setelah mendengar tentang apa yang dilakukannya, beliau bersabda, “Andaikata ia datang kepadaku, tentu aku akan memaafkannya. Tetapi karena ia telah berbuat seperti itu (yakni dengan diikuti sumpah), maka aku tidak bisa melepaskannya kecuali jika ia benar-benar bertaubat kepada Allah!!”
            Selanjutnya sama dengan kisah di atas. 

Ma'n bin Yazid RA

Ma'n bin Yazid bin Akhnas seorang sahabat Anshar, dimana tiga generasi dari keluarganya merupakan sahabat Nabi SAW, dirinya sendiri, ayahnya dan kakeknya. Ia juga mendapat kehormatan karena Nabi SAW meminangkan seorang wanita untuk menjadi istrinya, bahkan beliau sendiri pula yang menikahkannya.
Ayahnya, Yazid bin Akhnas mempunyai kebiasaan  bersedekah di masjid. Ia menyuruh seseorang untuk membagikan dinar dan dirham kepada para jamaah yang sedang memerlukan. Suatu ketika Ma'n, atau nama kunyahnya Abu Yazid, sedang berada di sana dan ia memang memerlukan uang, maka ia meminta dinar kepada utusan ayahnya tersebut, dan ia diberi bagian. Tetapi ketika ayahnya mendengar berita tersebut, ia berkata kepada Ma'n, "Demi Allah, bukan untuk kamu dinar tersebut aku sediakan…!!"
            Ma'n bin Yazid membawa masalah ini kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Bagimu apa yang engkau niatkan, wahai Yazid, dan bagimu pula apa yang engkau terima, wahai Ma'n..!!"

Abdullah bin Ahbar RA

Abdullah bin Ahbar, atau nama aslinya Muhair bin Ahbar, mungkin tidak bisa benar-benar disebut sebagai  sahabat Nabi SAW walau ia termasuk dalam karakteristik sahabat beliau. Muhair bin Ahbar adalah dari golongan jin yang telah memeluk Islam dan memegang teguh agama tauhid sejak zaman Nabi Nuh AS, Rasul pertama yang diutus oleh Allah SWT untuk menyeru umat dan kaumnya. Generasi demi generasi dan Rasul berganti Rasul, Ibnu Ahbar ini mengimani para Rasul tersebut termasuk sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Bisa jadi ia termasuk dalam kelompok jin yang mengikuti risalah Nabi SAW sebagaimana disitir dalam Al Qur'an Surah al Jin ayat 1-2.
Muhair bin Ahbar tinggal di Gunung Tursina bersama istrinya, tetapi ia lebih sering berkeliling melang-lang buana layaknya seorang musafir. Suatu ketika ia pulang ke rumah dan didapatinya istrinya sedang menangis. Iapun bertanya, "Kenapa engkau menangis?"
Istrinya yang juga memeluk Islam dan mempunyai kecintaan yang sangat besar kepada Nabi SAW, berkata, "Apakah engkau tidak tahu, sesungguhnya Musfir (salah satu jin kafir yang jahat) telah menjelek-jelekkan Nabi  Muhammad SAW sehingga beliau menjadi sedih….!!"
Memang, beberapa waktu sebelumnya telah terjadi peristiwa menggemparkan di Makkah karena berhala milik Walid bin Mughirah, salah seorang tokoh kafir Quraisy, bisa berbicara. Peristiwanya berawal ketika kaum Quraisy  ingin menyatukan pendapat dalam menyikapi dakwah Nabi SAW, terutama menjelang dimulainya musim haji. Satu hal yang pasti, mereka menolak dakwah dan ajakan beliau untuk bertauhid, tetapi alasan apa yang tepat dari penolakan tersebut? Berbagai usul muncul, seperti menyatakan Nabi SAW sebagai dukun, penyair, penyihir, pengacau, dan berbagai usulan lain, bahkan sebagai orang sinting. Walid menolak semua usulan tersebut karena semua itu sangat jauh dengan kenyataan yang ada pada pribadi dan perilaku Nabi SAW. Ketika mereka meminta usulan dari Walid, ia meminta waktu tiga hari untuk memikirkannya.
Dalam tiga hari tersebut, Walid bin Mughirah melakukan penyembahan kepada berhalanya, Hubal secara intensif. Ia tidak makan, minum dan tidur, dan ia juga mengajak anggota keluarganya melakukan hal yang sama. Ia juga memberikan persembahan yang luar biasa. Setelah tiga hari, Walid berkata kepada Hubal, berhalanya, "Demi penyembahan yang aku lakukan dalam tiga hari ini, beritahu aku perihal Muhammad..!!"
Saat itulah jin kafir yang bernama Musfir masuk ke dalam berhala Hubal dan berkata, "Muhammad bukanlah Nabi, jangan kau benarkan perkataannya……!!"
Dan beberapa "nasehat" Musfir untuk Walid yang pada dasarnya menjelek-jelekkan Nabi SAW. Walid sangat gembira, dan mengabarkan hal tersebut kepada pemuka kafir Quraisy lainnya. Mereka mengundang Nabi SAW pada keesokan harinya untuk berkumpul di halaman Ka'bah. Nabi SAW datang bersama Abdullah bin Mas'ud. Ketika mereka telah berkumpul semua, mulailah Walid memberi persembahan kepada berhalanya dan menanyakan seperti hari sebelumnya. Musfir segera masuk ke dalam Hubal dan mengatakan perkataan seperti hari sebelumnya. Kaum kafir Quraisy itu bersorak gembira. Ibnu Mas'ud bertanya kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, apa yang dikatakan berhala tersebut?"
"Tenanglah Abdullah, sesungguhnya itu setan…"
Kembali kepada Muhair bin Ahbar, begitu mendengar penjelasan istrinya, ia sangat marah. Ia mencari jejak si Musfir dan mengejarnya hingga membawanya ke Makkah. Ia berhasil menemukannya di antara Shafa dan Marwah dan membunuhnya di sana.
Nabi SAW dalam perjalanan pulang dengan perasaan gundah dan sedih. Beliau tahu betul bahwa semua itu adalah rekayasa setan terkutuk, tetapi bagaimana cara meyakinkan mereka. Dalam kegundahan tersebut, tiba-tiba beliau bertemu penunggang kuda berpakaian hijau, yang sedang menuntun kudanya mendekati beliau. Setelah dekat, ia mengucapkan salam kepada beliau. Nabi SAW berkata, "Siapa kamu? Salam yang kamu ucapkan sungguh terasa amat indah bagiku?"
"Saya dari bangsa jin, saya telah memeluk Islam sejak jaman Nabi Nuh AS……" Kata Muhair bin Ahbar.
Mulailah ia menceritakan pengalamannya sejak melihat istrinya menangis dan cerita tentang beliau bersama Walid, juga pengejarannya terhadap Musfir. Ia juga menceritakan kalau baru saja membunuh Musfir di antara Shafa dan Marwah, kepalanya terpotong dan berada di kandang kuda, sedangkan badannya terbang di antara shafa dan Marwah, menyerupai seekor kambing tanpa kepala. Ia juga menunjukkan pedangnya yang masih berlumur darah Musfir.
Nabi SAW amat gembira mendengar cerita Muhair tersebut, dan mendoakan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Beliau kemudian berkata, "Siapa namamu?"
"Muhair bin Ahbar, saya tinggal di Gunung Tursina…!!"
Kemudian Muhair berkata lagi, " Ya Rasulullah, apakah engkau tidak ingin aku mengejek mereka lewat berhala-berhala mereka, sebagaimana mereka telah mengejek engkau!!"
"Lakukan saja kalau engkau suka…!!" Kata Nabi SAW.
Tampaknya kaum kafir Quraisy masih “mabuk kemenangan" dengan peristiwa sebelumnya sehingga mereka mengundang Nabi SAW untuk hadir dalam pertemuan yang sama keesokan harinya. Mereka menghiasi Hubal dengan baju dan berbagai persembahan, kemudian berkata, "Hai Hubal, betapa cerah penglihatanku hari ini jika engkau mengejek Muhammad…!!"
Muhair yang telah siap di tempat tersebut, segera masuk ke dalam Hubal dan mengeluarkan perkataan yang sangat mengagetkan kaum kafir Quraisy, "Wahai penduduk Makkah, ketahuilah bahwa Muhammad ini adalah Nabi yang haq, agamanya benar, ia mengajak  kepada jalan yang benar. Kalian semua dan berhala-berhala kalian ini tidak ada gunanya, jika kalian tidak membenarkan dan mengimaninya, kalian akan berada di neraka jahanam, kekal di dalamnya. Ikutilah Muhammad, ia Nabi Allah, dan mahluk terbaik-Nya…!!"
Kaum kafir Quraisy terlongong tak percaya, dari "bibir" berhala Hubal yang sama, tetapi sangat jauh berbeda dengan perkataan kemarinnya. Abu Jahal segera tanggap atas situasi tersebut, ia segera bangkit dan mengambil berhala Hubal, kemudian membanting ke tanah hingga pecah berkeping-keping.
            Nabi SAW pulang dengan gembira. Beliau juga sempat memberikan nama baru buat Muhair, yakni Abdullah bin Ahbar. Ibnu Ahbar sangat gembira dengan pemberian nama baru oleh Nabi SAW tersebut, ia menyenandungkan syair untuk membanggakan nama barunya dan perjuangannya membela Nabi SAW. 

Utusan Bani Harits bin Ka'ab

Bani Harits bin Ka'ab merupakan kabilah terkemuka yang tinggal di Najran, Yaman, suatu daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Nashrani. Mereka juga ahli dalam peperangan, dan jarang terkalahkan dalam pertempuran yang diterjuninya, karena itu mereka cenderung memiliki kesombongan dan merasa lebih tinggi dari kabilah lainnya.
Pada tahun 10 hijriah, Nabi SAW mengirim suatu pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid kepada kabilah tersebut. Beliau berpesan agar menyeru mereka untuk memeluk Islam selama tiga hari, kalau mereka menolak barulah boleh diperangi. Khalid melaksanakan tugas tersebut, dan ternyata kabilah Bani Harits bin Ka'ab menerima seruan Khalid untuk memeluk Islam. Maka ia tinggal beberapa hari di sana mengajarkan beberapa pokok ajaran Islam.
Setelah merasa cukup memberikan pengajaran dan mereka telah melaksanakan pokok-pokok peribadatan yang ditentukan, Khalid mengirim surat kepada Nabi SAW, mengabarkan keislaman kabilah tersebut, dan juga menjelaskan beberapa karakteristik Bani Harits bin Ka'ab itu. Nabi SAW mengirim surat balasan, yang memerintahkan agar mereka mengirimkan utusan menghadap Nabi SAW, termasuk Khalid bin Walid.
Berselang beberapa hari, Nabi SAW melihat suatu rombongan memasuki kota Madinah menuju Masjid Nabi, beliau berkata, "Siapakah kaum ini, yang wajahnya seperti orang-orang India…!!"
Salah seorang sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, mereka adalah Bani Harits bin Ka'ab..!"
Khalid dan beberapa utusan itu, yang merupakan para pemimpin Bani Harits bin Ka'ab ini segera menghadap Rasulullah SAW. Mereka ini adalah Qais bin Hushain, Yazid bin Abdul Madan, Yazid bin Mahjal, Abdullah bin Qirad, Syaddad bin Abdullah al Qinany, dan Amr bin Abdullah adh Dhibaby. Tiba di hadapan beliau, mereka mengucap salam dan berkata, "Kami bersaksi bahwa engkau adalah Utusan Allah, dan kami juga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah."
Nabi SAW yang telah mengenali karakter kabilah ini, termasuk informasi dari surat Khalid bin Walid, memberi reaksi yang tidak seperti biasanya, yakni menyambut gembira keislamannya. Beliau justru berkata, "Aku juga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah…!!"
Beberapa detik kemudian beliau berkata lagi, "Kaliankah orang-orang yang bila dicegah, justru kalian terus maju….??"
Mereka tidak menjawab. Beliau mengulanginya sampai tiga kali, tetapi tetap saja mereka tidak menjawab. Baru setelah beliau mengulang untuk ke empat kalinya, Yazid bin Abdul Madan menjawab, bahkan ia mengulang-ulangnya sampai empat kali, "Benar, ya Rasulullah, kami adalah orang-orang yang bila dicegah, justru akan maju terus…!!"
Setelah itu Nabi SAW bersabda, "Jika saja Khalid tidak menulis surat kepadaku bahwa kalian telah memeluk Islam tanpa perlawanan, niscaya aku akan melemparkan kepala kalian di bawah telapak-telapak kaki kalian…"
Tentu tidak benar-benar seperti itu maksud Nabi SAW kalau saja mereka tidak memeluk Islam. Tetapi beliau menyampaikan perkataan tersebut untuk mengobati dan menawarkan (menetralisir) kesombongan dan arogansi mereka. Namun demikian, Yazid bin Abdul Madan, mewakili rekan-rekannya berkata, "Ketahuilah, demi Allah kami tidak berterima kasih kepadamu, dan tidak juga kepada Khalid…!!"
Nabi SAW berkata, “Kepada siapa kalian berterima kasih?"
"Wahai Rasulullah, kami hanya berterima kepada Allah yang telah memberikan hidayah kepada kami dengan perantaraan engkau…!!"
Walaupun sebenarnya "tidak pantas" untuk tidak berterima kasih kepada Nabi SAW atas hidayah Allah yang telah mereka terima, tetapi beliau tidak mempermasalahkannya, bahkan membenarkan jawaban mereka. Kemudian  beliau bertanya lagi, "Dengan sebab apakah kalian mengalahkan siapa saja yang memerangi kalian?"
Kali ini mereka memberikan jawaban dengan nada yang berbeda. Pertanyaan yang agak memuji ini justru menimbulkan "rasa malu" untuk menonjolkan diri di hadapan Rasulullah SAW. Mereka berkata, "Kami tidak pernah mengalahkan siapapun..!!"
Tetapi Nabi SAW mengulangi dan menegaskan pertanyaan beliau, "Tidak, bahkan kalian selalu saja mengalahkan mereka yang memerangi kalian…!!"
Dengan sikap merendah, mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami selalu mengalahkan siapa saja yang memerangi kami, karena kami selalu bersatu padu, tidak berpecah belah, dan kami tidak pernah mendahului melakukan kedzaliman kepada siapapun…!!"
            Nabi SAW merasa puas dengan jawaban tersebut. Beliau menerima syahadat dan ba'iat mereka dengan baik dan menetapkan Qais bin Hushain sebagai amir (pemimpin) kabilah Bani Harits bin Ka'ab ini.

Suwaid bin Shamit RA

            Suwaid bin Shamit adalah penduduk Yatsrib (Nama kota Madinah di masa jahiliah), ia merupakan orang yang terkemuka dari kaumnya, bernasab mulia dan mempunyai kedudukan tinggi. Ia juga seorang penyair yang cerdas sehingga memperoleh gelar Al Kamil (Sang Sempurna) dari penduduk Yatsrib. Ia termasuk sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, yakni ketika beliau masih berada di Makkah, tetapi sayangnya ia tidak sempat  bergaul dengan Nabi SAW dan mengalami masa keemasan Islam di Madinah.
Ketika Suwaid sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah di Makkah (tentunya dengan cara dan tradisi lama, yakni kebiasaan jahiliah), Nabi SAW mendatangi dirinya dan mengajaknya memeluk Islam. Sebagai seorang yang cerdas dan memiliki pengetahuan luas, Suwaid justru berkata, “Boleh jadi apa yang ada padamu itu sama dengan yang ada padaku…!!"
Nabi SAW bersabda, "Apa yang ada padamu?"
"Hikmah al Luqman!!" Kata Suwaid.
"Tunjukkan padaku!!" Kata beliau.
Suwaid mulai melantunkan apa yang dimiliki dan diketahuinya dengan rangkaian syair-syair yang sangat indah  dan memikat perhatian. Setelah ia selesai, Nabi SAW berkata, "Sungguh suatu kata-kata yang baik, namun yang ada padaku jauh lebih baik dan utama dari kata-katamu itu. Ini adalah Al Qur'an yang diturunkan Allah kepadaku, petunjuk dan cahaya…"
Kemudian Nabi SAW mulai membacakan beberapa ayat-ayat Al Qur'an kepada Suwaid. Ia tampak sangat terpesona dan khusyu' mendengar bacaan beliau. Sebagai seorang ahli syair yang cerdas, Suwaid tahu betul bahwa rangkaian kata dan kalimat seperti itu tidak mungkin disusun dan dibuat oleh manusia, sehebat apapun kemampuan  dan kecerdasannya. Setelah Nabi SAW selesai membacakan Al Qur'an, Suwaid berkata, "Ini adalah kata-kata yang benar-benar bagus..!!"
Setelah itu Suwaid menjabat tangan Nabi SAW dan berba'iat memeluk Islam. Suwaid pulang ke Yatsrib, dan tak lama setelah itu terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara Suku Aus dan Khazraj, dan Suwaid terbunuh dalam peperangan tersebut.

Jumat, 14 Juni 2013

Sa'id bin Zaid RA

Sa'id bin Zaid al Adawy RA merupakan kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya.  Sikap dan pandangan hidupnya ini ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.
Sejak lama Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka'bah ketika kaum Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku??"
Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena dianggap sebagai aib, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa jahiliahnya. Ia selalu menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut. Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah saat penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.
Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, "Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!"
Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan Nabi Muhammad SAW sebelum beliau dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok pemuda ini (yakni, Nabi Muhammad SAW) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping akhlaknya yang mulia, pemuda ini juga mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya tentang kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy. Tetapi Zaid  meninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi SAW berusia 35 tahun.
Dengan didikan seperti itulah Sa'id bin Zaid tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi SAW menyampaikan risalahnya, ia dan istrinya langsung menyambut seruan beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran walau saat itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khaththab, kakak iparnya sendiri yang merupakan jagoan duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras itu mengetahuinya juga.
Ketika itu Sa'id dan istrinya sedang mendapatkan pengajaran al Qur'an dari sahabat Khabbab bin Arats,  tiba-tiba terdengar ketukan, atau mungkin lebih tepat gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan siapa yang mengetuk tersebut, terdengar jawaban yang garang, "Umar..!!"
Suasana khusyu' dalam pengajaran al Qur'an tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambil  terus berdoa memohon pertolongan Allah untuk mereka. Sa'id dan istrinya menuju pintu sambil menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka oleh Sa'id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan, "Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?"
Sebelum kejadian itu, sebenarnya Umar telah membulatkan tekad untuk membunuh Nabi SAW. Kemarahannya telah memuncak karena kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab kesemuanya itu adalah dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi SAW. Dalam pemikiran Umar, jika ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy kembali tenang seperti semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya telah memeluk Islam. Nu'aim menyarankan agar ia mengurus kerabatnya sendiri saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran jika kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.
Sebenarnya Sa'id melihat bahaya yang tampak dari sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan tambahan kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, "Wahai Umar, bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu ternyata berada di pihak mereka ??"
Mendengar jawaban itu, Umar langsung menerkam Sa'id, memutar kepalanya kemudian membantingnya ke tanah, setelah itu Umar menduduki dada Sa'id. Sepertinya Umar ingin memberikan pukulan pamungkas untuk Sa'id, seperti kalau ia mengakhiri perlawanan musuhnya ketika sedang berduel di pasar Ukadz. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tetapi ia mendapat tinju keras Umar di wajahnya sehingga terjatuh dan darah mengalir dari bibirnya. Keadaan Sa'id sangat kritis, ia bukan lawan duel sebanding dengan Umar, dan ia hanya bisa pasrah jika Umar akan menghabisinya.
Tetapi tiba-tiba terdengar pekikan keras istrinya, Fathimah. Bukan ketakutan, tetapi pekikan perlawanan dan permusuhan dengan penuh keberanian, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah yang  kamu suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah  Rasullullah…!"
Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya … terkejut dan heran. Umar bin Khaththab seakan tak percaya, wanita lemah ini, yang tidak lain adiknya sendiri berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan akhirnya memeluk Islam.
Sebagaimana sahabat-sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, Sa’id bin Zaid merupakan sosok yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Hampir tidak pernah tertinggal dalam berbagai pertempuran dalam menegakkan panji-panji keimanan. Ia tidak mengikuti perang Badar, karena saat itu ia ditugaskan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi beliau menetapkannya sebagai Ahlul Badr dan memberikan bagian ghanimah dari perang Badar, walau secara fisik tidak terjun dalam pertempuran tersebut. Ada tujuh sahabat lainnya seperti Sa'id, tidak mengikuti perang Badar, tetapi Nabi SAW menetapkannya sebagai Ahlul Badr.
Sa'id juga termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat yang dijamin oleh Nabi SAW akan masuk surga dalam masa hidupnya. Sembilan sahabat lainnya adalah, empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidah bi Jarrah R.Hum.
Sa'id sempat mengalami masa kejayaan Islam, di mana wilayah makin meluas dan makin banyak lowongan jabatan. Sesungguhnyalah ia pantas memangku salah satu dari jabatan-jabatan tersebut, tetapi ia memilih untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang diterjuninya, ia lebih memilih menjadi prajurit biasa. Dalam suatu pasukan besar yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqash, setelah menaklukan Damaskus,  Sa'd menetapkan dirinya sebagai wali negeri/gubernur di sana. Tetapi Sa'id bin Zaid meminta dengan sangat kepada komandannya itu untuk memilih orang lain memegang jabatan tersebut, dan mengijinkannya untuk menjadi prajurit biasa di bawah kepemimpinannya. Ia ingin terus berjuang menegakkan kalimat Allah dan panji-panji kebenaran, suatu keadaan yang tidak bisa dilakukannyan jika ia memegang jabatan wali negeri.
Seperti halnya jabatan yang dihindarinya, begitu juga dengan harta dan kemewahan dunia. Tetapi sejak masa khalifah Umar, harta kekayaan datang melimpah-ruah memenuhi Baitul Mal (Perbendaharaan Islam), sehingga mau tidak mau, sahabat-sahabat masa awal seperti Sa’id bin Zaid akan memperoleh bagian juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah (bagian) lebih banyak daripada bagian sahabat yang memeluk Islam belakangan, yaitu setelah terjadinya Fathul Makkah. Namun, setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau uang, segera saja ia menyedekahkannya lagi, kecuali sekedarnya saja.
Namun dengan cara hidupnya yang zuhud itu, masih juga ada orang yang memfitnah dirinya bersikap duniawiah. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah, ketika ia telah menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk beribadah di Madinah. Seorang wanita bernama Arwa binti Aus menuduh Sa’id telah merampas tanah miliknya. Pada mulanya Sa’id tidak mau terlalu perduli atau melayani tuduhan tersebut, ia hanya membantah sekedarnya dan menasehati wanita itu untuk tidak membuat kedustaan. Tetapi wanita itu tetap saja dengan tuduhannya, bahkan ia melaporkan kepada gubernur Madinah.
Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih paman dari Muawiyah, atas laporan Arwa bin Aus itu memanggil Sa’id untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Setelah menghadap, Sa’id membantah tuduhan itu, ia berkata, “Apakah mungkin aku mendzalimi wanita ini (yakni merampas tanahnya), sedangkan aku mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang mendzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah akan melilitnya dengan tujuh lingkaran bumi pada hari kiamat kelak!!”
Sa’id memang meriwayatkan beberapa hadits Nabi SAW, termasuk hadits yang dijadikan hujjahnya itu. Ada hadits senada lainnya yang juga diriwayatkannya, yakni : Barang siapa yang berbuat dzalim terhadap sejengkal tanah, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi, dan barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid.
Kemudian Sa’id berbalik menghadap kiblat dan berdoa, “Ya Allah, apabila dia (wanita itu) sengaja membuat-buat kebohongan ini, janganlah engkau mematikan dirinya kecuali setelah ia menjadi buta, dan hendaklah Engkau jadikan sumurnya sebagai kuburannya…!!”
Beberapa waktu kemudian Arwa binti Aus menjadi buta, dan dalam keadaan seperti itu ia terjatuh ke dalam sumur miliknya sendiri dan mati di dalamnya. Sebenarnya saat itu Sa’id berdoa tidak terlalu keras, tetapi beberapa orang sempat mendengarnya. Mereka segera saja mengetahui kalau Sa’id bin Zaid dalam kebenaran, dan doanya makbul. Namanya dan kebaikannya jadi semakin dikenal, dan ia banyak didatangi orang untuk minta didoakan.
Seperti halnya jabatan dan harta kekayaan, ke-terkenal-an (popularitas) juga tidak disukai oleh Sa’id bin Zaid ini. Walaupun ia sebagai sahabat as sabiqunal awwalin, selalu berjuang dan berjihad di jalan Allah setiap kali ada kesempatan, dan menghabiskan waktu dengan ibadah ketika sedang ‘menggantungkan pedang’, bahkan telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW ketika masih hidup bersama (hanya) sembilan sahabat lainnya, tetapi ia tidak terlalu menonjol dan terkenal dibanding sahabat-sahabat lainnya yang memeluk Islam belakangan, seperti misalnya Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Salman al Farisi dan lain-lainnya. Hal ini terjadi karena ia memang lebih suka ‘menyembunyikan diri’, lebih asyik menyendiri dalam ibadah bersama Allah, walau secara lahiriah ia berada di antara banyak sahabat lainnya.
            Setelah peristiwa dengan Arwa bin Aus dan banyak orang yang mendatangi dirinya, Sa’id merasa tidak nyaman. Apalagi kehidupan kaum muslimin saat itu, walau tinggal di Madinah, tetapi makin banyak saja yang ‘mengagung-agungkan’ kemewahan dunia. Jejak kehidupan Nabi SAW dan para sahabat masa awal, baik dari kalangan Muhajirin ataupun Anshar, yang selalu sederhana dan zuhud terhadap dunia sedikit demi sedikit mulai memudar. Karena itu Sa’id pindah ke daerah pedalaman, yakni di Aqiq, dan ia wafat di sana pada tahun 50 atau 51 hijriah. Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya.

Sawad bin Ghaziyyah RA

Sawad bin Ghaziyyah RA adalah salah seorang Ahlul Badar, dan termasuk dari sedikit sahabat yang menemui syahidnya di medan Perang Badar itu. Pada hari berlangsungnya pertempuran ketika sedang persiapan pasukan, Nabi SAW mengatur barisan dan meluruskannya, seperti ketika meluruskan shaf-shaf shalat. Saat tiba di tempat Sawad, beliau melihat kalau posisinya agar bergeser, tidak lurus dengan anggota pasukan lainnya. Beliau memukul perut Sawad dengan anak panah sambil bersabda, "Luruskan barisanmu, wahai Sawad…!!"
Tetapi tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka berilah kesempatan kepadaku untuk membalasmu (meng-qishash-mu)..!!"
Para sahabat terkejut, dan sebagian besar marah dengan ucapan Sawad ini, apalagi Umar bin Khaththab. Nabi SAW sendiri sebenarnya terkejut dengan sikapnya itu, tetapi beliau menenangkan mereka. Sambil menyerahkan anak panah yang dipakai memukul, beliau bersabda, "Kalau begitu, balaslah wahai Sawad…!!"
Sambil menerima anak panah dari tangan Nabi SAW, Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau memukulku di perut yang tidak tertutup kain, karena itu hendaklah engkau singkapkan baju engkau..!!"
Para sahabat makin marah dengan sikap dan kemauan Sawad yang tidak sepatutnya ini. Tetapi Nabi SAW tetap menenangkan mereka dan memenuhi permintaan Sawad. Setelah beliau menyingkapkan baju beliau, Sawad segera melemparkan anak panah tersebut dan memeluk perut Nabi SAW dengan erat sambil menangis bahagia,  sekaligus meminta maaf kepada beliau. Sekali lagi Nabi SAW dibuat terkejut dengan tindakan Sawad yang tidak tersangka-sangka ini. Beliau berkata, "Apa-apaan engkau ini, Sawad….??"
Sawad berkata, "Inilah yang aku inginkan, ya Rasulullah, telah lama aku berharap kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulit engkau yang mulia, dan aku bersyukur bisa melakukannya, semoga ini menjadi saat-saat terakhir dalam hidupku bersama engkau….!!"
Nabi SAW tersenyum mendengar jawaban Sawad ini, karena apa yang dilakukannya adalah ekspresi kecintaannya kepada Nabi SAW. Segera saja beliau mendoakan kebaikan dan ampunan bagi Sawad.
             Ketika pertempuran mulai berkobar, Sawad segera menghambur ke barisan kaum musyrikin yang jumlahnya jauh lebih besar, yakni lebih dari tiga kali lipat banyaknya. Dengan semangat jihad yang begitu menggelora dan keinginan untuk mencapai syahid di jalan Allah, ia menyerang musuh tanpa sedikitpun rasa takut. Luka tikaman dan sayatan senjata tidak langsung menghentikan langkahnya untuk menghadang serangan kaum musyrikin. Sawad baru berhenti berjuang ketika kakinya tidak lagi mampu menyangga tubuhnya, tangannya tak lagi mampu menggerakkan pedang akibat terlalu banyaknya luka-luka dan darah yang mengucur dari tubuhnya. Namun demikian mulutnya tampak tersenyum ketika tubuhnya roboh ke tanah, karena ruhnya langsung disambut para malaikat yang langsung mengantarnya ke hadirat Allah.

Itban bin Malik RA

Itban bin Malik RA adalah salah seorang sahabat Ahlul Badar, dan ia ditugaskan Nabi SAW untuk menjadi imam dalam shalat jamaah di masjid kaumnya, Bani Salim. Untuk sampai ke masjid/mushalla kaumnya itu, Itban harus melalui  suatu lembah. Jika turun hujan, ia mengalami kesulitan untuk melewati lembah tersebut, tetapi tetap saja ia melakukannya untuk sampai ke masjid dan melaksanakan tugas yang diberikan Rasulullah SAW kepadanya.
Ketika usianya makin tua dan penglihatannya mulai berkurang, ia benar-benar merasa kesulitan untuk mendatangi masjid Bani Salim, terutama kalau sedang hujan, karena biasanya terjadi banjir atau banyaknya genangan air pada lembah yang harus dilaluinya. Karena itu ia bermaksud meminta keringanan kepada Nabi SAW atas tugas yang beliau berikan kepadanya. Apalagi di masjid Bani Salim tersebut telah ada beberapa orang lainnya yang bisa menggantikan tugasnya mengimami shalat jamaah.
Itban bin Malik datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW, dan menyampaikan maksudnya tersebut. Rasulullah SAW memahami kesulitan Itban dan memenuhi permintaannya. Kemudian Itban berkata lagi, "Wahai Rasulullah, saya mohon tuan datang ke rumah saya, saya ingin menjadikan sebagian rumah saya untuk mushalla…"
Sekali lagi Nabi SAW memenuhi permintaan Itban, dan berjanji untuk mendatangi rumahnya esok harinya. Keesokan harinya, ketika hari tidak begitu panas lagi, Nabi SAW bersama Abu Bakar datang ke rumah Itban. Setelah dipersilahkan masuk, beliau tidak langsung duduk tetapi justru bersabda, "Dimana tempat yang engkau harapkan aku akan shalat?"
Itban mengantar Nabi SAW pada tempat disiapkan untuk mushalla, beliau berdiri dan bertakbir, ia dan Abu Bakar berdiri di belakang beliau ikut shalat juga. Beliau shalat sunnah dua rakaat, usai shalat, Itban mempersilahkan dua tamunya yang mulia ini makan bubur gandum yang telah disiapkannya.
Penduduk kampung Itban yang mendengar kabar kehadiran Nabi SAW dan Abu Bakar, berbondong-bondong datang ke rumah Itban menemui beliau. Tetapi ada salah seorang warga yang berkata, "Apa gerangan yang sedang dilakukan Ibnu Malik..??"
Seorang warga lainnya menyahuti, "Dia sih orang munafik, yang tidak cinta kepada Allah dan RasulNya…!!"
Rasulullah SAW yang mendengar pembicaraan tersebut bersabda, "Janganlah kalian berkata seperti itu, apakah kalian tahu, dia (Itban) mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu dengan tujuan mengharapkan keridhaan Allah?"
"Allah dan RasulNya lebih mengetahui…" Kata salah seorang dari mereka, tetapi kemudian ia berkata lagi, "Adapun kami, demi Allah, tidaklah kami mengetahui pembicaraan dan kecintaannya melainkan condong kepada orang-orang munafik..!!"
            Melihat prasangka-prasangka yang berkembang seperti itu, beliau bersabda menegaskan, "Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang-orang yang mengatakan : Laa ilaaha illallaah Muhammadur rasulullah, dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Allah…!!"

Asma binti Abu Bakar RA

Asma binti Abu Bakar, adalah putri Abu Bakar dari istrinya, Qutailah binti Abdul Uzza al Amiriyyah yang telah diceraikan semasa jahiliah. Ia lebih tua sepuluh tahun dari adiknya Aisyah RA, salah satu dari Ummahatul Mukminin. Ketika Abu Bakar dan Rasulullah SAW berangkat hijrah ke Madinah, mereka berdua bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Kaum Quraisy yang kehilangan jejak mereka berdua mendatangi rumah Abu Bakar, begitu pintu dibuka oleh Asma binti Abu Bakar, Abu Jahal berkata, "Dimana ayahmu??"
"Demi Allah, aku tidak tahu dimana ayahku berada…!!" Kata Asma.
Abu Jahal sangat marah dengan jawaban singkat ini, ia mengangkat tangannya dan menampar dengan keras pipi Asma sehingga anting-antingnya terlepas. Setelah itu mereka berlalu dan memerintahkan untuk memblokade  semua jalan keluar dari Makkah.
Tidak lama kemudian, kakeknya Abu Quhafah, ayah dari Abu Bakar, mendatangi cucunya tersebut karena ia mendengar kalau Abu Bakar telah meninggalkan Kota Makkah. Ia khawatir kalau cucu-cucunya terlantar setelah ditinggal pergi ayahnya. Ia menanyakan kepada Asma tentang harta yang ditinggalkan untuk biaya kehidupan mereka. Asma sangat memahami kekhawatiran yang dirasakan oleh kakeknya ini, dan sebenarnyalah Abu Bakar telah membawa hampir semua harta kekayaannya sebanyak 6.000 dirham. Karena ia bersiasat untuk menenangkan hati kakeknya. Ia meletakkan batu kerikil di lubang penyimpanan uang ayahnya dan menutupinya dengan kain. Setelah itu ia menuntun kakeknya yang telah buta tersebut dan meletakkan tangannya di lubang penyimpanan uang sambil berkata, "Inilah harta yang ditinggalkan untuk kami, Kakek!!"
Abu Quhafah meraba kerikil yang tertutup kain dalam lubang penyimpanan, dan menganggapnya sebagai  uang dirham yang cukup banyak.  Karena itu ia berkata, "Baguslah kalau ia meninggalkan ini untuk kalian…!!"
Setelah bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur, Nabi SAW dan Abu Bakar memutuskan untuk berangkat ke Madinah. Asma mempersiapkan perbekalan, makanan dan minuman untuk perjalanan beliau dan ayahnya, lalu membawanya ke Gua Tsur. Tetapi ia lupa tidak membawa tali untuk mengikatkan perbekalan tersebut ke tunggangan, karena itu ia membelah dua ikat pinggangnya. Satu potong digunakan untuk mengikat perbekalan ke tunggangan, satunya lagi dipakainya sebagai ikat pinggang. Melihat apa yang dilakukannya ini, Nabi SAW menggelarinya "Dzaatun Nithaaqain" (yang  memiliki dua ikat pinggang).
Semua peristiwa itu terjadi ketika Asma dalam keadaan hamil, bahkan suaminya, Zubair bin Awwam telah terlebih dahulu hijrah bersama kaum muslimin lainnya, sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW. Sungguh pengorbanan yang tidak terkira dari wanita perkasa ini. Dan semua itu dilakukannya dengan ringan dan ikhlas, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Beberapa hari berlalu setelah peristiwa itu, saat itu Nabi SAW beserta Abu Bakar telah meninggalkan tenda Ummu Ma'bad, terdengar suara yang menggema seantero Makkah, suara syair yang diucapkan berulang-ulang, "Allah Penguasa Arsy melimpahkan pahala yang terbaik, dua orang yang lemah lembut lewat di tenda Ummu Ma'bad, mereka melanjutkan perjalanan setelah singgah sejenak, sungguh beruntung orang yang menyertai Nabi Muhammad (SAW), ceritakan apa yang disingkirkan Allah dari kalian, karena perbuatan orang-orang yang tidak mendapat  balasan, Bani Ka'b benar-benar menjadi hina karena anak-anak gadisnya, tanah yang subur adalah tempat duduk  bagi mereka yang percaya, tanyalah saudari kalian tentang domba dan bejananya, jika kalian tanyakan domba itu tentu akan melihatnya…"
Hampir semua penduduk Makkah keluar dari rumahnya untuk mencari siapa gerangan yang mengucapkan syair tersebut, tetapi mereka tidak bisa menemukan seorangpun. Padahal syair itu masih saja jelas terdengar, dan mereka bisa  mengikuti jejak suaranya yang berpindah-pindah. Asma binti Abu Bakar juga keluar dari rumahnya, dan ia melihat sosok laki-laki yang bergerak cepat di dataran rendah Makkah sambil melantunkan syair tersebut. Tidak berapa lama ia telah tampak di dataran tinggi Makkah, masih tetap melantunkan syair tersebut. Namun demikian hanya Asma yang melihatnya, sementara penduduk Makkah lainnya hanya menemukan jejak-jejaknya di pasir, dan juga jejak suaranya. Melihat gerakannya yang cepat, tentulah ia bukan manusia biasa, layaknya jin saja atau malaikat, Wallahu alam. Yang jelas, dari syair-syair tersebut, Asma dan orang-orang muslim yang masih tinggal di Makkah mengetahui bahwa Nabi SAW berada dalam perjalanan ke Madinah, dan berada di jarak yang aman dari pengejaran kaum Quraisy.
Beberapa hari berlalu, setelah suasana kota menjadi tenang kembali karena hijrahnya Nabi SAW dan Abu Bakar, Asma dan saudara-saudaranya menyusul hijrah ke Madinah beserta beberapa orang muslim yang masih tertinggal. Setelah beberapa hari tinggal di Madinah, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Kaum muslimin, baik dari kalangan Anshar ataupun Muhajirin menyambut gembira kelahiran Abdullah bin Zubair seakan memperoleh "durian runtuh", mereka mengelu-elukannya bahkan membawanya keliling kota Madinah melewati kampung-kampung orang  Yahudi. Apa sebabnya begitu "heboh" penyambutan kelahiran bayi Asma ini?
Orang-orang Yahudi di Madinah ternyata tidak senang dengan kehadiran Nabi SAW dan kaum Muhajirin di sana. Mereka mengatakan bahwa dukun-dukun Yahudi telah menyihir orang-orang muslim tersebut sehingga mereka semua akan mandul. Karena itulah ketika Asma melahirkan putranya, kaum muslimin menyambutnya dengan gegap-gempita dan membawanya melewati kampung-kampung Yahudi untuk membuktikan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah kebohongan semata-mata.
Asma sempat mengalami masa-masa sulit dalam kehidupannya, kemudian berbalik menjadi kelimpahan, tetapi semua itu tidak merubah kesalehannya dan ia tetap teguh memegang kebenaran. Allah memanjangkan usia Asma dan ia mengalami masa-masa fitnah, hingga saat  beralihnya kekuasaan ke tangan dinasti Bani Umayyah. Ketika ia  melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair, dan putranya tersebut dibawa kepada Rasulullah SAW, beliau melihat suatu gambaran jalan kehidupan putranya tersebut, beliau bersabda tentang Abdullah bin Zubair, "Dia laksana domba, yang dikelilingi oleh harimau yang berbulu domba….!!"
Setelah peristiwa Karbala dan Harrah di Madinah, disusul kemudian dengan kematian Yazid bin Muawiyah, masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat putra Asma, Abdullah bin Zubair, sebagai khalifah dengan kedudukannya di kota Makkah. Sementara di Syam, Bani Umayyah mengangkat Marwan bin Hakam, kemudian digantikan oleh  putranya, Abdul Malik bin Marwan. Khalifah Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berkekuatan 40.000 orang dengan komandannya yang bengis dan kejam, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi, untuk menyerang Makkah, khususnya untuk membunuh Abdullah bin Zubair.
Pasukan Syam ini melakukan pengepungan kota Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq (katapel besar dengan peluru batu-batuan dan terkadang berapi), sehingga sebagian Masjidil Haram dan Ka'bah mengalami kerusakan.  Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga karena berbagai tawaran kenikmatan duniawiah yang ditawarkan oleh Hajjaj.
Para pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit, dan ia mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya walau nyawa harus menjadi taruhannya. Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya.
Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya itu kepada ibunya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Mendengar penuturan putranya tersebut, Asma jadi teringat dengan "ramalan" Nabi SAW saat melahirkannya. Inilah masa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW untuk putranya, dan ternyata ia ditakdirkan untuk menyaksikan kejadian tragis tersebut.
Sebagai seorang ibu yang berhati tegar dan sangat teguh memegang kebenaran, Asma berkata, "Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau berada di jalan kebenaran, dan  engkau menyeru kepada kebenaran tersebut, teruskanlah langkahmu, sahabat-sahabatmu telah banyak yang gugur demi kebenaran tersebut. Janganlah engkau mau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah. Tetapi jika sebaliknya, engkau hanya menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruknya orang yang mencelakakan dirimu sendiri dan juga orang-orang yang berjihad bersamamu…"
Tentu saja Abdullah bin Zubair bukan tipe yang kedua, yang hanya mementingkan kepentingan duniawiah. Ketika ia menyatakan kekhawatirannya bahwa Hajjaj akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhnya setelah kematiannya, dengan tegas ibu yang perkasa ini berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu sama sekali tidak merasakan sakitnya dikuliti setelah ia disembelih. Teruskanlah langkahmu, dan mintalah petolongan kepada Allah…!!"
Abdullah bin Zubair menjadi lega, karena sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya. Sesaat kemudian Asma berkata lagi kepada putranya, "Aku memohon kepada Allah, semoga ketabahan hatiku ini menjadi kebaikan bagimu, baik engkau yang mendahului aku menghadap Allah, atau aku yang mendahuluimu…."
Sesaat kemudian Asma berdoa, "Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, dan puasanya sepanjang siang, serta baktinya kepada dua orang tuanya, Engkau menerimanya disertai dengan cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu  tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah, berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…."
Dengan ucapan dan doa yang dipanjatkan ibunya ini, langkah dan hati Ibnu Zubair terasa lepas, tidak ada  lagi ganjalan apapun pada dirinya untuk memperoleh kesyahidan yang didambakannya.  Mereka berpelukan, dan demi diketahuinya bahwa anaknya masih memakai baju besi, Asma memerintahkan untuk melepaskannya, sambil berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan…!!"
Ibnu Zubairpun melepaskan baju besi yang dipakaianya. Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan ibunya, ia bersama sisa pasukannya yang tidak  seberapa terjun menghadapi pasukan Hajjaj. Dan seperti telah diperkirakan, mereka menemui syahidnya di Tanah Haram Makkah, dan Hajjaj menyalib serta menyayat tubuhnya. Asma dengan tegar berdiri di tempat penyaliban putranya, sambil terus mendoakan ampunan bagi dirinya. Sementara itu Hajjaj mendekati Asma sambil berendah diri dan berkata, "Wahai Ibu, Amirul mukminin Abdul Malik bin Marwan memberiku wasiat untuk memperlakukan ibu dengan baik…maka, apakah ada keperluan ibu kepada kami?"
Dengan suara tegas berwibawa, Asma berkata, "Aku bukan ibumu, aku adalah ibu dari orang yang engkau salib dalam tiang karapan itu….Hanya aku ingin menyampaikan satu ucapan Rasulullah SAW kepadamu, beliau bersabda : ' Akan muncul dari Tsaqif, seorang pembohong dan seorang durjana/bengis…'  Tentang siapa pembohong itu, telah kita ketahui bersama..(yakni, Mukhtar bin  Abi Ubaid ats Tsaqafi yang mengaku sebagai nabi). Sedangkan sang durjana/bengis, sepengetahuanku  adalah  engkau orangnya….!!"
Hajjaj tidak berkutik dengan perkataan Asma ini dan ia berpaling pergi. Kemudian Asma memerintahkan untuk menurunkan jenazah anaknya dan menguburkan dengan layak. Tetapi sebagian riwayat lain menyebutkan, Hajjaj memenggal kepala Ibnu Zubair, dan mempersembahkannya kepada Abdul Malik bin Marwan di Syam.
Asma binti Abu Bakar wafat beberapa hari setelah kematian putranya tersebut, yakni tanggal 17 Jumadil Awal tahun 73 hijriah. Menurut sebagian riwayat, ia merupakan sahabiah (sahabat wanita) yang paling terakhir meninggal dunia