Kalau Abu Bakar adalah merupakan
lelaki pertama yang meyakini dan memeluk Islam, kemudian diikuti oleh
anak-anaknya, teman dan kerabat lainnya, maka putranya yang satu ini,
Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk yang "teguh" pendiriannya dalam
kekafiran. Sementara saudaranya, Asma dan Abdullah bin Abu Bakar berperan aktif
untuk membantu Nabi SAW dan ayahnya ketika akan berhijrah, Abdurrahman
"aktif" pula membantu kaum kafir Quraisy untuk menemukan dan
menghalangi hijrah mereka berdua, bahkan kalau perlu membunuhnya.
Dalam perang Badar, Abdurrahman
masih berdiri teguh di barisan kaum kafir Quraisy. Abu Bakar sempat menyapanya
dengan lembut dengan harapan akan meluluhkan hatinya, tetapi jawabannya tegas,
"Yang ada saat ini hanyalah senjata dan kuda, serta pedang tajam yang siap
membabat orang tua yang sudah renta (maksudnya, bapaknya sendiri)."
Abu Bakar bermaksud menghadapi
anaknya ini dan membunuhnya, tetapi ia dicegah oleh Rasulullah SAW.
Ketika berlangsung perang Uhud,
Abdurrahman memimpin pasukan panah kaum Quraisy. Sekali lagi Abu Bakar bermaksud memerangi putranya ini dan
membunuhnya, tetapi lagi-lagi Rasulullah SAW menghalanginya. Akan halnya
Abdurrahman sendiri, ia berkali-kali melihat posisi Abu Bakar dalam pertempuran
tersebut, tetapi ia berusaha menghindari bentrokan dengan ayahnya. Ketika telah
memeluk Islam dan ia menyampaikan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata,
"Demi Allah, sekiranya aku melihatmu saat itu, aku pasti akan
membunuhmu…!!"
Dalam setiap pertempuran di fihak
kaum kafir Quraisy, Abdurrahman selalu saja selamat, sampai kemudian hidayah
Allah datang kepadanya saat Fathul Makkah. Dan tampaknya Allah ingin
menyempurnakan kemuliaan keluarga Abu Bakar, ayahnya Abu Quhafah yang telah
renta dan buta juga memeluk Islam pada saat yang hampir bersamaan dengan
cucunya tersebut.
Sejak keislamannya, Abdurrahman
tidak ingin lagi tertinggal berjuang menegakkan panji-panji keimanan dan keislaman, baik ketika Nabi SAW masih hidup,
atau ketika beliau telah wafat. Kepahlawanannya tampak menonjol pada perang Yamamah pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kadzdzab.
Musailamah bin Tsumamah bin Kabir
bin Hubaib berasal dari Bani Hanifah
di Yamamah , ia
memeluk Islam bersama beberapa orang dari kabilahnya pada tahun 9 Hijriah. Bani
Hanifah memang merupakan kabilah yang memiliki pasukan yang kuat, jarang sekali
terkalahkan dalam berbagai pertempuran yang diterjuninya. Sejak keislamannya,
Musailamah yang pada dasarnya orang yang sombong, makin meningkat keangkuhannya.
Ia merasa mempunyai kedudukan yang sederajad dengan Nabi SAW, karena itu ia
menuntut kepada Nabi SAW untuk berbagi kekuasaan dan kenabian. Ia mengaku
memperoleh wahyu yang menjadikannya sebagai Nabi sebagai sekutu Nabi SAW,
sebagaimana Nabi Harun bersekutu dengan Nabi Musa. Salah satu tangan kanan
Musailamah dalam menjalankan
"pemerintahan" tandingan Islam adalah Mahkam bin Thufeil,
dialah "otak" yang mengatur
dan merencanakan strategi pemberontakan Musailamah.
Pada pertempuran Yamamah, awalnya
pasukan muslimin dapat dipukul mundur oleh pasukan Musailamah. Tetapi ketika
komandan pasukan diserahkan kepada Khalid bin Walid, mereka mulai menyusun
kekuatan kembali dengan strategi yang diterapkan oleh "si Pedang
Allah" ini. Abdurrahman bin Abu Bakar berhasil membunuh Mahkam bin Thufeil
sehingga pertahanan pasukan Musailamah menjadi goyah. Tak lama kemudian Wahsyi
bin Harb berhasil membunuh Musailamah dengan tombak andalannya. Tanpa dua orang
pucuk pimpinannya tersebut, pasukan Musailamah lari tunggang-langgang dan
akhirnya menyerah kalah. Berakhir sudah petualangan sang nabi palsu,
Musailamah, dan peran Abdurrahman cukup menentukan dalam peperangan ini.
Berlalulah waktu, Abdurrahman
selalu membaktikan sisa hidupnya untuk ibadah demi ibadah. Tiba masa-masa fitnah,
ia memilih tetap tinggal di Madinah seperti sebagian besar sahabat lainnya.
Namun, ketika Muawiyah memutuskan untuk mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah
sebagai khalifah penggantinya, ia mulai angkat bicara.
Muawiyah mengirimkan surat kepada para
gubernurnya, untuk memerintahkan ba'iat kepada putranya tersebut. Ketika Marwan
bin Hakam, gubernur Madinah yang masih kerabat dekat Muawiyah, membacakan surat perintah ba'iat ini,
tentunya dengan dikawal kekuatan bersenjata, suasana jadi hening. Jelas sekali
kalau secara umum ada penolakan, tetapi tidak ada yang berani memberikan tanggapan
(penolakan) secara langsung. Akhirnya Abdurrahman bin Abu Bakar angkat bicara,
"Demi Allah, rupanya bukan kebebasan memilih yang anda berikan kepada umat
Nabi Muhammad SAW, tetapi anda hendak menjadikannya sebagai kerajaan seperti di
Romawi, kalau seorang kaisar meninggal, maka tampillah kaisar lain dari
keturunannya….!!"
Abdurrahman menentang dengan keras
rencana ba'iat tersebut, dengan keras ia menyatakan bahwa ba'iat seperti itu
batal, berbagai argumen disampaikannya dan ternyata Marwan tidak berkutik. Ia
melaporkan perkara ini kepada Muawiyah di Syam.
Beberapa waktu kemudian, datanglah
utusan Muawiyah menemui Abdurrahman, ia menawarkan uang sebanyak seratus ribu
dirham, tetapi Abdurrahman harus menarik ucapannya tersebut dan bersedia
memba'iat Yazid sebagai khalifah. Abdurrahman berkata tegas kepada utusan
Muawiyah, "Kembalikan uang itu kepadanya (Muawiyah), dan katakan bahwa
Abdurrahman tidak akan menjual agamanya dengan dunia sebanyak apapun…!!"
Melihat negosiasinya gagal,
Muawiyah bermaksud mendatangi langsung Abdurrahman ke Madinah. Tetapi mendengar rencana Muawiyah ini, Abdurrahman
segera pergi ke Makkah untuk menghindari pertemuan yang dianggapnya tidak akan
ada manfaatnya sama sekali. Ia sangat mengenal watak dan karakter Muawiyah yang
ambisius dan ingin mencapai tujuannya dengan cara apapun. Ketika sampai di luar
kota Makkah, ia tinggal sebentar, dan maut
menjemputnya di sana .
Orang-orang membawa jenazah Abdurrahman ke dataran tinggi di Makkah dan
memakamnya di sana .
Sebagian riwayat menyebutkan
terjadinya pertemuan antara Abdurrahman dan Muawiyah sebelum ia pergi ke
Makkah, atau mungkin pertemuan itu terjadi sebelum Muawiyah melakukan upaya
suap seratus ribu dirham. Dan dalam
pertemuan tersebut terjadi perdebatan. Atas penolakan Abdurrahman untuk
dipilihnya Yazid sebagai khalifah penggantinya, Muawiyah berkata,
"Bukankah sama saja dengan ayahmu, dimana Abu Bakar telah memilih Umar
sebagai khalifah penggantinya…!!"
Abdurrahman berkata tegas,
"Tetapi ayahku tidak mengangkat siapapun dari anggota keluarganya, dan
Umar adalah manusia terbaik pada saat itu ..!!"
Muawiyah tidak berkutik dengan hujjah ini dan ia tidak
bisa berkata apapun lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar