Kamis, 18 Desember 2014

Pemilik Pohon Kurma di Surga

            Seorang pemilik kebun kurma, ada salah satu pohon kurmanya yang mayangnya (bunga yang akan menghasilkan buah) menjulur ke rumah seorang keluarga yang sangat fakir. Pemilik kebun tersebut seorang muslim tetapi ia bersifat bakhil/pelit. Jika ia ingin mengambil buah kurma dari pohonnya tersebut, ia memetiknya dari rumah tetangganya yang fakir itu, tetapi sama sekali ia tidak memberi sedikitpun kepadanya. Jika ada kurma yang jatuh dan diambil oleh anak-anak si fakir, ia segera mendatangi dan merampasnya. Bahkan kalau kurma itu telah ada di mulut anak-anak itu, ia akan memaksa untuk mengeluarkannya.
            Karena perilaku pemilik kebun yang seperti itu, si fakir mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW, dan beliau berjanji akan menyelesaikannya. Suatu ketika beliau bertemu dengan pemilik kebun tersebut dan bersabda, “Berikanlah kepadaku pohon kurmamu yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggamu yang fakir, dan sebagai gantinya bagimu adalah sebuah pohon kurma di surga!!”
            Karena sifatnya yang ‘hubbud dunya’, pemilik kebun itu berkata, “Hanya segitukah penawaran engkau?”
            “Benar!!” Kata Nabi SAW.
            “Saya mempunyai banyak sekali pohon kurma, dan pohon yang engkau minta itu, yang paling baik buahnya!” Katanya, kemudian ia berlalu pergi.
            Nabi SAW hanya memandang kepergiannya dengan sedih tanpa berucap apa-apa. Tetapi ada sahabat lain yang mendengar pembicaraan tersebut dan ia sangat tertarik dengan penawaran Nabi SAW. Lelaki itu mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah penawaran engkau itu berlaku juga bagiku, jika pohon itu milikku?”
            Beliau bersabda, “Ya…!!”
            Lelaki itu pamit kepada Rasulullah SAW dan segera pergi menemui pemilik kebun tersebut. Setelah bertemu ia segera menyampaikan maksudnya untuk membeli pohon kurma miliknya, yang mayangnya menjulur ke rumah tetangganya yang fakir itu. Tetapi jiwanya yang materialistis dan oppourtunis, membuat pemilik pohon kurma itu berkata, “Apakah engkau tahu, bahwa Nabi SAW telah menjanjikan sebuah pohon di surga sebagai ganti pohon kurmaku tersebut? Sungguh aku telah mencatat tawarannya, tetapi pohonku itu buahnya sangat mengagumkan. Aku memiliki banyak sekali pohon kurma, tetapi tidak ada yang buahnya selebat itu!!”
            Lelaki dermawan itu memahami “bahasa” negosiasi yang disampaikannya. Ia berkata, “Apakah engkau mau menjualnya??”
            “Tidak, kecuali bila ada yang mau memenuhi keinginanku. Tetapi sepertinya tidak ada yang sanggup memenuhinya!!” Katanya, sangat kentara jiwa oppourtunis dalam ucapannya tersebut.
            “Berapa yang engkau inginkan??”
            “Aku inginkan empatpuluh pohon kurma sebagai penggantinya!!”
            Lelaki dermawan itu terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Tetapi tawaran Rasulullah SAW tersebut tampaknya lebih menggiurkan bagi dirinya. Karena itu ia berkata, “Sungguh permintaanmu itu tidak masuk akal, tetapi baiklah, aku akan memenuhi pertukaran tersebut. Dan aku minta beberapa orang saksi jika engkau benar-benar ingin menukarnya!!”
            Pemilik kebun kurma itu tampak sangat gembira dan mengiyakannya. Si dermawan memanggil beberapa orang temannya untuk menjadi saksi tukar-menukar tersebut, setelah itu ia dengan gembira ia segera pergi menemui Rasulullah SAW. Sungguh suatu pertukaran yang sangat tidak seimbang, tetapi sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Hanya saja yang satu hanya memperoleh keuntungan duniawiah, tetapi satunya lagi sudah pasti memperoleh keuntungan akhirat.
            Sampai di hadapan Rasulullah SAW, lelaki dermawan itu berkata, “Wahai Rasulullah, pohon kurma tersebut telah menjadi milik saya. Dan sekarang saya serahkan kepada engkau!!”
            Nabi SAW sangat gembira dengan pemberiannya itu dan beliau mendoakannya dengan kebaikan. Setelah itu bersama beberapa sahabat, beliau mendatangi lelaki fakir itu di rumahnya, dan bersabda, “Ambillah pohon kurma ini untukmu dan keluargamu!!”      

Aktsam bin Shaifi RA

            Aktsam bin Shaifi adalah salah seorang pemuka dari kabilahnya yang tinggal cukup jauh dari kota Madinah. Ketika ia mendengar kabar tentang Kenabian Nabi Muhammad SAW dan beliau telah berhijrah ke Madinah, ia bermaksud mengunjungi beliau tetapi dihalangi oleh para pemuka lainnya.
            Aktsam memang telah mendengar kabar selentingan tentang Islam yang didakwahkan Nabi SAW, dan hatinya cenderung untuk mengikutinya, hanya saja ia ingin memperoleh informasi lebih jelas karena hal itu menyangkut keyakinan hatinya (aqidahnya). Karena ia dihalangi untuk bertemu beliau, dan mereka mengawasinya dengan ketat, diam-diam ia mengirim dua orang yang dipercayainya kepada Nabi SAW untuk memperoleh informasi tentang beliau dan Risalah Islam yang beliau dakwahkan.
            Ketika kedua utusan itu telah sampai di hadapan Nabi SAW, mereka berkata, “Kami adalah utusan dari Aktsam bin Shaifi, dia ingin tahu tentang siapa tuan, apa kedudukan tuan, dan apa yang tuan bawa (dakwahkan)?”
            Nabi SAW bersabda, “Saya adalah Muhammad, putra dari Abdullah bin Abdul Muthalib, hamba Allah dan Rasul-Nya….”
            Kemudian beliau menjelaskan tentang risalah Islam yang beliau dakwahkan secara ringkas, dan beliau mengakhirinya dengan membacakan firman Allah, “Innallaaha ya’muru bin adli wal ikhsaan, wa iitaa-idzil qurbaa wa yanhaa ‘anil fakhsyaa-i wal munkar  wal baghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruun.”
            Firman Allah tersebut adalah QS An-Nahl ayat 90, yang artinya : Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat kebajikan, serta memberi [shadaqah/pemberian] kepada karib kerabat, dan mencegah berbuat keji dan munkar serta kezaliman, Dia [Allah] mengajarkan kepadamu, semoga engkau memperoleh peringatan.
            Kedua utusan itu kembali kepada Aktsam, dan setelah memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang Nabi SAW dan Islam, hatinya mantap untuk memeluk risalah beliau tersebut. Dengan tegar ia menghadapi kaumnya dengan aqidah barunya, tidak takut akan permusuhan dan halangan dari mereka seperti sebelumnya. Ia berkata, “Wahai kaumku, ia (Nabi SAW) menyuruh untuk berbudi tinggi dan melarang untuk berakhlaq rendah, jadilah kalian pelopor untuk berbudi luhur dan janganlah hanya menjadi pengekor!!”
            Walaupun tidak banyak yang mengikutinya, Aktsam tetap teguh dengan pendiriannya, bahkan ia memutuskan untuk berhijrah ke Madinah sebagaimana kebanyakan kaum muslimin yang berada di Makkah. Tetapi dalam perjalanan tersebut ia sakit dan akhirnya meninggal sebelum sempat tiba di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah SAW.
            Beberapa sahabat yang mendengar peristiwa yang dialami Aktsam sempat sedih dengan nasibnya, tetapi kemudian turun firman Allah QS An Nisa ayat 100, yang menyatakan bahwa orang-orang seperti Aktsam tersebut tetap memperoleh pahala hijrah secara sempurna, walau belum sempat sampai di Madinah dan bertemu langsung dengan Nabi SAW untuk mengukuhkan ba’iat keislamannya.     

Rafi bin Umair at Tamimi RA

            Rafi bin Umair at Tamimi adalah seorang sahabat yang berasal dari kabilah Bani Tamim. Kisah keislamannya termasuk unik, karena berawal dari sebuah mimpi ketika ia tertidur di padang pasir yang luas.
            Suatu ketika Rafi sedang melakukan perjalanan menembus padang pasir yang luas. Jika siang harinya sangat panas membakar, ia melakukan perjalanan pada malam hari, dan ia beristirahat sambil berteduh di bawah pepohonan atau bayang-bayang batuan besar. Pada suatu malam, ketika ia tiba di suatu lembah yang bernama Ramal ‘Alij, ia merasakan kantuk yang tidak tertahankan, karena itu ia turun dari untanya dan bermaksud tidur sebentar sampai kantuknya hilang. Seperti kebiasaan para musafir jahiliah, sebelum tidur ia berdoa, “Aku berlindung kepada penunggu/penguasa lembah ini dari gangguan jin!!”
            Belum lama tertidur, ia bermimpi melihat seorang laki-laki membawa tombak yang akan ditusukkan ke tulang rusuk untanya. Tentu saja ia kaget dan tiba-tiba terbangun, ia melihat ke kanan-kirinya, dan ia tidak melihat apa-apa, untanya-pun keadaannya baik-baik saja. Karena kantuknya belum hilang, ia meneruskan tidurnya.
Sesaat tertidur, sekali lagi ia bermimpi yang sama seperti sebelumnya, dan ia tersentak bangun. Kali ini ia melihat untanya berontak, dan seorang lelaki yang membawa tombak seperti yang terlihat pada mimpinya sedang berusaha menyerang untanya. Tetapi seorang lelaki tua memeganginya dan berusaha menghalangi niatnya. Keduanya tampak bertengkar dan berdebat keras, sampai tiba-tiba datang tiga ekor banteng (sapi liar) menghampiri mereka. Orang tua itu berkata, “Ambillah salah satu banteng ini sebagai pengganti dari unta milik manusia yang ingin engkau ambil, sesungguhnya ia dalam perlindunganku!!”
            Lelaki yang membawa tombak itu memilih salah satu dari tiga banteng tersebut dan berlalu pergi. Si orang tua berpaling kepada Rafi dan berkata, “Hai manusia, jika engkau beristirahat di suatu lembah, dan engkau merasa ngeri dengan seramnya lembah itu, maka katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhannya Muhammad dari seramnya lembah ini!! Janganlah engkau meminta perlindungan kepada jin atau siapapun dari penghuni lembah itu, sesungguhnya hal itu adalah perkara yang bathil!!”
            Rafi berkata, “Siapakah Muhammad itu!!”
            Orang tua berkata, “Dia adalah seorang nabi berbangsa Arab, dia bukan dari timur dan bukan pula dari barat, dan diutus sebagai rasul pada hari senin!!”
            Maksudnya dari timur, adalah Persia dan dari barat adalah Romawi. Dua kerajaan besar itulah yang saat itu menjangkau ke wilayah Arab. Di bagian timur dan selatan, yakni Yaman dan sekitarnya termasuk kekuasaan Kisra Persia, dan di wilayah barat dan utara seperti Syam, Palestina, Mesir dan sekitarnya termasuk kekuasaan Kaisar Romawi.
            “Dimanakah tempat tinggalnya?” Tanya Rafi lagi.
            “Di Kota Yatsrib, yang banyak pohon kurmanya!!” Kata lelaki tua itu.
            Sebelum sempat berkata dan menanyakan sesuatu lagi, lelaki tua itu hilang dari pandangannya. Rafi membatalkan tujuan perjalanannya, dan ia memacu tunggangannya menuju Yatsrib yang saat itu namanya telah berubah menjadi Madinah.
Setibanya di sana, ia menanyakan tentang Nabi SAW dan mereka menunjukkan tempatnya di masjid. Ia segera menuju Masjid Nabi, dan melihat kedatangannya, Nabi SAW langsung menyambutnya dengan gembira. Sebelum sempat ia menceritakan pengalamannya, beliau yang terlebih dahulu menceritakan apa yang dialaminya, dan menyatakan kalau dua orang yang dilihatnya itu adalah dari bangsa jin. Lelaki tua yang melindunginya itu adalah jin yang telah memeluk Islam.
Nabi SAW menceritakan tentang risalah Islam, dan menyeru Rafi untuk mengikutinya, dan tanpa banyak pertimbangan lagi ia memenuhi ajakan beliau tersebut memeluk Islam. Sungguh keislamannya merupakan berkah dari dakwah tidak langsung dari jin penghuni lembah Ramal ‘Alij, di tengah belantara padang pasir yang luas.

Quthbah bin Amir RA

Quthbah bin Amir bin Hadidah adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Salamah, termasuk suku Khazraj. Bersama lima orang teman lainnya yang sama-sama masih muda, yang juga berasal suku Khazraj, mereka ini bisa dikatakan pelopor atau pionir tersebarnya Islam di Kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, dan menjadi pusat pemerintahan dan penyebaran Islam ke seluruh dunia. Mereka telah memeluk Islam ketika belum dilakukannya Ba’iatul Aqabah pertama, bahkan mereka inilah yang menjadi cikal bakal ba’iat tersebut.
Pada tahun ke sebelas dari nubuwwah (Kenabian Nabi Muhammad SAW), Quthbah bersama lima orang temannya melakukan ibadah haji dan umrah (jahiliah) ke Makkah. Menjelang tengah malam, ketika sedang beristirahat dan mengobrol di Aqabah Mina, Nabi SAW yang ditemani Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka, beliau berkata, “Siapakah kalian ini?”
Quthbah dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang dari Khazraj di Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi?” Kata Nabi SAW.
“Benar!!” Kata mereka.
Nabi SAW bersabda, “Bolehkah aku duduk bersama kalian, dan ikut berbincang-bindang dengan kalian?”
“Baiklah!!” Kata mereka berenam.
Nabi SAW terlibat pembicaraan dengan mereka, dan pada suatu kesempatan, beliau menceritakan tentang risalah Islam, dan tugas kenabian yang beliau laksanakan. Beliau juga membacakan beberapa ayat-ayat al Qur’an, yang tampaknya sangat menarik perhatian mereka.
Mereka ini memang pemuda-pemuda pilihan yang cerdas, sehingga dengan mudah mereka bisa menangkap adanya kebaikan dan kebenaran dari apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Apalagi selama ini, kaum Yahudi yang menjadi sekutu mereka, selalu menceritakan dan membangga-banggakan seorang nabi akhir zaman yang akan mereka ikuti, dan membawa mereka menjadi pemimpin dunia. Kaum Yahudi tersebut juga menceritakan ciri-ciri yang dimiliki oleh nabi yang mereka tunggu-tunggu itu, dan semua itu amat sesuai dan tepat menyata pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Nabi SAW selesai menceritakan tentang risalah Islam tersebut, mereka saling memandang dengan mata berbinar, dan berkata, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia (Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi itu. Janganlah mereka mendahului kita memenuhi seruannya!!”
Dan ternyata enam pemuda tersebut mempunyai pemikiran yang sama, dan mereka segera memeluk Islam mengikuti seruan beliau itu. Sepulangnya ke Yatsrib, Quthbah dan teman-temannya mulai menceritakan dan mendakwahkan tentang Islam kepada kaumnya. Berita itu terus menyebar, termasuk kepada suku Aus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan suku Khazraj, sehingga tidak ada satu rumahpun di Yatsrib, kecuali telah menyebut-nyebut nama Rasulullah SAW.
Pada musim haji tahun berikutnya, tahun ke duabelas dari nubuwwah, mereka bermaksud menemui Nabi SAW lagi sambil melaksanakan haji dan umrah, tetapi salah seorang dari mereka, yakni Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, tidak bisa mengikuti karena sesuatu hal. Namun demikian ada tujuh orang lainnya dari para pemuka kaum/kabilahnya yang ingin bertemu Rasulullah SAW, termasuk dua orang dari suku Aus. Quthbah bersama sebelas orang inilah yang mengikatkan diri dalam janji setia, yang dikenal dengan nama Ba’iatul Aqabah yang pertama. Ketika pulang ke Yatsrib, Nabi SAW mengirimkan guru dan muballigh pertama untuk mereka, Mush’ab bin Umair.
Sudah menjadi kebiasaan dan peraturan tidak tertulis, ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah (sejak masa jahiliah), orang-orang Quraisy yang digelari dengan al Hams (kaum Ksatria) selalu keluar dan masuk rumahnya lewat pintu depan atau pintu utama, begitu juga ketika mereka memasuki dan keluar dari Baitullah di Makkah. Sedangkan orang Arab lainnya selain kaum Quraisy, harus lewat pintu belakang atau pintu lainnya, yang bukan pintu depan atau pintu utama.
Sejak keislamannya, Quthbah bin Amir selalu berusaha mencontoh/meneladani akhlak dan perilaku Nabi SAW, walaupun tidak semirip dan mendetail seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar. Dalam suatu musim haji, ia keluar rumahnya dari pintu depan, begitu juga ketika memasuki Baitullah. Melihat tindakannya itu, orang-orang menegur apa yang dilakukannya. Dengan tegas Quthbah berkata, “Saya hanya mengikuti dan mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah…!!”
Tampaknya orang-orang tersebut tidak puas dengan penjelasan Quthbah, mereka mengadukan pelanggarannya itu kepada Nabi SAW, dan beliau menegur sikapnya tersebut.  Memang, untuk suatu aturan atau tatakrama (adab) yang telah berlaku sejak masa jahiliah, yang tidak mengandung unsur kemusyrikan dan tidak jelas-jelas dilarang atau dirubah oleh syariat Islam, biasanya Nabi SAW masih menghargai dan menjalankan aturan tersebut.
Mendapat teguran Nabi SAW itu, Quthbah berkata, “Saya hanya meneladani apa yang tuan lakukan, ya Rasulullah!!”
“Tetapi aku adalah golongan al-Hams (Ksatria)!!” Kata Nabi SAW lagi.
“Ya Rasulullah, saya adalah penganut agama tuan juga!!” Quthbah masih mencoba bertahan dengan pendapatnya.
Para sahabat khawatir dengan sikap Quthbah yang berusaha “membantah” Rasulullah SAW, apalagi setelah perkataannya itu tampak beliau terdiam beberapa lamanya. Tetapi kemudian mereka melihat Nabi SAW tersenyum, dan berkata, “Jibril telah turun membawa wahyu yang membenarkan sikap Quthbah…!!”
            Nabi SAW menjelaskan tentang turunnya wahyu Allah, QS Al Baqarah ayat 189, bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah itu tidaklah penting memasuki rumah dari pintu depannya atau dari belakangnya, karena semua itu bukanlah kebaikan sebagaimana yang diyakini pada masa haji jahiliah. Tetapi yang terpenting adalah ketakwaan, dan itulah kebaikan yang sebenarnya.  

Ma’iz bin Malik RA

Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik suatu kali tergoda seorang wanita dan melakukan perbuatan terlarang dengan wanita tersebut, padahal saat itu ia telah menikah. Sebenarnya ketika peristiwa maksiat itu terjadi, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua, dan Allah SWT tentunya. Segera setelah peristiwa itu terjadi, Ma’iz sangat menyesalinya, perasaan dosa terasa selalu meliputinya.
            Suatu ketika ia tidak mampu lagi menguasai kerisauan hatinya, maka ia datang kepada Umar bin Khaththab dan berkata, “Orang yang jauh dari kebaikan ini (yakni dirinya sendiri) telah melakukan perbuatan nista (zina)!!”
            Kemudian Ma’iz menceritakan peristiwa yang dialaminya dan kerisauan hatinya. Di luar dugaan, Umar yang terkenal tegas ini berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan tutupilah itu, karena sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah, sesungguhnya Allah selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya bisa mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau bertaubat)!!”
            Walaupun nasehat Umat itu begitu jelasnya, tetapi belum bisa menyembuhkan kerisauan hatinya. Karena itu ia datang kepada Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan hatinya, tetapi ia memperoleh jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban Umar.
            Tentu saja sahabat sekaliber Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sangat tahu hukuman bagi pezina yang telah pernah menikah adalah rajam. Tetapi tentunya jawaban yang diberikan mereka berdua bukanlah bermaksud “menolak” hukum tersebut. Mereka berdua adalah didikan Rasulullah SAW yang tidak hanya mencakup keislaman (syara’ atau masalah hukum) saja, tetapi jauh menjangkau kepada masalah iman dan akhlak (ihsan). Mereka berdua bersama Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah yang terdekat kemuliaan akhlaknya dengan akhlak Nabi SAW. Mereka berdua memberi nasehat seperti itu karena mereka sangat mengenal Allah, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, bahwa Allah sangat gembira menerima (menemukan)  kembali hamba-Nya yang bertobat, melebihi kegembiraan manusia yang sedang sangat gembiranya (Lihat Kisah dalam “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Sungguh Allah Lebih Gembira”).  
            Ma’iz menemui seorang sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan yang dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir logis. Jika ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh solusi, mengapa tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW. Huzal menyarankannya menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
            Ma’iz segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama beberapa sahabat lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina!!”
            Nabi SAW memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa. Ma’iz kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi sekali lagi beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata apapun. Ketika peristiwa itu telah berulang sampai ke empat kalinya, Nabi SAW bersabda kepada para sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila atau sinting? Atau kalian meragukan kesehatan akalnya?”
            “Tidak, ya Rasulullah!!” Kata para sahabat.
            Kemudian Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah menyetubuhinya?”
            Nabi SAW masih menegaskan lagi penjelasannya tentang persetubuhan itu dengan mendetail, bahkan beliau membuat perumpamaan dengan pensil celak yang dimasukkan ke botol celak, seperti timba yang dimasukkan ke dalam sumur.  dan Ma’iz tetap mengakui melakukannya. Beliau masih saja berkata menegaskan, “Tahukah kamu apa zina itu?”
            Ma’iz menjawab, “Tahu, ya Rasulullah, aku menggaulinya seperti halnya kalau aku menggauli istriku!!”
            Setelah penjelasan mendetail beliau sebelumnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu. Beliau memang telah mendapat laporan tentang Ma’iz bin Malik ini dari Abu Bakar dan Umar, dan beliau setuju dengan nasehat yang diberikan mereka berdua. Tampaknya dengan pertanyaan tersebut beliau ingin “mengulur waktu” dan menemukan alasan bagi Ma’iz untuk kembali kepada saran yang diberikan oleh Abu Bakar dan Umar. Tentu saja semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada umatnya, khususnya kepada Ma’iz yang sangat  beliau kenal kesalehannya ini. Hanya saja pada saat itu ia sedang tergelincir.
            Sebaliknya pada Ma’iz sendiri, ketergelincirannya yang hanya sekali itu membuat dunianya gelap. Bukannya putus asa dari rahmat Allah, tetapi ia ingin kepastian bahwa dosanya tersebut benar-benar telah diampuni oleh Allah.
            Walau telah cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi beliau masih bersabda lagi kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau inginkan dengan mengaku seperti ini?”
            Ma’iz berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
            Maka beliau bersabda, “Rajam adalah kaffarah (penghapus dosa/kesalahan) dari apa yang telah engkau lakukan itu…!!”
            Beliau kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan bersabda, “Bawalah ia ke lapangan mushalla (lapangan untuk shalat id) dan rajamlah di sana…!!”
            Tampak sekali wajah beliau diliputi kesedihan, dan beliau berpaling agar tidak melihat proses rajam terhadap Ma’iz tersebut. Mereka membawa Ma’iz ke tempat yang ditentukan dan merajamnya di sana. Ketika merasakan kesakitan, Ma’iz sempat melarikan diri, tetapi mereka terus menyusulinya dengan tetap merajam hingga akhirnya tewas.
Jenazah Ma’iz dibawa kepada Rasulullah SAW di dalam masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan berkhotbah, “Wahai manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini, dan barang siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang jenazah Ma’iz, beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian dari aku, selama Allah masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam kejahatan hendaklah ia menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Salah seorang sahabat menceritakan bahwa Ma’iz sempat melarikan diri karena kesakitan, tetapi mereka mengejarnya dan terus merajamnya hingga tewas. Beliau tampak agak marah dan penuh sesal, kemudian bersabda, “Mengapa tidak kalian biarkan ia lari??”
Nabi SAW memandang kepada Huzal yang menyarankan Ma’iz membuat pengakuan kepada beliau, dan bersabda, “Seandainya engkau menutupi (yakni dosa Ma’iz dan menyarankan bertaubat seperti Umar dan Abu Bakar), tentu itu lebih baik bagimu!! “
Tampak dua orang sahabat saling berbicara cukup pelan, “Lihatlah orang ini, Allah telah menutupi keburukannya, tetapi jiwanya tidak puas sehingga ia dirajam seperti anjing…!!”
Walau ucapannya cukup pelan, tetapi Nabi SAW mendengar (memahami) apa yang mereka katakan. Beliau turun dari mimbar, dan berjalan keluar diikuti para sahabat lainnya. Ketika beliau menemukan bangkai keledai, beliau bersabda, “Wahai Fulan dan Fulan!!”
“Kami disini, ya Rasulullah!!” Kata dua orang sahabat yang tadi ‘membicarakan’ (mengghibah) Ma’iz.
“Kemarilah, dan makanlah bangkai keledai ini!!” Kata Beliau.
Dua orang sahabat itu mendekat kepada Nabi SAW sambil gemetar ketakutan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni kesalahan engkau, ya Rasulullah. Siapakah orang yang mau makan bangkai seperti ini?”
Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya menyinggung kehormatan saudara kalian tadi (yakni mengghibah Ma’iz yang telah wafat), jauh lebih buruk daripada memakan bangkai seperti ini. Demi Allah, sungguh ia sedang berenang di sungai-sungai di surga!!”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sungguh ia sedang bersenang-senang di surga!!”  

Buraidah bin Hushaib al Aslamy RA

            Buraidah bin Hushaib al Aslamy dan kaumnya tinggal di suatu tempat bernama al Ghamim, suatu lembah berjarak satu marhalah dari Makkah. Keislamannya justru berawal dari keinginannya untuk menangkap Nabi SAW dan Abu Bakar yang saat itu hijrah ke Madinah. Kaum kafir Quraisy memang menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi yang bisa menemukan atau menunjukkan keberadaan mereka. Seperti halnya Suraqah bin Malik, Buraidah sangat berharap bisa memperoleh hadiah yang dijanjikan oleh kaum Quraisy tersebut. 
Bersama tujuhpuluh orang dari kaumnya, ia berusaha menemukan dan menelusuri jejak perjalanan rombongan hijrah Nabi SAW, dan ia menemukan mereka sedang beristirahat tidak jauh dari tempat tinggal kabilahnya. Tetapi, seperti halnya yang terjadi Suraqah bin Malik, begitu dekat dan berhadapan dengan Nabi SAW, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan rencananya.
Ketika mereka telah tiba, Nabi SAW mempersilahkan mereka duduk dan mengajaknya berbincang-bincang, beliau juga menjelaskan tentang risalah Islam yang sedang beliau dakwahkan. Seketika itu hidayah Allah membuka hati Buraidah, ia bangkit dan melepas serbannya, kemudian mengikatnya di ujung tombaknya layaknya sebuah panji pertempuran, sambil berseru keras kepada orang-orang yang mengikutinya, “Pemimpin yang membawa keamanan dan perdamaian (yakni Rasulullah SAW) telah datang untuk memenuhi dunia dengan keadilan.”
Kemudian ia mengucap persaksian (syahadat) untuk memeluk Islam, disusul dengan tujuhpuluh orang pengikutnya itu. Nabi SAW sangat gembira menyambut keislaman mereka. Buraidah mengajak Nabi SAW dan rombongan hijrahnya untuk singgah di perkampungan mereka. Dan hampir semua dari 82 keluarga yang mendiami lembah itu memeluk Islam sebelum waktu isya, dan Nabi SAW berjamaah shalat isya bersama mereka.        
            Pada tahun 6 Hijriah, Nabi SAW memperoleh informasi bahwa Kabilah Bani Musthaliq menghimpun kekuatan untuk memerangi kaum muslimin, beberapa kabilah Arab lainnya juga bergabung dengan mereka. Karena itu beliau memerintahkan Buraidah bin Hushaib melakukan kegiatan mata-mata untuk memastikan informasi tersebut. ia segera berangkat melaksanakan tugas itu.
Tetapi tidak seperti umumnya mata-mata yang melakukan kegiatannya dengan rahasia dan diam-diam, Buraidah mendatangi Bani Musthaliq dan langsung menemui pemimpinnya, Harits bin Abu Dhirar yang memang telah cukup dikenalnya. Entah strategi dan siasat macam apa yang dilakukannya, sehingga ia memperoleh informasi yang lengkap dan akurat tanpa dicurigai sebagai mata-mata, langsung dari sumber pertama dan utamanya. Bahkan ia mengetahui mata-mata yang dikirimkan Harits bin Abu Dhirar untuk mengamati pergerakan Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
Atas informasi dari Buraidah tersebut, Nabi SAW melakukan penangkapan terhadap mata-mata yang dikirim Bani Musthaliq, dan segera mempersiapkan pasukan untuk diberangkatkan ke sana. Harist bin Abu Dhirar sangat terkejut dengan serangan pasukan muslim yang sangat mendadak itu. Mereka masih menunggu kabar yang dibawa oleh mata-mata yang dikirimkannya, tetapi ternyata telah mendapat serangan dengan hebatnya. Beberapa kabilah Arab lainnya yang bergabung dengan Bani Musthaliq itu segera lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Setelah melakukan serangan balasan yang tidak begitu berarti, Harist bin Abu Dhirar terbunuh, dan Bani Musthaliq menyerah kalah.
Dalam riwayat lain disebutkan, pasukan muslim melakukan pengepungan beberapa hari lamanya, dan akhirnya mereka menyerah kalah sebelum terjadinya kontak senjata secara langsung. Putri Harist bin Abu Dhirar, Juwairiyah binti Harist menjadi bagian ghanimah dan tawanan Tsabit bin Qais. Ia kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW dengan mahar, pembayaran kebebasannya dari tawanan Tsabit.
Pasukan terakhir yang dibentuk dan dikirim Rasulullah SAW adalah pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid untuk menyerang pasukan Romawi di daerah Palestina. Beberapa sahabat sempat keberatan atas penunjukkan Usamah sebagai panglima pasukan, karena saat itu usianya masih sangat muda, yakni 19 atau 20 tahun, sementara cukup banyak sahabat senior yang lebih berpengalaman ikut dalam pasukan tersebut, termasuk Umar bin Khaththab. Nabi SAW agak marah dengan “penolakan” Usamah tersebut. Dengan tegas beliau memerintahkan Buraidah bin Hushaib membawa panji peperangan ke rumah Usamah, sebagai penegasan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah diterimanya, Usamah sebagai komandan pasukan, menetapkan Buraidah sebagai pemegang panji tersebut. Tetapi pengiriman pasukan tersebut tertunda karena wafatnya Rasulullah SAW, dan baru diteruskan setelah Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah, dengan struktur dan formasi pasukan persis yang ditetapkan oleh Nabi SAW.

Wabishah bin Ma'bad RA

Wabishah bin Ma’bad adalah seorang sahabat yang sangat “ambisius” untuk melakukan berbagai amal kebaikan. Semua amalan wajib telah dilakukannya, begitu juga amalan sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW yang diketahuinya, dan yang dilakukan beberapa sahabat utama lainnya. Tetapi ia merasa masih mempunyai banyak waktu luang, dan tidak tahu lagi kebaikan apa yang harus dilakukannya.
Suatu ketika datang menghadap kepada Nabi SAW untuk menanyakan hal itu. Tetapi sebelum sempat menyampaikan maksudnya, beliau bersabda, "Kamu ingin menanyakan tentang kebaikan?"
"Benar, ya Rasulullah," Kata Wabishah.
"Tanyalah kepada hatimu sendiri," Kata Nabi SAW.     
            Sesaat kemudian beliau bersabda lagi menjelaskan, "Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa menjadi tenang dan juga membuat hati menjadi tenang. Sedangkan dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang membuat kacau terhadap jiwa dan menimbulkan keragu-raguan di dalam hati, walaupun orang-orang memberi nasehat kepadamu…!!"

Minggu, 09 November 2014

Abu Rafi RA, Maula Rasulullah SAW

           Pada masa jahiliahnya, Abu Rafi adalah budak milik Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW. Ketika Islam mulai didakwahkan di Makkah, Abbas dan istrinya, Ummu Fadhl sebenarnya telah memeluk Islam, tetapi mereka menyembunyikan keislamannya. Abu Rafi ikut dengan kedua tuannya itu memeluk Islam, dan menyembunyikan keislamannya juga. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, mereka tetap tinggal di Makkah.
            Usai Perang Badar, ketika Ummu Fadhl dan Abu Rafi duduk-duduk di pinggiran Ka’bah, sedang Abbas mengikuti perang Badar dan tertawan oleh pasukan muslim, datanglah Abu Lahab yang memang tetap tinggal di Makkah karena sakit. Ia menyeret kakinya yang tampak lemah, kemudian duduk di pinggiran Ka’bah dan menyandarkan punggungnya di punggung Abu Rafi yang sedang bekerja membuat anak panah.
            Tidak berapa lama, datang beberapa orang pasukan Quraisy yang mengalami kekalahan di Perang Badar, salah satunya adalah Abu Sufyan bin Harits, dan Abu Lahab memanggilnya untuk menceritakan keadaan. Ibnu Harits duduk di sebelah Abu Lahab dan berkata, “Saat kami berhadapan dengan sekelompok orang, seolah-olah kami menyerahkan diri kepadanya. Mereka menyerang dan menawan kami sekehendak hatinya tanpa kami bisa melawannya. Tetapi, demi Allah, aku tidak bisa mencela siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih yang menunggangi kuda-kuda yang perkasa, yang berseliweran antara langit dan bumi, dan kuda-kuda itu sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun dan tidak menginjak apapun…”
            Mendengar cerita Abu Sufyan bin Harits tersebut Abu Rafi sangat gembira. Beberapa kali ia hadir di majelis pengajaran Nabi SAW di rumah Arqam bin Abil Arqam di bukit Shafa secara sembunyi-sembunyi, dan ia mengetahui siapa yang diceritakan oleh Ibnu Harits tersebut. Begitu gembiranya sampai ia tidak sadar kalau sebenarnya masih menyembunyikan keislamannya, dan berada di lingkungan kaum Quraisy yang baru kalah perang dengan kaum Muslim. Tiba-tiba saja ia berteriak gembira, “Demi Allah, itu adalah para malaikat yang membantu orang-orang muslim!!”
            Abu Lahab yang sedih mendengar cerita Abu Sufyan bin Harits itu, seketika mengangkat tangannya dan memukul wajah Abu Rafi. Ketika ia mencoba melawan, Abu Lahab membanting tubuhnya dan mendudukinya sambil memukulinya tanpa ampun. Seolah-olah ia ingin melampiaskan kekesalan hatinya kepada Nabi SAW kepada Abu Rafi.
            Melihat pemandangan seperti itu Ummu Fadhl menjadi marah. Walaupun Abu Rafi hanya budaknya, tetapi ia adalah saudaranya sesama Islam. Ia bangkit mengambil tiang pembatas Zamzam dan memukulkannya dengan keras ke kepala Abu Lahab, sambil berkata, “Engkau berani menyiksa orang ini selagi tuannya tidak ada!!”
            Kepala Abu Lahab luka menganga cukup parah, dan ia segera meninggalkan Abu Rafi. Akibat luka tersebut, hampir di seluruh tubuhnya muncul borok-borok bernanah, suatu penyakit yang orang-orang Arab sangat jijik melihatnya. Ketika tujuh hari kemudian Abu Lahab meninggal, mereka membiarkannya begitu saja mayatnya dan tidak menguburkannya. Mereka begitu jijik untuk mendekatinya. Tetapi karena takut terjadi akibat yang lebih buruk jika tidak dikuburkan, mereka menggali lubang tak jauh dari situ, kemudian mendorong tubuhnya dengan kayu hingga jatuh ke dalam lubang tersebut. Untuk menguruknya, mereka melemparkan batu-batu dari kejauhan hingga hampir penuh, baru menimbunnya dengan tanah.
            Di kemudian hari, Abu Rafi dihadiahkan Abbas kepada Rasulullah SAW, dan beliau memerdekakannya, karena itu ia dikenal dengan sebutan maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah SAW. Namun demikian Abu Rafi memilih tetap untuk berkhidmad kepada Nabi SAW, menjadi pembantu dan melayani kebutuhan beliau ketika diperlukan, sebagaimana beberapa sahabat lainnya.
            Pernah terjadi suatu pemasalahan dalam rumah tangga Rasulullah SAW sehingga beliau “meninggalkan” istri-istri beliau selama hampir satu bulan. Beliau tidak pulang kepada mereka, tetapi menyendiri di suatu tempat bersama Abu Rafi saja. Masalah tersebut dipicu oleh kecemburuan Hafshah binti Umar yang terlalu berlebihan. Umar mengunjungi beliau yang hanya ditemani Abu Rafi, dan meminta maaf atas sikap putrinya tersebut. Umar sempat menangis melihat keadaan mereka berdua yang sangat menyedihkan itu, tetapi beliau hanya tersenyum dan menghiburnya.
            Suatu ketika setelah shalat ashar, Abu Rafi diajak Rasulullah SAW mengunjungi Bani Asyhal dari suku Aus. Beliau berbincang-bincang dengan para sahabat Anshar di sana hingga mendekati Maghrib. Kemudian beliau kembali ke masjid, tetapi ketika melewati pemakaman Baqi, tiba-tiba Nabi SAW bersabda, “Celaka kamu, celaka kamu!!”
            Abu Rafi menjadi cemas dan langkahnya melambat hingga tertinggal agak jauh dari Nabi SAW. Ia khawatir telah melakukan kesalahan sehingga beliau mengutuknya. Dalam kegalauannya tersebut Nabi SAW menyerunya, “Ada apa denganmu? Ayo jalan terus!!”
            Abu Rafi mendekat dan berkata, “Apa saya melakukan suatu kesalahan, ya Rasulullah?”
            “Memangnya kenapa?” Kata Nabi SAW.
            “Engkau tadi mengatakan kalau saya celaka!!” Kata Abu Rafi dengan agak takut.
            Nabi SAW tersenyum, kemudian bersabda, “Oh, bukan engkau yang aku maksudkan. Tetapi si Fulan bin Fulan yang ada di dalam kubur itu. Aku pernah menugaskan dia memungut zakat pada suatu kabilah, ternyata ia mencuri pakaian bulu dari sana. Dan sekarang ia menerima balasannya dengan siksa kubur!!”

Seorang Lelaki dan Budak-budaknya

            Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW, setelah duduk di hadapan beliau, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki beberapa orang budak yang membohongi saya, mengkhianati dan menentang saya. Karena itu saya mencela dan memukul mereka. Bagaimanakah hubungan saya dengan mereka??”
            Nabi SAW menatap lelaki tersebut dengan tajam, kemudian bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan dihitung (dihisab) apa yang mereka khianati, apa yang mereka tentang pada dirimu, dan apa yang mereka dustakan. Kemudian Allah juga akan menghitung (menghisab) celaanmu dan hukumanmu atas mereka. Jika apa yang engkau lakukan itu sesuai dengan kadar dosa yang mereka lakukan, maka itu cukup, engkau tidak akan mendapatkan apa-apa (yakni pahala) dan tidak pula mendapat dosa. Tetapi bila hukumanmu melebihi kadar dosa mereka, maka aku akan menuntut qishas darimu atas kelebihan itu…!!”
            Lelaki yang duduk terpekur itu langsung memekik dan menangis mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya di yaumul hisab kelak, apalagi kalau ternyata Nabi SAW bukannya memberikan syafaat, justru malah menuntutnya karena kedzalimannya dalam menangani budak-budaknya.
            Rasulullah SAW berkata lagi, “Tidak pernahkan kamu membaca firman Allah : Dan Kami letakkan timbangan-timbangan keadilan pada hari kiamat sehingga seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun, meskipun itu seberat biji atom (dzarrah), tentu Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai penghisab!!”
            Lelaki tersebut makin tenggelam dalam tangisan kesedihannya, dan hanya satu jalan yang mungkin bisa menyelamatkannya. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah mendapatkan alasan apapun untuk berpisah dengan mereka (kecuali hal ini), maka saksikanlah, ya Rasulullah, bahwa mereka semua aku merdekakan…!!”
            Nabi SAW tersenyum dan gembira mendengar keputusan lelaki tersebut, dan mendoakannya dengan kebaikan.

Haritsah bin Nu’man RA

            Haritsah bin Nu’man adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Najjar, masih termasuk kerabat Nabi SAW dari garis ibu, Aminah binti Wahb yang juga berasal dari Bani Najjar. Kabilah Bani Najjar ini tinggal di sekitar Masjid Nabawy, bahkan masjid tersebut dibangun di atas tanah milik Bani Najjar yang telah dibeli oleh Nabi SAW. Haritsah sendiri termasuk sahabat yang cukup berada dan memiliki beberapa rumah di sekitar Masjid Nabawy. 
Orang yang paling disayangi Rasulullah SAW adalah putrinya, Fathimah az Zahrah. Tetapi setelah pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, putrinya tersebut tinggal agak jauh dari rumah Rasulullah SAW, yang berada di samping Masjid Nabawy. Akibatnya beliau agak “kerepotan” jika beliau sedang rindu dengan putri kesayangannya tersebut. Suatu ketika Nabi SAW mengunjungi Fathimah dan berkata, “Aku ingin memindahkan engkau ke dekatku!!”
            Tentu saja Fathimah amat gembira dengan rencana Rasulullah SAW, ia berkata, “Berbicaralah dengan Haritsah bin Nu’man agar ia pindah!!”
            Fathimah sangat mengenal kedermawanan Haritsah, karena itu ia menyarankan hal tersebut. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Haritsah telah pindah (beberapa kali demi kepentingan Nabi SAW dan Islam) hingga aku merasa malu kepadanya…!!”
            Rencana tinggal rencana karena Nabi SAW tidak sampai hati untuk menyampaikan hal itu kepada Haritsah. Tetapi pembicaraan Rasulullah SAW dengan putrinya tersebut akhirnya menyebar, dan akhirnya sampai ke telinga Haritsah, maka ia datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar berita bahwa engkau ingin memindahkan Fathimah ke dekat engkau. Inilah rumah-rumahku, ini adalah rumah-rumah pertama yang kupersembahkan kepada engkau dari (atas nama) Bani Najjar. Sesungguhnya aku dan hartaku adalah milik Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang engkau ambil dariku, jauh lebih aku sukai daripada yang engkau sisakan/tinggalkan (untukku)…!!”
            Nabi SAW memandang Haritsah dengan penuh kasih sayang, dan bersabda, “Engkau benar, semoga Allah memberkahimu!!”
            Kemudian Nabi SAW memindahkan Fathimah dan keluarganya ke rumah Haritsah yang berdekatan dengan tempat tinggal beliau. Haritsah sendiri pindah ke rumahnya yang lain yang agak berjauhan dengan Masjid Nabawy, dan itu menambah kegembiraannya karena bisa membaktikan hartanya untuk kepentingan Nabi SAW.

Hisyam bin Ash RA

Hisyam bin Ash RA adalah adik dari Amr bin Ash, tetapi kalau kakaknya tersebut gencar memusuhi Nabi SAW pada awal Islam didakwahkan di Makkah, ia termasuk dalam kelompok awal sahabat yang memenuhi seruan Nabi SAW untuk memeluk Islam. Kelompok as Sabiqunal Awwalun yang mendapat jaminan keselamatan dari Allah, radhiyallaahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu (Allah ridha kepada mereka dan mereka juga ridha kepada Allah, QS At Taubah 100).    
Hisyam bin Ash ikut serta dalam kelompok muhajirin pertama, yakni yang berhijrah ke Habasyah. Ketika Amr bin Ash menjadi utusan kaum Quraisy kepada Raja Najasyi, misinya untuk mengembalikan Kaum Muhajirin tersebut ke Makkah mengalami kegagalan, tetapi ia berhasil memperdaya adiknya tersebut dan membawanya kembali ke Makkah. Di Makkah, Hisyam dipenjarakan oleh ayahnya, tetapi beberapa waktu kemudian dilepaskan lagi, tetapi dalam pengawasan ketat kaum kerabatnya sehingga ia tidak leluasa menemui Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya.
Ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, Hisyam berencana berangkat bersama Umar bin Khaththab dan Ayyasy bin Rabiah (sebagian riwayat menyebut Iyyasy). Tetapi ia dihalangi oleh kaum Quraisy dan lagi-lagi dipenjarakan, bahkan kali ini diikuti dengan siksaan demi siksaan yang tak terperikan. Sebagian riwayat menyebutkan, ia dipaksa murtad dan sempat mengikuti kemauan mereka karena beratnya siksaan. Tetapi sepertinya ia ‘tidak tahan” untuk hidup dalam kekafiran, karena itu kembali ia menyatakan keislamannya, dan tentu saja ia kembali mengalami siksaan dan pemenjaraan, namun hatinya terasa lebih tentram dan tidak lagi merasakan beratnya siksaan yang ditimpakan kaum Quraisy.
Akan halnya Ayyasy bin Abi Rabiah, setelah tiba di Madinah bersama Umar dan beberapa sahabat lainnya, Abu Jahal dan saudaranya Harits bin Hisyam menyusulnya dan memberitahukan kalau ibunya bernadzar tidak akan menyisir rambutnya dan tidak akan berteduh dari sinar matahari sebelum melihat anaknya tersebut. Ayyasy sangat sedih dan kasihan kepada ibunya mendengar berita tersebut. Walaupun Umar mengingatkannya bahwa semua itu hanya akal-akalan Abu Jahal, tetapi ia tetap kembali ke Makkah karena kecintaannya kepada ibunya. Tetapi ternyata benar perkiraan Umar, di tengah perjalanan ia diperdaya dan kemudian diikat. Sesampainya di Makkah ia langsung dipenjarakan bersama Hisyam bin Ash, sama sekali tidak dipertemukan dengan ibunya.
Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepada para sahabat yang sedang berkumpul, “Siapakah yang sanggup mempertemukan aku dengan Ayyasy (bin Abi Rabiah) dan Hisyam (bin Amr)??”
Walid bin Walid, yakni saudara Khalid bin Walid yang telah memeluk Islam sejak awal didakwahkan, berkata, “Wahai Rasulullah, sayalah yang akan membawa keduanya ke hadapan engkau!!”
Setelah berpamitan kepada Nabi SAW, Walid segera memacu untanya menuju Makkah. Ia memasuki kota Makkah dengan sembunyi-sembunyi, dan secara kebetulan ia bertemu dengan wanita yang ditugaskan mengantar makanan untuk Hisyam dan Ayyasy. Iapun mengikuti wanita tersebut, hingga mengetahui tempat penahanan keduanya, yakni sebuah rumah tanpa atap, tetapi pintunya dikunci dengan kuat.
Ketika keadaan sepi dan aman, Walid memanjat tembok rumah tersebut untuk memasukinya. Setelah melepaskan ikatan yang membelenggu Hisyam dan Ayyasy, ketiganya keluar dengan memanjat tembok juga, dan meninggalkan Makkah dengan menunggang unta milik Walid yang memang cukup kuat, sehingga mampu membawa tiga orang tersebut hingga sampai di Madinah dengan selamat.
Sebagian riwayat menceritakan, ketika Hisyam terpaksa murtad akibat tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, ia merasa dunianya runtuh dan tidak ada jalan lagi baginya kepada keislaman. Apalagi kaum Quraisy “memprovokasi” bahwa Nabi SAW dan para sahabat di Madinah telah mengetahui kemurtadannya, dan mereka telah menghalalkan darahnya. Kemudian turun wahyu Allah, QS az Zumar ayat 53-55, yang intinya larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah dan anjuran segera bertaubat. Umar bin Khaththab mengirim seseorang dengan sembunyi-sembunyi untuk menemui Hisyam bin Ash, mengabarkan tentang ayat tersebut. Akhirnya Hisyam mengikuti utusan Umar ini ke Madinah, dan ia kembali menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.
Sejak tinggal di Madinah bersama dengan Nabi SAW, Hisyam hampir tak pernah tertinggal dalam berbagai pertempuran, baik bersama atau tidak dengan Rasulullah SAW. Semangat jihadnya begitu tinggi untuk memperoleh predikat syahid, dan itu tetap berlanjut ketika Nabi SAW telah wafat.
Pada pertempuran untuk menaklukan Ajnadin, suatu kota yang dikuasai oleh imperium Romawi, Hisyam berjuang bersama dengan kakaknya, Amr bin Ash. Serangan pasukan muslim sempat mengalami kebuntuan karena pasukan Romawi membuat pertahanan dengan parit yang diisi dengan bara api. Melihat keadaan ini, Hisyam berteriak untuk membangkitkan semangat, “Wahai kaum muslimin, ayolah maju bersama Hisyam, apakah kalian ingin lari dari Surga??”
Setelah itu Hisyam melompat dengan kudanya untuk menyeberangi parit api tersebut. Tetapi malang, kudanya terjerembab dan jatuh ke parit berapi beserta Hisyam. Amr bin Ash mengamati keadaannya adiknya, dan tampaknya ia telah menemui syahidnya. Tiba-tiba Amr berkata, “Hisyam telah menemui syahidnya, dan jadikanlah tubuhnya untuk menyeberang…!!”
Karena Amr bin Ash adalah komandan pasukan muslim tersebut, kaum muslimin mematuhi perintahnya tersebut. Kuda dan tubuh Hisyam bin Ash dijadikan pijakan sehingga akhirnya mereka semua berhasil menyeberangi parit api tersebut dan memerangi pasukan Romawi sehingga mereka kocar-kacir melarikan diri. Kota Ajnadin pun jatuh ke tangan pasukan muslim. Usai pertempuran, Amr bin Ash mengumpulan potongan-potongan tubuh Hisyam yang berserakan, dan membungkusnya dengan kain kemudian memakamkannya. Sambil matanya berkaca-kaca, ia berkata, “Sungguh, Hisyam lebih hebat daripada diriku..!!”

Seorang Pemuda yang Qana’ah

            Nabi SAW mengirimkan beberapa sahabat ke Yaman untuk menyeru kabilah-kabilah di sana kepada Islam, dan sebagian besar menerima dakwah para sahabat tersebut, salah satunya adalah kabilah Tujib. Beberapa waktu kemudian, kabilah Bani Tujib ini mengirimkan utusan sebanyak tigabelas orang kepada Nabi SAW di Madinah. Tujuannya untuk mengukuhkan keislaman mereka di hadapan beliau, sekaligus menyerahkan shadaqah dari kelebihan harta yang mereka miliki.
            Setibanya di Madinah, mereka disambut gembira oleh Nabi SAW. Setelah beberapa hari tinggal untuk mempelajari Al Qur’an dan beberapa ajaran-ajaran Islam langsung dari Nabi SAW, mereka berpamitan. Seperti biasanya, beliau memberi perbekalan dan hadiah yang lebih baik kepada mereka. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian semua telah memperoleh perbekalan dan bingkisan yang cukup?”
            Mereka membenarkan, tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seorang pemuda tinggal di dalam kemah, ia sedang menjaga tunggangan-tunggangan kami. Ia yang paling muda di antara kami yang datang…!!”
            “Panggillah dia kesini,” Kata Nabi SAW.
            Pemuda itu didatangkan, dan Nabi SAW telah mempersiapkan hadiah sebagaimana teman-temannya. Setelah mengucapkan salam, pemuda itu berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang membuatku sibuk tentang utusan negeriku (sehingga aku tidak membutuhkan apapun). Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada yang mendorongku keluar rumah menuju engkau, kecuali agar engkau mendoakan aku agar Allah mengampuni dan merahmati aku, dan menjadikan hatiku merasa selalu berkecukupan (Dalam riwayat lain dengan maksud yang sama : ...dan menjadikan kekayaanku ada di dalam hatiku)…!!”
            Nabi SAW menatap pemuda tersebut penuh kekaguman. Tidak biasanya seorang pemuda yang emosinya masih labil dan jiwanya penuh gejolak memiliki sikap seperti itu, yang pantasnya dimiliki oleh orang-orang yang telah matang usianya. Tetapi jelas ada kegembiraan Nabi SAW mendengar permintaan pemuda tersebut, dan segera saja beliau mendoakan seperti permintannya. Dan tentu saja kalau Nabi SAW telah mendoakan, pastilah Allah akan mengabulkannya.
            Peristiwa tersebut terjadi pada tahun sembilan hijriah. Setahun kemudian pada tahun sepuluh hijriah, ketika sedang berlangsungnya Haji Wada, Nabi SAW bertemu lagi dengan mereka beserta orang-orang Bani Tujib lainnya, tetapi beliau tidak menemukan pemuda yang “nyeleneh” (dalam arti kebaikan) tersebut. Ketika beliau menanyakan tentang dirinya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kami tidak pernah melihat orang seperti dirinya. Tidak ada orang yang begitu qana’ah (merasa cukup) terhadap rezeki Allah seperti dia. Jika semua orang bertaburkan harta dunia di sekelilingnya, ia sama sekali tidak perduli, bahkan tidak sedikitpun meliriknya…!!”
            Lagi-lagi terpancar sinar kekaguman dan ketakjuban di wajah Rasulullah SAW, tampak sekali kalau beliau begitu bahagia mendengar berita tentang pemuda tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Alhamdulillah, sungguh saya berharap agar ia mati seluruhnya…!!”
            Perkataan Nabi SAW yang mengandung “teka-teki”tersebut, memancing pertanyaan salah satu dari mereka, “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu jika mati, maka mati pula semuanya?”
            Nabi SAW bersabda, “Hawa nafsu dan kepedihan-kepedihannya tercerai-berai di berbagai bukit dunia, dan boleh jadi ajalnya hanya diketahui di sebagian bukit itu. Tetapi Allah tidak perduli dimana ia akan binasa/ meninggal (karena ia tetap menjadi orang kecintaan-Nya)…!!”
            Ketika Nabi SAW wafat dan cukup banyak orang yang murtad, pemuda itu tetap teguh dalam keimanan dan qana’ahnya. Bahkan ia aktif mengingatkan kaumnya, menasehati dan memerintahkan mereka untuk tetap teguh hati dalam keislaman walaupun Nabi SAW telah tiada.

Ma’bad bin Abu Ma’bad al Khuzai RA

            Ma’bad bin Abu Ma’bad adalah seorang sahabat dari Bani Khuzai, suatu kabilah yang sejak masa jahiliah telah menjalin perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim, kabilah Nabi SAW sendiri. Ia memutuskan memeluk Islam tidak lama setelah selesainya Perang Uhud.
            Walaupun dalam perang Uhud, kaum muslimin lebih banyak mengalami kerugian dan korban jiwa, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa kaum kafir Quraisy memenangkan pertempuran tersebut. Bahkan Abu Sufyan yang memutuskan terlebih dahulu untuk meninggalkan medan Perang Uhud, setelah kaum muslimin mulai bisa menyatukan kekuatan, langsung di bawah komando Nabi SAW.
            Tetapi, hanya semalam tinggal di Madinah sepulangnya dari Uhud, Nabi SAW langsung menggerakkan pasukan yang sama untuk mengejar pasukan kaum Quraisy. Dalam pemikiran beliau, ada kekhawatiran pasukan Quraisy akan kembali dan menyerang Madinah. Kalau itu terjadi, akan sangat merugikan karena beban psikologis dan kesedihan penduduk Madinah sedang berat-beratnya. Dengan inisiatif menyerang, maka semangat perjuangan akan tetap terjaga. Karena itulah beliau melarang siapapun yang tidak ikut serta dalam perang Uhud sebelumnya, untuk mengikuti pengejaran tersebut, kecuali beberapa sahabat yang bermaksud menggantikan saudara atau kerabat mereka yang telah gugur di Uhud, misalnya Jabir bin Abdullah.
            Ketika pasukan muslim berhenti dan bermarkas di Hamra’ul Asad, sekitar duabelas kilometer di luar kota Madinah, muncul Ma’bad bin Abu Ma’bad al Khuzai. Ia menghadap Nabi SAW untuk memeluk Islam. Setelah mengucapkan syahadat, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami (yakni orang-orang Quraisy) merasa hebat karena telah berhasil menimpakan bencana kepada sahabat-sahabat engkau di Uhud. Namun demikian saya berharap Allah masih memberikan afiat kepada engkau….!!”
            Nabi SAW memerintahkan Ma’bad untuk menyembunyikan keislamannya terlebih dahulu, dan menyusul pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan, untuk mengetahui apa yang sedang mereka rencanakan. Bahkan kalau mungkin, mengacaukan dan melemahkan mereka.
            Ternyata apa yang dikhawatirkan Nabi SAW tidaklah salah. Ketika singgah di ar Rauha’, sekitar limapuluh kilometer dari Madinah, terjadi pembicaraan dan perdebatan di antara pasukan kaum kafir Quraisy, dan mayoritas memutuskan untuk kembali dan menyerang Madinah. Pendapat Shafwan bin Umayyah yang menolak usulan tersebut diabaikan begitu saja. Tetapi belum sampai pasukannya bergerak ke arah Madinah, muncullah Ma’bad yang memang dikenal baik oleh Abu Sufyan, dan tentunya belum diketahui kalau ia telah memeluk Islam. Abu Sufyan berkata, “Wahai Ma’bad, apa yang terjadi di belakangmu?”
            Mendapat pertanyaan tersebut, Ma’bad langsung melancarkan strategy “Psy-War”-nya, ia berkata, “Muhammad bersama rekan-rekannya pergi mencari kalian dalam jumlah yang tidak pernah kulihat sebanyak itu. Mereka meradang dan marah kepada kalian, orang-orang yang belum bergabung sebelumnya kini telah bergabung bersamanya. Rupanya mereka menyesal tidak ikut perang Uhud, dan kini akan menuntut balas. Yang jelas, jumlah mereka sangat banyak…!!”
            “Celaka kau ini, apa yang engkau katakan itu??’ Kata Abu Sufyan.
            “Demi Allah, menurut pendapatku, lebih baik kalian segera pulang sebelum mereka memergoki buntut pasukan ini..” Kata Ma’bad lagi.
            Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami telah sepakat untuk kembali dan menyerang Madinah hingga kami dapat membinasakan mereka…!!”
            “Janganlah kalian lakukan itu…Itulah nasehatku..!!” Kata Ma’bad.
            Mendengar penjelasan Ma’bad yang begitu meyakinkan, mayoritas pasukan Quraisy jadi turun semangatnya. Walau Abu Sufyan masih berkeras untuk kembali dan menyerang Madinah, tetapi kini mereka berbalik menentangnya dan mendukung pendapat Shafwan bin Umayyah, yakni kembali ke Makkah dan “menikmati” kemenangan dalam Perang Uhud tersebut.
            Ma’bad mengikuti rombongan pasukan Abu Sufyan kembali ke Makkah. Beberapa waktu kemudian ia diam-diam datang ke Madinah dan bergabung bersama Rasulullah SAW dan saudara-saudara seagamanya, meninggalkan saudara dan kerabatnya yang masih dalam kekafiran.


Seorang Wanita Anshar dan Anaknya

            Seorang wanita Anshar hanya tinggal berdua dengan anak lelaki satu-satunya, tidak ada saudara atau kerabat lainnya yang mereka miliki. Kemungkinan besar, suami dan kerabat lainnya dari wanita ini telah gugur sebagai syuhada, sebagaimana sebagian besar sahabat Anshar yang mengorbankan jiwa dan harta mereka di jalan Allah. Membaktikan hidupnya untuk membela Nabi SAW dan kejayaan Islam hingga akhirnya bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia.
            Suatu ketika anak muda Anshar tersebut sakit parah beberapa waktu lamanya. Anas bin Malik dan beberapa sahabat lainnya menjenguknya. Saat itu sakitnya makin parah, bahkan ia dalam keadaan sakaratul maut sehingga para sahabat menungguinya sehingga nyawanya telah benar-benar kembali ke rahmat Allah. Mereka menutupkan kain ke wajah pemuda tersebut.
            Tiba-tiba datanglah ibu dari pemuda tersebut, mendekati tempat tidur anaknya. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai ibu, berpasrahlah engkau kepada keputusan Allah, dan mengharaplah pahala dari-Nya…!!”
            “Apakah anakku sudah mati?” Tanya perempuan itu.
            “Ya…!!” Kata mereka.
            “Benarkah apa yang kalian katakan??” Tanya perempuan itu lagi.
            “Benar..!!” Kata mereka, menegaskan.
            Wanita Anshar itu menghadapkan wajah ke kiblat kemudian mengangkat tangan, dan berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku pasrah kepada-Mu, dan berhijrah kepada Rasul-Mu Muhammad SAW, dengan harapan Engkau akan menolongku dalam setiap kesulitan. Ya Allah, janganlah Engkau timpakan musibah ini pada hari ini…!!”
            Kemudian wanita tersebut membuka kain yang telah ditutupkan para sahabat ke wajah anaknya, memandang dan menyentuhnya dengan penuh kasih sayang.
Tidak lama berselang, sebelum para sahabat meninggalkan rumah itu, tampak wanita Anshar tersebut dan anaknya tengah makan bersama. Mereka akhirnya kembali, kemudian ikut makan bersama ibu dan anaknya tersebut dengan perasaan takjub. 

Hamnah binti Jahsy RA

Hamnah binti Jahsy memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah, sebagaimana saudaranya Zainab dan Abdullah. Ia sebenarnya masih keponakan Rasulullah SAW, dan akhirnya ia menjadi ipar beliau karena Zainab binti Jahsy menjadi salah seorang Ummul Mukminin, dinikahi oleh Nabi SAW atas perintah Allah lewat turunnya wahyu Qur’an, Surat al Ahzab 37. Ia menikah dengan Mush’ab bin Umair pada masa-masa awal keislamannya.
Pada perang Uhud, suami dan suadaranya terjun dalam peperangan tersebut, dan mereka menemui syahidnya. Ketika pasukan muslim kembali ke Madinah, ia berbaur dengan masyarakat Madinah lainnya yang menyambut kedatangan mereka. Tiba-tiba salah seorang sahabat berkata, “Wahai Hamnah, saudaramu Abdullah bin Jahsy menemui syahidnya…!!”
Hamnah hanya berkata, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk saudaranya tersebut. Tidak berapa lama, seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai Hamnah, pamanmu Hamzah bin Abdul Muthalib menemui syahidnya…!!”
Hamnah memang sangat dekat dengan Hamzah, dan ia lebih membahasakan dia dengan “paman” karena kedekatannya tersebut. Mendengar penuturan sahabat tersebut Hamnah berkata, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk Hamzah bin Abdul Muthalib. Sesaat kemudian seorang sahabat lainnya berkata kepadanya, “Wahai Hamnah, suamimu, Mush’ab bin Umair telah menemui syahidnya…!!”
Mendengar kabar ini, Hamnah menjerit keras kemudian menangis sesenggukkan, tanpa bisa menyembunyikan kesedihan dan kehilangannya. Nabi SAW yang melihat perubahan sikap Hamnah tersebut bersabda, “Sesungguhnya suaminya itu mempunyai tempat yang khusus di hati Hamnah…!!”
Dalam peristiwa Haditsul Ifki, berita bohong tentang perselingkuhan Ummul Mukminin Aisyah dengan sahabat Shafwan bin Mu’aththal yang terjadi setelah pertempuran Bani Musthaliq atau Perang al Muraisi’, kebanyakan kaum muslimin menahan diri untuk tidak berkomentar dan membicarakannya. Tuduhan perselingkuhan tersebut pertama kali diungkapkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh Khazraj yang keislamannya hanya pura-pura saja, sejatimya ia adalah munafik tulen. Berita bohong tersebut makin dibesar-besarkan oleh para pengikutnya. Tetapi ternyata ada juga tiga orang muslim yang ikut terbuai dengan “berita infotainment” tersebut, yakni Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy ini.
Memang, sepertinya Allah SWT “sengaja membiarkan” berita itu berkembang dan mengambang hingga sekitar satu bulan lamanya. Kaum muslimin, bahkan Nabi SAW sendiri dilanda kebingungan dan ketidak-pastian, benarkah Aisyah berselingkuh? Dari “pembahasan dan analisa infotainment” yang digembar-gemborkan Abdullah bin Ubay dan antek-anteknya, berita itu sangat mungkin kebenarannya dan sangat masuk akal. Hanya mereka yang sangat mengenal dan yakin akan kesucian dan ketinggian akhlak Aisyah RA tanpa reserve, seperti Barirah RA misalnya, yang langsung percaya bahwa berita itu kebohongan dan fitnah semata-mata, umumnya dilanda ketidak-pastian.
Setelah sekitar satu bulan berkembang menjadi bola panas, barulah Allah SWT menurunkan wahyu, QS an Nur ayat 11-22 yang menjelaskan tentang peristiwa fitnah tersebut. Nabi SAW “membiarkan” urusan orang-orang munafik yang mem-blow-up berita bohong kepada Allah, tetapi beliau memutuskan untuk mengenakan sanksi hukum dera 80 kali kepada tiga orang sahabat tersebut. Beliau tidak ingin orang-orang yang beliau sayangi sendiri, termasuk Hamnah binti Jahsy, akan “memanen” hasil perbuatan tersebut di akhirat kelak. Nabi SAW lebih senang (tega) melihat kesakitan dan penderitaan umat beliau di alam dunia fana (terbatas) ini, asalkan tidak lagi akan mengalami penderitaan di alam akhirat yang kekal.

Harits bin ash Shimmah RA

Pada perang Uhud, sempat tersiar kabar bahwa Nabi SAW telah terbunuh, hal ini membuat Harits bin Ash Shimmah langsung terduduk lemas. Kecintaannya yang begitu besar kepada Nabi SAW membuat dirinya limbung dan kehilangan fokusnya ketika mendengar beliau telah meninggal. Pandangannya kosong seakan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Berita yang digembar-gemborkan oleh Abdullah bin Qami’ah, salah satu dari tiga tokoh Quraisy yang menyerang dan melukai Nabi SAW hingga beliau terperosok ke dalam suatu lubang, sempat membuat pasukan muslim melemah dan makin porak-poranda, bahkan ada yang telah berlari ke arah Madinah. Tetapi di sisi lain malah mengendorkan serangan kaum kafir Quraisy sehingga Nabi SAW dan beberapa sahabat yang melindungi beliau bisa bergerak menuju sisi bukit yang lebih aman (tidak dalam keadaan terkepung), walaupun tetap dengan melakukan beberapa pertempuran.
Dalam pergerakan tersebut, sahabat Ka’b bin Malik mengenali Nabi SAW, spontan saja ia berseru dengan gembira, “Bergembiralah wahai semua kaum muslim, inilah Rasulullah SAW, beliau masih hidup…!!”
Sebenarnya Nabi SAW telah mengisyaratkan kepada Ka’b untuk diam agar keadaan beliau tidak diketahui oleh pasukan musuh. Tetapi luapan kegembiraan yang begitu menggelora melihat beliau masih hidup, padahal sempat tersiar telah terbunuh, jauh lebih cepat reaksinya. Mendengar seruan Ka’b ini, beberapa sahabat langsung berkumpul di sekitar beliau, termasuk Harits bin ash Shimmah. Ia seolah-olah  mendapat suntikan darah baru dan semangat baru yang lebih bergelora. Bahkan ia memposisikan dirinya sangat dekat dengan Nabi SAW, seolah-olah ingin menjadi tameng hidup bagi beliau.
Seperti dikhawatirkan Nabi SAW, pasukan kaum kafir Quraisy akhirnya mengetahui beliau masih hidup dan kedudukan beliau. Mereka memfokuskan diri untuk menyerang sekitar tigapuluh sahabat yang mati-matian melindungi Nabi SAW, yang terus bergerak mundur ke tempat yang lebih aman. Beberapa sahabat lainnya juga berusaha membuka “jalan darah” untuk bisa bergabung dengan kelompok yang melindungi Nabi SAW ini.
Tiba-tiba seorang musyrikin bernama Utsman bin Abdullah bin Mughirah merangsek dengan kudanya ke arah Nabi SAW sambil berkata, “Aku tidak akan selamat jika Muhammad selamat!!”
Nabi SAW bangkit untuk menyambutnya, tetapi Harits bin Shimmah tak ingin kecolongan, ia segera berdiri di depan Nabi SAW untuk menyambut serangan tersebut. Kuda Utsman terperosok, dan Harits langsung membabat kaki Utsman hingga ia jatuh terduduk. Tetapi rekan Utsman, Abdullah bin Jabir langsung menyerang Harits hingga pundaknya terluka. Abu Dujanah datang menyelamatkan Harits, dengan pedang pemberian Rasulullah SAW, ia berhasil memenggal kepala Ibnu Jabir dengan satu sabetan saja.
Walaupun jumlah pasukan musyrikin yang mengepung itu ratusan atau mungkin sampai seribu orang, ternyata tidak mudah menaklukan sekitar 30 sahabat yang berjuang dengan semangat laksana singa kelaparan tersebut. Mereka akhirnya bisa lolos dari kepungan dan bersembunyi di bukit tersebut. Pasukan musyrikin sendiri tampaknya tidak terlalu semangat melanjutkan penyerangan seperti sebelumnya. Tetapi Harits bin Shimmah tidak mau beranjak dari sisi Nabi SAW walau pundaknya terluka parah. Pedang, tombak dan panahnya juga masih dalam keadaan “terhunus”, siap digunakan sewaktu-waktu diperlukan.
Tiba-tiba seorang tokoh kafir Quraisy, Ubay bin Khalaf, saudara dari Umayyah bin Khalaf yang tewas di Perang Badar menemukan tempat persembunyian tersebut. Sambil mencari berputar dengan kudanya, ia berkata, “Dimana Muhammad? Aku tidak akan selamat jika ia masih selamat..!!”
Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak menyerangnya. Ketika telah dekat, tiba-tiba Nabi SAW mencabut tombak milik Harits dan memukul Ubay bin Khalaf tepat di celah antara baju besi dan topi besinya. Pukulan yang berkali-kali tersebut membuatnya limbung dari punggung kudanya dan akhirnya ia melarikan diri. Tetapi dalam perjalanan pulang ke Makkah, luka kecil yang diderita Ubay bin Khalaf akibat pukulan tersebut semakin parah dan membengkak, dan akhirnya ia mati di Sarif.
Setelah pengalamannya di perang Uhud tersebut, Harits bin Shimmah tidak ingin kehilangan pandangan dari sosok Nabi SAW dalam pertempuran-pertempuran yang diterjuninya bersama beliau. Ketika Nabi SAW mengirimkan tujuhpuluh sahabat huffadz Qur’an untuk mendakwahi kabilah-kabilah di daerah Najd atas saran dan jaminan keamanan Abu Bara Amir bin Malik, Harits bin Shimmah ikut serta dalam rombongan ini. Ia syahid dalam misi tersebut karena kelompok sahabat ini dibantai habis oleh Amir bin Thufail, dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Bi’r Ma’unah.
 

Seseorang yang Bersedekah Rahasia

            Seseorang yang mempunyai cukup banyak kelebihan harta, tersirat keinginan untuk bersedekah. Ia mendengar bahwa bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu mempunyai banyak keutamaan karena itu ia memilih dengan cara itu. Suatu malam yang gelap ia mendatangi suatu rumah, yang diperkirakannya orang tersebut memang pantas dan berhak memperoleh sedekah. Setelah meletakkan di dalam rumahnya tanpa diketahui penghuninya, ia segera pulang. Keesokan harinya ternyata terjadi kegemparan, penduduk di daerah tersebut, yang ia memberikan shadaqah, membicarakan tentang seorang pencuri yang menerima shadaqah rahasia dari seseorang yang tidak dikenal. 
Orang yang bersedekah ini, walau ia telah ikhlas tetapi merasa shadaqahnya tidak akan diterima karena salah sasaran. Ia tidak menyesalinya, hanya saja ia berkata, “Wahai Allah, hanya bagi-Mu segala puji, sungguh saya akan menyedekahkan lagi sesuatu…!!”
             Pada malam harinya, ia mendatangi suatu rumah lain yang diperkirakan penghuninya adalah orang yang pantas dan berhak untuk menerima shadaqahnya. Setelah meletakkan di dalam rumahnya dengan diam-diam, ia segera pulang. Keesokan harinya ternyata terjadi kegemparan seperti hari sebelumnya. Penduduk di daerah tersebut membicarakan tentang seorang pelacur yang menerima shadaqah rahasia dari seeorang yang tidak dikenal.
Lagi-lagi orang yang bershadaqah ini merasa amalnya tidak diterima karena telah salah sasaran. Tetapi ia tidak menyesalinya, dan hanya berkata, “Wahai Allah, hanya bagiMu segala puji, sungguh saya akan menyedekahkan lagi sesuatu..!!”
            Pada malam harinya, ia mendatangi suatu rumah lain yang diperkirakan penghuninya adalah orang yang pantas dan berhak untuk menerima shadaqahnya. Setelah meletakkan di dalam rumahnya dengan diam-diam, ia segera pulang. Keesokan harinya, ternyata untuk ketiga kalinya terjadi kegemparan yang sama di daerah tersebut. Kali ini mereka membicarakan tentang seorang yang sebenarnya cukup kaya, tetapi memperoleh sedekah rahasia dari seseorang yang tidak dikenal.
            Setelah untuk ketiga kalinya ini shadaqahnya salah sasaran, akhirnya orang itu berkata, seolah-olah amalannya telah sia-sia belaka, “Ya Allah, hanya bagi-Mu segala puji, saya telah bersedekah tetapi kepada pencuri, bersedekah lagi tetapi kepada pelacur, dan bersedekah lagi tetapi kepada orang yang kaya….!!”
            Tiba-tiba terdengar suatu suara yang tidak diketahui darimana asalnya (hatif), yang ditujukan kepadanya, “Adapun shadaqahmu kepada pencuri, semoga ia segera berhenti dari kebiasaannya mencuri. Dan shadaqahmu kepada pelacur, semoga ia segera berhenti dari kebiasaannya berzina. Dan shadaqahmu kepada orang yang kaya, semoga ia bisa mengambil i’tibar dan segera menafkahkan/menyedekahkan kelebihan hartanya yang telah dikaruniakan Allah kepadanya…!!”
            Kisah ini diceritakan sendiri oleh Nabi SAW, tetapi beliau tidak menjelaskan siapa orang tersebut. Bisa jadi salah seorang sahabat yang beliau ingin merahasiakan namanya, tetapi bisa juga seseorang di masa nabi-nabi terdahulu, yang beliau sampaikan untuk memberikan pengajaran kepada para sahabat beliau. Wallahu A’lam.

Quddamah bin Mazh’un al Jumahi RA

Quddamah bin Mazh’un termasuk dalam kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan (as Sabiqunal Awwalun).  Walaupun dari golongan terkemuka, ia juga tak lepas dari penyiksaan kaum Quraisy, karena itu ketika Nabi SAW menghimbau para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah, ia segera mengikutinya. Tetapi ketika kemudian Nabi SAW hijrah ke Madinah, ia segera berhijrah juga meninggalkan Habasyah ke Madinah walaupun sebagian besar sahabat tetap tinggal di sana. Termasuk juga sahabat Utsman bin Affan yang mengambil sikap seperti Quddamah ini karena merasa lebih tenang dan nyaman jika tinggal dekat bersama Rasulullah SAW, walaupun mungkin dalam kesulitan hidup.
Quddamah pernah menjadi saudara ipar Umar bin Khaththab karena menikahi saudaranya, Shafiyah binti Khaththab. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia ditugaskan untuk menjadi Amir di Bahrain. Bukan karena “KKN” karena Umar sangat keras dalam menentukan kualifikasi orang-orang yang membantunya dalam mengurus pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Umar beranggapan, kesalahan yang dilakukan oleh penguasa daerah (Amir, Gubernur, panglima perang dll.) yang berakibat buruk kepada umat muslim atau non muslim di daerah tersebut, ia akan ikut “ditanya” dan dihisab di akhirat kelak. Karena itu, pilihannya kepada Quddamah berdasar atas kesalehan, kezuhudan dan kemampuan bekas saudara iparnya tersebut. Saat itu ia memang telah menikah lagi Hindun binti Utbah, janda dari Abu Sufyan bin Harb.
Suatu ketika sampai kabar di Madinah, bahwa Quddamah minum khamr. Umar segera mengecek kebenaran berita tersebut. Ia meminta kesaksian Abu Hurairah, yang juga ditugaskan oleh Umar di sana, yang di kemudian hari menjadi Amir sepeninggal Quddamah. Sebagai seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah, Abu Hurairah menjawab dengan hati-hati, “Saya memang pernah melihat Quddamah dalam keadaan mabuk (teler, terhuyung-huyung) dan muntah-muntah. Tetapi saat itu saya tidak melihatnya sedang minum khamr…!!”
Dengan kesaksian Abu Hurairah tersebut, walaupun tidak memastikan melihatnya minum khamr, Umar sebagai Qadhi (hakim) memutuskan bahwa mantan saudara iparnya tersebut bersalah “melanggar hukum” meminum khamr, sesuai ciri-ciri yang terlihat pada dirinya.
Untuk memperkuat “dakwaan” seperti itu, Umar mengirim utusan kepada istri Quddamah, Hindun binti Utbah dan menanyakan masalah ini. Hindun yang telah menjadi wanita shalihah, ia berkata jujur bahwa suaminya tersebut memang “pernah” minum khamr. Padahal bisa saja ia berbohong untuk menyelamatkan suaminya dari sanksi hukum, tetapi budaya jahiliah seperti itu telah jauh ditinggalkannya sejak ia berba’iat memeluk Islam di hadapan Nabi SAW saat Fathul Makkah.
Dengan dua bahan kesaksian itu, Umar memanggil Quddamah ke Madinah dan akan menerapkan hukum cambuk kepada Amir/Gubernur Bahrain tersebut. Setelah tiba di Madinah dan Umar menetapkan dakwaan tersebut, Quddamah berkata, “Tidak hak bagimu untuk menghukum aku, sesungguhnya Allah telah berfirman : Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu (sebelum itu) apabila mereka beriman dan bertakwa, serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan mengerjakan kebajikan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan..!!”
Mungkin dalam logika dan penafsiran Quddamah, ia mengakui pernah minum khamr, tetapi setelah itu ia bertobat dan tetap dalam keimanan dan ketakwaan dan terus menerus berbuat kebajikan untuk menebus kesalahannya tersebut. Mungkin juga ia pernah mendengar atau malah terlibat dalam suatu peristiwa di masa Nabi SAW, dimana seorang pemuda datang kepada Nabi SAW untuk minta diqisash (dihukum) karena berbuat maksiat (sebagian riwayat, ia mencium seorang wanita yang bukan muhrimnya; riwayat lainnya, ia berbuat zina). Saat itu adzan shalat zhuhur telah dikumandangkan, beliau tidak menanggapinya, kemudian shalat zhuhur berjamaah didirikan, dan pemuda tersebut ikut berjamaah. Usai shalat, seperti biasanya diadakan majelis pengajaran hingga waktunya shalat ashar, dan shalat didirikan, sang pemuda juga ikut berjamaah. Usai shalat ashar, pemuda tersebut mendekat kepada Nabi SAW dan mengulang permintaannya sebelum shalat zhuhur sebelumnya. Nabi SAW bersabda, “Bukankah engkau telah mengikuti shalat berjamaah dan kegiatan lainnya bersama kami?”
“Benar, ya Rasulullah..” Kata pemuda tersebut.
“Sesungguhnya semua kebajikan yang engkau lakukan sejak shalat zhuhur hingga sekarang ini telah menghapus dosa dan kesalahan yang engkau lakukan sebelumnya…”
Kemungkinan hal seperti tersebut di atas yang menjadi argumentasi Quddamah untuk membatalkan hukuman yang akan dijatuhkan Umar atas dirinya. Tetapi Umar menolak hujjah tersebut dengan mengutip firman Allah juga, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian memperoleh keberuntungan (QS al Maidah 90).”
Quddamah menjadi sedih dengan keputusan Umar tersebut. Keadaannya yang sakit ketika berangkat ke Madinah jadi makin memburuk. Beberapa sahabat meminta keringanan kepada Umar untuk membatalkan hukuman tersebut, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya, bahkan ia sendiri yang menghukum dera/cambuk Quddamah sebanyak 40 kali (atau 80 kali dalam riwayat lainnya).
Mata Quddamah berkaca-kaca penuh kesedihan mendapat hukuman ini. Ia teringat akan sabda Nabi SAW kepada ahli Badar, di mana ia termasuk di dalamnya, “Semoga Allah memandang kepada para pengikut perang Badar, dan Allah telah berfirman kepada mereka : Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian…!!”
Setelah peristiwa itu, hubungan keduanya jadi merenggang, ada gap yang menganga antara dua orang yang pernah bersaudara ini. Sampai suatu ketika Umar bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadanya, “Damailah dengan Quddamah karena dia adalah saudaramu..!!”
            Karena mimpi tersebut, Umar bergegas menuju rumah Quddamah, bersalaman dan minta maaf atas semua kesalahannya, begitu juga sebaliknya dengan Quddamah, sehingga keduanya berdamai, dan hubungannya kembali harmonis seperti sedia kala.

Rabu, 01 Oktober 2014

Uqbah bin Amr al Badri RA (Abu Mas’ud al Badri)

            Uqbah bin Amr adalah seorang sahabat Anshar yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia juga sangat dikenal dengan nama kunyahnya Abu Mas’ud al Badri, karena memang termasuk salah seorang sahabat ahli Badar, yang di dalam Al Qur’an dijamin keselamatannya di alam akhirat kelak.  Namun demikian Abu Mas’ud pernah mengalami suatu peristiwa yang hampir mencelakakannya di akhirat, bahkan mungkin bisa membatalkan jaminan keselamatannya sebagai ahli Badar, hanya karena ia tidak mampu menahan amarahnya.
            Suatu ketika salah seorang budaknya berbuat suatu kesalahan yang memancing kemarahan dirinya. Begitu marahnya sehingga ia mencambuk sang budak tersebut. Saat  ia sedang melakukan “hukuman” itu, terdengar suara di arah belakangnya, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud…”
            Suara itu tidak terlalu jelas karena memang dari kejauhan, dan ia belum bisa mengenali siapa yang berbicara tersebut. Ia masih saja mencambuk budaknya akibat hawa kemarahan yang meliputi dirinya. Tetapi ketika seruan yang sama makin jelas di belakangnya karena memang telah dekat, ia mengenalinya sebagai suara Rasulullah SAW. Ia berbalik menghadap beliau, dan Nabi SAW bersabda lagi, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk menyiksa kamu, daripada siksaanmu kepada budakmu itu…!!”
            Abu Mas’ud gemetar ketakutan mendengar sabda Nabi SAW tersebut, begitu takutnya sampai cambuknya terjatuh tanpa disadarinya, dan ia berkata, “Saya tidak akan pernah memukul seorang budak setelah ini selama-lamanya!!”
            Tampak ucapannya tersebut belum meredakan ekspresi ketidak-sukaan Rasulullah SAW atas apa yang dilakukannya. Karena itu ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya budak ini merdeka karena Allah..!!”
            Mendengar ucapannya itu, tampak ekpresi kelegaan di wajah Nabi SAW, kemudian beliau bersabda, “Seandainya engkau tidak segera memerdekakannya (budak tersebut), niscaya kamu akan disiksa atau dibakar oleh api neraka!!”
            Inilah salah satu bentuk kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya, khususnya kepada Abu Mas’ud. Beliau tidak ingin seorang sahabat ahli Badar seperti dirinya harus “mencicipi” panasnya api neraka untuk sekedar menebus kedzaliman yang dilakukannya, walaupun akhirnya tetap saja ia akan masuk surga.
Suatu ketika ia datang kepada Nabi SAW meminta untuk ditunjukkan jalan keselamatan, maka beliau bersabda, "Jagalah lidahmu, dan tinggallah di rumah sambil menangis menyesali dosa-dosamu."