Pada masa jahiliahnya, Abu Rafi
adalah budak milik Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW. Ketika Islam
mulai didakwahkan di Makkah, Abbas dan istrinya, Ummu Fadhl sebenarnya telah
memeluk Islam, tetapi mereka menyembunyikan keislamannya. Abu Rafi ikut dengan
kedua tuannya itu memeluk Islam, dan menyembunyikan keislamannya juga. Karena
itu, ketika Nabi SAW menghimbau kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, mereka
tetap tinggal di Makkah.
Usai
Perang Badar, ketika Ummu Fadhl dan Abu Rafi duduk-duduk di pinggiran Ka’bah,
sedang Abbas mengikuti perang Badar dan tertawan oleh pasukan muslim, datanglah
Abu Lahab yang memang tetap tinggal di Makkah karena sakit. Ia menyeret kakinya
yang tampak lemah, kemudian duduk di pinggiran Ka’bah dan menyandarkan
punggungnya di punggung Abu Rafi yang sedang bekerja membuat anak panah.
Tidak
berapa lama, datang beberapa orang pasukan Quraisy yang mengalami kekalahan di
Perang Badar, salah satunya adalah Abu Sufyan bin Harits, dan Abu Lahab
memanggilnya untuk menceritakan keadaan. Ibnu Harits duduk di sebelah Abu Lahab dan berkata, “Saat kami berhadapan dengan sekelompok orang, seolah-olah kami
menyerahkan diri kepadanya. Mereka menyerang dan menawan kami sekehendak
hatinya tanpa kami bisa melawannya. Tetapi, demi Allah, aku tidak bisa mencela
siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih yang
menunggangi kuda-kuda yang perkasa, yang berseliweran antara langit dan bumi,
dan kuda-kuda itu sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun dan tidak
menginjak apapun…”
Mendengar
cerita Abu Sufyan bin Harits tersebut Abu Rafi sangat gembira. Beberapa kali ia
hadir di majelis pengajaran Nabi SAW di rumah Arqam bin Abil Arqam di bukit
Shafa secara sembunyi-sembunyi, dan ia mengetahui siapa yang diceritakan oleh
Ibnu Harits tersebut. Begitu gembiranya sampai ia tidak sadar kalau sebenarnya
masih menyembunyikan keislamannya, dan berada di lingkungan kaum Quraisy yang
baru kalah perang dengan kaum Muslim. Tiba-tiba saja ia berteriak gembira,
“Demi Allah, itu adalah para malaikat yang membantu orang-orang muslim!!”
Abu
Lahab yang sedih mendengar cerita Abu Sufyan bin Harits itu, seketika
mengangkat tangannya dan memukul wajah Abu Rafi. Ketika ia mencoba melawan, Abu
Lahab membanting tubuhnya dan mendudukinya sambil memukulinya tanpa ampun.
Seolah-olah ia ingin melampiaskan kekesalan hatinya kepada Nabi SAW kepada Abu
Rafi.
Melihat
pemandangan seperti itu Ummu Fadhl menjadi marah. Walaupun Abu Rafi hanya
budaknya, tetapi ia adalah saudaranya sesama Islam. Ia bangkit mengambil tiang
pembatas Zamzam dan memukulkannya dengan keras ke kepala Abu Lahab, sambil
berkata, “Engkau berani menyiksa orang ini selagi tuannya tidak ada!!”
Kepala
Abu Lahab luka menganga cukup parah, dan ia segera meninggalkan Abu Rafi.
Akibat luka tersebut, hampir di seluruh tubuhnya muncul borok-borok bernanah,
suatu penyakit yang orang-orang Arab sangat jijik melihatnya. Ketika tujuh hari
kemudian Abu Lahab meninggal, mereka membiarkannya begitu saja mayatnya dan
tidak menguburkannya. Mereka begitu jijik untuk mendekatinya. Tetapi karena
takut terjadi akibat yang lebih buruk jika tidak dikuburkan, mereka menggali
lubang tak jauh dari situ, kemudian mendorong tubuhnya dengan kayu hingga jatuh
ke dalam lubang tersebut. Untuk menguruknya, mereka melemparkan batu-batu dari
kejauhan hingga hampir penuh, baru menimbunnya dengan tanah.
Di
kemudian hari, Abu Rafi dihadiahkan Abbas kepada Rasulullah SAW, dan beliau
memerdekakannya, karena itu ia dikenal dengan sebutan maula (budak yang
dimerdekakan) Rasulullah SAW. Namun demikian Abu Rafi memilih tetap untuk
berkhidmad kepada Nabi SAW, menjadi pembantu dan melayani kebutuhan beliau
ketika diperlukan, sebagaimana beberapa sahabat lainnya.
Pernah
terjadi suatu pemasalahan dalam rumah tangga Rasulullah SAW sehingga beliau
“meninggalkan” istri-istri beliau selama hampir satu bulan. Beliau tidak pulang
kepada mereka, tetapi menyendiri di suatu tempat bersama Abu Rafi saja. Masalah
tersebut dipicu oleh kecemburuan Hafshah binti Umar yang terlalu berlebihan.
Umar mengunjungi beliau yang hanya ditemani Abu Rafi, dan meminta maaf atas
sikap putrinya tersebut. Umar sempat menangis melihat keadaan mereka berdua yang
sangat menyedihkan itu, tetapi beliau hanya tersenyum dan menghiburnya.
Suatu
ketika setelah shalat ashar, Abu Rafi diajak Rasulullah SAW mengunjungi Bani
Asyhal dari suku Aus. Beliau berbincang-bincang dengan para sahabat Anshar di
sana hingga mendekati Maghrib. Kemudian beliau kembali ke masjid, tetapi ketika
melewati pemakaman Baqi, tiba-tiba Nabi SAW bersabda, “Celaka kamu, celaka
kamu!!”
Abu
Rafi menjadi cemas dan langkahnya melambat hingga tertinggal agak jauh dari
Nabi SAW. Ia khawatir telah melakukan kesalahan sehingga beliau mengutuknya.
Dalam kegalauannya tersebut Nabi SAW menyerunya, “Ada apa denganmu? Ayo jalan terus!!”
Abu
Rafi mendekat dan berkata, “Apa saya melakukan suatu kesalahan, ya Rasulullah?”
“Memangnya
kenapa?” Kata Nabi SAW.
“Engkau
tadi mengatakan kalau saya celaka!!” Kata Abu Rafi dengan agak takut.
Nabi
SAW tersenyum, kemudian bersabda, “Oh, bukan engkau yang aku maksudkan. Tetapi
si Fulan bin Fulan yang ada di dalam kubur itu. Aku pernah menugaskan dia
memungut zakat pada suatu kabilah, ternyata ia mencuri pakaian bulu dari sana . Dan sekarang ia
menerima balasannya dengan siksa kubur!!”
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusPada kisah Abu Jahal yang di pukul kepala nya oleh Ummu Fadhl, semestinya itu adalah Abu Lahab...bukan Abu Jahal, karena Abu Jahal sendiri menjadi panglima perang Badar dari pasukan Kaum Musyrikin Makkah dan terbunuh dalam perang tersebut
BalasHapusAss.Wr.Wb. Benar sekali Mas Anonim, seharusnya memang Abu Lahab, saya salah ketiknya. segera akan saya koreksi dan perbaiki, Jazakallahu khoiron jaza' Wass.Wr.Wb
BalasHapusAfwan...apakah abu rafi' ini abu rafi' yang dikisahkan berdalil tentang majikan perempuannya yang bernama lailah binti 'Ajma...?
BalasHapus