Minggu, 09 November 2014

Quddamah bin Mazh’un al Jumahi RA

Quddamah bin Mazh’un termasuk dalam kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan (as Sabiqunal Awwalun).  Walaupun dari golongan terkemuka, ia juga tak lepas dari penyiksaan kaum Quraisy, karena itu ketika Nabi SAW menghimbau para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah, ia segera mengikutinya. Tetapi ketika kemudian Nabi SAW hijrah ke Madinah, ia segera berhijrah juga meninggalkan Habasyah ke Madinah walaupun sebagian besar sahabat tetap tinggal di sana. Termasuk juga sahabat Utsman bin Affan yang mengambil sikap seperti Quddamah ini karena merasa lebih tenang dan nyaman jika tinggal dekat bersama Rasulullah SAW, walaupun mungkin dalam kesulitan hidup.
Quddamah pernah menjadi saudara ipar Umar bin Khaththab karena menikahi saudaranya, Shafiyah binti Khaththab. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia ditugaskan untuk menjadi Amir di Bahrain. Bukan karena “KKN” karena Umar sangat keras dalam menentukan kualifikasi orang-orang yang membantunya dalam mengurus pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Umar beranggapan, kesalahan yang dilakukan oleh penguasa daerah (Amir, Gubernur, panglima perang dll.) yang berakibat buruk kepada umat muslim atau non muslim di daerah tersebut, ia akan ikut “ditanya” dan dihisab di akhirat kelak. Karena itu, pilihannya kepada Quddamah berdasar atas kesalehan, kezuhudan dan kemampuan bekas saudara iparnya tersebut. Saat itu ia memang telah menikah lagi Hindun binti Utbah, janda dari Abu Sufyan bin Harb.
Suatu ketika sampai kabar di Madinah, bahwa Quddamah minum khamr. Umar segera mengecek kebenaran berita tersebut. Ia meminta kesaksian Abu Hurairah, yang juga ditugaskan oleh Umar di sana, yang di kemudian hari menjadi Amir sepeninggal Quddamah. Sebagai seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah, Abu Hurairah menjawab dengan hati-hati, “Saya memang pernah melihat Quddamah dalam keadaan mabuk (teler, terhuyung-huyung) dan muntah-muntah. Tetapi saat itu saya tidak melihatnya sedang minum khamr…!!”
Dengan kesaksian Abu Hurairah tersebut, walaupun tidak memastikan melihatnya minum khamr, Umar sebagai Qadhi (hakim) memutuskan bahwa mantan saudara iparnya tersebut bersalah “melanggar hukum” meminum khamr, sesuai ciri-ciri yang terlihat pada dirinya.
Untuk memperkuat “dakwaan” seperti itu, Umar mengirim utusan kepada istri Quddamah, Hindun binti Utbah dan menanyakan masalah ini. Hindun yang telah menjadi wanita shalihah, ia berkata jujur bahwa suaminya tersebut memang “pernah” minum khamr. Padahal bisa saja ia berbohong untuk menyelamatkan suaminya dari sanksi hukum, tetapi budaya jahiliah seperti itu telah jauh ditinggalkannya sejak ia berba’iat memeluk Islam di hadapan Nabi SAW saat Fathul Makkah.
Dengan dua bahan kesaksian itu, Umar memanggil Quddamah ke Madinah dan akan menerapkan hukum cambuk kepada Amir/Gubernur Bahrain tersebut. Setelah tiba di Madinah dan Umar menetapkan dakwaan tersebut, Quddamah berkata, “Tidak hak bagimu untuk menghukum aku, sesungguhnya Allah telah berfirman : Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu (sebelum itu) apabila mereka beriman dan bertakwa, serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan mengerjakan kebajikan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan..!!”
Mungkin dalam logika dan penafsiran Quddamah, ia mengakui pernah minum khamr, tetapi setelah itu ia bertobat dan tetap dalam keimanan dan ketakwaan dan terus menerus berbuat kebajikan untuk menebus kesalahannya tersebut. Mungkin juga ia pernah mendengar atau malah terlibat dalam suatu peristiwa di masa Nabi SAW, dimana seorang pemuda datang kepada Nabi SAW untuk minta diqisash (dihukum) karena berbuat maksiat (sebagian riwayat, ia mencium seorang wanita yang bukan muhrimnya; riwayat lainnya, ia berbuat zina). Saat itu adzan shalat zhuhur telah dikumandangkan, beliau tidak menanggapinya, kemudian shalat zhuhur berjamaah didirikan, dan pemuda tersebut ikut berjamaah. Usai shalat, seperti biasanya diadakan majelis pengajaran hingga waktunya shalat ashar, dan shalat didirikan, sang pemuda juga ikut berjamaah. Usai shalat ashar, pemuda tersebut mendekat kepada Nabi SAW dan mengulang permintaannya sebelum shalat zhuhur sebelumnya. Nabi SAW bersabda, “Bukankah engkau telah mengikuti shalat berjamaah dan kegiatan lainnya bersama kami?”
“Benar, ya Rasulullah..” Kata pemuda tersebut.
“Sesungguhnya semua kebajikan yang engkau lakukan sejak shalat zhuhur hingga sekarang ini telah menghapus dosa dan kesalahan yang engkau lakukan sebelumnya…”
Kemungkinan hal seperti tersebut di atas yang menjadi argumentasi Quddamah untuk membatalkan hukuman yang akan dijatuhkan Umar atas dirinya. Tetapi Umar menolak hujjah tersebut dengan mengutip firman Allah juga, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian memperoleh keberuntungan (QS al Maidah 90).”
Quddamah menjadi sedih dengan keputusan Umar tersebut. Keadaannya yang sakit ketika berangkat ke Madinah jadi makin memburuk. Beberapa sahabat meminta keringanan kepada Umar untuk membatalkan hukuman tersebut, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya, bahkan ia sendiri yang menghukum dera/cambuk Quddamah sebanyak 40 kali (atau 80 kali dalam riwayat lainnya).
Mata Quddamah berkaca-kaca penuh kesedihan mendapat hukuman ini. Ia teringat akan sabda Nabi SAW kepada ahli Badar, di mana ia termasuk di dalamnya, “Semoga Allah memandang kepada para pengikut perang Badar, dan Allah telah berfirman kepada mereka : Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian…!!”
Setelah peristiwa itu, hubungan keduanya jadi merenggang, ada gap yang menganga antara dua orang yang pernah bersaudara ini. Sampai suatu ketika Umar bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadanya, “Damailah dengan Quddamah karena dia adalah saudaramu..!!”
            Karena mimpi tersebut, Umar bergegas menuju rumah Quddamah, bersalaman dan minta maaf atas semua kesalahannya, begitu juga sebaliknya dengan Quddamah, sehingga keduanya berdamai, dan hubungannya kembali harmonis seperti sedia kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar