Quddamah bin Mazh’un termasuk dalam
kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan (as Sabiqunal
Awwalun). Walaupun dari golongan
terkemuka, ia juga tak lepas dari penyiksaan kaum Quraisy, karena itu ketika
Nabi SAW menghimbau para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah, ia segera
mengikutinya. Tetapi ketika kemudian Nabi SAW hijrah ke Madinah, ia segera
berhijrah juga meninggalkan Habasyah ke Madinah walaupun sebagian besar sahabat
tetap tinggal di sana .
Termasuk juga sahabat Utsman bin Affan yang mengambil sikap seperti Quddamah
ini karena merasa lebih tenang dan nyaman jika tinggal dekat bersama Rasulullah
SAW, walaupun mungkin dalam kesulitan hidup.
Quddamah pernah menjadi saudara
ipar Umar bin Khaththab karena menikahi saudaranya, Shafiyah binti Khaththab.
Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia ditugaskan untuk menjadi Amir di
Bahrain. Bukan karena “KKN” karena Umar sangat keras dalam menentukan
kualifikasi orang-orang yang membantunya dalam mengurus pemerintahan yang
menjadi tanggung jawabnya. Umar beranggapan, kesalahan yang dilakukan oleh
penguasa daerah (Amir, Gubernur, panglima perang dll.) yang berakibat buruk
kepada umat muslim atau non muslim di daerah tersebut, ia akan ikut “ditanya”
dan dihisab di akhirat kelak. Karena itu, pilihannya kepada Quddamah berdasar
atas kesalehan, kezuhudan dan kemampuan bekas saudara iparnya tersebut. Saat
itu ia memang telah menikah lagi Hindun binti Utbah, janda dari Abu Sufyan bin
Harb.
Suatu ketika sampai kabar di
Madinah, bahwa Quddamah minum khamr. Umar segera mengecek kebenaran berita
tersebut. Ia meminta kesaksian Abu Hurairah, yang juga ditugaskan oleh Umar di sana , yang di kemudian
hari menjadi Amir sepeninggal Quddamah. Sebagai seorang sahabat yang sangat
dekat dengan Rasulullah, Abu Hurairah menjawab dengan hati-hati, “Saya memang
pernah melihat Quddamah dalam keadaan mabuk (teler, terhuyung-huyung) dan
muntah-muntah. Tetapi saat itu saya tidak melihatnya sedang minum khamr…!!”
Dengan kesaksian Abu Hurairah
tersebut, walaupun tidak memastikan melihatnya minum khamr, Umar sebagai Qadhi
(hakim) memutuskan bahwa mantan saudara iparnya tersebut bersalah “melanggar
hukum” meminum khamr, sesuai ciri-ciri yang terlihat pada dirinya.
Untuk memperkuat “dakwaan” seperti
itu, Umar mengirim utusan kepada istri Quddamah, Hindun binti Utbah dan
menanyakan masalah ini. Hindun yang telah menjadi wanita shalihah, ia berkata
jujur bahwa suaminya tersebut memang “pernah” minum khamr. Padahal bisa saja ia
berbohong untuk menyelamatkan suaminya dari sanksi hukum, tetapi budaya
jahiliah seperti itu telah jauh ditinggalkannya sejak ia berba’iat memeluk
Islam di hadapan Nabi SAW saat Fathul Makkah.
Dengan dua bahan kesaksian itu, Umar
memanggil Quddamah ke Madinah dan akan menerapkan hukum cambuk kepada
Amir/Gubernur Bahrain tersebut. Setelah tiba di Madinah dan Umar menetapkan
dakwaan tersebut, Quddamah berkata, “Tidak hak bagimu untuk menghukum aku,
sesungguhnya Allah telah berfirman : Tidak ada dosa bagi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka
makan dahulu (sebelum itu) apabila mereka beriman dan bertakwa, serta
mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman,
kemudian mereka tetap bertakwa dan mengerjakan kebajikan. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan..!!”
Mungkin dalam logika dan penafsiran
Quddamah, ia mengakui pernah minum khamr, tetapi setelah itu ia bertobat dan
tetap dalam keimanan dan ketakwaan dan terus menerus berbuat kebajikan untuk
menebus kesalahannya tersebut. Mungkin juga ia pernah mendengar atau malah
terlibat dalam suatu peristiwa di masa Nabi SAW, dimana seorang pemuda datang
kepada Nabi SAW untuk minta diqisash (dihukum) karena berbuat maksiat (sebagian
riwayat, ia mencium seorang wanita yang bukan muhrimnya; riwayat lainnya, ia
berbuat zina). Saat itu adzan shalat zhuhur telah dikumandangkan, beliau tidak
menanggapinya, kemudian shalat zhuhur berjamaah didirikan, dan pemuda tersebut
ikut berjamaah. Usai shalat, seperti biasanya diadakan majelis pengajaran
hingga waktunya shalat ashar, dan shalat didirikan, sang pemuda juga ikut
berjamaah. Usai shalat ashar, pemuda tersebut mendekat kepada Nabi SAW dan
mengulang permintaannya sebelum shalat zhuhur sebelumnya. Nabi SAW bersabda,
“Bukankah engkau telah mengikuti shalat berjamaah dan kegiatan lainnya bersama
kami?”
“Benar, ya Rasulullah..” Kata
pemuda tersebut.
“Sesungguhnya semua kebajikan yang
engkau lakukan sejak shalat zhuhur hingga sekarang ini telah menghapus dosa dan
kesalahan yang engkau lakukan sebelumnya…”
Kemungkinan hal seperti tersebut di
atas yang menjadi argumentasi Quddamah untuk membatalkan hukuman yang akan
dijatuhkan Umar atas dirinya. Tetapi Umar menolak hujjah tersebut dengan
mengutip firman Allah juga, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan
tersebut agar kalian memperoleh keberuntungan (QS al Maidah 90).”
Quddamah menjadi sedih dengan
keputusan Umar tersebut. Keadaannya yang sakit ketika berangkat ke Madinah jadi
makin memburuk. Beberapa sahabat meminta keringanan kepada Umar untuk
membatalkan hukuman tersebut, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya, bahkan
ia sendiri yang menghukum dera/cambuk Quddamah sebanyak 40 kali (atau 80 kali
dalam riwayat lainnya).
Mata Quddamah berkaca-kaca penuh
kesedihan mendapat hukuman ini. Ia teringat akan sabda Nabi SAW kepada ahli
Badar, di mana ia termasuk di dalamnya, “Semoga Allah memandang kepada para
pengikut perang Badar, dan Allah telah berfirman kepada mereka : Berbuatlah
sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian…!!”
Setelah peristiwa itu, hubungan
keduanya jadi merenggang, ada gap yang menganga antara dua orang yang pernah
bersaudara ini. Sampai suatu ketika Umar bermimpi bertemu seseorang yang
berkata kepadanya, “Damailah dengan Quddamah karena dia adalah saudaramu..!!”
Karena mimpi tersebut, Umar bergegas menuju rumah
Quddamah, bersalaman dan minta maaf atas semua kesalahannya, begitu juga
sebaliknya dengan Quddamah, sehingga keduanya berdamai, dan hubungannya kembali
harmonis seperti sedia kala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar