Minggu, 15 Juli 2012

Ghitrif & Ghatafan bin Sahl, Urwah bin Abdullah R.Hum


Pada suatu musim haji, Rasulullah SAW mendatangi Bani Ka'b bin Rabiah dari kabilah Bani Amir bin Sha'sha'ah yang sedang berada di Pasar Ukazh. Kabilah ini yang mempunyai kekuatan cukup besar, dan jarang ada kabilah lain yang berani berperang dengannya. Beliau menyeru mereka kepada Islam dan menjelaskan risalahnya. Ternyata mereka belum bersedia untuk masuk Islam, tetapi bersedia untuk membela beliau dalam menyampaikan risalah Islam.
Nabi SAW mengikuti mereka ke perkemahannya dengan penyambutan yang baik. Dalam sebuah transaksi jual beli, seseorang bernama Baiharah bin Firas al Qusyairi mencela Bani Ka'b bin Rabiah ini atas perlindungannya atas Rasulullah SAW. Ia kemudian berpaling kepada Nabi SAW dan berkata, "Bangunlah, kembalilah kepada kaummu, Demi Allah, jika kau tidak sedang di antara kaumku, pasti aku akan memenggal kepalamu."
Setelah Nabi SAW naik unta, Baiharah menendang kaki unta beliau dan dua orang melemparinya. Saat itu ada seorang wanita dari Bani Amir bin Sha'sha'ah yang telah memeluk Islam, yakni Dhuba'ah binti Amir bin Qurth. Ia berseru kepada keluarganya untuk membela Nabi SAW. Muncullah satu orang memukul Baiharah, dan dua orang lagi tampil memukul dua orang yang melempar Nabi SAW. Melihat hal itu, Nabi berdoa, "Ya Allah, berkatilah tiga orang itu (yang membantu Nabi SAW) dan laknatilah orang yang membantu Baiharah."
Tiga orang tersebut adalah anak-anak paman Dhuba'ah, Ghitrif bin Sahl dan Ghatafan bin Sahl, dua anak lelaki Sahl, dan satunya lagi Urwah bin Abdullah. Dua orang yang membantu Baiharah dan kemudian mati dalam keadaan dilaknat oleh Allah SWT adalah Hazn bin Abdullah dan Muawiyah bin Ubadah. Tiga orang yang membantu Nabi SAW akhirnya mendapat berkah doa beliau, setelah beberapa waktu berlalu, mereka masuk Islam dan berjihad bersama Rasullullah SAW hingga menemui syahidnya.

Iyas bin Mu'adz RA


Iyas bin Mu'adz adalah seorang pemuda dari Bani Abdul Asyhal, salah satu kabilah Suku Khazraj di Madinah. Suatu ketika ia diajak oleh Abul Haisar Anas bin Rafi bersama beberapa pemuda lainnya dari Bani Abul Asyhal, untuk menemui kaum Quraisy Makkah dalam rangka perjanjian kerjasama pertahanan. Saat itu Suku Khazraj sedang berperang dengan Suku Aus.
Di Makkah rombongan ini didatangi oleh Rasulullah SAW, beliau menjelaskan tentang Islam dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Mendengar dakwah Nabi SAW tersebut. Iyas bin Mu'adz berkata, "Wahai kaumku, ini lebih baik daripada maksud kedatangan kalian (yakni untuk menjalin perjanjian kerjasama dengan orang-orang kafir Quraisy) !!"
Anas bin Rafi sebagai pimpinan kelompok ini marah mendengarnya, dan melemparkan segengam pasir ke wajah Iyas. Iyas hanya terdiam dan Nabi SAW meninggalkan mereka.
Beberapa waktu berlalu, terjadilah Perang Bu'ats di Madinah, perang saudara antara Suku Khazraj dan Suku Aus. Dalam peperangan tersebut Iyas bin Mu'adz meninggal akibat luka-lukanya yang dialaminya. Tetapi orang-orang Madinah itu menyaksikan, bahwa menjelang kematiannya, Iyas selalu bertahlil, bertakbir dan bertasbih sampai malaikat maut menjemputnya. Karena itu mereka menyimpulkan bahwa Iyas telah memeluk Islam sejak mendengar dakwah Nabi di Makkah, dan tewas dalam memeluk agama barunya (Agama Islam) tersebut.

Zaid bin Datsinah RA


Zaid bin Datsinah RA, seorang sahabat Anshar yang termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat dibawah pimpinan Ashim bin Tsabit. Kelompok sahabat ini dikirim Nabi SAW untuk mematai-matai kaum Quraisy (atau dalam riwayat lain, atas permintaan Bani Adhal dan Qarah untuk mendakwahi kaumnya). Kemudian mereka ini dikhianati sehingga terjadi pertempuran tidak seimbang dengan 100 orang kafir, delapan orang menemui syahidnya, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi tertawan, dan dijual kepada orang-orang Quraisy di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah dengan harga 50 ekor unta.
Pada waktu yang ditetapkan untuk eksekusi, Zaid dibawa ke suatu tempat di luar Masjidil Haram. Orang-orang telah berkumpul untuk melihat hukuman  mati yang akan dijatuhkan kepada Zaid. Sebagian orang-orang kafir melemparinya dengan anak panah sambil membujuknya kembali murtad. Tetapi ia tidak bergeming sedikitpun dan memasrahkan dirinya kepada Allah.
Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Zaid berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."
Abu Sufyan berkata, "Kasih sayang yang ditunjukkan sahabat-sahabatnya kepada Muhammad tidak ada bandingannya."
Shafwan telah menugaskan salah satu hamba sahayanya bernama Nisthas untuk membunuh Zaid, ia menikam tubuh Zaid dengan lembing sehingga menemui syahidnya. Sebelum ajal menjemputnya, ia sempat berkata, "Ya Allah, sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW….!"
Nabi SAW yang berada di Madinah mendengar salam yang disampaikannya lewat malaikat Jibril, dan beliau membalasnya, sambil mengabarkan pada sahabat-sahabat lainnya tentang pembunuhan Zaid dan Khubaib oleh orang kafir Quraisy

Khubaib bin Adi RA


Khubaib bin Adi adalah seorang sahabat Anshar dari Suku Aus. Pada hari pertama ketika Nabi SAW datang di Madinah, Khubaib datang menghadap beliau dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Kebanyakan kaum kerabatnya telah memeluk Islam ketika masih didakwahkan sahabat Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah, ia sendiri belum tergerak hatinya. Tetapi ketika ia memandang langsung wajah Nabi SAW, hatinya seolah terbetot oleh ‘pesona’ yang membawanya untuk memeluk Islam.
Pada bulan Shafar tahun 4 Hijriah, beberapa waktu setelah terjadinya Perang Uhud, Nabi SAW mengirim utusan dakwah yang terdiri sekelompok sahabat yang dipimpin Ashim bin Tsabit, Khubaib termasuk di dalamnya. Rombongan yang dikirim atas permintaan Bani Adhal dan Qarah ini ternyata dikhianati. Mereka diserang oleh Bani Hudzail dan berakhir dengan tragedi Raji'. Khubaib ditawan dalam keadaan hidup bersama Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq, sedang lainnya syahid. Sedianya, ketiganya akan  dibawa ke Makkah untuk dijual, tetapi Abdullah  bin Thariq berhasil lepas dan melawan, tetapi ia akhirnya terbunuh  di daerah Zhahran.
Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abu ihab at Tamimi dari Bani Harits bin Amir bin Naufal dengan harga seratus ekor unta. Khubaib adalah pembunuh Harits bin Amir pada Perang Badar, mereka mengurungnya sementara waktu sampai saat yang disepakati oleh keluarga Harits untuk membunuhnya. Suatu ketika Khubaib meminjam pisau cukur untuk memotong  rambutnya, salah seorang putri al Harits meminjaminya. Tidak berapa lama, putri al Harits tersentak dan berlari menuju tempat Khubaib ditawan, sambil berkata, "Aku telah lalai meninggalkan anakku di dekat Khubaib….!"
Sesampainya di sana, ia melihat anaknya duduk di pangkuan paha Khubaib, seketika wajahnya pucat dalam ketakutan. Apalagi pisau cukur itu masih ada di tangan Khubaib. Melihat ekspresi putri al Harits tersebut, Khubaib  berkata, "Apakah engkau takut aku akan membunuhnya? Sekali-kali aku tidak akan melakukannya, insyaallah!!"
Ia kembali ke keluarganya dan berkata, "Aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Khubaib, dan yang mengherankan, ia sedang memakan setandan buah anggur, padahal tidak sedang musim buah-buahan di Makkah, tangan dan kakinya-pun tetap terikat dengan rantai besi. Tentulah buah-buahan tersebut rezeki dari Allah SWT...!"
Pada saat yang ditentukan untuk dieksekusi, Khubaib dibawa keluar dari tanah haram. Sebelum pelaksanaan pembunuhan, Khubaib meminta waktu untuk shalat dua rakaat, dan ia diijinkan. Inilah pertama kalinya shalat sunnah sebelum eksekusi kematian dijalankan. Usai shalat, Khubaib berkata, "Kalau tidak khawatir kalian mengira aku takut mati, pastilah aku akan memanjangkan dan menambah shalatku…"
Putra al Harits, Uqbah bin Harits bangkit untuk membunuh Khubaib, yang tubuhnya telah disalib pada sebatang kayu. Mayatnya dibiarkan tetap tersalib, dan menyuruh beberapa orang untuk menjaganya. Tetapi pada malam harinya, muncul sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, ia berhasil menyiasati (mengakali) para penjaga dan menurunkan mayat Khubaib, kemudian membawanya pergi dan menguburkan pada tempat tersembunyi.
Khubaib dan Zaid bin Datsinah dibunuh pada waktu yang hampir bersamaan, dan Nabi SAW di Madinah bisa mendengar perkataan terakhir mereka sebelum dieksekusi, beliau berkata, "Salam dan keselamatan untuk kalian berdua…"
Kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, "Khubaib dan Zaid telah dibunuh orang-orang Quraisy…"
Dalam suatu riwayat disebutkan, sebelum eksekusi dijalankan, Abu Sufyan bertanya kepadanya, "Maukah kau, jika kepalamu yang akan dipenggal ini digantikan dengan kepala Muhammad, dan kamu dibebaskan sehingga bisa berkumpul dan bergembira bersama keluargamu?"
Tetapi Abu Sufyan dan orang-orang kafir itu memperoleh jawaban yang mengejutkan, Khubaib berkata, "Demi Allah, kehidupanku bersama keluargaku tidak akan menjadi senang, jika aku membiarkan duri sekecil apapun menusuk badan kekasihku, Muhammad."
Tetapi riwayat lain menyebutkan, percakapan tersebut terjadi pada eksekusi Zaid bin Datsinah. Atau mungkin juga terjadi pada eksekusi kedua sahabat tersebut, karena mereka berdua ditangkap dan dijual ke kaum Quraisy bersama-sama, dan dieksekusi mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dan sama-sama disaksikan oleh tokoh- tokoh kafir Quraisy.

Mu'adz bin Jabal RA


Mu'adz bin Jabal termasuk sahabat Anshar pada periode awal, ia telah memeluk Islam pada Ba'iat Aqabah ke dua, sehingga ia termasuk dari golongan as sabiqunal awwalun. Saat itu ia masih sangat muda, tetapi justru kemudaannya tersebut yang membuat ia lebih mudah dan lebih banyak menyerap ilmu-ilmu keislaman.
Ia termasuk sahabat yang berani mengemukakan buah pikirannya, seperti halnya Umar bin Khaththab, namun demikian ia tetap seorang yang rendah hati. Ia tidak pernah begitu saja mengemukakan pendapat atau pemikirannya (ijtihadnya) kecuali jika diminta atau diberi waktu mengemukakannya. Karena begitu luas dan mendalamnya pengetahuan yang dimilikinya, terutama menyangkut hukum-hukum Islam (Ilmu Fikih), Nabi SAW pernah bersabda tentang dirinya, "Ummatku yang paling tahu akan halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal…"
Atas dasar sabda Nabi SAW inilah banyak sahabat-sahabat yang menjadikan Mu'adz sebagai rujukan jika ada permasalahan menyangkut hukum-hukum Islam (Fikih). Bahkan Umar bin Khaththab, yang diakui kecerdasannya oleh Nabi SAW, pada saat menjadi khalifah banyak meminta pendapat dan buah fikiran Mu'adz dalam memutuskan suatu permasalahan. Sampai akhirnya Umar berkata, "Kalau tidaklah karena Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar…"
Ketika Nabi SAW akan mengirimnya ke Yaman untuk membimbing dan mengajarkan seluk-beluk keislaman kepada penduduk di sana, beliau bertanya kepada Mu'adz, "Apa yang menjadi pedoman bagimu untuk mengadili dan memecahkan suatu masalah, ya Mu'adz?"
"Kitabulah, ya Rasulullah!" Jawab Mu'adz.
"Jika tidak engkau temukan dalam Al Qur'an?"
"Akan saya cari pemecahannya berdasarkan sunnah-sunnahmu, Ya Rasulullah!!"
"Jika tidak engkau dapatkan juga??"
"Saya akan menggunakan fikiran saya untuk berijtihad, dan saya tidak akan berlaku sia-sia (dholim, tidak untuk kepentingan pribadi dan duniawiah)…"
Bersinarlah wajah Rasulullah SAW pertanda bahwa beliau puas dan senang dengan penjelasan Mu'adz, kemudian beliau bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah, sebagaimana yang diridhai Rasulullah..."
Suatu malam Mu'adz bermaksud menemui Rasulullah SAW, tetapi ternyata beliau sedang mengendarai unta, entah hendak pergi kemana?? Melihat kedatangannya, beliau meminta Mu'adz naik ke belakang beliau, berboncengan berdua, unta pun melanjutkan perjalanan. Beliau memandang ke langit, setelah menyanjung dan memuji Allah SWT, beliau bersabda kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, aku akan menceritakan suatu kisah kepadamu, jika engkau menghafalnya akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika engkau meremehkannya, engkau tidak akan punya hujjah (argumentasi) di hadapan Allah kelak."
Nabi SAW menceritakan, bahwa sebelum penciptaan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah bumi dan langit tercipta, Allah menempatkan tujuh malaikat tersebut pada pintu-pintu langit, menurut derajat dan keagungannya masing-masing. Allah juga menciptakan malaikat yang  mencatat dan membawa amal kebaikan seorang hamba ke langit, menuju ke hadirat Allah, yang disebut dengan malaikat hafadzah.
Suatu ketika malaikat hafadzah membawa ke langit, amalan seorang hamba yang berkilau seperti cahaya matahari. Ketika sampai di langit pertama, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit pertama itu berkata, "Tamparkan amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah penjaga (penyeleksi) orang-orang yang suka mengumpat (Ghibah, jawa: ngerasani). Aku ditugaskan untuk menolak amalan orang yang suka ghibah. Allah tidak mengijinkannya melewatiku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat banyak dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah. Ketika sampai di langit kedua, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke dua itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, sebab ia beramal dengan mengharap duniawiah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan seperti ini dan melarangnya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat memuaskannya, penuh dengan sedekah, puasa dan berbagai kebaikan lainnya, yang dianggapnya sangat mulia dan terpuji. Ia berhasil melalui langit pertama dan kedua karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah dan tidak mengharapkan balasan duniawiah.
Ketika sampai di langit ke tiga, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tiga itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga kibr (kesombongan), Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka sombong (bermegah-megahan) dalam majelis. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Saat yang lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar seperti bintang kejora, bergemuruh dengan penuh dengan tasbih, puasa, shalat, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama, ke dua dan ke tiga karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah dan juga tidak sombong.
Ketika sampai di langit ke empat, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke empat itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat ujub. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang disertai ujub. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat yang lain, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat mulia, terdiri dari jihad, haji, umrah dan berbagai kebaikan lainnya sehingga sangat cemerlang seperti matahari. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke empat, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong dan juga tidak ujub dalam beramal.
Ketika sampai di langit ke lima, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke lima itu berkata "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat hasud (iri dengki). Meskipun amalannya sangat baik, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah. Itu artinya ia membenci Allah yang memberikan kenikmatan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang sangat sempurna dari wudhu, shalat, puasa, haji dan umrah. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke lima, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, dan juga tidak suka hasud pada orang lain.
Ketika sampai di langit ke enam, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke enam itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga sifat rahmah. Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang tidak pernah mengasihani orang lain. Bahkan jika ada orang yang ditimpa musibah, ia merasa senang. Allah tidak mengijinkannya melewati aku untuk mencapai langit berikutnya."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lain lagi, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba yang bersinar-sinar seperti kilat menyambar dan bergemuruh laksana guruh menggelegar, terdiri dari shalat, puasa, haji, umrah, wara’, zuhud dan berbagai amalan hati lainnya. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke enam, karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, dan juga seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya.
Ketika sampai di langit ke tujuh, malaikat hafadzah memuji amalan yang dibawanya di hadapan para malaikat yang tinggal di sana. Tetapi malaikat penjaga pintu langit ke tujuh itu berkata, "Berhenti!! Tamparkanlah amalan ini ke muka pemiliknya!! Aku adalah malaikat penjaga sifat sum’ah (suka pamer). Allah menugaskan aku untuk menolak amalan orang yang suka memamerkan amalannya untuk memperoleh ketenaran, derajad dan pengaruh terhadap orang lain. Amalan seperti ini adalah riya', dan Allah tidak menerima ibadahnya orang yang riya'. Allah tidak mengijinkannya melewati aku  untuk sampai ke hadirat Allah SWT."
Maka para malaikat yang menghuni langit itu melaknat pemilik amalan tersebut.
Pada saat lainnya, malaikat hafadzah membawa ke langit, amal saleh seorang hamba berupa shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak mulia, pendiam suka berdzikir, dan beberapa lainnya yang tampak sangat sempurna. Ia berhasil melalui langit pertama hingga ke tujuh karena pemiliknya bukan seorang yang suka ghibah, tidak mengharapkan balasan duniawiah, tidak sombong, tidak ujub dalam beramal, tidak suka hasud pada orang lain, seorang yang penuh kasih sayang (rahmah) pada sesamanya, dan juga tidak suka memamerkan amalannya (sum’ah). Para malaikat dibuat terkagum-kagum sehingga mereka ikut mengiring amalan itu itu sampai di hadirat Allah SWT.
Ketika amal tersebut dipersembahkan malaikat hafadzah, Allah berfirman, "Hai malaikat hafadzah, Aku-lah yang mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku tetapi untuk selain  Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian, dan Aku laknat mereka yang menipu orang lain dan menipu kalian (malaikat hafadzah, dan malaikat-malaikat lainnya yang menganggapnya sebagai amalan hebat), tetapi Aku tidak akan tertipu olehnya. Aku-lah yang mengetahui hal-hal ghaib, Aku mengetahui isi hatinya. Yang samar, tidaklah samar bagi-Ku, Yang tersembunyi, tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku  atas segala yang telah terjadi, sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang belum terjadi. Ilmu-Ku atas segala  yang telah lewat, sama dengan Ilmu-Ku atas segala yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang terdahulu, sama dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang yang kemudian. Aku yang paling mengetahui segala sesuatu yang samar dan rahasia, bagaimana bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa saja mereka menipu mahluk-Ku tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib….tetaplah laknat-Ku atas mereka…!!"
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat juga berkata, "Ya Allah, kalau demikian keadaannya, tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka….!!"
Kemudian para malaikat dan seluruh penghuni langit berkata, "Ya Allah,  tetaplah laknat-Mu dan laknat orang-orang yang melaknat atas mereka…!!"
Begitulah, panjang lebar Nabi SAW menceritakan kepada Mu'adz bin Jabal, dan tanpa terasa ia menangis tersedu-sedu di boncengan unta beliau. Ia berkata di sela tangisannya, "Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang engkau ceritakan itu??"  
"Wahai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan!!" Kata Nabi SAW.
"Engkau adalah Rasulullah, sedangkan aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari semua itu…" Kata Mu'adz.
"Memang begitulah,” Kata Nabi SAW, “Jika ada kelengahan dalam ibadahmu, jagalah lisanmu agar tidak sampai menjelekkan orang lain, terutama jangan menjelekkan ulama….."
Panjang lebar Nabi SAW menasehati Mu'adz bin Jabal, yang intinya adalah menjaga lisan dan hati, jangan sampai melukai dan menghancurkan pribadi orang lain. Akhirnya beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Bencilah (larilah) dari sesuatu yang engkau membencinya (yakni, akibat buruk yang diceritakan Nabi SAW  di atas), niscaya engkau akan selamat…!"
Rasulullah SAW tahu betul bahwa Mu'adz bin Jabal sangat mengetahui hukum-hukum Islam (Fikih), yang pada dasarnya bersifat lahiriah. Dengan menceritakan kisah tersebut, beliau ingin melengkapi pengetahuan dan pemahamannya dari sisi batiniah, sehingga makin sempurna pengetahuan keislamannya. Dan tak salah kalau kemudian Nabi SAW pernah bersabda, "Mu'adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari kiamat….!"
Sebagaimana umumnya para sahabat Anshar, Mu’adz hampir tidak pernah terlewat dalam berbagai perjuangan dan jihad bersama Rasulullah SAW. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan berbagai pertempuran lain diterjuninya. Ketika Nabi SAW wafat, Mu’adz sedang berada di Yaman untuk mengemban tugas Nabi SAW, menjadi Qadhi dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan memeluk Islam pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah SAW. Mu’adz sendiri meninggal pada masa Khalifah Umar bin Khaththab akibat wabah penyakit thaun yang melanda kota Amwas, antara Ramalah dan Baitul Maqdis, termasuk wilayah Syam.