Minggu, 20 Oktober 2013

Abdullah bin Ziyad RA (Al Mujadzdzir)

Abdullah bin Ziyad RA adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Ghanm, suku Khazraj, dan salah seorang sahabat ahlul Badar. Ia lebih dikenal dengan nama al Mujadzdzir, sang Pembongkar Urat, karena terkenal sebagai tipe orang yang sangat kasar di masa jahiliah. Ketika terjadi perang Bu'ats, perang saudara antara suku Aus dan Khazraj di Madinah sebelum masa keislaman, ia membunuh Suwaid bin Shamit yang saat itu telah memeluk Islam. Tetapi kemudian ia menyertai tujuhpuluh lima orang Madinah yang berba'iat kepada Nabi SAW di Ba'iatul Aqabah ke dua untuk memeluk Islam.
Sebelum perang Badar mulai pecah, Nabi SAW berpesan untuk tidak membunuh Abbas bin Abdul Muthalib dan Abul Bakhtary bin Hisyam. Dua orang tokoh Quraisy ini tidak pernah memusuhi Nabi SAW ketika di Makkah, mereka juga membantu orang-orang muslim walaupun dengan diam-diam. Bahkan Abul Bakhtary salah satu orang yang berinisiatif dan berperan membatalkan piagam pemboikotan kaum Quraisy atas Bani Hasyim dan Bani Muthalib (yakni keluarga besar Nabi Muhammad SAW)
Dalam peperangan ini, Mujadzdzir bertemu dengan Abul Bakhtary, yang berperang bersisian dengan temannya, Junadah bin Malihah. Mujadzdzir berkata, "Wahai Abul Bakhtary, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami membunuh engkau..!!"
"Bagaimana dengan temanku ini?" Tanya Abul Bakhtary.
"Tidak, demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu..!!"
Karena tidak ada perintah lain dari Nabi SAW sehubungan dengan teman yang bersama Abul Bakhtary, jawaban itulah yang paling tepat disampaikan Mujadzdzir. Tetapi Abul Bakhtary berkata, "Demi Allah, kalau begitu aku akan mati bersama-sama temanku ini. Aku tidak ingin para wanita Quraisy mengatakan aku meninggalkan temanku karena ingin tetap hidup!!"
Setelah itu mereka berdua menyerang Mujadzdzir, dan tidak ada pilihan lain baginya kecuali melakukan perlawanan daripada harus mati konyol. Akhirnya mereka berdua tewas di tangan Mujadzdzir. Usai pertempuran, Mujadzdzir menghadap Nabi SAW sambil memohon maaf, ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku telah berusaha untuk hanya menawan Abul Bakhtary dan membawanya ke hadapan engkau. Tetapi ia tidak mau menyerah dan berkeras melakukan perlawanan sehingga dengan terpaksa saya membunuhnya!!”
Tampak penyesalan di wajah Nabi SAW, tetapi bagaimana lagi. Namanya pertempuran adalah membunuh atau terbunuh (kill or to be kill), dan tentunya bukan sepenuhnya kesalahan Mujadzdzir kalau ia tidak bisa memenuhi pesan Nabi SAW tersebut. 
            Dalam perang Uhud, Mujadzdzir menemui syahidnya di tangan Harits bin Suwaid, putra dari Suwaid bin Shamit yang telah dibunuhnya pada Perang Bu'ats. Sebenarnya mereka berdua berada di kubu yang sama, pasukan muslim, hanya saja Harits belum memeluk Islam. Harits berprasangka bahwa Mujadzdzir akan membunuhnya jika telah kembali ke Madinah, karena itu ia bertindak mendahuluinya dengan menikam Mujadzdzir hingga tewas. Tetapi kemudian Harits menyesali tindakannya ini dan memeluk Islam. Ia juga gugur di Perang Uhud ini sebagai seorang muslim.

Tsabit bin Arqam al Ajlani RA

Tsabit bin Arqam RA adalah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Bani Ajlan, ia juga termasuk salah satu dari sahabat Ahlu Badar. Sebagaimana sebagian besar sahabat-sahabat beliau yang memeluk Islam pada masa awal, ia selalu terjun dalam medan jihad demi impian untuk memperoleh syahid, termasuk di dalam perang Mu'tah, pertempuran tidak berimbang antara 3.000 tentara muslim dengan 200.000 tentara Romawi dan sekutu-sekutunya.
Sejak awal Nabi SAW membentuk pasukan yang dikirimkan ke Mu'tah, beliau telah menentukan bahwa komandan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika ia gugur, digantikan Ja'far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Sangat mudah ditebak bagaimana kesudahan pertempuran antara tigaribu orang melawan 200.000 orang, walaupun sebenarnya Rasulullah SAW tidak tahu dan tidak menduga bahwa Romawi mengerahkan tentara sebanyak itu. Zaid gugur, panji pasukan muslim diambil Ja'far. Ja'far juga gugur, panji diambil oleh Ibnu Rawahah. Setelah Ibnu Rawahah gugur, panji pasukan muslim tergeletak begitu saja, tidak ada yang berani mengambilnya karena Rasulullah SAW tidak berpesan kepada siapa lagi panji itu harus diberikan setelah kematiannya.
Pasukan muslim sepertinya hanya menanti takdir untuk ditumpas habis oleh pasukan Romawi yang datang gelombang demi gelombang. Keadaan pasukan kaum muslimin saat itu tak ubahnya anak-anak ayam tanpa induknya, sementara burung-burung elang siap menyambarnya. Ketika keadaan makin kritis seperti itu, Tsabit bin Arqam al Ajlani memacu kudanya dan mengambil panji pasukan muslim. Ia memacu kudanya berputar-putar sambil mengangkat tinggi panji tersebut, dan kemudian menuju kepada Khalid bin Walid, yang saat itu baru memeluk Islam dan hanya sebagai prajurit biasa. Tsabit berkata, "Peganglah panji ini, wahai Abu Sulaiman..!!"
Abu Sulaiman adalah nama kunyah Khalid bin Walid. Khalid tahu diri, saat itu di sana banyak sekali sahabat Muhajirin dan Anshar yang terlebih dahulu memeluk Islam dan telah banyak berjasa kepada Islam, ia berkata kepada Tsabit, "Jangan saya, jangan saya yang memegang panji ini. Anda yang lebih berhak memegangnya, anda lebih tua dan telah menyertai Rasulullah SAW dalam Perang Badar dan berbagai pertempuran lainnya…!!
"Ambillah," Kata Tsabit lagi, "Anda lebih tahu muslihat dan strategi peperangan daripada aku. Demi Allah, aku  tidak mengambil panji ini kecuali untuk aku serahkan kepada anda…!!"
Sesaat kemudian Tsabit berpaling kepada pasukan muslim lainnya dan berkata, "Sediakah kalian semua berjuang di bawah pimpinan Khalid…!!"
Seluruh pasukan muslim dengan serempak menyetujui usulan Tsabit ini, sehingga Khalid tidak punya pilihan lain kecuali menerima amanat tersebut. Dan ternyata pilihan Tsabit memang tidak salah, Khalid berhasil memimpin pasukan untuk menahan gempuran pasukan Romawi, dan berhasil meloloskan diri dari kemusnahan total yang telah tampak di depan mata. Suatu perkara yang pasukan Romawi sendiri tidak bias mempercayainya, bahwa mereka tidak bisa menang mutlak dalam peperangan ini.
Akan halnya Rasulullah SAW di Madinah, beliau seolah-olah menyaksikan "tayangan langsung" pertempuran ini dan menceritakannya kepada para sahabat. Dengan berlinang air mata beliau menceritakan bagaimana Zaid berjuang memimpin pasukan kemudian gugur. Disusul oleh Ja'far memimpin kemudian gugur, kemudian Ibnu Rawahah memimpin dan ia juga gugur. Beberapa saat kemudian tampak sinar cerah di wajah beliau yang mengherankan para sahabat, padahal belum lama berselang wajah beliau diliputi kesedihan mendalam. Ternyata beliau bersabda, "…hingga salah satu dari pedang-pedang Allah membawa panji ini, dan Allah membukakan pintu kemenangan bagi mereka…"
Inilah peran dan keputusan yang cepat dan tepat dari Tsabit bin Arqam sehingga menyelamatkan pasukan muslim dari kemusnahan total dalam perang Mu'tah. Dan sebagian riwayat menyatakan, itulah saat pertama Khalid bin Walid mendapat gelar "Saifullah", Si Pedang Allah.

Abdurrahman bin Abu Bakar RA

Kalau Abu Bakar adalah merupakan lelaki pertama yang meyakini dan memeluk Islam, kemudian diikuti oleh anak-anaknya, teman dan kerabat lainnya, maka putranya yang satu ini, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk yang "teguh" pendiriannya dalam kekafiran. Sementara saudaranya, Asma dan Abdullah bin Abu Bakar berperan aktif untuk membantu Nabi SAW dan ayahnya ketika akan berhijrah, Abdurrahman "aktif" pula membantu kaum kafir Quraisy untuk menemukan dan menghalangi hijrah mereka berdua, bahkan kalau perlu membunuhnya.
Dalam perang Badar, Abdurrahman masih berdiri teguh di barisan kaum kafir Quraisy. Abu Bakar sempat menyapanya dengan lembut dengan harapan akan meluluhkan hatinya, tetapi jawabannya tegas, "Yang ada saat ini hanyalah senjata dan kuda, serta pedang tajam yang siap membabat orang tua yang sudah renta (maksudnya, bapaknya sendiri)."
Abu Bakar bermaksud menghadapi anaknya ini dan membunuhnya, tetapi ia dicegah oleh Rasulullah SAW.
Ketika berlangsung perang Uhud, Abdurrahman memimpin pasukan panah kaum Quraisy. Sekali lagi Abu  Bakar bermaksud memerangi putranya ini dan membunuhnya, tetapi lagi-lagi Rasulullah SAW menghalanginya. Akan halnya Abdurrahman sendiri, ia berkali-kali melihat posisi Abu Bakar dalam pertempuran tersebut, tetapi ia berusaha menghindari bentrokan dengan ayahnya. Ketika telah memeluk Islam dan ia menyampaikan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, "Demi Allah, sekiranya aku melihatmu saat itu, aku pasti akan membunuhmu…!!"
Dalam setiap pertempuran di fihak kaum kafir Quraisy, Abdurrahman selalu saja selamat, sampai kemudian hidayah Allah datang kepadanya saat Fathul Makkah. Dan tampaknya Allah ingin menyempurnakan kemuliaan keluarga Abu Bakar, ayahnya Abu Quhafah yang telah renta dan buta juga memeluk Islam pada saat yang hampir bersamaan dengan cucunya tersebut.
Sejak keislamannya, Abdurrahman tidak ingin lagi tertinggal berjuang menegakkan panji-panji keimanan dan  keislaman, baik ketika Nabi SAW masih hidup, atau ketika beliau telah wafat. Kepahlawanannya tampak menonjol  pada perang Yamamah pada masa kekhalifahan Abu Bakar, perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kadzdzab.
Musailamah bin Tsumamah bin Kabir bin Hubaib berasal dari Bani Hanifah di Yamamah, ia memeluk Islam bersama beberapa orang dari kabilahnya pada tahun 9 Hijriah. Bani Hanifah memang merupakan kabilah yang memiliki pasukan yang kuat, jarang sekali terkalahkan dalam berbagai pertempuran yang diterjuninya. Sejak keislamannya, Musailamah yang pada dasarnya orang yang sombong, makin meningkat keangkuhannya. Ia merasa mempunyai kedudukan yang sederajad dengan Nabi SAW, karena itu ia menuntut kepada Nabi SAW untuk berbagi kekuasaan dan kenabian. Ia mengaku memperoleh wahyu yang menjadikannya sebagai Nabi sebagai sekutu Nabi SAW, sebagaimana Nabi Harun bersekutu dengan Nabi Musa. Salah satu tangan kanan Musailamah dalam menjalankan  "pemerintahan" tandingan Islam adalah Mahkam bin Thufeil, dialah  "otak" yang mengatur dan merencanakan strategi pemberontakan Musailamah.
Pada pertempuran Yamamah, awalnya pasukan muslimin dapat dipukul mundur oleh pasukan Musailamah. Tetapi ketika komandan pasukan diserahkan kepada Khalid bin Walid, mereka mulai menyusun kekuatan kembali dengan strategi yang diterapkan oleh "si Pedang Allah" ini. Abdurrahman bin Abu Bakar berhasil membunuh Mahkam bin Thufeil sehingga pertahanan pasukan Musailamah menjadi goyah. Tak lama kemudian Wahsyi bin Harb berhasil membunuh Musailamah dengan tombak andalannya. Tanpa dua orang pucuk pimpinannya tersebut, pasukan Musailamah lari tunggang-langgang dan akhirnya menyerah kalah. Berakhir sudah petualangan sang nabi palsu, Musailamah, dan peran Abdurrahman cukup menentukan dalam peperangan ini.
Berlalulah waktu, Abdurrahman selalu membaktikan sisa hidupnya untuk ibadah demi ibadah. Tiba masa-masa fitnah, ia memilih tetap tinggal di Madinah seperti sebagian besar sahabat lainnya. Namun, ketika Muawiyah memutuskan untuk mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah penggantinya, ia mulai angkat bicara.
Muawiyah mengirimkan surat kepada para gubernurnya, untuk memerintahkan ba'iat kepada putranya tersebut. Ketika Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih kerabat dekat Muawiyah, membacakan surat perintah ba'iat ini, tentunya dengan dikawal kekuatan bersenjata, suasana jadi hening. Jelas sekali kalau secara umum ada penolakan, tetapi tidak ada yang berani memberikan tanggapan (penolakan) secara langsung. Akhirnya Abdurrahman bin Abu Bakar angkat bicara, "Demi Allah, rupanya bukan kebebasan memilih yang anda berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW, tetapi anda hendak menjadikannya sebagai kerajaan seperti di Romawi, kalau seorang kaisar meninggal, maka tampillah kaisar lain dari keturunannya….!!"
Abdurrahman menentang dengan keras rencana ba'iat tersebut, dengan keras ia menyatakan bahwa ba'iat seperti itu batal, berbagai argumen disampaikannya dan ternyata Marwan tidak berkutik. Ia melaporkan perkara ini kepada Muawiyah di Syam.
Beberapa waktu kemudian, datanglah utusan Muawiyah menemui Abdurrahman, ia menawarkan uang sebanyak seratus ribu dirham, tetapi Abdurrahman harus menarik ucapannya tersebut dan bersedia memba'iat Yazid sebagai khalifah. Abdurrahman berkata tegas kepada utusan Muawiyah, "Kembalikan uang itu kepadanya (Muawiyah), dan katakan bahwa Abdurrahman tidak akan menjual agamanya dengan dunia sebanyak apapun…!!"
Melihat negosiasinya gagal, Muawiyah bermaksud mendatangi langsung Abdurrahman ke Madinah. Tetapi  mendengar rencana Muawiyah ini, Abdurrahman segera pergi ke Makkah untuk menghindari pertemuan yang dianggapnya tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Ia sangat mengenal watak dan karakter Muawiyah yang ambisius dan ingin mencapai tujuannya dengan cara apapun. Ketika sampai di luar kota Makkah, ia tinggal sebentar, dan maut menjemputnya di sana. Orang-orang membawa jenazah Abdurrahman ke dataran tinggi di Makkah dan memakamnya di sana.
Sebagian riwayat menyebutkan terjadinya pertemuan antara Abdurrahman dan Muawiyah sebelum ia pergi ke Makkah, atau mungkin pertemuan itu terjadi sebelum Muawiyah melakukan upaya suap seratus ribu dirham. Dan  dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan. Atas penolakan Abdurrahman untuk dipilihnya Yazid sebagai khalifah penggantinya, Muawiyah berkata, "Bukankah sama saja dengan ayahmu, dimana Abu Bakar telah memilih Umar sebagai khalifah penggantinya…!!"
Abdurrahman berkata tegas, "Tetapi ayahku tidak mengangkat siapapun dari anggota keluarganya, dan Umar adalah manusia terbaik pada saat itu ..!!"
            Muawiyah tidak berkutik dengan hujjah ini dan ia tidak bisa berkata apapun lagi.

Ibnu Hanzhaliyyah RA

Ibnu Hanzhaliyyah RA, seorang sahabat Nabi SAW yang tinggal dan menghabiskan usianya di Damaskus setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ia seorang sahabat yang suka menyendiri, jarang sekali ia duduk-duduk bersama manusia kecuali ketika shalat berjamaah di masjid. Setelah selesai shalat dan berdzikir, ia memilih untuk pulang dan tinggal di rumahnya sampai waktu shalat berikutnya.
Suatu ketika, selesai shalat dan akan pulang ke rumahnya, ia melalui tempat tinggal Abu Darda, sahabat Nabi SAW yang juga tinggal di Damaskus. Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapa dan berkata kepadanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Sebagai seorang sahabat penyendiri, tentulah Ibnu Hanzhaliyyah tidak suka menonjolkan diri. Karena itu ia memilih untuk menceritakan suatu peristiwa bersama Rasulullah SAW. Ia menceritakan bahwa beliau pernah mengirim suatu pasukan ke suatu tempat. Setelah pulang dan berkumpul bersama di majelis Nabi SAW, salah seorang anggota pasukan berkata kepada teman di sebelahnya, "Bagaimana pendapatmu, ketika kami sedang berhadapan dengan musuh, salah seorang dari kami berkata : Rasakanlah tikaman dariku!! Aku adalah pemuda Ghiffar!!"
Teman yang diajaknya bicara berkata, "Menurut pendapatku, orang itu telah hilang pahalanya…!!"
Tetapi teman lainnya yang mendengar pembicaraan itu ikut berkata, "Menurut pendapatku tidak apa-apa orang itu berkata seperti itu (ia tetap memperoleh pahala)…!!"
Dua orang yang berbeda pendapat ini saling berdebat dengan argumen masing-masing, sehingga Nabi SAW kemudian menengahinya dan bersabda, "Subkhanallah (Maha Suci Allah), tidak apa-apa, ia tetap mendapat pahala dan tetap terpuji (di sisi Allah)..!!"
Abu Darda tampak gembira sekali mendengar cerita Ibnu Hanzhaliyyah itu, dan berkata, "Engkau mendengar sendiri keterangan itu dari Rasulullah SAW!!"
"Ya…!!" Kata Ibnu Hanzhaliyyah memastikan.
Tetapi Abu Darda masih mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, seolah-olah minta "keberkahan" hadits yang diterima oleh Ibnu Hanzhaliyyah tersebut, dan ia tetap mengiyakannya.
Pada hari dan kesempatan yang lain yang hampir sama, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Orang yang memberi belanja kepada kudanya (yang dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah), seperti orang yang membentangkan tangannya dengan shadaqah (yakni, dermawan), dan bukan orang yang menggenggamkan tangannya (yakni orang yang kikir)..!!"
Sikap Abu Darda yang seperti sebelumnya juga terulang ketika ia mendengar hadits ini dari Ibnu Hanzhaliyyah.
Pada hari dan kesempatan yang lain lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Rasulullah pernah bersabda : Sebaik-baiknya orang adalah Khuraim al Usaidy, seandainya ia tidak berambut  panjang dan ia tidak memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki. Setelah mendengar sabda Nabi SAW ini dari salah seorang temannya, Khuraim mengambil pisau dan memotong rambutnya hingga dua telinganya, dan ia menaikkan kainnya hingga pertengahan kedua betisnya…!!"
Setelah selesai mendengar hadist ini, Abu Darda bersikap seperti sebelum-sebelumnya.
Pada hari dan kesempatan yang berbeda lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti kejadian sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, "Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu..!!"
Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, "Nabi SAW berpesan kepada kami : Sesungguhnya kamu sekalian akan kembali kepada saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan baguskanlah pakaianmu, sehingga seolah-olah kamu merupakan tahi lalat di tengah-tengah manusia. Karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor, baik dalam pakaian atau dalam hal perkataan…!!"
Sekali lagi Abu Darda bersikap seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.

Abu Musa al Asy'ari RA

Abdullah bin Qais RA, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Musa al Asy'ari telah memeluk Islam ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Abu Musa yang berasal dari kabilah Bani Asy’ari (Kaum Asy’ariyyiin) di Yaman ini, sejak awal memang tidak menyukai kebiasaan orang-orang Arab jahiliah menyembah berhala. Karena itu, setelah mendengar adanya seseorang yang menyeru kepada agama tauhid dan mencela berhala-berhala, ia segera memacu tunggangannya mengarungi padang pasir luas menuju Makkah.
Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan mendengar penjelasan beliau tentang Risalah Islam yang beliau bawa, tanpa keraguan sedikitpun Abu Musa berba'iat memeluk Islam. Ia tinggal beberapa waktu di Makkah untuk memperoleh pengajaran Nabi SAW, kemudian beliau menyuruhnya kembali dahulu ke daerahnya, sampai nanti Islam telah memperoleh kemapanan. Akan berbahaya baginya kalau tetap tinggal di Makkah saat itu, karena kaum kafir Quraisy tidak henti-hentinya melakukan halangan dan penyiksaan kepada mereka yang mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Beberapa tahun berlalu, Abu Musa berhasil mendakwahkan Islam di kabilahnya di Yaman. Ia juga mendengar bahwa Nabi SAW dan kaum muslimin telah tinggal di Madinah dan memperoleh kemapanan di sana. Ketika ia mendengar Nabi SAW menghimpun pasukan untuk menyerang Khaibar, bersama limapuluh orang lebih, termasuk  dua saudara kandungnya, Abu Ruhum dan Abu Burdah, ia memutuskan berhijrah ke Madinah. Ia berharap bisa bergabung dan berjihad bersama beliau dalam peperangan tersebut.
Abu Musa dan kaum muslimin yang bersamanya, memutuskan melalui jalur lautan dengan perahu karena dianggapnya lebih cepat daripada harus mengarungi padang pasir. Tetapi perahu mereka terdampar di Habasyah karena mengalami kerusakan. Ja'far bin Abu Thalib yang masih tinggal di sana menjumpai rombongan tersebut di pesisir, ia berkata kepada Abu Musa, "Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami tinggal di sini, maka menetaplah bersama kami di sini!"
Tidak ada pilihan lain bagi Abu Musa kecuali memenuhi tawaran Ja'far, sambil memperbaiki perahu mereka. Tetapi belum lama tinggal di sana, datang utusan Rasulullah SAW yang memerintahkan mereka agar segera berhijrah ke Madinah. Dua rombongan inipun kembali berperahu menyeberangi Laut Merah, kemudian menyeberang padang pasir menyusul Rasulullah SAW yang masih berada di Khaibar. Mereka berharap masih bisa ikut berjihad melawan kaum Yahudi di sana, tetapi ternyata mereka bertemu Nabi SAW ketika pasukan muslim telah menaklukan Khaibar. Beliau menyambut gembira dua rombongan muhajirin ini dan memberikan bagian ghanimah perang Khaibar kepada mereka.
Nabi SAW menggelari kelompok Abu Musa sebagai kaum Asy'ari atau Asy'ariyyin, dan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Beliau memberi gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
Suatu ketika Umar bin Khaththab mendatangi rumah putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, Hafshah. Di sana ia bertemu dengan Asma binti Umais, yang ikut berhijrah ke Habasyah. Ia menanyakan kepada Hafshah siapa tamunya tersebut. Setelah dijelaskan sebagai Asma binti Umais, Umar berkata, "Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan itu?"
Asma mengiyakan. Umar berkata lagi, "Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami lebih berhak kepada Rasulullah SAW daripada kalian."
Asma binti Umais tidak terima dengan pernyataan Umar dan membantahnya. Ia juga berkata kepada Umar  bahwa akan mengadukan perkara ini kepada Nabi SAW. Tak lama setelah Umar pulang, Nabi SAW datang. Asma  menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Beliau bersabda, "Umar tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan berhijrah dua kali."
Ketika mendengar peristiwa Asma dan Umar tersebut, Abu Musa dan kaum Asy'ariyyin lainnya segera mendatangi Asma, dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Mereka ikut merasa bangga karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah dari Habasyah.
Abu Musa al Asy'ary merupakan tipikal sahabat yang lengkap. Seorang yang saleh dan alim, rajin beribadah dan menuntut ilmu ketika sedang mukim (tidak sedang berjihad), dan seorang prajurit yang perkasa, cerdik dan arif  ketika sedang terjun dalam berbagai pertempuran, tanpa kehilangan keikhlasannya.
Allah memberikan karunia suara yang luar biasa kepada Abu Musa al Asy'ary. Kalau ia membaca Al Qur'an, suaranya akan mendayu menggetarkan hati. Para sahabat enggan meninggalkan masjid kalau ia sedang melantunkan kalam Ilahi, seakan ada magnit yang menahan mereka untuk mendengarkan bacaannya sampai selesai. Nabi SAW pernah bersabda tentang suaranya ini, "Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!!"
Nabi Daud AS memang seorang nabi yang dikaruniai Allah SWT suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau sedang mengaji (melantunkan bacaan) Zabur atau sedang berdzikir, pastilah burung-burung, gunung-gunung, dan berbagai binatang lainnya mendengarkan dan ikut serta bertasbih kepada Allah, mengiringi alunan suara beliau.
Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khaththab seringkali memanggil Abu Musa dan berkata, "Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa….!!"
Dari seorang hamba yang sedang khusyu' beribadah, bahkan terkadang ia menangis dalam tawajuh-tawajuhnya, tiba-tiba Abu Musa berubah menjadi prajurit tangguh di garis depan, ketika ia terjun dalam pertempuran. Sejak bergabung dengan Nabi SAW di Madinah, ia hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran untuk menegakkan panji-panji Islam, baik bersama atau tanpa Rasulullah SAW. Sebagai gambaran bagaimana semangatnya dalam terjun di medan jihad ini, ia berkata, "Kami pernah mengikuti suatu pertempuran bersama Rasulullah SAW hingga terompah (sepatu) kami pecah dan berlobang, begitu juga dengan sepatuku, sehingga kuku jariku habis terkelupas. Terpaksa kami harus membalut telapak kaki-kaki kami dengan sobekan kain…!!"
Peristiwa yang dimaksudkan Abu Musa itu adalah perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada tahun 7 hijriah. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan yang dirasakan para sahabat tersebut, apalagi dalam perjalanan di padang pasir yang panas menyengat. Mengenai kegigihan Abu Musa di medan jihad ini, Nabi SAW bersabda, "Pemimpin dari orang-orang yang berkuda (dalam pertempuran) adalah Abu Musa….!!"
Di masa khalifah Umar, Abu Musa diangkat sebagai pemimpin dari pasukan untuk membebaskan Isfahan dari belenggu tirani Persia. Setelah bertempur beberapa waktu lamanya dan pasukan Persia hampir kalah, mereka minta berdamai dan berjanji untuk membayar upeti, tetapi mereka meminta tempo waktu untuk mengumpulkan hartanya. Abu Musa memenuhi permintaan tersebut, namun demikian ia memerintahkan pasukannya untuk tetap siaga dan tidak menurunkan kewaspadaan. Ia mencium siasat busuk dalam permintaan damai pasukan Persia ini. Benarlah apa yang diperkirakan Abu Musa, pada waktu yang tidak terduga, pasukan Persia melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan muslim. Disangkanya pasukan muslim sedang terlena dan tidak bersiaga, tetapi mereka salah besar, dan akhirnya dengan mudah pasukan Persia dikalahkan, jatuhlah Isfahan ke pelukan Islam.
Di masa Khalifah Umar juga, Abu Musa ikut terjun dalam pasukan besar untuk menyerang Tustar, benteng terakhir imperium Persia. Setelah makin banyak wilayah Persia yang jatuh atau bergabung dengan Islam, seluruh pasukan Persia ditarik mundur ke kota Tustar. Kota yang dikelilingi dengan benteng ini dipertahankan habis-habisan oleh pasukan Persia yang dipimpin oleh Hurmuzan.
Pasukan muslim mengepung kota tersebut selama berhari-hari, tetapi tidak mudah untuk menerobos dan melumpuhkannya.  Ketika banyak cara yang dicoba untuk menerobos benteng Persia mengalami kegagalan, Abu Musa menyusun suatu siasat. Ia mengirim beberapa prajurit perintis yang menyamar sebagai pedagang, dan beberapa prajurit lainnya lagi sebagai pengembala. Dengan membawa duaratus ekor kuda dan beberapa domba, mereka mulai berjalan  dari tempat yang cukup jauh dari batas kota Tustar. Sementara itu pasukan induk bersembunyi di sekitar pintu gerbang benteng. Ketika sekelompok "pedagang dan penggembala" ini tiba di pintu gerbang, pasukan Persia membukakan pintu untuk mereka. Tetapi sebelum sempat mereka menutup kembali, pasukan perintis yang menyamar ini melakukan penyerangan, diikuti kemudian oleh pasukan induk yang menerobos pintu gerbang Kota Tustar. Terjadi pertempuran dahsyat antara kedua pasukan, sampai akhirnya pasukan Persia menyerah kalah.
Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam, penduduk Syam yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Ali memindahkan ibukota Islam dari Madinah ke Kufah di Irak.
Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa Tahkim (lihat peristiwanya dalam kisah "Amr bin Ash RA"), Muawiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah tipikal sahabat saleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.
Pada dasarnya Abu Musa mengetahui bahwa Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi  mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar Muawiyah tetap menjadi khalifah.
Dengan kelicinan siasatnya, Amr berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing, setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’ jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum muslimin, walau dicurangi seperti itu.
Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash, tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata, "Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!"
Abu Musa terus melakukan bantahan dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan  tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.
Di saat-saat terakhir kehidupannya, ia berpesan, “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”