Abdullah bin Qais RA, atau lebih
dikenal dengan nama kunyahnya Abu Musa al Asy'ari telah memeluk Islam ketika
Nabi SAW masih berada di Makkah. Abu Musa yang berasal dari kabilah Bani
Asy’ari (Kaum Asy’ariyyiin) di Yaman ini, sejak awal memang tidak menyukai
kebiasaan orang-orang Arab jahiliah menyembah berhala. Karena itu, setelah
mendengar adanya seseorang yang menyeru kepada agama tauhid dan mencela
berhala-berhala, ia segera memacu tunggangannya mengarungi padang pasir luas menuju Makkah.
Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan
mendengar penjelasan beliau tentang Risalah Islam yang beliau bawa, tanpa
keraguan sedikitpun Abu Musa berba'iat memeluk Islam. Ia tinggal beberapa waktu
di Makkah untuk memperoleh pengajaran Nabi SAW, kemudian beliau menyuruhnya
kembali dahulu ke daerahnya, sampai nanti Islam telah memperoleh kemapanan.
Akan berbahaya baginya kalau tetap tinggal di Makkah saat itu, karena kaum
kafir Quraisy tidak henti-hentinya melakukan halangan dan penyiksaan kepada
mereka yang mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Beberapa tahun berlalu, Abu Musa
berhasil mendakwahkan Islam di kabilahnya di Yaman. Ia juga mendengar bahwa
Nabi SAW dan kaum muslimin telah tinggal di Madinah dan memperoleh kemapanan di
sana . Ketika ia
mendengar Nabi SAW menghimpun pasukan untuk menyerang Khaibar, bersama
limapuluh orang lebih, termasuk dua
saudara kandungnya, Abu Ruhum dan Abu Burdah, ia memutuskan berhijrah ke
Madinah. Ia berharap bisa bergabung dan berjihad bersama beliau dalam
peperangan tersebut.
Abu Musa dan kaum muslimin yang
bersamanya, memutuskan melalui jalur lautan dengan perahu karena dianggapnya
lebih cepat daripada harus mengarungi padang
pasir. Tetapi perahu mereka terdampar di Habasyah karena mengalami kerusakan.
Ja'far bin Abu Thalib yang masih tinggal di sana menjumpai rombongan tersebut di pesisir,
ia berkata kepada Abu Musa, "Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan
kami tinggal di sini, maka menetaplah bersama kami di sini!"
Tidak ada pilihan lain bagi Abu
Musa kecuali memenuhi tawaran Ja'far, sambil memperbaiki perahu mereka. Tetapi
belum lama tinggal di sana ,
datang utusan Rasulullah SAW yang memerintahkan mereka agar segera berhijrah ke
Madinah. Dua rombongan inipun kembali berperahu menyeberangi Laut Merah,
kemudian menyeberang padang
pasir menyusul Rasulullah SAW yang masih berada di Khaibar. Mereka berharap
masih bisa ikut berjihad melawan kaum Yahudi di sana , tetapi ternyata mereka bertemu Nabi SAW
ketika pasukan muslim telah menaklukan Khaibar. Beliau menyambut gembira dua
rombongan muhajirin ini dan memberikan bagian ghanimah perang Khaibar kepada
mereka.
Nabi SAW menggelari kelompok Abu
Musa sebagai kaum Asy'ari atau Asy'ariyyin, dan menyatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang paling lembut hatinya. Beliau memberi gambaran tentang mereka,
"Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam
pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang
tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk
golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
Suatu ketika Umar bin Khaththab
mendatangi rumah putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, Hafshah. Di sana ia bertemu dengan
Asma binti Umais, yang ikut berhijrah ke Habasyah. Ia menanyakan kepada Hafshah
siapa tamunya tersebut. Setelah dijelaskan sebagai Asma binti Umais, Umar
berkata, "Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan
itu?"
Asma mengiyakan. Umar berkata lagi,
"Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami
lebih berhak kepada Rasulullah SAW daripada kalian."
Asma binti Umais tidak terima
dengan pernyataan Umar dan membantahnya. Ia juga berkata kepada Umar bahwa akan mengadukan perkara ini kepada Nabi
SAW. Tak lama setelah Umar pulang, Nabi SAW datang. Asma menceritakan perbedaan pendapat antara
dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Beliau bersabda, "Umar
tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya
hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan
berhijrah dua kali."
Ketika mendengar peristiwa Asma dan
Umar tersebut, Abu Musa dan kaum Asy'ariyyin lainnya segera mendatangi Asma,
dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Mereka ikut merasa bangga
karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah
dari Habasyah.
Abu Musa al Asy'ary merupakan
tipikal sahabat yang lengkap. Seorang yang saleh dan alim, rajin beribadah dan
menuntut ilmu ketika sedang mukim (tidak sedang berjihad), dan seorang prajurit
yang perkasa, cerdik dan arif ketika
sedang terjun dalam berbagai pertempuran, tanpa kehilangan keikhlasannya.
Allah memberikan karunia suara yang
luar biasa kepada Abu Musa al Asy'ary. Kalau ia membaca Al Qur'an, suaranya
akan mendayu menggetarkan hati. Para sahabat
enggan meninggalkan masjid kalau ia sedang melantunkan kalam Ilahi, seakan ada
magnit yang menahan mereka untuk mendengarkan bacaannya sampai selesai. Nabi
SAW pernah bersabda tentang suaranya ini, "Sungguh, Abu Musa telah diberi
Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!!"
Nabi Daud AS memang seorang nabi
yang dikaruniai Allah SWT suara yang luar biasa indahnya. Ketika beliau sedang
mengaji (melantunkan bacaan) Zabur atau sedang berdzikir, pastilah
burung-burung, gunung-gunung, dan berbagai binatang lainnya mendengarkan dan
ikut serta bertasbih kepada Allah, mengiringi alunan suara beliau.
Ketika menjabat khalifah, Umar bin
Khaththab seringkali memanggil Abu Musa dan berkata, "Bangkitkanlah
kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa….!!"
Dari seorang hamba yang sedang
khusyu' beribadah, bahkan terkadang ia menangis dalam tawajuh-tawajuhnya,
tiba-tiba Abu Musa berubah menjadi prajurit tangguh di garis depan, ketika ia
terjun dalam pertempuran. Sejak bergabung dengan Nabi SAW di Madinah , ia
hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran untuk menegakkan panji-panji
Islam, baik bersama atau tanpa Rasulullah SAW. Sebagai gambaran bagaimana
semangatnya dalam terjun di medan
jihad ini, ia berkata, "Kami pernah mengikuti suatu pertempuran bersama
Rasulullah SAW hingga terompah (sepatu) kami pecah dan berlobang, begitu juga
dengan sepatuku, sehingga kuku jariku habis terkelupas. Terpaksa kami harus
membalut telapak kaki-kaki kami dengan sobekan kain…!!"
Peristiwa yang dimaksudkan Abu Musa
itu adalah perang Dzatur Riqa, yang terjadi pada tahun 7 hijriah. Bisa
dibayangkan bagaimana penderitaan yang dirasakan para sahabat tersebut, apalagi
dalam perjalanan di padang
pasir yang panas menyengat. Mengenai kegigihan Abu Musa di medan jihad ini, Nabi SAW bersabda,
"Pemimpin dari orang-orang yang berkuda (dalam pertempuran) adalah Abu
Musa….!!"
Di masa khalifah Umar, Abu Musa
diangkat sebagai pemimpin dari pasukan untuk membebaskan Isfahan
dari belenggu tirani Persia .
Setelah bertempur beberapa waktu lamanya dan pasukan Persia hampir kalah, mereka minta
berdamai dan berjanji untuk membayar upeti, tetapi mereka meminta tempo waktu
untuk mengumpulkan hartanya. Abu Musa memenuhi permintaan tersebut, namun
demikian ia memerintahkan pasukannya untuk tetap siaga dan tidak menurunkan
kewaspadaan. Ia mencium siasat busuk dalam permintaan damai pasukan Persia
ini. Benarlah apa yang diperkirakan Abu Musa, pada waktu yang tidak terduga,
pasukan Persia
melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan muslim. Disangkanya pasukan
muslim sedang terlena dan tidak bersiaga, tetapi mereka salah besar, dan
akhirnya dengan mudah pasukan Persia
dikalahkan, jatuhlah Isfahan
ke pelukan Islam.
Di masa Khalifah Umar juga, Abu
Musa ikut terjun dalam pasukan besar untuk menyerang Tustar, benteng terakhir
imperium Persia .
Setelah makin banyak wilayah Persia
yang jatuh atau bergabung dengan Islam, seluruh pasukan Persia ditarik mundur ke kota Tustar. Kota
yang dikelilingi dengan benteng ini dipertahankan habis-habisan oleh pasukan Persia
yang dipimpin oleh Hurmuzan.
Pasukan muslim mengepung kota tersebut selama
berhari-hari, tetapi tidak mudah untuk menerobos dan melumpuhkannya. Ketika banyak cara yang dicoba untuk
menerobos benteng Persia
mengalami kegagalan, Abu Musa menyusun suatu siasat. Ia mengirim beberapa
prajurit perintis yang menyamar sebagai pedagang, dan beberapa prajurit lainnya
lagi sebagai pengembala. Dengan membawa duaratus ekor kuda dan beberapa domba,
mereka mulai berjalan dari tempat yang
cukup jauh dari batas kota
Tustar. Sementara itu pasukan induk bersembunyi di sekitar pintu gerbang
benteng. Ketika sekelompok "pedagang dan penggembala" ini tiba di
pintu gerbang, pasukan Persia
membukakan pintu untuk mereka. Tetapi sebelum sempat mereka menutup kembali,
pasukan perintis yang menyamar ini melakukan penyerangan, diikuti kemudian oleh
pasukan induk yang menerobos pintu gerbang Kota Tustar. Terjadi pertempuran
dahsyat antara kedua pasukan, sampai akhirnya pasukan Persia menyerah kalah.
Ketika terjadi pertentangan antara
Khalifah Ali dan Muawiyah, yang kemudian berakhir dengan perang Shiffin, Abu
Musa memilih untuk tidak terlibat dalam kedua belah pihak, sebagaimana sikap
beberapa orang sahabat. Ia melihat, penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali
telah berkembang menjadi pertentangan antara dua wilayah Islam, penduduk Syam
yang mendukung Muawiyah dan penduduk Irak yang mendukung Ali bin Abi Thalib.
Memang, sejak diangkat menjadi khalifah, Ali memindahkan ibukota Islam dari
Madinah ke Kufah di Irak.
Perang Shiffin berakhir dengan peristiwa
Tahkim (lihat peristiwanya dalam kisah "Amr bin Ash RA"), Muawiyah
mengirimkan Amr bin Ash sebagai wakilnya, dan Ali mengirimkan Abu Musa al
Asy'ari untuk melakukan perundingan. Sebenarnya Ali ingin mengirimkan Abdullah
bin Abbas sebagai wakilnya dalam perundingan, karena ia sangat mengenal tipikal
Muawiyah dan Amr bin Ash yang suka sekali bersiasat, sementara Abu Musa adalah
tipikal sahabat saleh yang tulus ikhlas dan tidak pernah berprasangka buruk
kepada sesama muslim. Tetapi karena mayoritas pendukungnya memilih Abu Musa
dalam tahkim tersebut, Ali menerimanya, walaupun ia bisa menduga kesudahannya.
Pada dasarnya Abu Musa mengetahui
bahwa Ali berada di pihak yang benar, tetapi perkembangan situasi mengarah pada perpecahan umat, karena itu ia
menginginkan agar umat Islam kembali bersatu dan meninggalkan pertentangan
antara Ali dan Muawiyah. Biarlah mereka memilih kembali pemimpinnya secara
demokratis. Tetapi sebaliknya dengan Amr bin Ash, ia hanya punya tujuan agar
Muawiyah tetap menjadi khalifah.
Dengan kelicinan siasatnya, Amr
berhasil "memanfaatkan" kesalehan dan ketulusan Abu Musa untuk
mencapai tujuannya tersebut. Wakil dari dua kubu tersebut, Abu Musa dan Amr bin
Ash bersepakat bahwa Ali dan Muawiyah harus melepaskan jabatan masing-masing,
setelah itu melakukan ‘pemilihan langsung’, siapakah khalifah yang dikehendaki
oleh mayoritas. Amr bin Ash meminta Abu Musa untuk terlebih dahulu ‘melucuti’
jabatan Ali, baru dirinya ‘melucuti’ jabatan Muawiyah. Tetapi ternyata, setelah
Abu Musa melakukannya, Amr bin Ash bukannya melucuti, bahkan menetapkan dan
mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Tentu saja Abu Musa tidak
berkutik, dan tidak mungkin baginya ‘menjilat kembali’ perkataannya kepada kaum
muslimin, walau dicurangi seperti itu.
Ia hanya bisa mendebat Amr bin Ash,
tetapi tidak mungkin membalikkan keadaan. Inilah petikan apa yang dikatakan Abu
Musa dalam peristiwa tahkim tersebut. Ketika Amr bin Ash berkata bahwa Muawiyah
berhak atas kekhalifahan karena ia orang yang mulia, dan pewaris serta penuntut
balas yang tepat atas terbunuhnya Khalifah Utsman, Abu Musa berkata,
"Mengenai kemuliaan Muawiyah, kalau kekhalifahan bisa diperoleh karena
kemuliaan, maka yang paling berhak adalah Abrahah bin Shabah, karena ia
keturunan dari Raja-raja Yaman Attababiah, yang menguasai bagian barat dan
timur dari bumi ini. Dan, apalah artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan dengan
Ali bin Abi Thalib…Dan, mengenai Muawiyah sebagai wali Utsman, tentulah lebih
utama puteranya sendiri, Amr bin Utsman…!!"
Abu Musa terus melakukan bantahan
dan kata-kata sengit, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk
diucapkannya, atau oleh kaum Asy'ariyyin lainnya yang berhati lembut, kepada
Amr bin Ash. Setelah itu ia meninggalkan
tempat tersebut dan mengasingkan diri ke Makkah. Ia tinggal di dekat
Masjidil Haram dan menghabiskan sisa usianya dengan ibadah demi ibadah hingga
maut menjemputnya, masih di masa pemerintahan Muawiyah ini.
Di saat-saat terakhir kehidupannya,
ia berpesan, “Jika aku telah meninggal, janganlah ada tangisan yang
mengiringiku, dan dalamkanlah ruang kuburku!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar