Minggu, 27 Mei 2012

Umair bin Abi Waqqash RA


Umair bin Abi Waqqash RA telah memeluk Islam pada masa permulaan, sebagaimana kakaknya Sa'ad bin Waqqash RA, hanya saja ia masih anak-anak. Ketika pasukan siap diberangkatkan ke Badar, ia berlarian kesana kemari di antara anggota pasukan lainnya. Sa'ad yang melihat kelakuan adiknya ini, menanyakan sebabnya ia berbuat seperti itu, Umair menjawab, "Saya khawatir, jika Rasulullah SAW mengetahui keberadaan saya di sini, beliau akan melarang saya ikut dalam pertempuran ini, karena saya masih kecil. Padahal saya sangat berharap bisa menyertainya, dan saya juga berharap akan memperoleh syahid…!"
Kekhawatirannya menjadi kenyataan, Rasulullah SAW mengetahui keberadaannya, dan melarangnya ikut karena masih kecil. Umair pun menangis pilu, padahal semangatnya telah memuncak untuk bisa bertempur membela panji-panji keislaman dan keimanan. Dengan tangis kesedihan yang tidak bisa ditahan, ia memohon kepada Nabi SAW untuk mengijinkannya ikut.
Melihat semangat dan tangis kesedihannya, akhirnya beliaupun mengijinkannya menyertai pasukan perang Badar ini. Dan Allahpun mengabulkan harapannya yang ke dua, ia memperoleh syahid dalam peperangan ini.

Salman al Farisi RA


Salman berasal dari Isfahan, suatu daerah di bawah kekuasaan Kisra Persia, yang mayoritas beragama Majusi, kaum penyembah api. Ayahnya seorang pejabat setingkat bupati yang amat menyayanginya, dan ia diberikan tugas sebagai penjaga api suci, yang bertanggung jawab agar api sesembahan tetap menyala, tidak sampai padam. Sebuah tugas mulia dalam agama Majusi.
Jalan yang dilaluinya untuk memperoleh hidayah cukup berliku. Berawal dari ketertarikannya pada cara ibadah orang Nashrani, ia masuk agama Nashrani. Orang tuanya marah dan merantainya, tapi ia berhasil kabur dan mengikuti rombongan orang-orang Nashrani ke Syiria. Ia tinggal di gereja mengikuti seorang uskup sebagai pelayan, sekaligus belajar lebih dalam tentang agama barunya itu. Sayangnya uskup tersebut mengumpulkan sedekah untuk kepentingan pribadinya. Untungnya setelah uskup ini meninggal, sebagai penggantinya diangkat seorang yang saleh, sehingga ia memperoleh banyak kemajuan secara rohaniah. Ketika uskup tersebut akan meninggal, ia menyarankan Salman untuk menemui seorang pendeta di Mosul, karena ia melihat tidak ada orang yang cukup pantas dan baik sebagai penggantinya untuk gereja tersebut.
Salman berangkat ke Mosul menemui pendeta yang ditunjukkan uskup sambil menceritakan pengalaman dan pencariannya, dan ia diterima dengan baik. Sama seperti sang uskup sebelumnya, ketika akan meninggal, pendeta  tersebut menyarankannya untuk tinggal bersama seorang saleh di Nasibin. Dan menjelang ajal, orang saleh di Nasibin inipun menyarankan untuk menemui seorang pemimpin yang saleh di Amuria, suatu kota wilayah Romawi.
Salman tinggal di Amuria dengan pemimpin yang saleh ini beberapa waktu lamanya. Sebagai bekal hidupnya ia memelihara beberapa ekor sapi dan kambing. Menjelang ajal sang Pemimpin Amuria itu, lagi-lagi Salman bertanya tentang siapa yang pantas diikuti dan bisa membimbingnya, pemimpin yang saleh ini berkata, "Wahai anakku, tak ada seorangpun yang kukenal yang sama keadaannya dengan kita, yang dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat waktunya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama  Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan berada di antara dua bidang  tanah yang berbatu-batu hitam. Seandainya engkau dapat kesana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang  jelas dan gamblang, ia tidak mau makan sedekah, tetapi ia bersedia menerima atau memakan hadiah yang diberikan kepadanya. Ia mempunyai cap kenabian di pundaknya, yang jika engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya."
Ketika ada rombongan dari jazirah Arab, yang ia tahu banyak ditumbuhi kurma sampai di Amuria, ia meminta untuk bisa mengikuti mereka dan memberikan imbalan ternak-ternaknya, dan mereka bersedia. Tetapi sampai di tempat bernama Wadil Qura, Salman dianiaya dan dijual sebagai budak kepada orang Yahudi.
Beberapa waktu kemudian datang seorang yahudi dari Bani Quraizhah, membelinya sebagai budak dan membawanya ke Yatsrib (nama Madinah pada masa jahiliah), untuk dipekerjakan di kebun kurmanya. Begitu tiba di Yatsrib, yakinlah ia bahwa ini negeri yang dimaksudkan oleh pemimpin yang saleh di Amuria. Karena itu ia bekerja dengan gembira walau sebagai budak, sambil menunggu kabar tentang munculnya nabi sebagaimana diramalkan oleh pemimpin Amuria tersebut.
Suatu ketika ia sedang di puncak pohon kurma, tiba-tiba datang sepupu majikannya dan berkata,  "Bani Qilah celaka, mereka mengerumuni seorang lelaki dari Mekkah yang mengaku sebagai nabi. Mereka  sedang berkumpul di Quba…."
Saat itu memang Nabi SAW bersama Abu Bakar baru saja tiba di Quba, singgah pada Bani Amr bin Auf. Mendengar kabar tersebut tubuh Salman bergoyang keras dan hampir jatuh menimpa tubuh tuannya di bawahnya. Ia bergegas turun dan tanpa sadar statusnya sebagai budak, ia menuju tamu tuannya dan berkata, "Apa kata anda? Ada kabar apakah?"
Majikannya memukulnya sekuatnya dan berkata, "Apa urusanmu dengan semua ini, cepat kembali bekerja."
Sore harinya setelah pekerjaannya selesai, ia mengumpulkan bahan makanan yang dimilikinya dan bergegas ke Quba menemui Nabi SAW dan para sahabatnya yang berkumpul. Ia berkata, "Tuan-tuan adalah perantau, kebetulan aku memiliki persediaan makanan untuk sedekah. Tentu tuan-tuan sangat membutuhkannya…."
Salman menaruh makanan tersebut di depan Nabi SAW, dan beliau memanggil para sahabatnya dan berkata  "Makanlah dengan Nama Allah…!"
Mereka berkumpul menyantap makanan tersebut tetapi beliau sama sekali tidak menyentuhnya.
Melihat hal itu, Salman berkata dalam hati, "Demi Allah, inilah salah satu dari tanda-tanda ia seorang nabi, ia tidak mau memakan sedekah."
Keesokan harinya ia datang lagi menghadap Nabi SAW dengan membawa makanan dan ia berkata, "Kulihat tuan tidak mau makan sedeqah, tetapi ini adalah hadiah untuk tuan…"
Nabi SAW memanggil sahabat-sahabatnya untuk menyantap makanan yang dibawa Salman, dan beliaupun  ikut memakannya. Dan Salman berkata dalam hati, "Ini adalah tanda yang kedua, beliau mau makan yang diberikan sebagai hadiah."
Beberapa hari (bulan) kemudian, Salman menemui Nabi SAW yang berada di Baqi sedang menguburkan jenazah seorang sahabat, beliau memakai dua kain lebar, satu untuk baju dan satunya untuk sarung. Ia memberi salam sambil melihat ke arah pundak beliau, dan beliau tanggap isyarat tersebut, Beliau sedikit menyingkapkan burdah dari leher sehingga Salman bisa melihat cap kenabian seperti diceritakan orang saleh Amuria.
Salman tidak bisa menahan diri lagi, pencarian panjangnya berakhir sudah. Ia menangis dan meratap sambil menciumi Nabi SAW. Setelah suasana emosional yang meliputinya mereda, ia duduk menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan pengalaman dan perjalanan untuk mencapai hidayah Allah SWT ini. Ia segera mengucap syahadat untuk menyatakan keislamannya.
Ketika perang Badar dan Uhud berlangsung, Salman tidak bisa ikut serta karena statusnya sebagai budak jadi halangan baginya. Tuannya yang seorang Yahudi tentu saja tidak akan membiarkannya meninggalkan pekerjaan di kebun kurma untuk menyertai Nabi SAW di dua peperangan tersebut. Suatu ketika Nabi SAW berkata kepadanya, "Mintalah kepada tuanmu agar ia membebaskanmu dengan uang tebusan…!"
Salman menyampaikan hal itu kepada tuannya dan ia menyetujuinya. Nabi SAW menyeru kepada para sahabat untuk mengumpulkan dana sebagai pembayaran kebebasannya dari perbudakan. Maka jadilah ia orang merdeka dan lebih leluasa untuk belajar, beribadah dan berjuang bersama Nabi SAW.
Pada perang Ahzab, dimana beberapa kabilah di jazirah Arab bersekutu untuk menggempur Madinah, Nabi  SAW mengadakan musyawarah bagaimana cara menghadapi mereka. Situasinya cukup kritis, karena menurut informasi yang dihimpun oleh mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, mereka ini lebih dari sepuluh ribu prajurit yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Jumlah ini lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita dan anak-anaknya. Apalagi pasukan sekutu yang sebenarnya atas inisiatif kaum Yahudi Bani Nadhir ini, sempat mempengaruhi kaum Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah untuk mendukung mereka, padahal kabilah ini terikat perjanjian damai dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah.
Setelah berlangsung diskusi cukup lama dan beberapa usulan masuk kepada Nabi SAW, Salman berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, dulu kami orang-orang Persi jika sedang dikepung musuh, kami menggali parit di sekeliling kami untuk mempertahankan diri. Bagaimana kalau kita menggali parit untuk perlindungan kota Madinah??"
Usulan yang cukup brillian ini diterima oleh forum musyawarah. Itulah sebabnya perang Ahzab ini juga dikenal sebagai Perang Khandaq (Perang Parit). Terbuktilah kemudian strategi ini sangat berhasil, gelombang pasukan yang begitu besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb ternyata tak berkutik. Strategi ini tidak pernah dikenal oleh orang-orang Arab yang pada dasarnya suka berperang, karena itu mereka tidak pernah mengantisipasi sebelumnya. Akhirnya mereka hanya bisa melakukan pengepungan, yang sebenarnya inipun di luar perhitungan mereka, secara perbekalanpun  tidak dipersiapkan unuk itu.
Pada perang Ahzab ini tidak terjadi perang fisik secara besar-besaran, hanya percikan kecil ketika sekelompok kecil orang Quraisy berusaha menyeberangi parit dan tentunya dengan mudah dipatahkan oleh Pasukan Muslim yang telah bersiap di sisi parit. Bisa dikatakan ini adalah Psy War, perang urat syaraf yang menguji keteguhan dan kesabaran mental para pelakunya. Memang pasukan muslim sempat terganggu dengan pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah, tetapi setelah hampir sebulan pengepungan, Allah menurunkan pertolonganNya, termasuk dalam bentuk Islamnya Nu'aim bin Mas'ud bin Amir al Asyjay, sehingga pasukan sekutu terpecah-belah dan pulang kembali ke tempat masing-masing tanpa hasil yang diharapkan.
Salman yang masih Majusyi, hidup dalam kemewahan sebagai anak pejabat setingkat bupati, dalam jabatan mulia penjaga api sembahan orang Majusyi, semua itu ditinggalkannya ketika percik hidayah menyapanya. Hidup terlunta berpindah-pindah, bahkan menjadi budak sekalipun tidak dihiraukan asal menemukan titik hidayah tersebut. Ini menunjukkan karakter seperti apa yang dimiliki Salman. Dan karakter ini makin menguat ketika sosok hidayah tersebut adalah Rasulullah SAW, suatu teladan hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari cinta dunia.
Ketika Islam mengalami kejayaan, harta kekayaan mengalir ke Madinah dan wilayah makin meluas, sebagai salah seorang sahabat utama Nabi SAW, mau tidak mau, suka tidak suka Salman jadi terlibat juga dalam hal yang sebenarnya tidak disukainya, jabatan dan kekayaan. Khalifah Umar memaksanya untuk memegang jabatan Amir di wilayah Madain, padahal ia selalu menolak suatu jabatan kecuali sebagai pimpinan pasukan yang berjuang di jalan Allah, karena ia memang sangat merindukan menjadi syahid. Bahkan ia punya prinsip, yakni : "Jika engkau masih mampu makan tanah, asal tidak membawahi dua orang manusia, maka lakukanlah!!"
Tetapi menghadapi khalifah Umar yang sama zuhudnya dengan dirinya ia tidak berkutik, Umar selalu berkata kepada para sahabat yang menolak jabatan karena zuhud, seperti ini atau semisal ini, "Kalian telah memba'iat dan membebani aku dengan amanat ini, yang aku sendiri tidak menginginkannya, maka tolonglah aku untuk menjalankan amanat ini…."
Menjadi Amir di Madain ternyata tidak melunturkan karakter kesederhanaannya. Ketika rumah jabatan disiapkan oleh seorang tukang bangunan, ia bertanya, "Rumah seperti apa yang engkau siapkan untuk diriku??"
Ternyata tukang bangunan tersebut sangat mengenal karakter Salman, ia berkata, "Jangan anda khawatir, rumah tersebut merupakan bangunan yang bisa dijadikan tempat berteduh di waktu hujan, bernaung di waktu panas. Jika anda berdiri dan merentangkan tangan ke atas, anda akan menyentuh langit-langitnya, jika anda berbaring, kepala dan kaki anda akan menyentuh dinding dindingnya…"
Salman puas dengan penjelasan tersebut. Tunjangannya sebagai amir adalah empat ribu sampai enam ribu dirham setahun, tetapi itu langsung habis disedekahkan pada hari ia menerimanya. Di sela waktu melayani keperluan umat, ia asyik menjalin dan mengayam daun kurma menjadi bakul atau keranjang. Setelah selesai, dijualnya ke pasar seharga tiga dirham, satu dirham dibelikan daun kurma (untuk bahan membuat keranjang), satu dirham untuk menafkahi keluarganya dan satu dirham sisanya disedekahkan.
Suatu ketika ada seorang Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma, ia tampak kesulitan karena bebannya terlalu berat. Ketika lewat seseorang yang tampak miskin dan kumuh, ia berkata, "Tolong bawakan barangku ini ke rumahku, nanti aku beri upah.."
Tanpa banyak bicara orang tersebut bersedia membantunya, mereka berjalan beriringan ke rumahnya. Anehnya setiap kali bertemu serombongan orang, orang yang membantunya itu memberi salam, dan mereka menjawab,  "Juga kepada Amir, kami ucapkan salam…!"
Bahkan terkadang salah seorang dari mereka menghampiri untuk mengambil alih memikulnya, tetapi selalu ditolaknya. Ketika keheranannya makin memuncak, ia sadar bahwa yang membantunya tersebut adalah Amir kota Madain, Salman al Farisi. Buru-buru ia meminta maaf dan akan mengambil alih pikulannya, tetapi Salman berkata, "Tidak usah, biarlah akan kuantar sampai ke rumahmu seperti telah kuniatkan…."

Sa'd bin Mu'adz RA


Sa'd bin Mu'adz adalah salah satu tokoh bani Abdul Asyhal di Madinah. Ia sangat prihatin karena kerabatnya yang juga tokoh kaumnya, As'ad bin Zurarah telah meninggalkan agama nenek moyangnya (agama jahiliah yang menyembah berhala), dan bersama sahabat yang diutus Nabi SAW dari Makkah, Mush'ab bin Umair bergerak aktif mendakwahkan Islam kepada masyarakat Madinah. Ia merasa tidak enak untuk menghalangi As'ad karena hubungan kekerabatannya, karena itu ia minta tolong kepada Usaid bin Hudhair. Ia berkata kepada Usaid, "Pergilah kamu menemui mereka berdua, usir dan laranglah mereka memperbodoh orang-orang yang lemah dari kaum kita. Kalau saja As'ad bin Zurarah bukan anak bibiku, tentu aku sendiri yang akan melakukannya."
Usaid memenuhi permintaan Sa'd, ia mengambil tombaknya dan menemui As'ad dan Mush'ab yang berada di kebun bani Zhafar. Agak lama berselang, Usaid datang lagi menemui Sa'd yang berada di tengah kaumnya. Sa'd melihat ada sesuatu yang berbeda dengan Usaid, ia berkata kepada kaumnya, "Aku bersumpah kepada kalian dengan nama Allah, sesungguhnya Usaid mendatangi kalian dengan wajah yang berbeda dengan wajahnya ketika meninggalkan kalian."
Setelah dekat, Usaid berkata kepada Sa'd, "Wahai Sa'd, aku telah berbicara pada mereka berdua, dan aku tidak melihat ancaman apapun darinya. Dan telah kusampaikan apa yang kau inginkan, tetapi mereka berkata 'Lakukan saja apa yang kamu suka'. Dan aku mendengar berita kalau bani Haritsah bermaksud membunuh As'ad karena tahu dia adalah anak bibimu, sepertinya mereka meremehkan dirimu."
Mendengar kabar ini Sa'd menjadi marah sekaligus khawatir akan keselamatan As'ad. Bagaimanapun ikatan kekeluargaan itu lebih kuat dari ‘ancaman’ agama baru itu. Ia mengambil tombaknya dan bergegas menuju kebun bani Zhafar. Tetapi sampai disana, ia melihat As'ad dan Mush'ab dalam keadaan tenang tanpa sedikitpun ketakutan, ia sadar kalau Usaid menyiasatinya agar menemui dua orang itu. Kepalang basah, ia berdiri di hadapan mereka berdua dengan marah dan mencaci maki As'ad. Ia berkata, "Hai Abu Umamah (kunyahnya As’ad bin Zurarah), demi Allah, jika tidak ada hubungan kekeluargaan antara kita, kamu tidak akan meminta ini dariku. Adakah kamu datang ke tempat tinggal kami dengan membawa sesuatu yang kami benci?"
As'ad diam saja, justru Mush'ab bin Umair yang menjawab. Seperti halnya kepada Usaid, Mush'ab berhasil membujuk Sa'd untuk mau mendengarkan. Kalau ada sesuatu yang tidak disukainya, ia bebas menolaknya dan jika hal  itu baik, ia bisa menerimanya. Sa'd setuju dengan pendapat itu dan ia duduk.
Mush'ab mulai menjelaskan tentang Islam dan juga membacakan beberapa ayat Al- Qur'an, yaitu ayat-ayat awal surat  az Zukhruf. Setelah penjelasan Mush'ab ini, mata Sa'd berbinar penuh minat, ia bertanya, "Apa yang harus aku lakukan jika ingin masuk agama ini?"
As'ad menyuruhnya mandi dan bersuci, membersihkan pakaiannya dan bersyahadat dengan syahadat yang sebenarnya, kemudian melakukan shalat dua rakaat. Sa'd melakukan apa yang dikatakan As'ad dan Mush'ab membimbingnya bersyahadat dan shalat. Sa'd pun memeluk Islam dengan perantaraan Mush'ab sebagaimana Usaid.
Sa'd kembali kepada kaumnya, dan mereka menyambutnya dengan ucapan, seperti ucapan Sa'd ketika melihat kedatangan Usaid bin Hudhair, "Sesungguhnya Sa'd telah kembali kepada kita dengan wajah yang berbeda dari saat dia meninggalkan kita."
Ketika telah dekat dan berada di antara kaumnya, Sa'd berkata kepada mereka, "Wahai bani Abdul Asyhal, apakah yang kalian ketahui tentang kedudukanku di tengah kalian?"
Mereka menjawab, "Engkau adalah ketua kami, sebaik-baiknya orang dalam memberikan pendapat, dan selalu menang dalam menuntut…!"
"Sesungguhnya perkataan kaum lelaki dan wanita dari bani Abdul Asyhal dari kalangan kamu adalah haram bagiku, sehingga kalian beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad SAW." Kata Sa'd.
Maka sebelum petang pada hari itu, seluruh anggota bani Abdul Asyhal memeluk Islam sebagaimana dikatakan oleh Usaid bin Hudhair sebelumnya, dan ini menjadi kampung Islam pertama di kota Madinah.
Sa’d bin Mu’adz meninggal sebelum menikmati masa kejayaan Islam. Ia terluka parah akibat terkena panah pada Perang Khandaq atau Perang Ahzab. Namun ia berdoa agar diberikan waktu untuk bisa memberikan ‘pengadilan’ kepada orang-orang Yahudi Bani Quraizhah, yang telah melakukan pengkhianatan pada Perang Khandaq. Bani Quraizhah merupakan sekutu terbaik dari kaumnya pada masa jahiliah, dan tetap terjalin hubungan yang baik ketika kaumnya memeluk Islam. Tetapi ketika Madinah dikepung oleh musuh, mereka justru bersekutu dengan kaum Quraisy dan kaum Ghathafan, dan siap-siap menyerang kaum muslimin dari dalam kota Madinah. Setelah memberikan keputusan atas pengkhianatan mereka itu, Sa’d menemui syahidnya. Nabi SAW bersabda, “Arsy Allah Yang Maha Pemurah berguncang karena kematian Sa’d bin Muadz!!”
Orang-orang yang mengangkat jenazahnya juga berkata, “Alangkah ringannya jenazah Sa’d bin Muadz ini!!”

Ummu Ziyad RA


Dalam perang Khaibar, Ummu Ziyad beserta enam wanita lainnya ikut menyambut seruan Nabi SAW untuk berjihad. Ketika kemudian Nabi SAW mengetahui sekelompok wanita ini, beliau tampak agak marah, dan memanggilnya. Setelah dekat beliau bersabda, "Siapa yang menyuruh kalian datang kemari? Dengan siapa kalian datang?"
"Wahai Rasulullah," Ummu Ziyad menjawab, "Kami mengetahui cara membalut luka, yang diperlukan dalam pertempuran ini. Kami datang dengan membawa obat-obatan dan perban untuk mujahid yang terluka. Kami juga bisa menyiapkan panah-panah untuk mujahid yang berperang. Kami akan mengobati dan merawat mujahid yang terluka, dan kami juga bisa menyiapkan makanan dan minuman kalau mereka lapar."
Mendengar penjelasan ini, akhirnya Nabi SAW mengijinkan mereka terlibat dalam perang Khaibar.

Ummu Hakim RA


Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam telah memeluk Islam ketika suaminya, Ikrimah bin Abu Jahal masih musyrik. Saat Fathul Makkah, suaminya itu berusaha melarikan diri ke Yaman karena takut akan dibunuh. Ummu Hakim menemui Nabi SAW untuk meminta jaminan keselamatan bagi suaminya, dan beliau menyetujuinya.
Ummu Hakim berangkat ke pesisir Tihamah untuk menyusul suaminya, ia disertai seorang budak Ikrimah yag berbangsa Romawi. Di tengah perjalanan, budak Rumawi tersebut berusaha mencabuli kehormatannya. Ketika sampai di tempat bani Akk, ia berteriak minta tolong, dan orang-orangpun menangkap budak tersebut dan mengikatnya di tempat itu.
Ummu Hakim melanjutkan perjalanan ke pesisir, ia melihat suaminya terlibat perdebatan dengan sang nakhkoda ketika akan naik kapal. Ia berseru kepada suaminya, "Wahai putra pamanku, aku telah datang kepadamu dari sisi orang yang paling banyak menyambung silaturahmi, sebaik-baiknya manusia dan semulia-mulianya manusia, janganlah engkau binasakan dirimu sendiri."
Setelah dekat, ia berkata lagi, "Sesungguhnya aku telah meminta jaminan keselamatan untukmu dari Rasulullah SAW."
Akhirnya Ummu Hakim berhasil membujuk suaminya untuk kembali ke Makkah. Ketika diceritakan perilaku budak Romawinya, Ikrimah menjadi marah dan ketika sampai di tempat Bani Akk dimana budak tersebut ditahan, ia membunuhnya.
Sesampainya di Makkah, Ikrimah menemui Nabi SAW, menanyakan banyak hal tentang Islam dan akhirnya berba'iat memeluk agama yang selama ini dimusuhinya. Dalam keislamannya ini, Ikrimah selalu ikut berjuang untuk menegakkan kalimat Ilahi, jauh lebih hebat dibanding ketika ia  dahulu memusuhinya, baik dengan harta ataupun jiwanya, dan akhirnya memperoleh syahidnya pada masa khalifah Abu Bakar. Sebagian riwayat menyebutkan ia syahid pada Perang Yarmuk pada masa Umar bin Khaththab.
Setelah kematian suaminya, Ikrimah, Ummu Hakim dinikahi oleh Khalid bin Sa'id dalam suatu perjalanan pertempuran melawan tentara Romawi, di suatu tempat bernama Marjush Shafar. Memasuki malam pengantin, ketika akan dipergauli suaminya, Ummu Hakim berkata, “Tundalah hingga kita selesai memerangi pasukan Romawi!!”
Khalid bin Sa’id berkata, “Aku mempunyai firasat akan memperoleh syahid dalam pertempuran esok hari, karena itu kita tidak mempunyai kesempatan yang lain lagi!!”
Ummu Hakim memenuhi permintaan suaminya. Setelah menghabiskan malam pengantin di dalam tenda sederhana, keesokan harinya Khalid menerjunkan diri dalam pertempuran dengan perkasa dan akhirnya menemui syahidnya.
Mendengar kematian suaminya, Ummu Hakim membongkar tenda dan mengemasi barang- barangnya. Dengan sebuah patok tenda, ia ikut ikut terjun dalam pertempuran dan berhasil membunuh tujuh tentara Romawi dengan tangannya sendiri. Sungguh suatu semangat keislaman susah dicari tandingannya, dari seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya.

Kamis, 17 Mei 2012

Ummu Ammar RA (Sumayyah binti Khayyath)


Sumayyah binti Khayyath adalah seorang budak milik Abu Hudzaifah bin Mughirah. Ia dikawinkan tuannya tersebut dengan seorang perantau dari Yaman yang kemudian menetap di Makkah, Yasir bin 'Amir. Abu Hudzaifah memang bersahabat dengan Yasir bin Amir. Dari perkawinannya ini, lahirlah Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat yang mempunyai tempat khusus di hati Nabi SAW sehingga Beliau seringkali memujinya.
Sumayyah, atau lebih dikenal dengan nama Ummu Ammar, bersama suami dan anaknya termasuk dalam kelompok yang mula-mula memeluk Islam. Keadaannya sebagai orang miskin dan budak, membawanya kepada penyiksaan kaum kafir Quraisy karena pilihannya tersebut. Sumayyah ditimbun dengan pasir yang panas, kemudian dicambuk secara bengis dengan sepenuh kekuatan, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya perkataan ‘Ahad, Ahad’, seperti halnya yang dilakukan oleh Bilal.
Penyiksaan yang dilakukan Abu Jahal di hadapan suami dan anaknya itu dimaksudkan agar mereka menjadi takut dan iba, sehingga melepaskan kembali keislamannya. Tetapi keteguhan iman dan kesabaran yang telah merasuk ke dalam jiwa, tidak menjadikan Sumayyah goyah, bahkan kata-kata tauhid itu terus keluar dari mulutnya. Dan terkadang ia melakukan cacian terhadap berhala-berhala orang Quraisy sesaat, kemudian kembali berucap, “Ahad-ahad!!”
Berhari-hari penyiksaan tersebut berlangsung, pernah suatu saat Abu Bakar RA melewatinya, dan bermaksud menebus atau membeli mereka, tetapi Abu Jahal menolaknya, dan bertekad menyiksa keluarga Yasir ini sampai mati jika tidak kembali kepada agama jahiliahnya. Ketika Rasulullah SAW melewati keluarga yang sedang disiksa oleh  Abu Jahal ini, Beliau bersabda, "Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, janji Allah untuk kalian adalah surga….Ya Allah, ampunilah keluarga Yasir, karena mereka telah berbuat…"
Abu Jahal makin meningkatkan siksaannya, bahkan mengancamnya dengan kematian, tetapi Sumayyah justru berkata, "Mampuslah engkau wahai musuh Allah, karena Rasulullah (SAW) telah menjanjikan aku dengan surga, aku lebih memilih mati daripada melihat tampangmu…"
Makin mendidih saja kemarahan Abu Jahal oleh sikap perempuan budak tersebut, apalagi ia malah merendahkan harga dirinya dan tidak mau tunduk. Tanpa sadar tangannya meraih tombak yang dibawa budaknya, dan menghunjamkannya ke tubuh Sumayyah, hingga tembus dari selangkangannya hingga punggungnya. Senyum mengembang mengiring lepasnya nyawa dari jasad Sumayyah. Ia menjadi manusia pertama yang syahid di jalan Islam, syahid untuk mempertahankan keyakinannya yang teguh kepada Allah dan RasulNya yang tidak bisa dibeli dan diganti dengan seisi dunia sekalipun.
Sebagian riwayat menyebutkan, kedua tangannya diikat pada seekor kuda (atau dua ekor kuda), begitu juga dengan dua kakinya, diikatkan pada seekor kuda (atau dua ekor kuda). Kemudian Sumayyah dipaksa oleh Abu Jahal untuk kembali kepada agama jahiliahnya, atau diancam akan dibunuh dengan cara yang sangat mengerikan. Sumayyah hanya mengucapkan perkataan tauhid ‘Ahad, Ahad’, bahkan kemudian mencaci-maki Abu Jahal. Maka dua ekor kuda tersebut (atau empat ekor kuda), dipacu dengan keras dan berlari ke arah yang berlawanan. Tubuh Sumayyah terpotong tidak karuan sehingga ia tewas seketika. Namun demikian tampak sesungging senyum di bibirnya yang telah kaku.

Ka'ab bin Umair al Anshari RA


Ka'ab bin Umair adalah seorang sahabat Anshar. Suatu ketika, dengan sekitar 50 orang sahabat lainnya ia dikirim Nabi SAW mendatangi perkampungan Bani Qudha'ah, karena adanya kabar kabilah ini menghimpun kekuatan untuk menyerang kaum muslimin. Pasukan yang dikenal dengan Dzatu Athlah dikirim pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 8 hijriah, beberapa bulan setelah kepulangan dari umrah qadha'.
Setelah sampai di Athlah, di sebuah daerah di Syam, terlebih dahulu Ka'ab menyeru mereka untuk masuk Islam, sebagaimana dipesankan Nabi SAW. Tetapi mereka menolak seruan ini, bahkan menyerang dengan menghujani pasukan muslimin dengan anak panah. Para sahabat melakukan perlawanan dengan sengitnya, tetapi dengan kekuatan yang tidak berimbang, akhirnya hampir semua sahabat itu syahid di medan pertempuran, termasuk Ka'ab. Hanya satu orang yang sempat meloloskan diri dalam keadaan terluka parah. Dengan susah payah ia kembali ke Madinah dan melaporkan kejadian ini kepada Nabi SAW.

Mu'az al Qary RA


Mu'az al Qary adalah seorang sahabat Anshar dari Kabilah Bani an Najjar, bahkan nama al Qary (pembaca Al Qur'an) adalah pemberian langsung dari Nabi SAW. Pada masa khalifah Umar, bersama beberapa orang sahabat, ia mundur dari arena pertempuran, yakni perang Jisr Abu Ubaid. Ketika kembali ke Madinah dan bertemu Umar, ia menangis menyesali sikapnya tersebut, begitu juga beberapa sahabat lainnya. Tetapi Umar menenangkan mereka.
Suatu ketika Mu'az membaca Al Qur'an dan sampai pada surah al Anfal 16, yang berisi tentang ancaman bagi mereka yang berpaling (mundur) dari peperangan tanpa alasan yang benar. Ia teringat akan sikapnya dan kembali menangis. Umar, yang saat itu ada di dekatnya berkata, "Janganlah menangis, ya Mu'az. Aku adalah golongan kamu dan kamu bergabung denganku…"
Saat itu kaum muslimin sedang berperang melawan tentara Romawi di Syam, yakni Perang Qadisiah. Umar mendapat kabar (laporan) bahwa keadaan kaum muslimin sedang terdesak, maka ia bermaksud mengirimkan pasukan tambahan untuk membantu mereka. Umar berkata kepada Mu'az, "Maukah kamu berangkat ke Syam, karena kaum muslimin sedang lumpuh dan pihak musuh menyerang mereka. Kamu bisa bergabung dengan mereka dalam memerangi musuh, semoga hal itu dapat mencuci dosamu."
Mu'az menyambut dengan gembira tawaran Umar, ia berkata, "Aku tidak akan mundur lagi sama sekali. Aku akan pergi ke tempat yang darinya aku pernah melarikan diri, dan bertemu dengan musuh yang menyebabkan aku seperti ini (yakni, penyesalan yang berlarut-larut). Dan aku melakukan hal seperti yang mereka lakukan kepadaku (yakni, membuat mereka melarikan diri dari peperangan tersebut)."
Setelah itu ia berangkat dengan pasukan yang dikirim Umar untuk memperkuat pasukan muslim di Syam, ia berperang dengan semangat tinggi hingga syahid di perang Qadisiah tersebut.

Muhayyishah & Huwayyishah R.Huma


Muhayyishah dan Huwayyishah dua orang sahabat yang masih bersaudara, Keduanya adalah putra Mas'ud bin Zaid. Muhayyishah memeluk Islam terlebih dahulu daripada saudaranya yang lebih tua itu.. Suatu ketika ia mendengar Nabi SAW bersabda, "Siapa saja orang Yahudi yang dapat kalian kalahkan, maka bunuhlah dia!"
Suatu ketika Muhayyishah bertemu dengan Ibnu Syaibah, seorang pedagang Yahudi yang bergaul dan berjual beli dengan keluarganya. Teringat akan sabda Nabi SAW, iapun menyerang Ibnu Syaibah dan berhasil membunuhnya. Huwayyishah yang saat itu belum memeluk Islam, langsung memukul saudaranya dan berkata, "Wahai musuh Allah, engkau telah membunuhnya! Ketahuilah, demi Allah, lemak yang ada dalam perutmu bisa jadi berasal dari hartanya."
Mendengar penuturan saudaranya ini, Muhayyishah dengan tegas berkata, "Demi Allah! Jika Muhammad (SAW) menyuruhku untuk membunuhmu, pasti aku akan memancung kepalamu dengan pedangku ini!"
Sungguh suatu kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang tidak perlu diragukan lagi. Tetapi sebaliknya merupakan suatu sikap yang sangat tidak diduga oleh Huwayyishah, ia bertanya dengan bimbang, "Engkau akan membunuhku, jika saja Muhammad menyuruhmu melakukan itu?"
"Tentu saja! Demi Allah, aku akan melakukannya!!" Kata Muhayyishah tanpa ragu-ragu.
Ketegasan sikapnya ini ternyata menjadi jalan hidayah bagi Huwayyishah, ia berkata, "Demi Allah! Agama yang bisa membuat umatnya mencapai taraf seperti itu adalah agama yang mengagumkan!"
Dan iapun memeluk Islam mengikuti jejak saudaranya.

Mundzir bin Uqbah bin Amr RA


Mundzir bin Uqbah bin Amr termasuk dari tujuhpuluh sahabat huffadz Qur’an yang dikirimkan Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Islam kepada Penduduk Najd dan sekitarnya. Ketika pimpinan rombongan, Mundzir bin Amr menetapkan untuk berhenti di Bi’r Ma’unah, ia ditugaskan menggembalakan unta-unta bersama Amr bin Umayyah adh Dhamry, hingga mereka berdua sebenarnya lolos dari pembantaian yang dilakukan oleh Amir bin Thufail terhadap sahabat-sahabat yang hafal Al Qur'an tersebut.
Dari tempat penggembalaannya, mereka berdua melihat burung pemakan bangkai melayang di udara di atas perkemahannya, salah seorang berkata, "Sesuatu yang buruk telah terjadi, mari kita kembali ke perkemahan menemui teman-teman kita…"
Mereka bergegas kembali, dan dari kejauhan tampak para sahabat telah terkapar tak bernyawa dikelilingi para pembunuh yang pedangnya masih meneteskan darah. Langkah mereka terhenti, Amr mengajak kembali ke Madinah untuk mengabarkan peristiwa tersebut, tetapi Mundzir tidak setuju, ia berkata, "Cepat atau lambat, berita ini akan sampai juga kepada Nabi SAW, aku tidak rela meninggalkan sahabat kita terbaring nyenyak dalam keadaan ‘nyaman’, tanpa kita berjuang dan syahid bersama mereka, ayolah Amr! Kita maju dan berjuang menyusul mereka yang telah syahid.."
Amr menyambut ajakan Mundzir, mereka berdua menyerang para pembunuh kejam tersebut sehingga terjadi pertempuran hebat yang tidak berimbang. Mundzir akhirnya gugur sebagai syahid, sedangkan Amr ditawan.

Selasa, 01 Mei 2012

Muawiyah bin Haidah RA


Muawiyah bin Haidah telah bersumpah berkali-kali bahwa ia tidak akan mendatangi Rasulullah SAW  dan tidak akan memeluk Islam. Tetapi memang kehendak Allah berbicara lain, percik-percik hidayah menyentuh kalbunya, yang kemudian memaksa langkahnya untuk menemui Nabi SAW. Ia berkata, "Wahai Rasullullah, aku tidak datang kepadamu sampai aku bersumpah dengan sumpah yang lebih banyak daripada jumlah jari tangan, bahwa aku tidak akan mendatangimu dan agamamu. Tetapi kini aku datang juga kepadamu sebagai seseorang yang tidak faham apapun, kecuali apa yang diajarkan Allah kepadaku. Maka aku bertanya kepadamu demi wajah Allah Yang Maha Besar, dengan apakah Tuhan mengutusmu kepada kami?"
            Nabi SAW bersabda, “Benar!!”
Kemudian beliau menjelaskan dengan gamblang tentang Islam, kewajiban-kewajibannya, keimanan akan alam akhirat, dan lain-lainnya sehingga akhirnya Muawiyah memeluk Islam pada saat itu juga.

Aisyah binti Abu Bakar RA, Ummul Mukminin


Aisyah binti Abu Bakar RA merupakan istri yang paling dicintai Nabi SAW setelah Khadijah RA, dan satu-satunya wanita yang dinikahi Nabi SAW dalam keadaan gadis. Ia mendapat panggilan kesayangan dari Nabi SAW, Khumaira, artinya, yang pipinya kemerah-merahan. Ia adalah seorang wanita yang cerdas, sehingga setelah Nabi SAW wafat, banyak sahabat yang bertanya kepada Aisyah tentang berbagai permasalahan.
Aisyah dinikahi Nabi SAW ketika ia masih berusia 6 tahun di Makkah, dan mulai berkumpul dengan beliau ketika berusia 9 tahun di Madinah. Riwayat lainnya menyebutkan, ia dinikahi Nabi SAW pada usia 9 tahun, dan berkumpul dengan beliau pada usia 11 tahun. Ketika Nabi SAW wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun. Ia lahir pada tahun ke 4 kenabian, dan wafat pada usia 66 tahun, malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 Hijriah.
Awal mula pernikahan ini, adalah ketika Khaulah binti Hakim menemui Nabi SAW beberapa waktu setelah meninggalnya Khadijah RA. Ia menanyakan kesediaan Nabi SAW untuk menikah lagi, dan ia memberikan pandangan, jika janda, adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais, dan jika gadis, adalah Aisyah binti Abu Bakar. Nabi SAW menyerahkan urusan ini pada Khaulah. Ketika Khaulah menemui orang tua Aisyah, baik ibunya, Ummu Ruman atau bapaknya Abu Bakar sempat terkejut, karena Aisyah masih termasuk keponakan Nabi SAW sendiri.
Khaulah menemui Nabi SAW tentang status Aisyah yang masih keponakan beliau, tetapi beliau menyampaikan bahwa Aisyah tidak termasuk keponakan yang terlarang untuk dinikahinya. Abu Bakar dan Ummu Ruman dengan gembira menerima lamaran Nabi SAW lewat Khaulah ini. Nabi SAW datang ke rumah Abu Bakar, dan beliau dinikahkan sendiri oleh Abu Bakar dengan putrinya, Aisyah.
Beberapa bulan lamanya setelah tinggal di Madinah, Abu Bakar bertanya kepada Nabi SAW, tentang putrinya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak Aisyah tinggal bersama engkau?"
"Saya tidak mempunyai peralatan rumah tangga..!" Kata Nabi SAW.
Mendengar jawaban beliau itu, Abu Bakar membeli peralatan rumah tangga yang diperlukan, dan membawanya ke rumah Rasulullah SAW. Setelah semuanya siap, Abu Bakar mengantarkan Aisyah ke rumah beliau, di bulan Syawal tahun 1 atau 2 hijriah di waktu dhuha.
Setelah ditinggal wafat Nabi SAW, Aisyah sering memperoleh hadiah uang dari para sahabat, seperti Muawiyah, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dll., sehingga sebenarnya ia tidak dalam keadaan kekurangan. Tetapi didikan Nabi SAW atas dirinya tidak sedikitpun berubah. Kemurahan dan kesederhanaan tetap menjadi pola hidupnya sebagaimana yang dijalaninya bersama Nabi SAW, sehingga hidupnya cenderung dalam kekurangan.
Suatu ketika Aisyah memperoleh hadiah dua karung uang yang masing-masing berisi 100.000 dirham. Ia membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin dari pagi hingga sore sehingga tidak tersisa sama sekali. Hari itu Aisyah sedang berpuasa, saat masuk waktu maghrib, pembantunya datang membawa makanan untuk berbuka berupa sepotong roti dan minyak zaitun. Ia berkata kepada Aisyah, "Seandainya engkau tadi menyisakan satu dirham, tentu aku bisa menyediakan sepotong daging untuk menu berbuka."
"Mengapa engkau baru mengatakannya sekarang," Kata Aisyah, "Andai tadi engkau mengatakannya, tentu kusisakan satu dirham untukmu."
Suatu ketika Aisyah dalam keadaan puasa, dan hanya memiliki sepotong roti untuk persiapan berbuka. Tiba-tiba datang datang seorang lelaki miskin meminta makanan kepadanya, Aisyahpun menyuruh pembantunya menyerahkan sepotong roti yang ada. Pembantunya berkata, "Jika kita memberikan roti ini, kita tidak memiliki makanan lagi untuk berbuka puasa…!"
“Biarlah, berikan saja roti itu kepadanya." Kata Aisyah.
Keadaan seperti itu seringkali terjadi, sehingga menyulut rasa kasihan dari keponakannya, Abdullah bin Zubair, karena hidupnya yang dalam keadaan miskin dan serba kekurangan. Sebenarnya bukannya tidak ada harta dan uang yang datang, tetapi karena gemarnya bersedekah, sehingga tidak ada yang ‘sempat’ menginap walau hanya semalam, sebagaimana seringkali dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Abdullah bin Zubair adalah anak dari saudaranya, Asma binti Abubakar, dan sejak kecil Aisyah ikut mengasuhnya hingga ia amat sayang pada bibinya tersebut. Atas sikap kedermawanan bibinya ini, ia pernah berkata pada  salah seorang sahabat, "Saya harus menghentikan kebiasaan bibi yang selalu banyak bersedekah ini…"
Ucapannya itu ternyata sampai kepada Aisyah, dan ia merasa sangat marah kepada keponakannya, ia berkata, "Mengapa engkau melarang aku bersedekah?"
Sambil berkata seperti itu, ia bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Abdullah bin Zubair. Bagaimanapun juga sikap dermawannya itu adalah didikan dan juga dukungan penuh Rasulullah SAW selama ia hidup bersama beliau, sehingga tak mungkin ia meninggalkan atau merubahnya.
Ibnu Zubair menyadari kesalahannya, ia berusaha untuk meminta maaf dan meminta bibinya membatalkan sumpahnya tersebut, tetapi Aisyah tetap teguh dengan sumpahnya. Beberapa sahabat datang untuk membujuknya membatalkan sumpahnya tetapi tidak berhasil juga. Akhirnya ia meminta bantuan Hasan dan Husain, dua cucu kesayangan Rasulullah SAW. Dengan suatu siasat Ibnu Zubair berhasil menemui Aisyah, Hasan dan Husain mengingatkanmya berulang-ulang akan larangan Nabi SAW memutuskan silaturahmi, sehingga akhirnya Aisyah luluh juga. Ia membebaskan dua orang budaknya sebagai kafarat membatalkan sumpahnya.
Aisyah seringkali menangis jika mengingat masalah ini. Pertama karena ketergesaannya dalam bersumpah, sehingga membawa dampak yang luas bagi orang-orang di sekitarnya, dan kedua karena ia harus melanggar dan membatalkan sumpah yang diucapkannya sendiri. Begitu menyesalnya, sehingga air matanya mengalir deras membasahi kain yang dipakainya.
Aisyah adalah seorang yang sangat cerdas, masa kanak-kanak dan remajanya bisa dikatakan dihabiskan bersama Rasulullah SAW. Namun demikian ia mampu menghafal begitu banyak Hadits dan juga ayat Al Qur'an, padahal saat itu belum populer alat tulis dan buku catatan sebagai sarana penyimpan informasi. Tak kurang dari 2.210 hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tidak hanya itu, ia juga mampu memberikan solusi berbagai permasalahan agama yang mucul kemudian, berdasarkan apa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW. Apa yang disabdakan dan dilakukan beliau, menjadi dasar acuannya dalam memberikan solusi. Tak jarang beberapa sahabat terkemuka  mendatangi Aisyah untuk meminta pertimbangan.

Saudah binti Zam'ah RA, Ummul Mukminin


Saudah binti Zam'ah bin Qais sebelumnya diperistri oleh Sakran bin Amar RA, salah seorang sahabat Nabi SAW lainnya. Mereka berdua telah memeluk Islam pada masa awal ketika di Makkah. Karena kerasnya siksaan dan halangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, mereka berdua hijrah ke Habasyah bersama beberapa sahabat lainnya. Suami Saudah meninggal pada tahun 10 kenabian, beberapa hari sebelum meninggalnya Khadijah RA, ketika masih berada di Habasyah. Sebagian riwayat menyebutkan Sakran telah kembali ke Makkah, kemudian meninggal.
Beberapa bulan setelah wafatnya Khadijah, Nabi SAW menikahinya, inilah pernikahan pertama beliau setelah Khadijah wafat. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Nabi SAW terlebih dahulu menikah dengan Aisyah, walau saat itu belum berkumpul bersama Nabi SAW.
Ketika dinikahi Nabi SAW, Saudah sudah agak tua dan telah berkurang kecantikannya, badannya agak gemuk. Karena itu ia menjadi istri Nabi yang paling akrab dengan Aisyah, karena tidak ada sesuatu alasan yang bisa membuatnya dicemburui oleh Aisyah, bahkan seringkali Saudah memberikan gilirannya dikunjungi Nabi SAW kepada Aisyah. Keakraban mereka ini kadang terjadi ketika Nabi SAW berada di antara mereka.
Suatu ketika Nabi SAW datang ketika Aisyah sedang bersama Saudah, beliau duduk di antara mereka berdua. Aisyah bangkit untuk membuatkan kue khazirah, kue dari bahan tepung dan susu. Setelah siap, ia menghidangkannya untuk Rasulullah SAW. Aisyah tahu kalau Saudah tidak suka dengan kue khazirah, tetapi justru itu ia berkata setengah memaksa kepada Saudah, "Engkau harus memakan kue ini, kalau tidak, aku akan mengolesi wajahmu dengan khazirah!"
Saudah menolak mati-matian karena memang ia tidak suka. Aisyah terus merajuk dan akhirnya mengoleskan kue itu ke wajah Saudah. Melihat hal ini, Nabi SAW merendahkan kedua lutut dan memberi isyarat kepada Saudah untuk menuruti permintaan Aisyah. Tetapi belum sempat Saudah melakukannya, Aisyah mengambil sepotong kharijah dan mengoleskannya ke wajahnya sendiri. Nabi SAW tersenyum geli melihat wajah dua istrinya yang berlumuran tepung, Aisyah dan Saudah ikut tertawa karenanya.
Di waktu senggangnya, Nabi SAW menyibukkan diri dengan shalat sunnah. Saudah sangat senang ikut shalat di belakang beliau, walau tidak diperintah mengikutinya. Pernah terjadi, ketika beliau shalat dengan ruku yang sangat panjang, hidungnya mengeluarkan darah. Mungkin disebabkan oleh badannya yang terlalu gemuk.
Saudah wafat pada tahun 54 atau 55 hijriah, sebagian riwayat menyebutkan, ia wafat pada akhir kekhalifahan Umar bin Khaththab RA.

Anak Perempuan Hitam Bekas Budak


Anak perempuan hitam ini adalah budak dari seorang Arab yang telah dimerdekakan oleh tuannya, tetapi tetap tinggal bersama dan bekerja kepada mereka. Suatu ketika anak tuannya keluar dengan memakai selendang kulit warna merah, tetapi selendang merah tersebut hilang entah kemana. Mereka pun mencari-cari, ketika tidak ditemukan mereka menuduh anak perempuan hitam itu yang mencurinya. Anak perempuan hitam ini diperiksa dengan teliti, bahkan sampai kemaluannya diperiksa, tetapi tidak diketemukan karena ia memang tidak mencurinya.
Ketika sedang sibuk memeriksa tersebut, tiba-tiba lewatlah seekor burung elang dan menjatuhkan selendang merah tersebut di hadapan mereka. Mungkin anak tuannya itu menjatuhkan selendang tersebut tanpa sengaja, dan burung elang mengambilnya karena disangka sebagai daging yang segar. Seketika anak perempuan hitam itu berkata, "Inilah yang anda semua tuduhkan kepadaku sedangkan aku tidak bersalah apa-apa, inilah dia, inilah dia…"
Ia merasa ada keajaiban dalam peristiwa ini, elang tersebut datang tentunya atas perintah Allah SWT, dan ini tidak terlepas dari hadirnya seorang nabi yang tidak membeda-bedakan kedudukan, derajad dan warna kulit. Ia berpamitan keluar atau pindah dari rumah bekas tuannya tersebut dan menemui Nabi SAW untuk memeluk Islam. Ia mendapat tempat tinggal (berdiam) di salah satu serambi masjid dan sering berbincang-bincang dengan istri tercinta Nabi SAW, Aisyah RA. Dan ia selalu  mengenang peristiwa tersebut dengan berkata, "Dan hari selendang itu adalah keajaiban dari Allah, dan peristiwa itu telah melepaskan aku dari belenggu kekafiran…"

Lelaki Berkulit Hitam


Seorang lelaki yang telah memeluk Islam, datang menemui Nabi SAW yang sedang dalam suatu peperangan. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hanya seorang lelaki berkulit hitam yang berwajah jelek, dan aku tidak mempunyai harta. Seandainya aku memerangi mereka (kaum musyrikin) sampai aku terbunuh, apakah aku akan masuk surga?"
“Ya," Kata Nabi SAW dengan tegas.
Lelaki itu menerjunkan diri ke dalam pertempuran, berperang dengan perkasa sehingga akhirnya menemui syahidnya. Nabi SAW mendekati jenazahnya dan berkata, "Sungguh Allah telah mempertampan wajahmu, mengharumkan baumu dan memperbanyak hartamu…"
Sesaat kemudian beliau bersabda lagi, "Sungguh aku telah melihat dua istrinya dari jenis bidadari, yang bulat dan indah matanya, saling berebut menarik jubahnya, kemudian keduanya masuk di antara jubah dan kulitnya…"