Aisyah binti Abu
Bakar RA merupakan istri yang paling dicintai Nabi SAW setelah Khadijah RA, dan
satu-satunya wanita yang dinikahi Nabi SAW dalam keadaan gadis. Ia mendapat
panggilan kesayangan dari Nabi SAW, Khumaira, artinya, yang pipinya
kemerah-merahan. Ia adalah seorang wanita yang cerdas, sehingga setelah Nabi
SAW wafat, banyak sahabat yang bertanya kepada Aisyah tentang berbagai
permasalahan.
Aisyah dinikahi
Nabi SAW ketika ia masih berusia 6 tahun di Makkah, dan mulai berkumpul dengan beliau
ketika berusia 9 tahun di Madinah. Riwayat lainnya menyebutkan, ia dinikahi
Nabi SAW pada usia 9 tahun, dan berkumpul dengan beliau pada usia 11 tahun. Ketika
Nabi SAW wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun. Ia lahir pada tahun ke 4
kenabian, dan wafat pada usia 66 tahun, malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun
57 Hijriah.
Awal mula
pernikahan ini, adalah ketika Khaulah binti Hakim menemui Nabi SAW beberapa
waktu setelah meninggalnya Khadijah RA. Ia menanyakan kesediaan Nabi SAW untuk
menikah lagi, dan ia memberikan pandangan, jika janda, adalah Saudah binti
Zam'ah bin Qais, dan jika gadis, adalah Aisyah binti Abu Bakar. Nabi SAW
menyerahkan urusan ini pada Khaulah. Ketika Khaulah menemui orang tua Aisyah,
baik ibunya, Ummu Ruman atau bapaknya Abu Bakar sempat terkejut, karena Aisyah
masih termasuk keponakan Nabi SAW sendiri.
Khaulah menemui
Nabi SAW tentang status Aisyah yang masih keponakan beliau, tetapi beliau
menyampaikan bahwa Aisyah tidak termasuk keponakan yang terlarang untuk
dinikahinya. Abu Bakar dan Ummu Ruman dengan gembira menerima lamaran Nabi SAW
lewat Khaulah ini. Nabi SAW datang ke rumah Abu Bakar, dan beliau dinikahkan
sendiri oleh Abu Bakar dengan putrinya, Aisyah.
Beberapa bulan lamanya
setelah tinggal di Madinah, Abu Bakar bertanya kepada Nabi SAW, tentang
putrinya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak Aisyah tinggal
bersama engkau?"
"Saya tidak
mempunyai peralatan rumah tangga..!" Kata Nabi SAW.
Mendengar
jawaban beliau itu, Abu Bakar membeli peralatan rumah tangga yang diperlukan,
dan membawanya ke rumah Rasulullah SAW. Setelah semuanya siap, Abu Bakar
mengantarkan Aisyah ke rumah beliau, di bulan Syawal tahun 1 atau 2 hijriah di
waktu dhuha.
Setelah
ditinggal wafat Nabi SAW, Aisyah sering memperoleh hadiah uang dari para
sahabat, seperti Muawiyah, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dll., sehingga
sebenarnya ia tidak dalam keadaan kekurangan. Tetapi didikan Nabi SAW atas
dirinya tidak sedikitpun berubah. Kemurahan dan kesederhanaan tetap menjadi
pola hidupnya sebagaimana yang dijalaninya bersama Nabi SAW, sehingga hidupnya
cenderung dalam kekurangan.
Suatu ketika
Aisyah memperoleh hadiah dua karung uang yang masing-masing berisi 100.000
dirham. Ia membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin dari pagi hingga
sore sehingga tidak tersisa sama sekali. Hari itu Aisyah sedang berpuasa, saat
masuk waktu maghrib, pembantunya datang membawa makanan untuk berbuka berupa
sepotong roti dan minyak zaitun. Ia berkata kepada Aisyah, "Seandainya
engkau tadi menyisakan satu dirham, tentu aku bisa menyediakan sepotong daging
untuk menu berbuka."
"Mengapa
engkau baru mengatakannya sekarang," Kata Aisyah, "Andai tadi engkau
mengatakannya, tentu kusisakan satu dirham untukmu."
Suatu ketika
Aisyah dalam keadaan puasa, dan hanya memiliki sepotong roti untuk persiapan
berbuka. Tiba-tiba datang datang seorang lelaki miskin meminta makanan kepadanya,
Aisyahpun menyuruh pembantunya menyerahkan sepotong roti yang ada. Pembantunya
berkata, "Jika kita memberikan roti ini, kita tidak memiliki makanan lagi
untuk berbuka puasa…!"
“Biarlah,
berikan saja roti itu kepadanya." Kata Aisyah.
Keadaan seperti
itu seringkali terjadi, sehingga menyulut rasa kasihan dari keponakannya,
Abdullah bin Zubair, karena hidupnya yang dalam keadaan miskin dan serba
kekurangan. Sebenarnya bukannya tidak ada harta dan uang yang datang, tetapi
karena gemarnya bersedekah, sehingga tidak ada yang ‘sempat’ menginap walau
hanya semalam, sebagaimana seringkali dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Abdullah bin Zubair adalah anak
dari saudaranya, Asma binti Abubakar, dan sejak kecil Aisyah ikut mengasuhnya
hingga ia amat sayang pada bibinya tersebut. Atas sikap kedermawanan bibinya
ini, ia pernah berkata pada salah seorang
sahabat, "Saya harus menghentikan kebiasaan bibi yang selalu banyak
bersedekah ini…"
Ucapannya itu
ternyata sampai kepada Aisyah, dan ia merasa sangat marah kepada keponakannya,
ia berkata, "Mengapa engkau melarang aku bersedekah?"
Sambil berkata seperti
itu, ia bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Abdullah bin Zubair.
Bagaimanapun juga sikap dermawannya itu adalah didikan dan juga dukungan penuh
Rasulullah SAW selama ia hidup bersama beliau, sehingga tak mungkin ia
meninggalkan atau merubahnya.
Ibnu Zubair
menyadari kesalahannya, ia berusaha untuk meminta maaf dan meminta bibinya
membatalkan sumpahnya tersebut, tetapi Aisyah tetap teguh dengan sumpahnya.
Beberapa sahabat datang untuk membujuknya membatalkan sumpahnya tetapi tidak
berhasil juga. Akhirnya ia meminta bantuan Hasan dan Husain, dua cucu
kesayangan Rasulullah SAW. Dengan suatu siasat Ibnu Zubair berhasil menemui
Aisyah, Hasan dan Husain mengingatkanmya berulang-ulang akan larangan Nabi SAW
memutuskan silaturahmi, sehingga akhirnya Aisyah luluh juga. Ia membebaskan dua
orang budaknya sebagai kafarat membatalkan sumpahnya.
Aisyah
seringkali menangis jika mengingat masalah ini. Pertama karena ketergesaannya
dalam bersumpah, sehingga membawa dampak yang luas bagi orang-orang di
sekitarnya, dan kedua karena ia harus melanggar dan membatalkan sumpah yang
diucapkannya sendiri. Begitu menyesalnya, sehingga air matanya mengalir deras
membasahi kain yang dipakainya.
Aisyah adalah
seorang yang sangat cerdas, masa kanak-kanak dan remajanya bisa dikatakan
dihabiskan bersama Rasulullah SAW. Namun demikian ia mampu menghafal begitu
banyak Hadits dan juga ayat Al Qur'an, padahal saat itu belum populer alat
tulis dan buku catatan sebagai sarana penyimpan informasi. Tak kurang dari
2.210 hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tidak hanya itu, ia juga mampu
memberikan solusi berbagai permasalahan agama yang mucul kemudian, berdasarkan
apa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW. Apa yang disabdakan dan dilakukan
beliau, menjadi dasar acuannya dalam memberikan solusi. Tak jarang beberapa
sahabat terkemuka mendatangi Aisyah
untuk meminta pertimbangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar