Kamis, 03 Januari 2013

Hanzhalah bin Rabi RA

            Abu Rib'i Hanzhalah bin Rabi RA adalah salah satu dari beberapa juru tulis Nabi SAW. Suatu ketika ia bertemu dengan Abu Bakar yang menanyakan keadaannya, ia berkata, "Hanzhalah telah munafik!!"
            "Subkhanallah," Kata Abu Bakar, "Apa yang kau katakan, wahai Hanzhalah…!!"
            Hanzhalah berkata lagi, "Kalau aku sedang di hadapan Rasulullah SAW, dan beliau menceritakan tentang surga dan neraka maka seakan-akan aku melihat dengan mata kepalaku. Tetapi jika aku keluar dari hadapan beliau dan bergaul dengan istri dan anak-anak  serta menghadapi berbagai urusan lainnya, aku jadi lupa…."
            "Demi Allah, aku juga seperti itu…" Kata Abu Bakar.
            Mereka berdua sepakat pergi kepada Nabi SAW untuk menanyakan masalah tersebut. Tiba di hadapan beliau Hanzhalah berkata, "Wahai Rasulullah, Hanzhalah telah munafik!!"
"Kenapa demikian?" Tanya Nabi SAW.
            Hanzhalah menjelaskan apa yang dirasakan dan dialaminya, dan juga dikuatkan dengan Abu Bakar. Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, seandainya kamu sekalian bisa tetap keadaannya seperti ketika di hadapanku, dan selalu mengingat-ingatnya, pastilah para malaikat akan menjabat tanganmu di tempat-tempat tidur kalian dan juga di jalan-jalan. Wahai Hanzhalah, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat, sesaat dan sesaat…!"
            Nabi SAW pernah mengirim Hanzhalah ke Thaif untuk mendakwahi mereka, tetapi mereka menangkap dan mengurungnya. Beliau berkata, "Siapa di antara kalian yang bisa menyelamatkan Hanzhalah, ia akan memperoleh ganjaran sebagaimana yang diperoleh sewaktu keluar ghuzwah (mengikuti pasukan)…"
            Ketika tidak ada sahabat yang bangkit, paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib menyanggupinya. Dan ia berhasil membawa kembali Hanzhalah kepada Nabi SAW, walaupun penduduk Thaif berusaha menghalanginya, bahkan melemparinya dengan batu.

Abbas bin Abdul Muthalib RA

            Abbas bin Abdul Muthalib adalah paman Nabi SAW, tetapi sebagaimana halnya Hamzah, usianya hampir sebaya dengan Nabi SAW. Ia memang tidak memeluk Islam pada masa awal seperti halnya Hamzah, namun sebagian riwayat menyebutkan ia telah memeluk Islam sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, hanya saja ia menyembunyikan keislamannya. Pada Fathul Makkah-lah Abbas telah diketahui pasti sebagai pemeluk Islam.
            Abbas adalah seorang yang cerdas dan diplomatis. Walau tidak secara terang-terangan seperti Abu Thalib, ia juga melakukan pembelaan terhadap Nabi SAW dan Islam. Di awal kelahiran Islam, ketika Abu Dzar al Ghifari untuk pertama kalinya meneriakkan kalimat tauhid, yakni syahadat di Masjid al Haram, dan kaum kafir Quraisy menghajarnya habis-habisan, tak ada seorangpun yang berani membelanya. Tampillah Abbas dan ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Suku Ghifar. Dan kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah mereka. Apa jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"
            Karena perkataan Abbas ini, kaum kafir Quraisy ini melepaskan Abu Dzar. Abbas terkadang menyertai Nabi SAW ketika beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi kepada kaum pendatang yang sedang melaksanakan haji Makkah. Puncaknya adalah pada saat terjadinya Bai'atul Aqabah yang kedua dengan penduduk Yatsrib (Madinah), yang akhirnya menjadi tonggak awal kemenangan Islam di jazirah Arab.
            Pada salah satu malam hari tasyriq setelah sepertiga malam yang terakhir, tujuh puluh tiga lelaki dan dua wanita dari penduduk Madinah bertemu dengan Nabi SAW di bukit aqabah. Dalam kesepakatan yang akan diambil oleh  Nabi SAW dan mereka ini, Abbas menunjukkan sikap pembelaan dan perlindungannya kepada Nabi SAW walau saat itu ia belum memeluk Islam, ataupun sudah Islam tetapi menyembunyikan keislamannya. Antara lain ia berkata, "Wahai kaum Khazraj, sesungguhnya kalian tahu kedudukan Muhammad di antara kami, dia adalah orang  yang terhormat di tengah kaumnya dan dilindungi di negerinya. Jika kalian memang ingin menunaikan apa yang kalian janjikan kepadanya, dan membelanya dari orang yang memusuhinya, silakan kalian ambil tanggung jawab tersebut, Tetapi jika kalian berfikir untuk menyia-nyiakannya dan menelantarkan dirinya setelah keluar dari kami untuk bergabung bersama kalian, lebih baik biarkan saja ia bersama kami. Apalagi tetangga kalian itu adalah orang-orang Yahudi yang memang memusuhinya, aku khawatir akan makar mereka terhadap dirinya…!!"
            Kondisi yang terjadi saat itu memang mengharuskan sikap ekstra hati-hati. Abbas telah melihat sendiri bagaimana sikap permusuhan dan perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy atas Risalah Islamiah yang didakwahkan Nabi SAW. Begitu juga sikap beberapa kabilah Arab lainnya yang didakwahi beliau ketika berhaji, termasuk juga kabilah Bani Tsaqif di Thaif. Sepertinya pilihan Allah memang jatuh pada kaum Khazraj dan Aus dari Yatsrib untuk menjadi pilar dan markas utama  perkembangan risalah baru ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga sikap mereka memang jauh berbeda dengan sikap orang-orang Arab lainnya itu.
            Sesungguhnyalah perkataan Abbas tersebut cukup menyinggung perasaan orang-orang Yatsrib itu. Sejak ‘diperkenalkan’ oleh enam pemuda, disusul kemudian dengan Bai’atul Aqabah pertama sikap mereka telah bulat untuk menerima Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya di negeri mereka. As'ad bin Zurarah yang merupakan salah satu tokohnya sempat naik emosinya, tetapi Nabi SAW berkata kepadanya, "Jawablah tanpa menimbulkan pertengkaran…."
            As'ad menjelaskan sikap kaum Aus dan Khazraj dalam masalah tersebut, kemampuan mereka dalam berperang dan kesediaan mereka untuk berkorban demi membela Nabi SAW. Abdullah bin Amr bin Haram pun ikut menimpali tentang tradisi mereka dalam menjaga kehormatan, menghadapi musuh, dan lain-lainnya. Akhirnya As'ad menutup  pidato panjang mereka itu sambil menghadapkan diri pada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, ambillah dari kami untuk dirimu apapun yang engkau inginkan, dan buatlah persyaratan untuk Tuhanmu, apapun yang engkau mau. Sesungguhnya kami akan selalu ada di belakangmu…..!"
            Abbas merasa puas dengan penjelasan tersebut, dan membiarkan Nabi SAW dan penduduk Yatsrib menyusun kesepakatan-kesepakatan yang dalam sejarah dikenal dengan nama Bai'atul Aqabah kedua.
            Ketika pecah perang Badar, Abbas masih tinggal di Makkah, dan sesungguhnya ia menolak untuk ikut terlibat dalam pasukan kafir Quraisy, tetapi Abu Jahal memaksanya sehingga ia tidak bisa menghindar. Di Madinah, Nabi  SAW berpesan kepada para sahabat untuk tidak membunuh Abbas dan Abul Bakhtari bin Hisyam, karena dua orang itu mengikuti pasukan tersebut dalam tekanan dan keterpaksaan. Selama Nabi SAW di Makkah dahulu, mereka berdua tidak pernah ikut menyakiti dan menyiksa beliau dan umat Islam lainnya, sebagaimana tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Bahkan mereka ini banyak sekali melakukan pembelaan kepada Nabi SAW dan Islam, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
            Mengenai Abbas, bisa jadi Nabi SAW melarang membunuhnya karena beliau mengetahui bahwa sebenarnya ia telah memeluk Islam tetapi menyembunyikan keislamannya. Tetapi tentang keislamannya ini, sebagian riwayat lagi menyebutkan, ketika Nabi SAW dalam perjalanan ke perang Khaibar, Abbas menyusul rombongan pasukan dengan membawa harta kekayaannya untuk memeluk Islam dan terlibat dalam pertempuran tersebut. Tetapi yang riwayat yang pasti, Abbas terlibat langsung dalam perang Hunain, yakni setelah Fathul Makkah. Saat posisi pasukan muslim terdesak dan kocar-kacir, ia ikut memegang kendali keledai (baghal) Nabi SAW bersama Abu Sufyan bin Harits.
            Pada Perang Hunain inilah pertama kalinya kaum Quraisy bersatu, baik yang sudah muslim atau masih musyrik, bersama kaum muslimin lainnya dari berbagai kabilah, bertempur menghadapi persekutuan beberapa suku Arab yang tidak sudi mengakui eksistensi Islam. Sebenarnya pasukan sekutu yang dimotori suku Hawazin dan suku Thaif itu jumlahnya lebih kecil, tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan muslimin yang jumlahnya lebih besar. Memang, dengan jumlah yang lebih besar dan persenjataan cukup lengkap, mereka merasa angkuh dan membanggakan diri akan ‘menggilas habis’ musuhnya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
            Dalam keadaan terdesak dan kritis tersebut, Nabi SAW memerintahkan Abbas, yang memang mempunyai suara keras dan lantang membahana, memanggil para sahabat. Abbas mengulang ucapan Nabi SAW, “Manakah orang-orang yang berikrar di bawah pohon???”
            Yang dimaksud Nabi SAW adalah para sahabat yang termasuk dalam Bai’atul Ridwan, yakni ikrar kesetiaan kepada Nabi SAW di bawah pohon di Hudaibiyah, ketika beliau mendengar kabar kalau Utsman bin Affan yang menjadi utusan beliau kepada kaum Quraisy telah dibunuh. Kebanyakan para sahabat itu memang dari kalangan Muhajirin dan Anshar awal (as sabiqunal awwalun), yang keimanan dan semangat jihad mereka tidak diragukan lagi.
            Mendengar seruan Abbas itu, mereka yang dimaksud menerobos kepungan, dan sedikit demi sedikit berkumpul di sekitar Nabi SAW. Sekali lagi Nabi SAW memerintahkan Abbas menyeru, “Wahai sekalian orang Anshar!!”
            Suara lantang Abbas itu didengar para sahabat Anshar yang terpecah-pecah pada berbagai titik pertempuran, dan makin banyak saja kaum muslimin yang berkumpul di sekitar beliau, khususnya dari kalangan Anshar. Setelah itu Nabi SAW turun dari baghal beliau dan mengambil segenggam pasir, kemudian melontarkan ke arah musuh sambil bersabda, “Dari sinilah peperangan akan berkobar kembali!!”
            Seketika itu pasukan muslimin bergerak maju menghadang serangan musuh dengan semangat menggapai syahid fi sabilillah, yang pada akhirnya mampu mengalahkan pasukan sekutu tersebut. Suku Hawazin banyak yang terbunuh dan tertawan, sedangkan Suku Tsaqif banyak yang melarikan diri dan bersembunyi di benteng mereka di Thaif.
            Ketika utusan Nabi SAW untuk berdakwah ke Thaif, yakni Hanzhalah bin Rabi ditangkap dan dikurung oleh orang-orang Bani Tsaqif, Nabi SAW menawarkan siapa di antara para sahabat yang bersedia menyelamatkannya, dan pahalanya adalah seperti keluar ghuzwah (mengikuti suatu pasukan untuk berjihad di jalan Allah). Tetapi beberapa waktu lamanya tidak ada sahabat yang bangkit, akhirnya Abbas menyanggupi permintaan beliau. Dengan suatu muslihat, Abbas berhasil menyelamatkan Hanzhalah dari cengkeraman penduduk Thaif, walaupun mereka mengejar dan melemparinya dengan batu.
            Pada masa khalifah Umar pernah terjadi kemarau panjang sehingga Madinah dan negeri sekitarnya mengalami kekeringan. Umar mengajak penduduk Madinah melakukan shalat istisqo’ (shalat minta hujan) di lapangan sebagaimana pernah dilaksanakan Nabi SAW. Setelah selesai shalat, Umar menarik Abbas ke sebelahnya dan mengangkat tangannya dan tangan Abbas sambil berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan dengan perantaraan Nabi-Mu pada saat beliau ada di antara kami. Ya Allah, sekarang ini kami memohon dengan perantaraan paman Nabi-Mu, hendaklah Engkau turunkan hujan untuk kami !!"
            Belum lagi para jamaah meninggalkan tempat shalatnya, datanglah awan tebal dan turun menjadi hujan di Madinah dan sekitarnya sehingga memberikan kegembiraan pada penduduknya. Para sahabat mendatangi Abbas, memeluk dan menciumnya tangannya sambil berkata, "Selamat kami sampaikan kepada Anda, wahai penyedia air Haramain !!"
            Haramain adalah dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah. Dan sejak masa jahiliah Abbas memang bertugas memberi minuman para jamaah haji yang berkunjung ke Makkah pada musim haji. Dan sebagai penghargaan atas apa yang baru saja terjadi, yakni turunnya hujan di bumi Madinah dengan perantaraannya sebagaimana doa yang dipanjatkan Umar, para sahabat mengucapkan salam tersebut.
            Suatu ketika di tahun 9 atau 10 dari kenabian, Istri Abbas, yakni Ummu Fadhl yang saat itu telah memeluk Islam tetapi menyembunyikan keislamannya, datang menemui Nabi SAW. Tiba-tiba beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau sedang mengandung, jika engkau telah melahirkan, datanglah kepadaku dengan membawa anak itu!!”
            Beberapa bulan kemudian Ummu Fadhl melahirkan seorang anak lelaki, dan ia membawa putranya tersebut kepada Nabi SAW. Maka beliau melantunkan adzan di telinga kanan bayi tersebut, dan iqamah di telinga kirinya. Kemudian Rasulullah SAW meneteskan keringat beliau ke mulut sang bayi dan bersabda kepada Ummu Fadhl, “Namakanlah anak ini Abdullah, sekarang pulanglah engkau bersama bapaknya para khalifah!!”
            Tanpa banyak pertanyaan Ummu Fadhl pulang, dan ia menceritakan peristiwa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW kepada suaminya. Maka Abbas segera berpakaian dan berangkat ke tempat kediaman Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang engkau katakan (kepada istriku) itu??”
            Nabi SAW bersabda, “Seperti yang diceritakan istrimu itu, dia adalah bapak dari para khalifah. Di antara mereka ada yang disebut As Saffah, Al Mahdi, dan ada pula yang akan menjadi imam shalat dari Isa bin Maryam!!”
            Memang, putra Abbas tersebut adalah Abdullah bin Abbas, yang walau sangat muda dan hanya sekitar lima tahun bergaul dengan Nabi SAW, tetapi beliau menggelarinya sebagai ‘Ulamanya Ummat (Muhammad) ini’ karena keluasan dan kedalaman ilmunya. Di kemudian hari anak-anak keturunannya memang memegang jabatan kekhalifahan dalam kurun waktu cukup, yang kemudian dinisbahkan kepada nama ayahnya, Abbas, yakni Daulah Abbasiah. 

Ummu Abu Hurairah RA

            Ummu Abu Hurairah adalah Ibu dari sahabat Abu Hurairah. Walau dalam keadaan miskin, Abu Hurairah membawa serta ibunya yang masih musyrik itu hijrah ke Madinah, karena tidak ada keluarga atau kerabat lainnya yang bisa merawat ibunya itu jika tetap tinggal di kabilah Bani Daus di Yaman.
            Suatu ketika Abu Hurairah RA mengajak ibunya yang masih musyrik untuk memeluk Islam, tetapi sang ibu menolaknya, bahkan mengatakan sesuatu tentang Rasulullah SAW, yang sangat tidak disukainya. Abu Hurairah menjadi sedih. Ia menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang dilakukannya ibunya, Setelah itu ia memohon agar beliau berkenan mendoakan ibunya agar memperoleh hidayah Allah SWT. Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, berilah petunjuk kepada ibunya Abu Hurairah.."
            Abu Hurairah amat gembira dengan doa Nabi SAW, ia yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa tersebut. Ia pamitan kepada Nabi SAW dan bergegas menuju rumah ibunya. Ketika sampai, belum sempat ia mengetuk pintu yang tertutup rapat, sepertinya ibunya telah mendengar langkah kakinya, sang ibu berkata, "Tunggulah di luar, wahai Abu Hurairah."
            Abu Hurairah mendengar gemericik air, dan ketika pintu terbuka, tampak ibunya memakai baju panjang, wajahnya masih basah dengan air. Sang ibu berkata, "Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad  adalah utusan Allah."
            Abu Hurairah sangat gembira melihat ibunya memeluk Islam. Segera saja ia menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang terjadi dengan ibunya. Tetapi lagi-lagi ia meminta didoakan, agar ia dan ibunya selalu disayangi oleh setiap orang lelaki dan perempuan yang beriman. Lagi-lagi Nabi SAW memenuhi permintaannya ini, "Wahai Allah, jadikanlah hambaMu ini dan ibunya, disayangi oleh setiap orang-orang yang beriman, lelaki ataupun perempuan."

Abu Hurairah RA

            Abu Hurairah, atau nama aslinya Abdu Syamsi bin Sakher hanyalah seorang buruh upahan penggembala kambing dari keluarga Busrah bin Ghazwan, salah satu pemuka dari kabilah Bani Daus di Yaman. Tetapi sepertinya Allah menghendaki akan meningkatkan derajadnya setinggi mungkin, dengan jalan membawanya kepada hidayah Islam.      
            Ketika salah satu pemuka Bani Daus, yakni Thufail bin Amr ad Dausi melaksanakan ibadah haji ke Makkah (tentunya sebagai ritual ibadah jahiliah) pada tahun ke sebelas dari kenabian, ia bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebenarnya kaum kafir Quraisy telah ‘menasehati’ dirinya agar tidak bertemu Nabi SAW, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali ia diingatkan. Tetapi justru karena intensitas peringatan itu yang membuatnya penasaran dan tergelitik untuk menemui Nabi SAW, dan akhirnya memeluk Islam. Sepulangnya ke Yaman, ia mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Pada mulanya hanya sedikit saja orang yang menanggapi seruannya, yang salah satunya adalah Abu Hurairah tersebut.
            Pada awal tahun 7 hijriah, Nabi SAW berencana menggerakkan pasukan untuk menyerang kaum Yahudi di Khaibar. Kabar ini sampai juga ke Yaman, maka Thufail bin Amr mengajak kaum muslimin dari kabilahnya, Bani Daus untuk berhijrah ke Madinah dan menyertai Nabi SAW dalam medan jihad tersebut. Walau dalam keadaan miskin dan tidak memiliki harta yang mencukupi, Abu Hurairah turut juga menyambut seruannya, dan bergabung dalam rombongan hijrah ini.
            Setibanya di Madinah, ternyata Nabi SAW dan sebagian besar sahabat baru saja berangkat ke Khaibar. Rombongan Bani Daus tersebut langsung menyusul ke Khaibar untuk bergabung dengan pasukan Nabi SAW, tetapi Abu Hurairah tertinggal di Madinah karena tidak memiliki  kendaraan dan perbekalan. Usai shalat subuh keesokan harinya, Abu Hurairah bertemu shahabat yang ditunjuk menjadi wakil Nabi SAW di Madinah, yakni Siba' bin Urfuthah al Ghifary (atau sebagian riwayat menyebutkan Numailah bin Abdullah al Laitsy), ia memberi Abu Hurairah kendaraan dan perbekalan untuk bisa menyusul ke Khaibar. Ia berhasil menjumpai Nabi SAW, dan beliau menyuruhnya langsung bergabung dengan pasukan yang telah siap bertempur.
            Dalam pertemuan pertama itu, Nabi SAW bersabda kepadanya, “Siapakah namamu?”
            Abu Hurairah berkata, “Abdu Syamsi!!”
            Abdu Syamsi artinya adalah hamba atau budaknya matahari. Tampaknya Rasulullah SAW kurang berkenan dengan namanya itu, maka beliau bersabda, “Bukankah engkau Abdur Rahman!!”
            Maksud Nabi SAW adalah ia dan manusia semua itu adalah hamba Allah Ar-Rahman, maka dengan gembira Abu Hurairah berkata, “Benar, ya Rasulullah, saya adalah Abdurrahman!!”
            Sejak itu namanya berganti dari Abdu Syamsi bin Sakher menjadi Abdurrahman bin Sakher, sesuai dengan pemberian Nabi SAW. Sedangkan nama gelaran Abu Hurairah yang berarti ‘bapaknya kucing (betina)’, berawal ketika ia menemukan seekor anak kucing yang terlantar, maka ia mengambil dan merawatnya. Setelah itu ia selalu membawa anak kucing itu dalam lengan jubahnya kemanapun ia pergi, sehingga orang-orang memanggilnya dengan Abu Hurairah. Ketika Nabi SAW mendengar kisah tentang nama gelarannya itu, beliau terkadang memanggilnya dengan nama ‘Abul Hirr”, yang artinya adalah : bapaknya kucing (jantan).
            Sepulangnya dari Khaibar, sebagaimana sahabat pendatang (Muhajirin) miskin lainnya, Nabi SAW menempatkan Abu Hurairah di serambi masjid yang dikenal sebagai Ahlus Shuffah, yang berarti menjadi tetangga Nabi SAW. Mereka tidak makan kecuali apa yang diberikan Nabi SAW, sehingga mereka sering mengalami hal-hal yang bersifat mu'jizat dalam hal ini. Misalnya Nabi SAW mendapat hadiah segantang susu, beliau akan menyuruh Abu Hurairah memanggil seluruh penghuni Ahlus Shuffah yang berjumlah sekitar 70 orang (sebagian riwayat, 40 orang) untuk menikmati susu  tersebut, dan mencukupi. Kadang hanya sepanci masakan daging, atau setangkup kurma, atau sedikit makanan lainnya, tetapi mencukupi untuk mengenyangkan keluarga Nabi SAW dan para penghuni Ahlus Shuffah.
            Sebagai buruh gembala kambing, Abu Hurairah juga seorang yang buta huruf (ummi). Tetapi kalau Allah SWT memang telah berkehendak akan memberikan kemuliaan kepada seseorang, mudah sekali ‘jalannya’ walau mungkin ia memiliki banyak kekurangan, bahkan derajad yang rendah  dalam pandangan manusia. Seperti halnya terjadi pada Bilal bin Rabah, ternyata Allah SWT mengaruniakan kelebihan lain pada Abu Hurairah, yakni otak yang sangat jenius sehingga mempunyai kemampuan menghafal yang tidak ada bandingannya. Dengan karunia Allah ini, akhirnya ia menjadi seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW.
            Kemampuan Abu Hurairah tersebut ternyata didukung dengan berkah yang diperolehnya dari Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW pernah bersabda pada beberapa sahabat, "Siapa yang membentangkan surbannya di depanku hingga selesai pembicaraanku, kemudian meraihnya atau menangkupkan ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan sesuatu apapun yang didengarnya dari diriku…"
            Abu Hurairah bereaksi cepat mendahului para sahabat lainnya membentangkan surbannya di depan Nabi SAW.  Setelah beliau selesai berbicara, ia segera menangkupkan surbannya tersebut ke dirinya.
            Dalam peristiwa lainnya, Abu Hurairah bersama dua orang sahabat lainnya tengah berdzikir dan berdoa. Tiba-tiba Nabi SAW datang sehingga mereka menghentikan aktivitasnya untuk menghormati, tetapi beliau bersabda, “Lanjutkanlah doa kalian!!”
            Maka salah seorang sahabat melanjutkan berdoa, dan setelah ia selesai berdoa, Nabi SAW mengaminkannya. Sahabat satunya ganti berdoa, dan setelah selesai Nabi SAW mengaminkan doanya. Giliran Abu Hurairah, ia berdoa, “Wahai Allah, aku memohon kepadamu, apa yang dimohonkan oleh dua sahabatku ini, dan aku juga bermohon kepada-Mu karuniakanlah kepadaku ilmu yang tidak akan dapat aku lupakan!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar doa Abu Hurairah itu dan mengaminkannya pula.
            Setelah kejadian itu, ia tidak pernah terlupa apapun yang pernah disabdakan oleh Nabi SAW. Ia pernah berkata tentang kemampuannya itu, walau bukan bermaksud menyombongkan dirinya,  "Tidak ada sahabat Nabi SAW yang lebih hafal daripada aku akan hadits-hadits beliau, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia mendengar dan menuliskannya, sedangkan aku mendengar dan menghafalkannya."
            Sebenarnyalah cukup banyak sahabat yang mempertanyakan bagaimana mungkin ia tahu begitu banyak hadits-hadits Nabi SAW padahal ia tidak termasuk sahabat yang memeluk Islam dan bergaul langsung dengan beliau sejak awal. Tetapi sebenarnya mudah dipahami dengan melihat kondisi  yang ada. Walaupun hanya sekitar empat tahun hidup bersama Nabi SAW, tetapi ia hampir selalu bersama-sama beliau, kecuali ketika beliau sedang bersama istri-istri beliau. Ia tidak memiliki perniagaan untuk dijalankannya sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin. Ia juga tidak memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang menyibukkannya seperti kebanyakan kaum Anshar. Di waktu-waktu senggangnya, kadang Nabi SAW menceritakan berbagai hal dan peristiwa sebelum keislamannya, atau terkadang Abu Hurairah yang menanyakannya kepada beliau. Jadi, pantaslah ia lebih banyak mengetahuinya daripada kebanyakan sahabat lainnya.
            Pada masa khalifah Muawiyah, sang khalifah pernah mengetes kemampuan hafalannya, walau tanpa sepengetahuannya. Abu Hurairah dipanggil menghadap Muawiyah, kemudian diperintahkan menyebutkan semua hadits yang ia dengar dari Nabi SAW. Diam-diam Muawiyah menyiapkan beberapa penulis di tempat tersembunyi untuk mencatat semua hadits yang disampaikan Abu Hurairah itu secara berurutan. Setahun kemudian, Abu Hurairah dihadapkan kembali kepada Muawiyah dan disuruh menyebutkan hadits-hadits tersebut, dan diam-diam juga, Muawiyah memerintahkan para pencatat itu untuk mengecek kebenarannya.
            Setelah Abu Hurairah berlalu, para penulis hadits tersebut mengatakan pada Muawiyah bahwa yang disampaikannya tersebut seratus persen persis sama dengan setahun sebelumnya, termasuk urut-urutannya, bahkan tidak ada satu hurufpun yang terlewat atau berbeda. Muawiyah hanya geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, tetapi ini memang nyata.
            Lebih dari seribu enamratus hadits yang diriwayatkan dari jalan sahabat Abu Hurairah. Tidak akan mencukupi jika semua kisah yang menyangkut dirinya dalam riwayat-riwayat tersebut dijabarkan dalam halaman ini. 
            Sepeninggal Nabi SAW, Abu Hurairah selalu mengisi sisa waktu hidupnya dengan ibadah dan berjihad di jalan Allah. Ia mempunyai kantung yang berisi biji-biji kurma untuk menghitung dzikirnya, ia mengeluarkannya satu persatu dari kantung, setelah habis ia memasukkannya lagi satu persatu. Secara istiqamah, ia mengisi malam hari di rumahnya dengan beribadah secara bergantian dengan istri dan anaknya (atau pelayannya pada riwayat lainnya), masing-masing sepertiga malam. Kadang ia pada sepertiga malam pertama, atau sepertiga pertengahan dan terkadang pada sepertiga malam akhirnya yang merupakan saat mustajabah. Sehingga malam hari di keluarganya selalu terisi penuh dengan ibadah.
            Pada masa khalifah Umar, ia sempat diangkat menjadi amir di Bahrain. Seperti kebanyakan sahabat pilihan Nabi SAW lainnya, ia menggunakan gaji atau tunjangan yang diterima dari jabatannya untuk menyantuni dan membantu orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kehidupannya, ia mempunyai kuda yang diternakkannya, dan dan ternyata berkembang sangat cepat sehingga ia menjadi lumayan kaya dibanding umumnya sahabat lainnya.  Apalagi banyak juga orang-orang yang belajar hadits dari dirinya, dan seringkali mereka memberikan hadiah sebagai  bentuk terima kasih dan penghargaan kepadanya.
            Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah memiliki kekayaan yang melebihi penghasilannya, ia memanggilnya menghadap ke Madinah untuk mempertanggung-jawabkan hartanya tersebut. Begitu tiba di Madinah dan menghadap, Umar langsung menyemprotnya dengan pedas, "Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?"
            Abu Hurairah yang sangat mengenal watak dan karakter Umar, dan juga mengetahui sabda Nabi SAW bahwa Umar adalah "kunci/gemboknya fitnah", dengan tenang berkata, "Aku bukan musuh Allah SWT, dan juga bukan musuh kitab-Nya, tetapi aku hanyalah orang yang memusuhi orang yang menjadi musuh keduanya, dan aku bukan orang yang mencuri harta Allah…!"
            "Darimana kauperoleh harta kekayaanmu tersebut?"
            Abu Hurairah menjelaskan asal muasal hartanya, yang tentu saja dari jalan halal. Tetapi Umar berkata lagi, "Kembalikan harta itu ke baitul mal..!!"
            Abu Hurairah adalah didikan Nabi SAW yang bersikap zuhud dan tidak cinta duniawiah. Walau bisa saja ia berargumentasi untuk mempertahankan harta miliknya, tetapi ia tidak melakukannya. Karena itu tanpa banyak pertanyaan dan protes, ia menyerahkan hartanya tersebut kepada Umar, setelah itu ia mengangkat tangannya dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin Umar…!!"
            Beberapa waktu kemudian, Umar ingin mengangkatnya menjadi amir di suatu daerah lain. Dengan meminta maaf, Abu Hurairah menolak penawaran tersebut. Ketika Umar menanyakan alasannya, Abu Hurairah menjawab, "Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, dan punggungku tidak dipukul…"
            Beberapa saat berhenti, ia meneruskan lagi seakan ingin memberi nasehat kepada Umar, "Dan aku takut menghukum tanpa ilmu, dan bicara tanpa belas kasih…"
            Umar pun tak berkutik dan tidak bisa memaksa lagi seperti biasanya.
            Pada masa kekhalifahan selanjutnya, Abu Hurairah selalu mendapat penghargaan yang tinggi berkat kedekatannya bersama Nabi SAW dan periwayatan hadits-hadits beliau, sehingga secara materi sebenarnya ia tidak pernah kekurangan, sebagaimana masa kecilnya atau masa-masa bersama Rasulullah SAW. Tetapi dalam kelimpahan harta dan ketenaran ini, Abu Hurairah tetap bersikap zuhud dan sederhana dalam kehidupannya, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW.
            Pernah suatu kali di masa khalifah Muawiyah, ia mendapat kiriman uang seribu dinar dari Marwan bin Hakam, tetapi keesokan harinya utusan Marwan datang menyatakan kalau kiriman itu salah alamat. Dengan tercengang ia berkata, “Uang itu telah habis kubelanjakan di jalan Allah, satu dinar-pun tidak ada yang bermalam di rumahku. Bila hakku dari baitul mal keluar, ambillah sebagai gantinya!!”
            Abu Hurairah wafat pada tahun 59 hijriah dalam usia 78 tahun, pada masa khalifah Muawiyah. Ia memang pernah berdoa, “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari tahun enampuluhan, dan dari masa kepemimpinan anak-anak!!”
            Pada tahun enampuluhan hijriah itu memang masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, yang bersikap seperti anak-anak, yakni semaunya sendiri. Dan terjadi berbagai peristiwa yang bisa dikatakan sebagai ‘masa kelam’ dalam sejarah Islam, seperti Peristiwa Karbala, Peristiwa al Harrah, dan Penyerbuan Masjidil Haram.
            Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada??”
            Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!!”
            Tidak lama kemudian nyawanya terbang kembali ke hadirat Ilahi, dan jasadnya dimakamkan di Baqi, di antara sahabat-sahabat Rasulullah SAW lain yang telah mendahuluinya.

Zubair bin Awwam RA

Zubair bin Awwam masih sepupu Nabi SAW, walau usianya berbeda jauh. Ibunya adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib saudara dari ayahanda Rasulullah SAW, Abdullah.  Dan ayahnya adalah Awwam bin Khuwailid, saudara dari Khadijah, istri Nabi SAW. Maka tak heran jika Nabi SAW sangat menyayanginya. Ia telah memeluk Islam pada masa-masa awal Islam didakwahkan ketika masih berusia 12 tahun, dalam riwayat lainnya 15 tahun. Karena itu ia termasuk dalam kelompok sahabat as sabiqunal awwalin, yang memperoleh pujian langsung dari Allah dalam Al Qur'an. Ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika hidupnya.
Tidak lama setelah memeluk Islam, ia mendengar berita bahwa penduduk Makkah telah membunuh Nabi SAW, dengan marah ia menghunus pedangnya dan mencari tahu siapa yang membunuh beliau. Tetapi kemudian ia bertemu dengan Nabi SAW yang segar bugar saja, sementara pedangnya masih terhunus, Beliau bertanya, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Zubair?"
"Aku mendengar bahwa tuan telah dibunuh.." Kata Zubair.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Nabi SAW.
"Aku akan memancung kepala orang yang membunuh tuan…"
Nabi SAW tersenyum melihat sikap dan semangatnya. Beliau mendoakan dia dan juga pedangnya, kemudian menyuruhnya pulang. Itulah pedang yang pertama kali dihunuskan demi untuk membela Islam.
Peristiwa itu merupakan gambaran awal bagaimana sikap Zubair bin Awwam terhadap Nabi SAW dan Islam, maka tak heran jika kemudian ia tak pernah absen dalam semua pertempuran bersama Nabi SAW dan setelah beliau meninggal. Jiwa dan semangat hidupnya dihabiskan untuk mengabdi pada perjuangan menegakkan panji-panji Islam.
Sebagaimana para sahabat pada masa awal, keislamannya membawanya kepada penyiksaan dari kaum Quraisy, walau sebenarnya ia dari keluarga terhormat dan sangat disegani. Pamannya sendiri, Naufal bin Khuwailid yang dikenal dengan nama "Singa Quraisy", pernah menggulungnya dengan tikar dan menggantungnya terbalik dalam keadaan terikat, dan di bawahnya ada api sehingga asapnya menyesakkan dadanya. Berbagai siksaan ditimpakan oleh kaum  kerabatnya sendiri, tetapi semua itu tidak mampu mengembalikannya ke agama jahiliahnya.
Karena makin kerasnya tekanan dan siksaan yang ditimpakan kaum kafir Quraisy pada orang-orang yang memeluk Islam, Nabi SAW mengijinkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah, dan Zubair termasuk di antaranya. Raja Habasyah, Najasyi memberikan perlindungan kepada para muhajirin ini, dan memberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadahnya sendiri. Hal itu menimbulkan sekelompok orang melakukan pemberontakan, tidak setuju dengan sikap Najasyi tersebut. Sempat terjadi pertempuran, yang dalam pertempuran tersebut Zubair ikut berperan serta sebagai mata-mata untuk kepentingan Najasyi dan kaum muhajirin lainnya. Jika ternyata Najasyi kalah, ia harus segera memberitahukan agar kaum muslimin bisa segera meninggalkan bumi Habasyah. Tetapi Allah menghendaki kemenangan ada di pihak Najasyi, sehingga kaum muslimin dengan tenang tinggal di negeri Nashrani tersebut.
Walau hidup dalam keadaan damai dan tenang melaksanakan ibadah, tetapi hati Zubair selalu gelisah. Sejak ia memeluk Islam, hatinya seolah terikat dengan Rasulullah SAW. Ada kerinduan menggejolak untuk selalu bersama beliau, walau ada juga kekhawatiran. Karena itu, begitu mendengar keislaman Hamzah dan Umar bin Khaththab, yang membuat posisi kaum muslimin lebih kuat, ia segera kembali ke Makkah untuk bisa selalu bertemu dan melihat Rasulullah SAW, kapan saja kerinduannya itu datang.
Zubair juga dikenal sebagai penunggang kuda yang handal. Dialah salah satu dari hanya dua penunggang kuda pasukan muslim pada Perang Badar, dan ia diserahi Nabi SAW memimpin front/sisi kanan. Satu lagi adalah  Miqdad bin Aswad, diserahi untuk memimpin front kiri. Dengan pedang yang pernah didoakan oleh Nabi SAW, jiwa kepahlawanannya jadi makin menonjol. Dalam perang Badar tersebut ia mampu membunuh jagoan-jagoan Quraisy yang jadi andalan, seperti Naufal bin Khuwailid, Si Singa Quraisy yang masih pamannya sendiri, Ubaidah bin Said,  Ibnul Ash bin Umayyah, dan lain-lain.
Pada awal perang Uhud, Nabi SAW mengangkat sebuah pedang dan berkata, "Siapa yang mau mengambil pedang ini dengan memberikan haknya??"
Beberapa sahabat yang berkumpul tidak segera memberikan kesanggupan, maka Zubair bin Awwam segera  menyahutnya, "Saya, ya Rasulullah."
Tetapi Nabi SAW hanya memandangnya sekilas, kemudian mengulangnya hingga tiga kali, dan hanya Zubair yang dengan segera menyanggupinya. Namun demikian beliau tidak menyerahkan pedang tersebut kepadanya. Ketika Abu Dujanah yang menyanggupinya, beliau langsung menyerahkannya. Ini bukan berarti Nabi SAW tidak mempercayainya, tetapi Zubair telah memiliki pedang yang pernah didoakan Nabi SAW sehingga ia tidak memerlukan pedang lainnya. Biarlah pedang tersebut dipegang dan dimiliki sahabat lain untuk mengukirkan kepahlawanannya  kepada Islam.
Pada perang Uhud itu pula, pemegang panji kaum musyrikin, Thalhah bin Abu Thalhah menantang duel, tetapi tidak ada yang menyambutnya, sehingga dengan congkaknya ia meremehkan pasukan muslim. Ia memang seorang jagoan Quraisy yang perkasa. Segera saja Zubair keluar menyambut tantangannya. Ia berhasil meloncat ke atas belakang unta Thalhah dan mereka jatuh bergulingan di atas tanah. Zubair berhasil membantingnya kemudian membunuhnya dengan pedang kesayangannya, pedang yang pernah didoakan Rasulullah SAW.
Nabi SAW memuji ketangkasan Zubair tersebut dan beliau bersabda, "Setiap nabi itu mempunyai hawariyyun (pembela), dan hawariyunku adalah Zubair…"
Begitu juga dalam perang Khandaq, saat itu Naufal bin Abdullah bin Mughirah al Makhzumi menaiki tempat  yang tinggi kemudian menantang duel kaum muslimin. Nabi SAW sempat menawarkan pada salah seorang sahabat untuk melayani tantangan tersebut, dan ia menyanggupinya kalau memang diperintahkan. Tetapi kemudian Nabi SAW melihat keberadaan Zubair bin Awwam, beliaupun bersabda, "Bangunlah kamu, ya Abu Safiah, pergilah kepadanya!"
Majulah Zubair menghadapi Naufal, Mereka beradu kekuatan, saling merangkul dan bergulingan di tanah. Nabi SAW menyatakan bahwa siapa yang jatuh ke bawah lebih dahulu, dialah yang akan terbunuh. Beliau berdoa dan diamini oleh sahabat-sahabat lainnya. Tak lama kemudian Naufal jatuh, dan Zubair jatuh di atas dadanya, ia segera membunuhnya.
Begitulah, hampir semua pertempuran diterjuninya. Bahkan sebuah riwayat menyebutkan, Zubair bin Awwam adalah satu-satunya sahabat yang tidak pernah absen dari pertempuran yang dilakukan bersama Nabi SAW. Mungkin itu sebagian dari penjabaran bahwa Zubair memang hawari (pembela) Nabi SAW. Dan dalam setiap pertempuran, ia selalu menunjukkan jiwa dan semangat jihadnya, jiwa dan semangat untuk memperoleh syahid di jalan Allah. Begitu juga dengan berbagai pertempuran yang diterjuninya sepeninggal Nabi SAW.
Nama Zubair hampir tidak bisa dipisahkan dengan Thalhah. Kalau disebut nama Zubair, pastilah orang akan menyebut Thalhah, dan kalau ada yang menyebut Thalhah, pastilah Zubair disebut juga. Mereka berdua memang memiliki banyak kesamaan, sejak kecil dan remaja tumbuh bersama. Ketika mereka berdua memeluk Islam, Nabi SAW-pun mempersaudarakan mereka, di samping mereka berdua memang masih kerabat dekat dengan beliau.  Bahkan kemudian Nabi SAW pernah berkata, "Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga…..!"
Tidak ada bedanya jiwa perjuangan Thalhah dan Zubair dalam membela Islam, begitu juga dengan jiwa pemurah dan kedermawanannya. Seperti halnya Thalhah, ketika tidak sedang mengangkat pedangnya untuk berjuang di jalan Allah, ia akan mengurus perniagaannya, dan hasil perniagaannya lebih banyak dibelanjakan di jalan Allah daripada dinikmatinya sendiri. Bahkan dalam soal shadaqah dan membelanjakan harta di jalan Allah ini, bisa dikatakan "besar pasak daripada tiang." Ia tidak segan untuk berhutang demi "memuaskan" jiwa pemurah dan dermawannya. Tetapi ia selalu mencatat dengan  rapi hutang-hutangnya tersebut, dan mewasiatkan kepada anaknya, Abdullah bin Zubair untuk membayar hutangnya jika sewaktu-waktu ia meninggal, sambil ia berpesan, "Bila nanti engkau tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut, minta tolonglah kepada Induk Semang  (Maulana) kita!!"
"Induk Semang yang mana yang bapak maksudkan?" Tanya Abdullah bin Zubair.
"Induk Semang dan Penolong kita yang utama, yakni Allah SWT…."
Maka, setiap kali Ibnu Zubair mengalami kesulitan dalam membayar hutang bapaknya, ia selalu berdoa, "Wahai Induk Semangnya Zubair, tolonglah aku melunasi hutangnya…!"
Tidak lama setelah itu, selalu ada jalan keluar bagi Ibnu Zubair untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.
Seperti telah ditakdirkan untuk bersama-sama, kedua orang bersahabat itu, Zubair dan Thalhah inipun menjemput syahidnya bersama, yakni dalam perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja dalam perang saudara tersebut ia bersama Thalhah bin Ubaidillah dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrah  untuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Zubair. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan memang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasuk ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW, apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang sabda Nabi SAW ketika ‘kerja bakti’ membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"
Zubair dan Thalhah memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian  berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka  memanah keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebukan pembunuhnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah dikirimkan lagi ke Madinah dengan pengawalan saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar yang ada di fihak Ali.
Zubair meninggal dalam usia 64 tahun, dan jenazahnya di makamkan di suatu tempat yang disebut Waadis Sibba, sekitar 7,5 km dari kota Bashrah, di Irak sekarang ini.
Usai pertempuran, ketika Ali sedang beristirahat, datang salah seorang prajuritnya dan berkata, "Amr bin Jurmuz at Tamimi, pembunuh Zubair bin Awwam menunggu di luar, minta ijin untuk menghadap!!"
Ali mengijinkannya. Amr masuk dengan pongahnya, ia mengira akan memperoleh pujian dan penghargaan karena telah membunuh seseorang yang memusuhi khalifah Ali. Tapi begitu bertatap muka, Ali membentaknya dengan keras, dan berkata, "Apakah pedang yang kamu bawa itu pedang Zubair??"
Dengan gemetar ketakutan, ia berkata, "Benar, ini pedang Zubair, saya merampasnya setelah saya membunuhnya!"
Ali mengambil pedang tersebut dari tangannya dan menggenggamnya penuh perasaan dan khusyu, diciumnya pedang yang pernah didoakan Nabi SAW tersebut penuh rindu dan haru, hingga air mata membasahi pipinya, kemudian Ali berkata, "Pedang ini, Demi Allah, adalah pedang yang selama ini digunakan pemiliknya untuk membebaskan Nabi SAW dari berbagai marabahaya…..!!"
Setelah itu Ali memandang Amr bin Jurmuz dengan mata menyala, "Mengenai dirimu, wahai pembunuh Zubair, bergembiralah dengan masuk neraka, atas apa yang kamu lakukan kepada putra Shafiyah ini….!"
Amr berlalu dengan dongkol karena maksudnya tidak tercapai, sambil ia bergumam, "Aneh sekali tuan-tuan ini, telah kami bunuh musuh tuan, tetapi tuan katakan saya akan masuk neraka….!!"