Rabu, 04 Juni 2014

Ummu Hani binti Abu Thalib RA

Ummu Hani binti Abu Thalib, masih saudara sepupu Nabi SAW walau usianya berbeda jauh. Ia adalah saudara Ali bin Abi Thalib. Ia telah memeluk Islam dan tetap tinggal di Makkah. Rasulullah SAW cukup akrab dengan sepupunya ini, bahkan menurut sebagian riiwayat, ketika beliau mengalami (menjalani) Isra Mi'raj, beliau sedang berada di rumahnya.
Saat Fathul Makkah, Harits bin Hisyam dan Abdullah bin Abu Rabiah, dua tokoh Quraisy yang gencar memusuhi Nabi SAW saat di Makkah, dan masih kerabat dengannya, datang ke rumah Ummu Hani untuk meminta perlindungan karena takut pembalasan kaum muslimin, dan Ummu Hani menyetujuinya.
Tak lama berselang datang saudaranya, Ali bin Abi Thalib yang langsung menodongkan pedang kepada dua orang tersebut. Ummu Hani meloncat mendekati keduanya dan memegangi Ali sambil berkata, "Kamu lakukan hal ini kepadaku di antara sekian banyak kaum kafir Quraisy lainnya? Sungguh aku telah memberikan perlindungan kepada mereka! Bunuhlah aku terlebih dahulu sebelum engkau membunuh keduanya..!"
"Engkau telah melindungi orang-orang musyrik!" Kata Ali, kemudian berlalu keluar.
Ummu Hani segera pergi menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang dilakukannya, termasuk ancaman  yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Maka Nabi SAW bersabda, "Dia (Ali) tidak patut melakukan hal itu, sesungguhnya kami telah memberikan perlindungan kepada siapapun yang engkau lindungi, dan kami menjamin keselamatan siapapun yang engkau jamin."
Ummu Hani kembali ke rumahnya, dan memberitahukan apa yang dikatakan Nabi SAW, dan keduanya kembali ke rumahnya masing-masing. Tidak lama setelah itu Harits bin Hisyam akhirnya memeluk Islam.

Rabi'ah bin Ka'b al Aslamy RA

Rabi'ah bin Ka'b al Aslamy, atau dikenal dengan nama Abu Firas, adalah seorang pemuda dari Bani Aslam yang membaktikan dirinya sebagai salah satu pelayan Rasulullah SAW, dan ia termasuk salah seorang dari Ahli Shuffah. Ia bertugas untuk mengurus keperluan Nabi SAW pada waktu malam, termasuk ketika beliau akan shalat tahajud.
Suatu ketika seusai shalat tahajud, Nabi SAW berkata kepadanya, "Wahai Rabi'ah, mintalah sesuatu kepadaku!"
"Saya sudah cukup puas dengan bisa melayani keperluan engkau, ya Rasulullah!"
Tetapi Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk meminta sesuatu kepada beliau. Karena terus didesak, akhirnya Rabi'ah berkata, "Ya Rasulullah, aku ingin selalu bersama (yakni, menjadi teman) engkau di surga!"
"Apakah engkau tidak memiliki permintaan yang lain lagi?" Tanya Rasulullah SAW, maksud beliau adalah sesuatu yang bersifat duniawiah, yang beliau bisa memenuhinya seketika itu.
"Tidak ada, ya Rasulullah, hanya itu yang selalu menjadi idaman saya!" Kata Rabi'ah, menegaskan.
"Baiklah," Kata Nabi SAW, "Tetapi engkau harus menolong aku (untuk mewujudkan keinginanmu itu) dengan memperbanyak sujud kepada Allah."
Maksudnya agar Rabi'ah memperbanyak shalat-shalat sunnah.
Dalam suatu kesempatan lainnya, Nabi SAW bertanya kepadanya, "Wahai Rabiah, apakah kamu tidak ingin menikah?"
"Demi Allah, tidak ya Rasulullah, aku tidak ingin menikah sebab aku tidak memiliki apa-apa untuk menghidupi seorang istri. Dan terutama sekali aku tidak ingin ada sesuatu yang membuatku sibuk sehingga aku tidak bisa melayani kebutuhan engkau..!!"
Nabi SAW hanya tersenyum saja mendengar jawabannya. Tetapi pada suatu pertemuan yang lain, beliau menanyakan kembali pertanyaan tersebut dan Rabi'ah masih memberikan jawaban yang sama. Tetapi setelah itu Rabi'ah berfikir sendiri, kenapa Nabi SAW menanyakan masalah tersebut sampai dua kali, akhirnya ia menyimpulkan, "Demi Allah, Rasulullah SAW lebih tahu daripada aku sendiri, apa yang lebih tepat bagiku di dunia dan akhirat. Kalau beliau menanyakan lagi masalah ini, aku akan memberikan jawaban yang lain…!!"
Ternyata memang benar, pada kesempatan berikutnya, Nabi SAW bersabda kepadanya, "Wahai Rabiah, apakah kamu tidak ingin menikah?"
Kali ini Rabiah berkata, "Baiklah, ya Rasulullah, perintahkanlah kepadaku menurut yang engkau kehendaki!!"
Nabi SAW bersabda, "Pergilah engkau kepada keluarga fulan dari kalangan Anshar, katakan kepada mereka : Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus aku kepada kalian agar kalian menikahkan aku (dengan putri kalian)..!"
Rabiah segera berangkat memenuhi perintah Nabi SAW, dan ia disambut dengan gembira di keluarga orang Anshar tersebut. Mereka berkata, "Marhaban kepada Rasulullah dan utusan Rasulullah, demi Allah, utusan Rasulullah tidak diperkenankan kembali kecuali keperluannya sudah dipenuhi…!!"
Mereka memperlakukan Rabiah dengan lemah lembut dan ramah tanpa banyak mempertanyakan sesuatu kepadanya, kemudian menikahkan dengan salah seorang putri mereka. Setelah beberapa waktu lamanya, Rabiah meminta ijin untuk kembali menghadap Rasulullah, dan mereka mengijinkannya.
Ketika sampai di hadapan Nabi SAW, dengan perasaan sedih, Rabiah berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mendatangi suatu kaum yang mulia. Mereka menikahkan aku dan bersikap lemah lembut serta bersikap sangat baik tanpa menanyakan mas kawinnya. Padahal aku tidak mempunyai apa-apa untuk memberikan mas kawinnya…"
Beliau tersenyum mendengar penuturan Rabiah, dan memerintahkan seorang sahabat mengumpulkan orang-orang dari Bani Aslam, kemudian beliau bersabda, "Wahai orang-orang Aslam, kumpulkanlah dan berikanlah kepadanya (Rabiah) butir-butir emas…!!"
Dalam sekejab terkumpullah butir-butir emas yang cukup banyak, lalu beliau bersabda kepada Rabiah, "Pergilah, dan bawalah ini kepada mereka dan katakan : Ini mas kawinnya..!!"
Rabiah segera berangkat ke rumah orang Anshar yang telah menjadi mertuanya tersebut. Ia menyerahkan butiran emas sumbangan dari kaumnya sebagai mas kawinnya sebagaimana diperintahkan Rasulullah SAW. Sekali lagi mereka menyambutnya dengan lemah lembut dan gembira, dan berkata, "Cukup banyak dan sangat baik!!"
Rabiah meminta ijin untuk kembali kepada Rasulullah dan mereka mengijinkannya. Rabiah menghadap Nabi SAW dengan wajah sedih, sehingga beliau bertanya, "Wahai Rabiah, mengapa engkau (masih) kelihatan sedih..!!"
"Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih mulia dari mereka, yang rela dengan apa yang kuberikan kepada mereka, berbuat sangat baik dan berkata : Cukup banyak dan baik sekali. Padahal aku tidak mempunyai apa-apa untuk mengadakan walimah!!"
Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar penuturan Rabiah. Beliau memerintahkan para sahabat untuk  mengumpulkan beberapa domba yang besar dan gemuk. Beliau juga memerintahkan Rabiah untuk mendatangi Ummul Mukminin, Aisyah RA dan menyampaikan pesan beliau, "Hendaklah engkau mengirimkan sekeranjang makanan…!!
Rabiah bergegas ke tempat Aisyah dan menyampaikan pesan Nabi SAW, segera saja Aisyah mengeluarkan sekeranjang besar makanan dan berkata, "Keranjang ini berisi sembilan takar gandum, demi Allah tidak ada lagi selain ini. Jika kami masih mempunyai makanan lainnya selain ini, maka kamu boleh mengambilnya!!"
Rabiah membawa keranjang tersebut kepada Nabi SAW dan menyampaikan pesan Aisyah seperti itu. Beliau menyuruh Rabiah menyerahkan domba dan bahan makanan tersebut kepada keluarga Anshar mertuanya dengan diantar beberapa orang dari Bani Aslam. Sekali lagi mereka menyambut kehadiran Rabiah dengan gembira, dan mereka berkata, "Kalau roti, cukuplah kami yang mengerjakannya. Sedangkan dombanya bisa kalian yang mengerjakannya."
Rabiah dan beberapa orang dari Bani Aslam menyembelih dan menguliti domba-domba tersebut kemudian memasaknya. Setelah semua masakan siap, mereka mengundang Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya untuk mengadakan walimah dari pernikahan Rabiah bin Ka'b ini.

Dhuba'ah binti Amir bin Qurth RA

Dhuba'ah binti Amir bin Qurth berasal dari Bani Amir bin Sha'sha'ah, wanita ini telah memeluk agama Islam di Makkah, mendahului orang-orang di kaumnya, sehingga ia termasuk dalam kelompok yang pertama-tama memeluk Islam (as sabiqunal awwalin), tetapi ia masih menyembunyikan keislamannya pada masa itu.
Dalam suatu musim haji (di masa jahiliah), Nabi SAW berdakwah kepada Bani Amir bin Sha'sha'ah dan Bani Ka'ab bin Rabi'ah yang saat itu berada di Pasar Ukazh. Mereka belum bisa mengikuti ajakan Nabi SAW, tetapi mereka bersedia melindungi beliau jika ingin mendakwahkan pada kaum-kaum lainnya. Mereka mengajak beliau singgah di perkemahannya, dan beliau menyetujuinya. Tiba di perkemahan mereka, kehadiran beliau disambut dengan gembira. Tetapi seorang lelaki bernama Baiharah bin Firas al Qusyairi mencela sikap Bani Ka'ab karena perlindungan yang diberikannya kepada Nabi SAW, kemudian ia berpaling kepada beliau dan berkata, "Bangunlah, kembalilah kepada kaummu, Demi Allah, jika kau tidak sedang di antara kaumku, pasti aku akan memenggal kepalamu."
Nabi SAW tidak bisa berbuat banyak dengan sikapnya itu, kecuali harus pergi. Ketika beliau telah naik unta, Baiharah menendang  kaki unta beliau dan dua orang lainnya melemparinya. Melihat perlakuan yang tidak sepatutnya kepada Nabi SAW ini, Dhuba'ah yang berada di antara mereka berseru kepada anggota keluarganya untuk melakukan pembelaan kepada Nabi SAW. Tiga orang dari anak-anak paman Dhuba'ah bangkit menyambut seruannya, satu orang memukul Baiharah dan dua lainnya memukul orang-orang yang melempari unta Rasulullah SAW.
Sambil berlalu pergi, beliau masih sempat melihat pembelaan yang dilakukan oleh tiga orang tersebut, dan berdoa, "Ya Allah, berkatilah tiga orang itu dan laknatilah orang yang membantu Baiharah."
Tiga orang pembela Nabi SAW tersebut adalah Ghitrif bin Sahl, Ghatafan bin Sahl dan Urwah bin Abdullah, mereka bertiga akhirnya memeluk Islam, kemudian berjuang dan berjihad bersama Rasulullah SAW hingga memperoleh syahidnya.

Shafwan bin 'Assal RA

Suatu ketika Shafwan bin 'Assal didatangi seorang tabi'in bernama Zirr bin Khubaisy, yang seketika Shafwan berkata, "Ada apa kamu datang ke sini, wahai Zirr?"
"Untuk mencari ilmu!!" Kata Zirr.
Shafwan berkata, "Sesungguhnya malaikat akan membentangkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu karena senang dengan apa yang dicarinya itu!!"
Demikianlah memang yang pernah disabdakan Nabi SAW tentang keutamaan menuntut ilmu. Kemudian Zirr bin Khubaisy berkata, "Sesungguhnya saya belum jelas tentang mengusap sepatu sesudah buang hajat (kencing dan berak), sedang engkau adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Apakah engkau pernah mendengar beliau menjelaskan masalah itu?"
"Benar!" Kata Shafwan, "Sesungguhnya beliau menjelaskan, ketika dalam perjalanan atau sedang bepergian kami tidak perlu melepas sepatu (ketika akan berwudhu dan shalat) selama tiga hari tiga malam, kecuali jika karena janabah. Jika hanya karena kencing, berak atau tidur, tidak perlu melepas sepatu…!"
Untuk diketahui, pada jaman Nabi SAW, beliau dan para sahabat memang melaksanakan shalat dengan memakai sepatu atau terompahnya, dan kadang tanpa alas shalat, langsung saja di hamparan pasir yang diratakan, dan tentunya tidak terdapat najis di atasnya.
Ibnu Khubaisy berterima kasih atas penjelasan ini, kemudian ia bertanya lagi, "Apakah engkau pernah mendengar beliau menceritakan tentang cinta?"
"Pernah!" Kata Shafwan.
Kemudian ia menjelaskan bahwa ia pernah bersama Rasulullah SAW dengan beberapa sahabat lainnya dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba datang seorang Badui memanggil dengan suara lantang, "Wahai Muhammad!!"
Rasulullah SAW menyahuti panggilan lelaki Badui tersebut dengan suara keras juga. Maka Shafwan berkata kepada lelaki Badui tersebut, "Rendahkanlah suaramu karena engkau berhadapan dengan Nabi SAW, dan kita (umat Islam) benar-benar  dilarang berkata seperti itu!!"
Memang, sebelumnya beberapa sahabat punya kebiasaan bersuara keras dan memanggil-manggil Nabi SAW ketika beliau sedang di rumah atau sedang dalam kesibukan lain, sampai akhirnya turun Sural al Hujurat ayat 2 - 4 yang melarang kebiasaan mereka tersebut. Tetapi atas saran Shafwan tersebut, Sang Badui berkata, "Demi Allah, saya tidak bisa merendahkan suara saya!!"
Mungkin itulah bentuk kasih sayang beliau kepada si Badui, sehingga beliau juga bersuara keras menyamai suara lelaki tersebut agar ia "tidak terkena" hukum dalam ayat tersebut. Si Badui ini kemudian bertanya kepada beliau, "Bagaimana seseorang mencintai sekelompok orang, tetapi ia tidak boleh (bisa) berkumpul bersamanya?"
Mungkin yang dimaksudkan lelaki Badui ini adalah kecintaannya kepada Nabi SAW dan kepada para sahabat beliau, tetapi ia "tidak mungkin" selalu bersama-sama mereka karena keadaan dan kondisinya sebagai orang "desa" yang keimanan dan amalannya sangat jauh dibanding para sahabat tersebut. Belum lagi ia disibukkan dengan pekerjaannya untuk menghidupi keluarganya, sehingga tidak bisa memaksimalkan waktu untuk meningkatkan amal dan keimanannya.
Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan lelaki Badui tersebut dan bersabda, "Seseorang itu akan bersama-sama dengan orang yang dicintainya nanti pada hari kiamat!!"
Itulah masalah "cinta" yang pernah didengar Shafwan dari Rasulullah SAW. Kemudian ia menambahkan pula, bahwa Nabi SAW menceritakan adanya sebuah pintu di sebelah barat, pintu yang sangat lebar, yang seandainya ia berjalan dari sisi ke sisi lainnya, diperlukan waktu 40 atau 70 tahun lamanya. Pintu ini diciptakan Allah SWT bersamaan dengan penciptaan langit dan bumi. Ketika salah seorang sahabat bertanya tentang pintu tersebut, beliau bersabda, "Itulah pintu taubat, pintu itu selalu terbuka sampai matahari terbit dari arah barat (menjelang kiamat kubra)!!"
Akan tetapi tertutupnya pintu taubat dari masing-masing kita, menjelang "kiamat pribadi" kita adalah ketika nafas telah sampai di tenggorokan. Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT selalu menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di tenggorokan (Innallaaha yuqbalut taubata abdun, wa lam yughorghir).

Wanita Bani Juhainah yang Berdosa

Seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah SAW, saya telah melakukan kesalahan (yakni, berzina) dan harus dikenakan hadd (yakni qishas dengan dirajam hingga mati), maka laksanakanlah hadd tersebut pada saya!!"
“Apakah engkau hamil?” Kata Nabi SAW.
“Benar, ya Rasulullah!!” Kata wanita itu.
Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk mendatangkan (memanggil) walinya. Setelah tiba, beliau bersabda kepada walinya, "Perlakukanlah wanita ini dengan baik, apabila ia telah melahirkan, bawalah ia kemari!!"
Beberapa bulan berlalu, wanita tersebut datang lagi kepada Nabi SAW bersama walinya dan bayi yang dilahirkannya. Ia berkata, "Ya Rasulullah, saya telah melahirkan, lakukanlah hadd pada saya!!"
Tetapi Nabi SAW mengabaikan permintaannya, yakni sekali lagi menunda hukumannya, beliau bersabda, "Pulanglah, dan susuilah bayimu hingga engkau menyapihnya!!"
Wanita Bani Juhainah tersebut kembali pulang bersama bayi dan walinya. Beberapa bulan, atau mungkin dua tahun kemudian, ketika ia telah menyusui bayinya dan menyapihnya, ia datang lagi kepada Nabi SAW bersama bayi dan walinya. Ia berkata, "Ya Rasulullah, saya telah menyusui dan menyapih anak saya, lakukanlah hadd pada saya!!"
Anak wanita tersebut telah cukup mandiri dan tidak terikat lagi dengan air susu ibunya, dan tampak tenang dalam perawatan wali dari wanita tersebut. Karena itu Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk melakukan hadd, yakni hukum rajam bagi wanita tersebut. Setelah wanita tersebut meninggal dan dilakukan perawatan jenazah sebagaimana mestinya, Nabi SAW bersiap menyalatkannya. Melihat sikap beliau ini, Umar bin Khaththab berkata, "Wahai Rasulullah, engkau akan menyalatinya padahal ia telah berzina?"
Beliau bersabda, "Wahai Umar, wanita ini benar-benar bertaubat, yang seandainya taubat tersebut dibagi kepada tujuh puluh orang dari penduduk Madinah, niscaya mencukupi. Apakah kamu mendapatkan orang yang lebih utama daripada orang yang telah menyerahkan dirinya secara bulat kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung!!"