Kamis, 09 Agustus 2012

Sa'id bin Amir RA

            Sa'id bin Amir RA adalah seorang sahabat Muhajirin, yang memeluk Islam beberapa waktu sebelum terjadinya perang Khaibar. Sejak keislamannya, ia tidak pernah tertinggal dalam mengikuti peperangan bersama Rasulullah SAW. Ia bukan sosok yang menonjol walaupun memang memiliki keutamaan dan kesalehan, seperti halnya kebanyakan sahabat-sahabat Nabi SAW yang tidak terekspose keutamaannya. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak dikenali secara umum, nama dan ketinggian akhlak serta sikap kepahlawanannya. Termasuk Sa’id bin Amir ini, apalagi ia hanyalah dari golongan miskin. Tetapi seperti yang pernah dikatakan Umar bin Khaththab, "Kalian tidak mengenalinya, tetapi Allah dan para malaikat mengenali mereka….." 
            Pada masa khalifah Umar-lah namanya mulai dikenal, karena Umar selalu memilih orang-orang saleh, suka beribadah, zuhud dari dunia untuk memegang jabatan-jabatan di wilayah baru Islam yang mulai meluas. Ketika Umar memecat Muawiyah sebagai amir (gubernur) kota Homs, kota kedua terbesar di Syam (Syiria) setelah Kufah, karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh Umar, pilihannya jatuh kepada Sa'id bin Amir. Sebagian riwayat menyebutkan bukan kota Homs, tetapi kota Damsyik.
            Sa'id bin Amir didatangkan menghadap khalifah Umar. Tetapi ketika jabatan ini ditawarkan kepadanya, Sa'id berkata, "Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, ya Amirul Mukminin..!!"
            Mendengar jawaban tersebut, dengan tegas Umar menjawab, "Tidak, demi Allah saya tidak akan melepaskan anda! Apakah kalian hendak meninggalkan saya, setelah kalian memba'iat dan membebani saya dengan amanat dan kekhalifahan ini….!!"
            Walaupun sebenarnya ingin tetap menolak, Sa'id bisa diyakinkan untuk memegang jabatan tersebut, dan memang tidak ada pilihan lain seperti apa yang disampaikan Umar. Sa'id berangkat ke Homs bersama istrinya, yang sebenarnya mereka masih pengantin baru. Istrinya adalah seorang wanita yang cantik dan wajahnya selalu berseri-seri. Umar memberikan perbekalan secukupnya kepada mereka berdua, karena mereka memang tidak memiliki uang dan bekal sendiri yang cukup untuk bisa sampai ke Homs.
            Setelah beberapa bulan berlalu menduduki jabatan gubernur (Amir), dan secara ekonomi keluarga mereka mulai mantap, istrinya mengusulkan kepada Sa'id untuk membeli pakaian dan perlengkapan rumah tangga yang lebih baik, dan menyimpan sisanya sebagai tabungan. Mendengar saran istrinya tersebut, Sa'id berkata, "Maukah aku tunjukkan yang lebih baik daripada rencanamu itu…!!"
            Setelah istrinya mengiyakan, Sa’id berkata, "Kita berada di suatu negeri yang perdagangan dan jual belinya amat pesat berkembang. Sebaiknya kita minta seseorang menggunakannya sebagai modal, tentu keuntungannya lebih besar…."
            "Bagaimana kalau perdagangannya rugi?" Tanya istrinya
            "Aku akan menyediakan borg atau jaminan untuk itu, bahwa kita tidak akan pernah merugi!!"
            "Baiklah kalau begitu!" Kata istrinya, menyetujui usul suaminya tersebut.
            Sa'id pergi sambil membawa uang tersebut ke pasar, kemudian membeli persediaan dan keperluan hidup keluarganya untuk beberapa waktu lamanya. Ia memilih dari jenis yang paling sederhana dan murah. Sisa uangnya yang masih banyak, dibagi-bagikan fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Beberapa bulan berlalu, sering sekali istrinya menanyakan tentang perdagangan dan keuntungannya. Sa'id mengatakan kalau semuanya lancar-lancar saja, dan keuntungannya makin banyak, hanya saja belum bisa segera diambil atau dicairkan.
            Pada suatu ketika, istrinya menanyakan hal yang sama, sementara saat itu ada kerabatnya yang tahu bahwa Sa'id tidak mempunyai usaha perdagangan yang dijalankan orang lain. Ia tampak tidak mengerti dan bingung, dan istrinya menangkap isyarat itu. Akhirnya istrinya itu bertanya lagi dan mendesak Sa'id untuk menjelaskannya. Sa'id pun tertawa, kemudian menjelaskan apa adanya, bahwa harta tersebut memang dibelanjakan atau diperniagakan di jalan Allah. Ia tidak berdusta, keuntungannya akan jauh lebih besar dan bermanfaat bagi mereka berdua di akhirat kelak.
            Istrinya menangis penuh sesal, dan air mata yang membasahi wajahnya makin menambah kecantikannya saja. Sa'id menyadari godaan kecantikan istrinya tersebut, dan ia tidak mengelak bahwa ia sangat mencintai dan takut kehilangan istrinya itu. Tetapi mata batinnya jauh menerawang, dan akhirnya menemukan sosok Rasulullah SAW dan para sahabat beliau yang telah mendahuluinya. Ia berkata tegas, "Aku mempunyai kawan-kawan yang telah terlebih dahulu menemui Allah, dan aku tidak ingin menyimpang dari jalan mereka walau ditebus dengan dunia dan segala isinya…"
            Kemudian untuk menegaskan sikap dan pendiriannya, ia berkata kepada istrinya, "Wahai istriku yang cantik, bukankah engkau tahu bahwa di surga itu banyak gadis-gadis yang cantik dengan matanya yang jeli memikat, seandainya satu orang saja menampakkan wajahnya di bumi, niscaya terang benderang-lah seluruh bumi, mengalahkan sinar matahari dan bulan….Maka, jika memang terpaksa, tidak mengapa aku mengorbankan dirimu (meninggalkanmu) untuk mendapatkan mereka, dan itu lebih logis dan utama, daripada harus mengorbankan mereka hanya untuk mempertahankan dirimu menjadi istriku!!”
            Sa'id telah memasrahkan segalanya kepada Allah, tetapi memang berkah Allah telah meliputi keluarga mereka, sehingga istrinya bisa menerima kenyataan ini. Ia sadar tidak ada jalan yang lebih utama daripada mengikuti  jalan yang dipilih suaminya, mengendalikan diri dengan sifat zuhud dan ketakwaan.
            Suatu ketika Umar melakukan kunjungan ke Homs untuk mendengar pendapat warganya. Sebagian besar mereka memuji kepemimpinan Sa'id, hanya saja mereka mempunyai empat keluhan, yakni : Pertama, Sa'id hanya menemui warganya untuk melayani jika matahari sudah tinggi. Ke dua, ia tidak mau melayani pada waktu malam hari.  Ke tiga, setiap bulannya, dalam dua hari ia tidak mau menemui warganya sama sekali. Ke empat, terkadang tiba-tiba ia jatuh pingsan tanpa tahu sebabnya.
            Sebenarnya Umar telah mengetahui atau mendapat firasat tentang jawaban Sa'id, karena pada dasarnya, sikap dan perilaku Sa'id dalam menghadapi dunia dan seluk-beluknya, tidak jauh berbeda dengan sikapnya sendiri. Namun demikian, untuk menguatkan dan membenarkan firasatnya, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat Homs, tipikal seperti apa sahabat Nabi SAW yang memimpin mereka itu, ia mempersilahkan Sa'id untuk menjelaskan langsung tentang keluhan masyarakat tersebut.
            Sa'id berdiri di depan mereka dan berkata, "Sesungguhnya saya tidak ingin dan tidak suka menyebutkan alasan-alasannya, mengapa hal tersebut terjadi? Tetapi karena kalian telah memaksa saya, saya akan menjelaskannya, semoga Allah SWT mengampuni dan memaafkan saya…."
            Mulailah Sa'id menjelaskan, mengenai ia tidak mau keluar sebelum matahari telah tinggi, karena keluarganya tidak memiliki dan memang tidak ingin memiliki pelayan, Sa'id sendiri yang mengaduk tepung, mengeramnya beberapa saat sebelum akhirnya membuat roti untuk sarapan mereka sekeluarga. Baru setelah itu ia shalat dhuha dan keluar menemui masyarakat yang membutuhkannya.
            Mengenai ia tidak mau melayani di malam hari, karena waktu malam hari tersebut ia mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah. Bukankah sudah cukup adil (dalam penafsiran dan ijtihad Sa'id), siang harinya disediakan untuk melayani masyarakat dan malam harinya khusus untuk mengabdi kepada Allah.
            Mengenai dua hari dalam satu bulan ia tidak keluar, lagi-lagi masalahnya karena ia tidak mempunyai dan tidak menginginkan adanya pelayan dalam rumahnya. Dalam dua hari tersebut digunakannya untuk mencuci pakaian-pakaiannya yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Tetapi justru karena itu ia tidak punya pengganti jika dicuci, dan harus menungguinya sampai kering. Kalaupun bisa keluar, sudah saat senja hari atau bahkan tidak keluar sama sekali dalam dua hari tersebut.
            Mengenai ia tiba-tiba pingsan, tidak lain adalah pengalamannya di masa jahiliah ketika ia belum memeluk Islam. Saat itu sahabat Nabi SAW, Khubaib bin Adi al Anshari dianiaya dan akan dibunuh oleh orang Quraisy. Ia melihat bagaimana tubuhnya dibawa dengan tandu, sementara dagingnya diiris dan dipotong. Kemudian tubuhnya disalib dan dibunuh. Setiap ingat peristiwa tersebut dan ia hanya berpangku tangan saja, sama sekali tidak ada tersirat keinginan untuk memberikan pertolongan kepada Khubaib, ia jadi gemetar karena takut akan diazab Allah karena sikap diamnya itu, dan tanpa sadar ia telah jatuh pingsan.
            Setelah memberikan penjelasan tersebut, ia berurai air mata hingga membasahi wajah dan janggutnya. Umar tidak bisa menahan diri, ia memeluk dan mencium kening Sa'id, sambil berseru gembira bercampur haru, "Alhamdulillah, karena taufiq Allah, benarlah firasatku, dan benarlah pilihanku kepadamu….!"
            Beberapa orang sahabat dan kerabatnya menasehatinya untuk memberikan kelapangan belanja untuk keluarganya dan juga kerabat istrinya, karena penghasilannya memang memungkinkan untuk merealisasikannya. Atas  saran seperti ini, Sa'id menjawab dengan mengutip sabda Nabi SAW, "Saya tidak ingin ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT akan menghimpun manusia untuk dihadapkan ke pengadilan. Maka datanglah orang-orang miskin yang beriman, mereka maju berdesak-desakan menuju surga tak ubahnya kawanan burung merpati. Lalu ada Malaikat yang berseru kepada mereka, 'Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan (hisab)!!' Mereka menjawab, 'Kami tidak punya apa-apa untuk dihisab.' Maka Allah berfirman, 'Benarlah hamba-hambaKu itu….' Maka masuklah mereka ke dalam surga sebelum orang lain memasukinya, tanpa dihisab…."

Ali bin Abi Thalib RA

Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi SAW
            Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi SAW, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran. Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi SAW sejak usia 6 tahun.
            Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan akhlakul karimah Nabi SAW dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi SAW. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau SAW pernah bersabda, "Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…"  (Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).
            Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi SAW, Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi SAW terus berlanjut hingga kewafatan beliau.

Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib
            Salah satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medan jihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khaththab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya. Nabi SAW seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau, "Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…" (Laa fatan illaa aliyyun).
            Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah SAW menerjuni medan pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rab'iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi SAW memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.
            Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush'ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi SAW memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata, "Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa'ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!"
            Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat.  Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa'ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, "Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…"
            Usai pertempuran, Ali dikerumuni orang-orang yang berusaha mengobati lukanya, tetapi kesulitan karena begitu banyak luka yang dialaminya. Ketika Nabi SAW menghampiri, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami merasa kesulitan, kalau kami obati satu lukanya, terbukalah luka lainnya…"
            Akhirnya beliau turun tangan ikut membalut luka, dan dengan berkah tangan beliau yang penuh mu'jizat, luka- lukanya dapat diobati dengan mudah. Setelah itu beliau bersabda, "Sesungguhnya seseorang yang mengalami semua ini karena membela agama Allah, sungguh telah berjasa besar dan diampuni dosa-dosanya…"
            Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib  dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua ia tidak membuat Ali gentar, bahkan dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk menyelamatkan diri.
            Menjelang perang Khaibar, Nabi SAW bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan), "Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya"
            Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah SAW dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, 'Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya', derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendiri  oleh beliau. Pandangan Rasulullah SAW berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri dengan harapan akan ditunjuk beliau.  Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda, "Dimanakah Ali bin Abi Thalib?"
            Seorang sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi SAW menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan Rasulullah SAW, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendoakan, seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!"
            "Janganlah terburu-buru," Kata Nabi SAW, "Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekalipun!!"
            Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na'im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.
            Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.
            Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi SAW. Sampai pernah diceritakan, dalam suatu pertempuran Ali sudah hampir membunuh musuhnya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajahnya. Tampak tersirat kemarahan Ali, tetapi justru ia meninggalkan dan membiarkannya hidup. Sebagian anggota pasukan muslim melihatnya dengan heran menanyakan sikapnya tersebut. Ali menjawab, "Ketika aku bertempur dan akan membunuhnya, aku masih berjuang karena agama Allah. Tetapi ketika ia meludahiku dan ada sedikit kemarahan dalam diriku, aku takut membunuhnya itu karena (nafsu) kemarahanku yang muncul."

Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib
            Salah satu bentuk didikan Nabi SAW yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri, "Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya."
            Itulah prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.

Bekerja pada Orang Yahudi
            Suatu ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata  kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.
            Rasulullah SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi SAW berkata kepada Ali, "Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?"
            Ali menjawab, "Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah."
            Rasulullah SAW akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.       

Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi
            Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.
            Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi.  Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama Qanbar.
            Mendengar penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas, "Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!"
            "Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?" Tanya Ali kepada Shuraih, "Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga?"
            "Bukan begitu Ali," Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan, "Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya."
            Karena Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.
            Si Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui kalau baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham. Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.

“Engkau Bebas karena Allah!!”
            Suatu ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari tempat itu. Dengan heran Ali berkata,”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!!”
            Dengan santai budaknya itu berkata, “Ya, saya mendengar!!”
            “Mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku??”
            Jawabannya sungguh mengejutkan, budak itu berkata, “Saya sangat mengenalmu, dan saya merasa tidak bakal dihukum, karena itu saya membiarkan saja panggilan itu!!”
            Bagi Ali, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk merambah jalan akhirat, kalau sikapnya seperti itu justru akan mengotori hati saja. Karena itu ia berkata, “Engkau bebas karena Allah, engkau aku merdekakan!!”

Karena Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia
            Suatu ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi SAW ruku’ dalam waktu cukup lama. Bukan karena apa, tetapi malaikat Jibril datang dan menggelar salah satu sayapnya di punggung beliau sehingga beliau tidak bisa bangkit. Setelah Jibril pergi barulah beliau bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu lama yang sebelumnya belum pernah engaku lakukan??”
            Nabi SAW menceritakan tentang malaikat Jibril yang menahan beliau dalam ruku. Sahabat itu bertanya lagi, “Mengapa bisa seperti itu??”
            Nabi SAW bersabda, “Aku tidak tahu!!”
            Tidak berapa lama Jibril datang lagi dan berkata, “Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki tua nashrani yang berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya karena sangat memuliakan lelaki tua itu!! Karena itu Allah memerintahkan aku untuk menahanmu dalam ruku,  agar Ali dapat ikut jamaah!!”
            Nabi SAW tampak terkagum-kagum dengan penjelasan Jibril tersebut, tetapi Jibril meneruskan, “Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak habis karena menunggu Ali hadir!!”
            Nabi SAW memanggil Ali. Ketika Nabi SAW meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan tenangnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang ajaib terjadi, “Benar, ya Rasulullah, lelaki tua itu sangat pelan jalannya dan aku tidak suka untuk mendahuluinya karena memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak datang untuk shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga aku tidak tertinggal shalat jamaah bersamamu!!”
            Nabi SAW hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para sahabat. Setelah itu beliau bersabda, “Inilah derajad orang yang memuliakan seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!!”

Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam 
            Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada makanan untuk kusantap hari ini?”
            Fathimah berkata, “Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”
            “Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.
            “Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”
            Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi SAW lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padang pasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu??”
            Miqdad berkata, “Wahai Abul Hasan, janganlah mengganggu aku, janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”
            Ali berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”
            “Baiklah kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”
            Miqdad enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!!”
            Miqdad menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi SAW menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam??”
            Pada masa Nabi SAW, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi SAW. Karena ia diam saja, beliau bersabda lagi, “Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”
            “Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”
            Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah SAW, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”
            Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata, “Subkhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”
            Ali berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”
            Fathimah menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”
            Nabi SAW tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda, “Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!!”
            Sesaat kemudian Nabi SAW menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”

Badzan, Abanauah dan Jadd Jamirah

           Badzan adalah wakil Kisra Persia yang membawahi wilayah Yaman. Setelah Kisra Persia merobek-robek surat Nabi SAW, dan utusan beliau, sahabat Syuja bin Wahb al Asadi meninggalkan istana Kisra, Kisra memerintahkan Badzan untuk mengirimkan surat dengan dua utusan untuk menemui Nabi SAW. Isi surat itu antara lain memerintahkan beliau untuk menghadap Kisra Persia dengan segera. Dua orang itu adalah Abanauah, seorang menteri urusan khusus kerajaan Romawi, dan seorang lelaki dari al Furs yang dikenal dengan nama Jadd Jamirah.
            Mereka berdua sempat singgah di Thaif, dan mencari informasi dari orang-orang Quraisy yang sedang berdagang di sana. Orang Quraisy ini sempat gembira karena Kisra Persia menunjukkan sikap bermusuhan dengan Nabi SAW, yang artinya berada di pihak yang sama dengan mereka. Kedua utusan Badzan ini meneruskan perjalanan ke Madinah.
            Sesampainya di Madinah dan menghadap Nabi SAW, Abanauah menyampaikan surat dari Badzan, dan berkata, "Sesungguhnya Kisra telah menulis surat kepada Badzan agar mengirim utusan kepadamu yang dapat membawamu menghadap kepada Kisra, dan Badzan menyuruhku agar engkau ikut bersamaku."
            Rasulullah SAW hanya tersenyum dan menyuruh dua utusan tersebut beristirahat terlebih dahulu, dan meminta mereka menemui beliau lagi keesokan harinya.  Ketika Abanauah dan Jadd Jamirah menemui Nabi SAW keesokan harinya, Beliau memberitakan bahwa Kisra Persia akan dibinasakan oleh Allah, dan putranya, Shiruyah akan mengalahkannya pada tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan beliau.
            Tentu saja kedua orang utusan ini terkejut dan setengah tak percaya, mereka berkata, "Apakah engkau tahu benar apa yang engkau katakan? Dan bolehkah kami menulis mengenai hal ini untuk pimpinan kami, Badzan?"
            "Silahkan engkau tulis," Kata Nabi SAW, "Dan katakan juga kepadanya : Jika kamu masuk Islam, maka Nabi SAW akan mengaruniakan kepadamu apa yang ada dalam kekuasaanmu saat ini."
            Mereka menulis secara lengkap pembicaraan Rasulullah SAW, yang bisa dikatakan sebagai ramalan atas kerajaan Persia, setelah itu berpamitan. Beliau memberikan hadiah pada Jadd Jamirah, sebuah ikat pinggang yang di dalamnya berisi emas dan perak. Kedua orang ini kembali ke Yaman, dan ketika diceritakan apa yang dialami bersama Nabi SAW, Badzan hanya berkata, "Demi Allah ucapan itu bukanlah ucapan seorang raja. Kita akan menunggu apakah ucapannya itu benar atau tidak?"
            Tak lama berselang, datanglah utusan dari Persia yang membawa surat Shiruyah untuk Badzan, surat itu berisi sebagai berikut : "Amma Ba'du, sesungguhnya aku telah membunuh Kisra sebagai bentuk kemarahan rakyat Persia, karena ia telah membolehkan pembunuhan tokoh-tokoh mereka. Hendaklah engkau menaatiku, dan janganlah engkau mencaci ‘seorang lelaki’ (yakni Nabi SAW) yang karena dia, Kisra telah menulis surat kepadamu."
            Setelah membaca surat Shiruyah tersebut, Badzan merasa yakin bahwa Muhammad adalah benar-benar utusan Allah, ia pun memeluk Islam beserta orang-orang Persia yang berada di Yaman, termasuk Abanauah dan Jadd Jamirah.

Zaid bin Arqam RA

            Zaid bin Arqam RA adalah seorang Anshar yang telah memeluk Islam ketika masih anak-anak. Ketika terjadi perang Uhud, ia bergabung dengan pasukan muslim yang siap berangkat, tetapi keberadaannya diketahui oleh Nabi SAW dan beliau memulangkannya, karena ia masih sangat muda. Ia sangat sedih dengan larangan Rasulullah ini. 
            Pada tahun 5 hijriah Zaid mengikuti peperangan Bani Musthaliq. Usai peperangan, ketika masih menetap di Muraisi, sempat terjadi ketegangan antara kaum Muhajirin dan Anshar, yang dipicu oleh persenggolan ketika mengambil air di mata air, antara Jahjah al Ghifary, orang upahan Umar bin Khaththab, dan Sinan bin Wabar al Juhanny, salah seorang sahabat Anshar. Perselisihan ini sendiri sebenarnya telah bisa didamaikan Rasulullah SAW. Tetapi tokoh munafiq, Abdullah bin Ubay mengomentari peristiwa itu, ia berkata kepada kaumnya, "Inilah yang kalian lakukan, andaikata kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, tentu mereka akan berpindah ke tempat lain. Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, maka penduduknya yang mulia akan benar-benar mengusir penduduknya yang hina."
            Zaid bin Arqam, yang memang satu kabilah dengan tokoh munafik itu, begitu mendengar ucapan Abdullah bin Ubay ini merasa tidak senang, ia menyampaikan hal itu kepada pamannya, dan pamannya mengabarkannya kepada Nabi SAW. Umar bin Khaththab yang saat itu bersama Rasulullah SAW, meminta beliau agar menyuruh Abbad bin Bisyr RA membunuh tokoh munafik ini, tetapi beliau tidak mengijinkannya.
            Setelah Abdullah bin Ubay mengetahui bahwa Nabi SAW telah mendengar ucapannya ini, segera saja ia menemui beliau dan bersumpah atas nama Allah, bahwa ia tidak mengatakan seperti apa yang disampaikan Zaid. Abdullah bin Ubay adalah salah satu tokoh masyarakat Madinah, dan Zaid bin Arqam hanya seorang pemuda remaja. Karena itu ada sebagian sahabat Anshar yang lebih mempercayai ucapan tokoh munafik itu daripada Zaid. Ia berkata, "Boleh jadi ia (Zaid bin Arqam) hanya menduga-duga saja tentang apa yang dikatakan Abdullah bin Ubay."
            Zaid menjadi sedih dengan perkembangan yang terjadi, apa yang dilaporkannya kepada Nabi SAW seolah-olah hanya dugaan dan rekaannya semata. Apalagi Rasulullah SAW sepertinya bisa menerima sumpah yang diucapkan Abdullah bin Ubay. Bagaimanapun juga dirinya masih anak-anak, dan tidak memiliki ketenaran dan kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Ubay.
            Dalam beberapa hari berikutnya Zaid bin Arqam mengurung diri di rumah, tidak menghadiri majelis Rasulullah SAW seperti biasanya. Pamannya sampai berkata, "Aku tidak bermaksud agar Rasulullah SAW membencimu dan tidak mempercayaimu lagi!"
            Beberapa waktu kemudian, Allah SWT menurunkan Surah Al Munafiqun ayat 1, yang isinya mengabarkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, khususnya Abdullah bin Ubay. Nabi SAW mendatangi Zaid bin Arqam dan beliau membacakan wahyu yang baru beliau terima, kemudian beliau bersabda, "Wahai Zaid, Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu!"

Ibnu Nathur, Uskup Kota Iliya, Romawi

            Ibnu Nathur adalah seorang uskup di  kota Iliya di Syam, salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Romawi, ia juga sahabat sang Kaisar Romawi, Hiraqla (Hiraklius). Saat Hiraqla menerima surat seruan Nabi SAW untuk masuk Islam, yang dibawa sahabat Dihyah al Kalbi RA, ia mengkonfirmasi lebih lanjut surat beliau itu dengan Ibnu Nathur. Sang Uskup membacakan ayat-ayat Injil yang membenarkan Kenabian Nabi Muhammad SAW, kemudian ia menyatakan dirinya memeluk Islam.
            Hiraqla termenung cukup lama setelah mendengar pandangan dan pendapat, bahkan sikap sahabatnya tersebut untuk memeluk Islam. Ia sendiri sebenarnya juga mengakui kenabian Rasulullah SAW, sebelum meminta pendapat Ibnu Nathur. Tetapi karena beberapa alasan, termasuk takut kehilangan kekuasaan, ia tidak mengikuti jejak sahabatnya tersebut.
            Pada hari ahadnya setelah ia memeluk Islam, Ibnu Nathur tidak muncul untuk memberikan khutbah dan ceramah di gereja seperti biasanya, padahal ‘jamaahnya’ telah berkumpul. Begitu pula pada hari-hari ahad berikutnya, dengan alasan ia sedang sakit. Orang-orang Romawi akhirnya jadi geram, apalagi melihat kedekatannya dengan orang Arab yang juga sahabat Nabi SAW, Dihyah al Kalbi. Mereka akhirnya memaksa sang uskup untuk keluar dari rumahnya.
            Melihat perkembangan situasi dan kondisi yang seperti itu, Ibnu Nathur menulis surat kepada Nabi SAW dan menitipkannya pada Dihyah al Kalbi, dan berpesan agar menyaksikan apa yang akan terjadi atas dirinya. Ia minta Dihyah menyampaikan salamnya pada Nabi SAW dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah itu Ibnu Nathur keluar dengan pakaian putih, tidak dengan pakaian kebesaran gereja seperti biasanya. Di depan orang banyak orang, yang juga adalah para jamaahnya yang selama ini selalu mendengarkan dan menaati pengajarannya, Ibnu Nathur bersyahadat untuk menunjukkan keislamannya. Walau sebelumnya telah menduga karena kedekatannya dengan Dihyah al Kalbi, mereka terperangah juga dengan sikapnya yang sangat demontratif. Mereka menjadi sangat marah dan mengerubutinya, serta memukulinya hingga akhirnya Ibnu Nathur tewas terbunuh.