Sa'id bin Amir RA adalah seorang
sahabat Muhajirin, yang memeluk Islam beberapa waktu sebelum terjadinya perang
Khaibar. Sejak keislamannya, ia tidak pernah tertinggal dalam mengikuti
peperangan bersama Rasulullah SAW. Ia bukan sosok yang menonjol walaupun memang
memiliki keutamaan dan kesalehan, seperti halnya kebanyakan sahabat-sahabat Nabi
SAW yang tidak terekspose keutamaannya. Bahkan banyak di antara mereka yang
tidak dikenali secara umum, nama dan ketinggian akhlak serta sikap
kepahlawanannya. Termasuk Sa’id bin Amir ini, apalagi ia hanyalah dari golongan
miskin. Tetapi seperti yang pernah dikatakan Umar bin Khaththab, "Kalian
tidak mengenalinya, tetapi Allah dan para malaikat mengenali mereka….."
Pada
masa khalifah Umar-lah namanya mulai dikenal, karena Umar selalu memilih
orang-orang saleh, suka beribadah, zuhud dari dunia untuk memegang
jabatan-jabatan di wilayah baru Islam yang mulai meluas. Ketika Umar memecat
Muawiyah sebagai amir (gubernur) kota Homs, kota kedua terbesar di Syam
(Syiria) setelah Kufah, karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan
oleh Umar, pilihannya jatuh kepada Sa'id bin Amir. Sebagian riwayat menyebutkan
bukan kota Homs ,
tetapi kota
Damsyik.
Sa'id
bin Amir didatangkan menghadap khalifah Umar. Tetapi ketika jabatan ini
ditawarkan kepadanya, Sa'id berkata, "Janganlah saya dihadapkan kepada
fitnah, ya Amirul Mukminin..!!"
Mendengar
jawaban tersebut, dengan tegas Umar menjawab, "Tidak, demi Allah saya
tidak akan melepaskan anda! Apakah kalian hendak meninggalkan saya, setelah
kalian memba'iat dan membebani saya dengan amanat dan kekhalifahan
ini….!!"
Walaupun
sebenarnya ingin tetap menolak, Sa'id bisa diyakinkan untuk memegang jabatan
tersebut, dan memang tidak ada pilihan lain seperti apa yang disampaikan Umar.
Sa'id berangkat ke Homs
bersama istrinya, yang sebenarnya mereka masih pengantin baru. Istrinya adalah
seorang wanita yang cantik dan wajahnya selalu berseri-seri. Umar memberikan
perbekalan secukupnya kepada mereka berdua, karena mereka memang tidak memiliki
uang dan bekal sendiri yang cukup untuk bisa sampai ke Homs .
Setelah
beberapa bulan berlalu menduduki jabatan gubernur (Amir), dan secara ekonomi keluarga
mereka mulai mantap, istrinya mengusulkan kepada Sa'id untuk membeli pakaian
dan perlengkapan rumah tangga yang lebih baik, dan menyimpan sisanya sebagai
tabungan. Mendengar saran istrinya tersebut, Sa'id berkata, "Maukah aku
tunjukkan yang lebih baik daripada rencanamu itu…!!"
Setelah
istrinya mengiyakan, Sa’id berkata, "Kita berada di suatu negeri yang
perdagangan dan jual belinya amat pesat berkembang. Sebaiknya kita minta
seseorang menggunakannya sebagai modal, tentu keuntungannya lebih besar…."
"Bagaimana
kalau perdagangannya rugi?" Tanya istrinya
"Aku
akan menyediakan borg atau jaminan untuk itu, bahwa kita tidak akan pernah
merugi!!"
"Baiklah
kalau begitu!" Kata istrinya, menyetujui usul suaminya tersebut.
Sa'id
pergi sambil membawa uang tersebut ke pasar, kemudian membeli persediaan dan keperluan
hidup keluarganya untuk beberapa waktu lamanya. Ia memilih dari jenis yang
paling sederhana dan murah. Sisa uangnya yang masih banyak, dibagi-bagikan
fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Beberapa bulan berlalu, sering sekali
istrinya menanyakan tentang perdagangan dan keuntungannya. Sa'id mengatakan
kalau semuanya lancar-lancar saja, dan keuntungannya makin banyak, hanya saja
belum bisa segera diambil atau dicairkan.
Pada
suatu ketika, istrinya menanyakan hal yang sama, sementara saat itu ada
kerabatnya yang tahu bahwa Sa'id tidak mempunyai usaha perdagangan yang
dijalankan orang lain. Ia tampak tidak mengerti dan bingung, dan istrinya
menangkap isyarat itu. Akhirnya istrinya itu bertanya lagi dan mendesak Sa'id
untuk menjelaskannya. Sa'id pun tertawa, kemudian menjelaskan apa adanya, bahwa
harta tersebut memang dibelanjakan atau diperniagakan di jalan Allah. Ia tidak
berdusta, keuntungannya akan jauh lebih besar dan bermanfaat bagi mereka berdua
di akhirat kelak.
Istrinya
menangis penuh sesal, dan air mata yang membasahi wajahnya makin menambah
kecantikannya saja. Sa'id menyadari godaan kecantikan istrinya tersebut, dan ia
tidak mengelak bahwa ia sangat mencintai dan takut kehilangan istrinya itu.
Tetapi mata batinnya jauh menerawang, dan akhirnya menemukan sosok Rasulullah
SAW dan para sahabat beliau yang telah mendahuluinya. Ia berkata tegas,
"Aku mempunyai kawan-kawan yang telah terlebih dahulu menemui Allah, dan
aku tidak ingin menyimpang dari jalan mereka walau ditebus dengan dunia dan
segala isinya…"
Kemudian
untuk menegaskan sikap dan pendiriannya, ia berkata kepada istrinya,
"Wahai istriku yang cantik, bukankah engkau tahu bahwa di surga itu banyak
gadis-gadis yang cantik dengan matanya yang jeli memikat, seandainya satu orang
saja menampakkan wajahnya di bumi, niscaya terang benderang-lah seluruh bumi,
mengalahkan sinar matahari dan bulan….Maka, jika memang terpaksa, tidak mengapa
aku mengorbankan dirimu (meninggalkanmu) untuk mendapatkan mereka, dan itu
lebih logis dan utama, daripada harus mengorbankan mereka hanya untuk
mempertahankan dirimu menjadi istriku!!”
Sa'id
telah memasrahkan segalanya kepada Allah, tetapi memang berkah Allah telah
meliputi keluarga mereka, sehingga istrinya bisa menerima kenyataan ini. Ia
sadar tidak ada jalan yang lebih utama daripada mengikuti jalan yang dipilih suaminya, mengendalikan
diri dengan sifat zuhud dan ketakwaan.
Suatu
ketika Umar melakukan kunjungan ke Homs
untuk mendengar pendapat warganya. Sebagian besar mereka memuji kepemimpinan
Sa'id, hanya saja mereka mempunyai empat keluhan, yakni : Pertama, Sa'id hanya
menemui warganya untuk melayani jika matahari sudah tinggi. Ke dua, ia tidak
mau melayani pada waktu malam hari. Ke
tiga, setiap bulannya, dalam dua hari ia tidak mau menemui warganya sama
sekali. Ke empat, terkadang tiba-tiba ia jatuh pingsan tanpa tahu sebabnya.
Sebenarnya
Umar telah mengetahui atau mendapat firasat tentang jawaban Sa'id, karena pada
dasarnya, sikap dan perilaku Sa'id dalam menghadapi dunia dan seluk-beluknya,
tidak jauh berbeda dengan sikapnya sendiri. Namun demikian, untuk menguatkan
dan membenarkan firasatnya, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat Homs,
tipikal seperti apa sahabat Nabi SAW yang memimpin mereka itu, ia
mempersilahkan Sa'id untuk menjelaskan langsung tentang keluhan masyarakat
tersebut.
Sa'id
berdiri di depan mereka dan berkata, "Sesungguhnya saya tidak ingin dan
tidak suka menyebutkan alasan-alasannya, mengapa hal tersebut terjadi? Tetapi
karena kalian telah memaksa saya, saya akan menjelaskannya, semoga Allah SWT
mengampuni dan memaafkan saya…."
Mulailah
Sa'id menjelaskan, mengenai ia tidak mau keluar sebelum matahari telah tinggi,
karena keluarganya tidak memiliki dan memang tidak ingin memiliki pelayan,
Sa'id sendiri yang mengaduk tepung, mengeramnya beberapa saat sebelum akhirnya
membuat roti untuk sarapan mereka sekeluarga. Baru setelah itu ia shalat dhuha
dan keluar menemui masyarakat yang membutuhkannya.
Mengenai
ia tidak mau melayani di malam hari, karena waktu malam hari tersebut ia
mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah. Bukankah sudah cukup adil
(dalam penafsiran dan ijtihad Sa'id), siang harinya disediakan untuk melayani
masyarakat dan malam harinya khusus untuk mengabdi kepada Allah.
Mengenai
dua hari dalam satu bulan ia tidak keluar, lagi-lagi masalahnya karena ia tidak
mempunyai dan tidak menginginkan adanya pelayan dalam rumahnya. Dalam dua hari
tersebut digunakannya untuk mencuci pakaian-pakaiannya yang sebenarnya tidak
terlalu banyak. Tetapi justru karena itu ia tidak punya pengganti jika dicuci,
dan harus menungguinya sampai kering. Kalaupun bisa keluar, sudah saat senja
hari atau bahkan tidak keluar sama sekali dalam dua hari tersebut.
Mengenai
ia tiba-tiba pingsan, tidak lain adalah pengalamannya di masa jahiliah ketika
ia belum memeluk Islam. Saat itu sahabat Nabi SAW, Khubaib bin Adi al Anshari
dianiaya dan akan dibunuh oleh orang Quraisy. Ia melihat bagaimana tubuhnya
dibawa dengan tandu, sementara dagingnya diiris dan dipotong. Kemudian tubuhnya
disalib dan dibunuh. Setiap ingat peristiwa tersebut dan ia hanya berpangku
tangan saja, sama sekali tidak ada tersirat keinginan untuk memberikan
pertolongan kepada Khubaib, ia jadi gemetar karena takut akan diazab Allah
karena sikap diamnya itu, dan tanpa sadar ia telah jatuh pingsan.
Setelah
memberikan penjelasan tersebut, ia berurai air mata hingga membasahi wajah dan
janggutnya. Umar tidak bisa menahan diri, ia memeluk dan mencium kening Sa'id,
sambil berseru gembira bercampur haru, "Alhamdulillah, karena taufiq
Allah, benarlah firasatku, dan benarlah pilihanku kepadamu….!"
Beberapa
orang sahabat dan kerabatnya menasehatinya untuk memberikan kelapangan belanja
untuk keluarganya dan juga kerabat istrinya, karena penghasilannya memang
memungkinkan untuk merealisasikannya. Atas
saran seperti ini, Sa'id menjawab dengan mengutip sabda Nabi SAW,
"Saya tidak ingin ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah
Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT akan menghimpun manusia untuk dihadapkan ke
pengadilan. Maka datanglah orang-orang miskin yang beriman, mereka maju
berdesak-desakan menuju surga tak ubahnya kawanan burung merpati. Lalu ada Malaikat
yang berseru kepada mereka, 'Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan
(hisab)!!' Mereka menjawab, 'Kami tidak punya apa-apa untuk dihisab.' Maka
Allah berfirman, 'Benarlah hamba-hambaKu itu….' Maka masuklah mereka ke dalam
surga sebelum orang lain memasukinya, tanpa dihisab…."
syukron,,,
BalasHapussangat membantu...
Trima kasih saudaraku. Sangat membantu
BalasHapusSaat bermanfaat.
BalasHapusReferensi y diambil dari mana ust?
Syukron atas nasihatnya, semoga kita bisa meneladaninya, aamiin yaa robbal'alamiin..
BalasHapusAssalamualaikum Wr Wb, kisah ini saya kutip dari Kitab Rijal Khaular Rasul yg disusun Syeh Khalid Muhammad Khalid, Wallahu A'lam, Wass Wr Wb
BalasHapus