Jumat, 30 Maret 2012

Dzil Jausyan adh Dhibabi RA


Dzil Jausyan Adh Dhibabi adalah seorang penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir. Ia mempunyai  seekor kuda terbaik bernama Al Qarha yang cukup terkenal. Ia belum masuk Islam, tetapi ia menghargai keberadaan Nabi SAW di Madinah. Setelah selesai Perang Badr, ia menunggangi kuda keturunan Al Qarha, untuk diberikan kepada Nabi SAW sebagai hadiah dan penghargaannya.
Tetapi Nabi SAW tidak mau menerimanya begitu saja, kecuali jika menukarnya dengan baju-baju besi pilihan yang berasal dari ghanimah Perang Badr.  Dzil Jausyan tidak mau dengan tukar-menukar itu, karena niatnya sejak awal memang untuk dihadiahkan tanpa pengganti, bahkan seandainya ditukar dengan yang lebih berharga seperti budak, ia tetap tidak bersedia. Sebaliknya Rasulullah SAW pun tidak bersedia karena memang tidak memerlukannya.
Nabi SAW menyerunya masuk Islam sehingga ia akan menjadi orang-orang yang pertama dalam Islam (As Sabiqunal Awwalun). Tetapi seruan Nabi SAW belum diterimanya, dengan alasan kaum beliau sendiri masih menyakiti dan menghasut untuk tidak mengikuti agama Islam. Bahkan kekalahan kaum Qureisy di Badr belum bisa meyakinkannya, ia berkata, "Aku akan masuk Islam jika engkau dapat menaklukan Ka'bah dan mendudukinya."
Maka Nabi SAW bersabda, "Semoga engkau masih hidup saat itu, dan engkau bisa menyaksikan peristiwa itu."
Rasulullah SAW memerintahkan Bilal untuk mengambilkan sekarung kurma terbaik sebagai perbekalan, saat Dzul Jausyan akan kembali ke kabilahnya. Beliau juga memujinya sebagai penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir.
Waktupun berlalu, seseorang membawa kabar ke kabilah Bani Amir kalau Nabi SAW telah menaklukan Mekkah dan mendudukinya, Dzul Jausyan berseru, "Celaka, ibuku kehilangan diriku (ungkapan penyesalan orang-orang Arab), seandainya aku memeluk Islam saat itu, dan meminta darinya sepetak tanah dari Hiirah, pasti beliau akan memberikannya."
            Begitulah, sesuai janjinya kepada Rasullullah SAW, Dzul Jausyan akhirnya memeluk Islam.         

Amr bin Salamah RA


Amr bin Salamah RA tinggal di suatu daerah yang sering dilalui orang-orang yang akan ke Madinah atau kembali dari kota itu. Ia masih anak-anak ketika orang-orang menceritakan tentang Nabi SAW dan wahyu-wahyu yang beliau terima. Ternyata Allah memberikan kelebihan kepada Amr kemampuan untuk menghafal, sehingga dari pembicaraan tersebut ia bisa menghafal beberapa ayat-ayat Al Qur'an, walaupun ia belum memeluk Islam.
Setelah Fathul Makkah, Amr dan ayahnya serta beberapa orang dari kaumnya segera memeluk Islam, mereka belajar tentang syariat dan peribadatan dalam Islam. Ketika tiba masalah shalat jamaah, dicarilah imam, yakni yang paling banyak dan baik hafalan Al Qur'annya. Dan ternyata Amr bin Salamah yang terpilih, karena ia telah banyak mengetahui dan menghafal Al Qur'an sebelumnya. Padahal ia yang paling muda saat itu.


Abdullah bin Unais RA

Suatu ketika Nabi SAW memanggil Abdullah bin Unais dan berkata, "Aku memperoleh kabar bahwa Khalid bin Sufyan bin Nubayh al Hudzali telah mengumpulkan banyak orang  untuk menyerangku. Sekarang ini ia ada di Uranah (suatu tempat dekat Arafah), pergilah engkau ke sana untuk membunuhnya."
Abdullah bin Unais berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada saya ciri-cirinya agar saya bisa mengenalinya!!”
Tetapi Nabi SAW tidak menjelaskan ciri-ciri fisiknya, beliau hanya berkata, "Apabila kamu melihatnya, kamu akan menggigil karenanya..!"
Bisa dibayangkan, bagaimana dengan melihatnya saja bisa menggigil, itu artinya Khalid bin Sufyan ini seorang yang sangat berwibawa, malah mungkin menakutkan. Tetapi Rasulullah SAW telah memberikan tugas ini kepadanya dan bukan kepada sahabat lainnya, tentunya dengan pertimbangan dan doa, bahwa ia bisa melakukannya. Tanpa banyak pertanyaan lagi, ia segera berangkat menuju Uranah, dengan menyandang pedang di pinggangnya. Sambil berjalan, otaknya terus berputar menyusun rencana dan strategi, bagaimana caranya membunuh musuh Allah dan Rasulullah SAW tersebut
Ibnu Unais sampai di Uranah pada waktu ashar, dan ia melihat seorang lelaki yang dikelilingi beberapa wanita. Memang benar perkataan Nabi SAW, begitu melihatnya ia merasa benar-benar menggigil, tetapi sama sekali tidak ada ketakutan di hatinya. Tiba-tiba ia sadar kalau harus shalat ashar, dan tidak mungkin ia membuka jati dirinya sebagai seorang muslim dengan melakukan shalat, karena sudah dalam jarak pandang Khalid. Ia berijtihad melakukan shalat sambil berjalan, ruku dan sujud dilakukan dengan isyarat kepala.
Ketika sampai di hadapannya, Khalid bertanya, “Siapakah engkau ini?”
Ibnu Unais berkata, "Aku hanyalah seorang lelaki Arab biasa, tetapi kudengar engkau sedang mengumpulkan orang banyak untuk membunuh lelaki itu (yakni Nabi SAW), aku datang untuk membantu usahamu itu, kalau diijinkan."
Khalid sangat senang mendengar ucapan Ibnu Unais tersebut, "Silakan bergabung, aku memang telah merencanakannya."
Ibnu Unais bergabung dan berbincang-bincang dengan Khalid sambil terus berjalan bersama. Begitu ahlinya Ibnu Unais ‘berakting’ sehingga dalam beberapa saat saja mereka berdua tampak sangat akrab layaknya seorang sahabat lama. Sampai suatu ketika ada kesempatan seperti yang direncanakannya, dan ia segera memancung Khalid hingga terbunuh seketika tanpa sedikitpun perlawanan. Para wanita yang mengikutinya menangis dan Ibnu Unais meninggalkannya begitu saja.
Ketika Abdullah bin Unais tiba di hadapan Nabi SAW, beliau langsung berkata, "Inilah wajah yang telah mendapat kemenangan!!"
"Aku telah membunuhnya, wahai Rasulullah!" Kata Ibnu Unais.
Beliau sangat gembira dengan hasil kerjanya itu, dan mendoakannya dengan kebaikan, dan para sahabat lain juga memberi ucapan selamat kepadanya. Kemudian Nabi SAW bangkit dan mengajaknya masuk ke dalam rumah dan beliau memberinya sebatang tongkat. Beliau berpesan agar ia menyimpan tongkat itu dengan sebaik-baiknya.
Ibnu Unais keluar menemui orang banyak, dan mereka menanyakan tentang tongkat tersebut. Ia hanya menjawab kalau Nabi SAW yang memberikannya dan memintanya untuk  menyimpannya dengan baik. Mereka berkata, "Mengapa engkau tidak kembali kepada Rasulullah SAW dan menanyakan kegunaan tongkat tersebut?"
Suatu saran yang masuk akal, maka Ibnu Unais mengikuti saran tersebut, dan ia kembali menemui Nabi SAW dan menanyakan tentang tongkat tersebut. Beliau bersabda, "Ini adalah sebagai tanda antara diriku dan kamu pada hari kiamat, karena pada hari itu sedikit sekali orang yang datang dengan membawa amal salih."
Ia keluar lagi dan menyampaikan penjelasan Rasulullah SAW tersebut. Mereka berkata, “Sungguh beruntung engkau ini, ya Ibnu Unais!!”
            Sejak saat itu, Abdullah bin Unais tidak pernah berpisah dengan tongkat dari Nabi SAW tersebut, dan ia menyatukannya dengan pedangnya, yang selalu menyertainya dalam berbagai perjuangan jihad di jalan Allah. Ketika hampir meninggal, ia mewasiatkan agar tongkat tersebut juga ikut dikafani bersama jenazahnya. 

Basyir bin Sa'id RA


Basyir bin Sa'id atau Abu Athiyah adalah salah seorang sahabat Anshar. Suatu ketika ia sedang bekerja menggali parit beserta sahabat-sahabat lainnya, sebagai benteng pertahanan kota Madinah, karena adanya rencana serangan besar-besaran dari pasukan Quraisy yang bersekutu dengan pasukan suku Ghathafan. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh umat Islam dalam keprihatinan, karena secara umum sebenarnya mereka dalam keadaan kekurangan bahan makanan. Tetapi itu memang satu-satunya cara yang mungkin untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh yang jumlahnya sangat besar.  
Saat istirahat di siang harinya, istri Basyir, Amrah binti Rawahah memanggil anak perempuannya untuk mengantarkan segenggam kurma pada bapaknya tersebut. Kurma itu dibungkusnya dengan ujung kain bajunya, dan ia mulai berjalan berkeliling mencari ayahnya. Ketika ia melewati Rasulullah SAW, beliau memanggilnya dan bertanya, "Kemarilah Nak, apa yang kau bawa itu?"
Anak perempuan itu menjawab, "Aku diutus oleh ibuku mengantarkan segenggam kurma ini untuk ayahku, Basyir bin Sa'id."
Nabi SAW memanggilnya, dan meminta ia untuk meletakkan kurma itu pada telapak tangan Nabi SAW. Putri Basyir ini melaksanakan perintah beliau itu, dan ternyata tidak memenuhi tangan beliau. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan seorang sahabat untuk membentangkan kain, dan beliau meletakkan segenggam kurma di atasnya. Kemudian beliau berkata kepada sahabat tadi, "Panggillah para pekerja khandaq untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id."
Putri Basyir yang masih berdiri tak jauh dari situ tampak tidak mengerti, tetapi sahabat tersebut kemudian berteriak keras, “Wahai pekerja khandaq, berkumpullah di sini untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id!!”
            Berkumpullah para pekerja khandaq di sekeliling kain tersebut, termasuk Basyir sendiri, dan mulai menyantap kurma dengan lahap. Yang sungguh ajaib, kurma terus bertambah banyak ketika orang-orang mengambilnya. Ketika semua orang telah merasa kenyang, kurma itu masih tersisa cukup banyak di pinggir kain.

Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA


            Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah anak dari tokoh munafik, Abdullah bin Ubay, yang memeluk Islam dan menjadi salah satu sahabat pilihan yang shalih. Sebelum kedatangan Nabi SAW ke Madinah, ayahnya, Abdullah bin Ubay hampir diangkat jadi raja Madinah, kemudian gagal karena kebanyakan penduduknya memeluk Islam dan menjadikan Nabi SAW sebagai tokoh sentralnya, karena itulah ia begitu membenci Nabi SAW walau pada lahirnya ia beragama Islam juga.
Ketika Rasulullah SAW mendengar pimpinan Banu Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhirar menghimpun pasukan untuk memerangi kaum muslimin, Beliau menyusun pasukan dan segera berangkat ke tempat Banu Musthaliq. Dalam pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi ini ikut juga sekelompok kaum munafik, termasuk pimpinannya, Abdullah bin Ubay.
Setelah pertempuran usai dan dalam perjalanan kembali ke Madinah, Abdullah bin Ubay berkata pada kelompoknya, "Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang terhormat akan mengusir orang-orang yang terhina."
Ucapan "terhina" ini dimaksudkan pada Nabi SAW dan sahabat Muhajirin yang terusir dari Makkah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW lewat sahabat Zaid bin Arqam, Umar bin Khaththab meminta Nabi menyuruh Abbad bin Bisyr untuk membunuh tokoh munafik tersebut. Tetapi Abdullah bin Ubay mengingkari kalau telah mengatakan itu, sehingga terjadi suasana yang tegang dan penuh prasangka, sampai akhirnya turun ayat yang membenarkan Zaid bin Arqam.
Melihat perkembangan situasi tersebut, Abdullah bin Abdullah bin Ubay mendatangi Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, jika engkau menginginkan ayahku dibunuh, perintahkanlah aku untuk membunuhnya! Karena kalau orang lain yang engkau perintahkan membunuh, aku khawatir aku tidak bisa bersabar untuk tidak menuntut balas atas kematiannya, yang karenanya aku akan masuk neraka. Semua orang Anshar tahu, aku adalah orang yang berbakti pada orang tuaku."
Rasulullah SAW menjawab, "Baiklah, berbaktilah kepada orang tuamu, ia tidak melihat darimu kecuali kebaikan."
Tahulah Abdullah bahwa Rasulullah memaafkan ayahnya. Namun demikian, sebagai wujud kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya, Abdullah menghadang dengan pedang terhunus, dan melarang ayahnya masuk kota Madinah, kecuali jika Nabi SAW telah mengijinkannya. Ketika mencoba memaksa, Abdullah menyerangnya dengan pedangnya itu sehingga ia mundur kembali. Dengan terpaksa ia mengirim utusan untuk meminta ijin Rasulullah SAW bagi tokoh munafik tersebut memasuki kota Madinah.
            Bagaimanapun juga, Abdullah adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya, dan itu telah lama terbentuk sebelum Islam memasuki kota Madinah. Anak tetaplah anak, dan ketika ayahnya tersebut meninggal, kesedihan merasuki hatinya. Ia tahu bahwa orang tuanya itu mungkin hanya pantas berada di neraka, namun demikian ia ingin menunjukkan bakti terakhirnya. Ia datang kepada Nabi SAW meminta baju gamis beliau untuk mengkafani jenazahnya, dan beliau mengabulkannya. Sekali lagi ia datang kepada beliau untuk menyalatkan jenazahnya, dan beliau mengabulkannya, walau Umar sempat memprotes keras. Tetapi setelah itu turun ayat 84 dari surat at Taubah, yang melarang beliau untuk menyalati jenazah orang munafik dan berdiri di atas kuburan mereka.   

Kamis, 29 Maret 2012

Samurah bin Jundub RA

           Samurah bin Jundub RA masih belum dewasa ketika terjadi perang Uhud. Ia bersama beberapa anak lainnya  yang mempunyai semangat juang tinggi untuk membela panji keislaman, dikeluarkan dari barisan pasukan perang  Uhud oleh Nabi SAW karena belum cukup umur. Tetapi salah seorang di antaranya, Rafi bin Khadij, karena permintaan ayahnya dibolehkan oleh Nabi SAW ikut karena ia mempunyai keahlian memanah, dan menunjukkan kemampuannya di hadapan beliau.
Melihat dibolehkannya Rafi ikut bertempur, Samurah berkata kepada ayah tirinya, Murrah bin Sinan RA, "Wahai ayah, Rafi dibolehkan ikut berperang sementara saya tidak. Padahal saya lebih kuat daripada Rafi. Kalau diadu tanding, pasti saya dapat mengalahkan Rafi.."
           Melihat semangat yang begitu menggebu dari anaknya ini, Murrah menyampaikan hal ini pada Nabi SAW, beliaupun mengadakan adu kekuatan antara Rafi dan Samurah, dan ternyata Samurah memenangkannya, sehingga iapun dbolehkan ikut serta dalam pertempuran di Uhud itu. Ketika itu Samurah berusia 15 tahun, sama seperti Rafi.

Qa'is bin Sala' RA

        Qa’is bin Sala’ adalah seorang sahabat Anshar. Saudara-saudaranya pernah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah memubazirkan hartanya dan bermewah-mewah dengannya. Waktu Nabi SAW mempertanyakan masalah itu, Qa'is bin Sala'  berkata, "Wahai Rasulullah SAW, aku mengambil bagianku dari buah kurma dan menafkahkannya di jalan Allah, dan kepada orang yang menemaniku."
Mungkin karena setelah menafkahkannya itu, harta bagiannya dari kurma itu menjadi habis, saudara-saudaranya mengadukan sikapnya itu kepada Rasulullah SAW. Tetapi justru beliau menepuk dadanya, dan berkata kepadanya sampai tiga kali, "Nafkahkanlah, maka Allah akan menafkahimu."
            Pada suatu kesempatan Qa’is berjuang di jalan Allah, ia menunggangi unta yang kuat dengan perbekalan yang sangat banyak. Dan hari itu, ia yang paling banyak dan paling mudah berinfak daripada anggota keluarganya yang lain.

Bujair bin Zuhair RA dan Ka'ab bin Zuhair RA


            Bujair bin Zuhair dan Ka'ab bin Zuhair bin Abi Sulma al Muzanni adalah dua bersaudara, mereka berangkat ke Madinah untuk menemui Nabi SAW. Ketika sampai di al Azzaf, sumber air Bani Asad, Bujair menyuruh Ka'ab menunggu di suatu peternakan di tempat itu sementara ia akan menemui Nabi SAW. Setelah bertemu dengan Nabi SAW dan mendengar risalah yang beliau bawa, Bujair langsung memeluk Islam.
Berita keislaman Bujair ternyata telah sampai kepada Ka'ab sebelum Bujair sendiri menyampaikannya. Ka'ab  marah sekali karena saudaranya itu berpindah agama. Ia adalah seorang penyair, karena itu ia menyusun suatu syair sebagai ekspresi kemarahannya, dan menganggap Rasulullah SAW sebagai penyebabnya. Isi syair tersebut cukup melukai perasaan Nabi SAW, sehingga ketika mendengarnya, beliaupun menghalalkan darah Ka'ab. Artinya, para sahabat yang bertemu dengannya, diijinkan untuk membunuhnya.
Bujair yang masih tinggal bersama Rasulullah SAW untuk memperdalam keislamannya, segera saja menulis surat kepada Ka'ab tentang perintah beliau itu, akhirnya ia berkata dalam suratnya, "Selamatkanlah dirimu, tetapi aku tidak menganjurkan engkau untuk melarikan diri…"
Beberapa waktu kemudian Bujair menulis surat lagi kepada Ka'ab. Kali ini ia menceritakan tentang Islam, kemudian di akhir suratnya ia berkata, "Tidak seorangpun menemui Nabi SAW kemudian ia bersyahadat memeluk Islam, melainkan persaksiannya itu akan diterima oleh beliau. Karena itu, setelah menerima surat ini, terimalah Islam dan masuklah ke dalam Islam."
Ka'abpun memenuhi saran saudaranya. Ia menunggangi kendaraannya menuju Madinah, menambatkannya di luar masjid dan masuk ke dalam mendekati Nabi SAW. Ketika itu Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya dalam suatu kumpulan dengan hidangan yang tersedia. Setelah berhadapan, Ka'ab mengucap salam dan menyatakan keislaman dengan bersyahadat, kemudian memohon perlindungan keselamatan atas dirinya, tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
Nabi SAW menerima persaksian keislamannya dan memenuhi permintaannya, kemudian beliau bersabda, “Siapakah dirimu ini?”.
"Saya adalah Ka'ab bin Zuhair." Kata Ka'ab.
Nabi SAW tersenyum melihat ‘siasat’ yang dilakukannya, dan beliau berkata, "Engkau yang mengatakan dalam syair…..." Kemudian Nabi SAW meminta Abu Bakar untuk membaca syair tersebut.
Ka'ab membenarkan, tetapi juga meralat adanya bagian yang dirubah sehingga terkesan sangat meremehkan Nabi SAW. Sekali lagi Ka'ab meminta maaf kepada Nabi SAW, kemudian melantunkan syair lain yang isi memuji dan menyanjung Nabi SAW dan agama Islam, sehingga Nabi SAW menjadi senang.
Dua orang bersaudara ini bersama kembali, kali ini untuk memperdalam dan memperbaiki keislamannya, di sisi manusia terbaik, Rasulullah SAW.

Umair bin Wahb al Jumahi RA


           Umair bin Wahb al Jumahi adalah salah seorang pahlawan dan ahli peperangan kafir Quraisy, karena kepiawaiannya ia sering disebut sebagai ‘Setan Quraisy’ pada masa jahiliahnya. Pada perang Badar, ia menjadi salah satu komandan pasukan, dan sempat memperingatkan Abu Jahal, komandan pasukan tertinggi saat itu untuk mundur saja, tetapi sarannya diabaikan. Tetapi setelah kekalahan kaum kafir Quraisy di perang tersebut, jiwa kepahlawanan Umair seakan terusik. Karena itu ia sempat sesumbar untuk membunuh Rasulullah SAW. Hanya karena keadaannya yang miskin, banyaknya hutang, dan kewajibannya menanggung kehidupan keluarga, membuatnya terhalang melaksanakan niatnya itu. 
Mendengar perkataan Umair tersebut, Shafwan bin Umayyah, yang ayahnya tewas di perang Badr, yaitu Umayyah bin Khalaf, bekas tuan dari budak Bilal bin Rabbah, melakukan pertemuan rahasia dengan Umair bin Wahb di suatu tempat sepi di dekat sebuah batu besar. Ia memberikan penawaran kepada Umair bin Wahb untuk membalaskan dendam membunuh Rasulullah SAW, di mana perjalanannya ke Madinah akan dibiayai, hutang-hutangnya dilunasi dan kehidupan keluarganya akan dijamin. Umair bin Wahb setuju dengan penawaran itu.
Umair bin Wahb berangkat ke Madinah dengan pedang terhunus. Sesampainya di Madinah, Umar bin Khaththab melihat kedatangannya dan melaporkannya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, musuh Allah Umair bin Wahb datang, ijinkanlah saya membunuhnya!!”
            Nabi SAW melarang Umar bertindak apapun, namun demikian ia sendiri yang menyambut Umair dan sambil berpesan kepada orang-orang Anshar, “Waspadalah terhadap lelaki keji ini, bawalah dia kepada Rasulullah SAW…!”
Sesampainya di hadapan Nabi SAW, beliau langsung bersabda, "Wahai Umair, untuk apa engkau kemari ?"
Umair mencoba mengelabui Nabi SAW dengan mengatakan, bahwa kedatangannya untuk menebus tawanan yang ditahan pasukan muslim di perang Badar. Soal pedangnya yang terhunus dikatakannya hanya karena lupa saat turun dari kendaraannya tadi. Tetapi Nabi SAW terus mendesak, dengan bersabda, "Jujurlah, apa yang membawamu kemari ?"
Saat Umair bertahan dengan alasannya soal tawanan itu, Rasulullah SAW bersabda,  "Lalu apa yang dijanjikan Shafwan bin Umayyah di dekat batu itu ?"
Umair bin Wahb terkejut, dan berkata, "Ia tidak menjanjikan sesuatupun."
Rasulullah SAW bersabda, "Bukankah engkau menyanggupi untuk membunuhku, dengan imbalan ia akan membayar hutang-hutangmu dan menjamin kehidupan keluargamu? Namun Allah pasti akan mencegah niatmu itu."
Umair berkata seakan tak percaya, "Demi Allah, saat itu tidak ada orang lain selain aku dan Shafwan, sungguh benar apa yang engkau katakan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya."
Rasulullah SAW sangat gembira dengan keislamannya tersebut, dan berkata pada para sahabatnya, "Ajarilah saudaramu ini Al Qur'an dan lepaskanlah tawanan yang ia inginkan."
Sementara di Makkah, Shafwan bin Umayyah telah menggembar-gemborkan rencananya itu pada penduduk Makkah dan selalu menanyakan kepada orang-orang yang datang atau lewat dari Madinah. Tetapi ia jadi kecewa ketika kabar yang didengarnya bukan tentang terbunuhnya Rasulullah SAW tetapi justru masuk islamnya Umair bin Wahb.
Saat kembali ke Makkah, Umair justru menjadi pendakwah dan tidak ada orang kafir Quraisy yang berani menghalanginya. Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Makkah, ia berhijrah ke Madinah bersama banyak sekali orang Quraisy yang telah masuk Islam karena ajakannya.  
           Setelah peristiwa Fathul Makkah, Umair bin Wahb-lah yang mengajak Shafwan bin Umayyah kembali ke Makkah setelah dia akan melarikan diri ke Yaman. Sedikit banyak Umair merasa bahwa keislamannya tidak lepas dari peran sahabatnya itu, walau saat itu dengan niat yang salah. Ia ingin Shafwan merasakan kenikmatan di dalam Islam, sebagaimana ia telah merasakannya. Dan akhirnya sahabatnya itu memeluk Islam setelah selesainya Perang Hunain.

Kamis, 15 Maret 2012

Maimunah binti Harits RA, Ummul Mukminin

            Maimunah binti Harits RA nama aslinya adalah Barrah, nama Maimunah diberikan Rasulullah SAW setelah beliau menikahinya. Dua orang saudaranya menjadi istri paman Nabi SAW, yaitu Ummu Fadhl Lubabah binti Harits menjadi istri Abbas RA, dan Salma binti Harits menjadi istri Hamzah RA. Ayahnya adalah Harits bin Hazn. Ia juga masih termasuk bibi dari Khalid bin Walid dari pihak ibu. Menurut sebagian riwayat, sebelumnya ia telah menikah dua kali, salah satunya dengan Abu Rahn bin Abdul Uzza. Setelah menjadi janda, ia menyerahkan urusannya kepada Abbas, suami saudaranya.  
            Nabi SAW melaksanakan Umrah Wadha pada tahun 7 hijriah, sebagai pelaksanaan salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah. Beliau tinggal selama tiga hari dan sebagian besar penduduk Makkah tinggal di luar kota, sehingga kaum muslimin bebas melaksanakan aktivitas dan ibadah, seperti ketika di Madinah. Ternyata keadaan ini menarik perhatian orang-orang Makkah, sehingga ada yang kemudian memeluk Islam, salah satunya adalah Barrah. Karena keislamannya ini, Abbas menemui Rasulullah SAW, dan meminta beliau untuk bersedia menikahi Barrah. Ternyata beliau menyetujui permintaan pamannya ini, dan memberikan mas kawin sebesar 400 dirham.
Saat itu Nabi SAW dan kaum muslimin telah tiga hari berada di Makkah, datanglah Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza dan meminta beliau dan rombongan dari Madinah untuk segera meninggalkan Makkah. Beliau meminta tangguh beberapa hari untuk melaksanakan walimah dan perjamuan pernikahannya dengan Barrah, sekaligus mengundang mereka untuk hadir, tetapi permintaan ini ditolak. Akhirnya rombongan dari Madinah keluar dari kota Makkah, dan menetap di suatu tempat bernama Sarif selama beberapa hari. Beliau meninggalkan pembantunya, Abu Rafi' RA di Makkah, dan diminta membawa Maimunah menyusul rombongan Nabi SAW. Ketika mereka berdua sampai di Sarif, pernikahanpun dilangsungkan, dan beliau mengganti nama Barrah dengan Maimunah.
Maimunah menikah dengan Nabi SAW pada bulan Dzulqaidah tahun 7 hijriah, ketika itu ia berusia 26 tahun. Ia meninggal pada tahun 51 hijriah ketika berusia 71 tahun di Sarif, tempat ia disusulkan dan dinikahi dengan Nabi SAW, dan dimakamkan disana. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan ia wafat pada tahun 61 hijriah pada usia 81 tahun.
Aisyah RA menyatakan bahwa di antara istri-istri Nabi SAW lainnya, Maimunah adalah wanita yang paling salehah, dan sangat menjaga hubungan silaturahmi. Maimunah juga selalu menyibukkan diri dengan shalat dan pekerjaan rumah tangganya. Para ahli sejarah sepakat, bahwa Maimunah adalah istri yang terakhir dinikahi Nabi SAW.
Suatu ketika Maimunah memerdekakan budak perempuannya, tetapi ia lupa tidak meminta ijin dahulu kepada Nabi SAW. Saat itu memang bukan sedang gilirannya didatangi beliau, sementara niatnya untuk memerdekakan telah begitu menguat, sehingga begitu saja ia melakukannya. Ketika tiba giliran Nabi SAW mengunjunginya, ia berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah tuan telah merasa bahwa saya telah memerdekakan budak perempuan saya?"
"Apakah engkau telah melakukannya?" Tanya Nabi SAW.
"Sudah…!!" Kata Maimunah.
          Memang, Nabi SAW selalu memotivasi siapapun, apalagi keluarga dekat termasuk istri-istri beliau untuk tidak menunda-nunda jika ingin berbuat kebajikan. Tetapi dalam kasus ini, beliau melihat ada manfaat yang lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Maimunah, yakni membantu meringankan beban kerabatnya. Beliau bersabda, "Seandainya budak tersebut engkau berikan kepada bibimu, niscaya engkau memperoleh pahala yang lebih besar….!!"

Ummu Habibah RA, Ummul Mukminin


            Ummu Habibah RA adalah anak dari tokoh kaum musyrik Makkah Abu Sufyan bin Harb. Pada masa jahiliah ia menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy, dan kemudian bersama-sama memeluk Islam. Karena tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin, mereka berdua ikut berhijrah ke Habasyah. Sayangnya disana Ubaidillah murtad dan mati dalam keadaan musyrik (beragama Nashrani). 
Sebelum suaminya murtad, Ummu Habibah, yang nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan, memimpikan wajah suaminya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Keesokan harinya, suaminya memutuskan untuk memeluk agama Nashrani. Tentu saja Ummu Habibah menjadi panik, namun demikian Allah meneguhkan pendiriannya dan tetap bertahan dalam keislamannya.
Ketika Nabi SAW mengirimkan surat kepada Najasyi, lewat sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, beliau juga menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah RA, dan meminta tolong Najasyi menyampaikan lamarannya ini. Najasyi menyuruh seorang wanita bernama Abraha untuk menyampaikan berita ini sekaligus menjemput Ummu Habibah. Memperoleh kabar ini, Ummu Habibah begitu gembira, sehingga ia melepas perhiasan yang dipakainya dan diberikannya kepada Abraha, beberapa benda berharga yang dimilikinya juga diberikannya kepada utusan Najasyi tersebut.         
Najasyi yang saat itu baru saja memeluk Islam, menikahkan Rasulullah SAW dengan Ummu Habibah, dan memberikan mahar sebanyak 400 dinar emas. Orang-orang yang hadir pada majelis Najasyi saat itu juga diberikan hadiah uang dinar dan juga makanan. Ummu Habibah pun berangkat ke Madinah untuk dipertemukan dengan Rasulullah SAW. Najasyi mengirimkan banyak sekali barang-barang hadiah dan minyak wangi ke Madinah, sebagai bingkisan pernikahan beliau itu.
Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa pernikahan terjadi pada tahun 6 hijriah, dan Ummu Habibah baru pindah ke Madinah untuk tinggal bersama Rasulullah pada tahun 7 hijriah. Mengenai tahun kewafatan Ummu Habibah, banyak perbedaan pendapat, sebagain meriwayatkan tahun 44 hijriah, ada yang tahun 42 hijriah, 55 hijriah atau juga 50 hijriah, wallahu a'lam.
Saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan yang masih kafir datang ke Madinah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Ummu Habibah. Saat melihat kasur terhampar, Abu Sufyan akan mendudukinya, tetapi putrinya tersebut bergegas melipat dan menyingkirkannya. Tentu saja Abu Sufyan terkejut, ia bertanya, "Apakah aku tidak boleh duduk di atasnya? Tidak pantaskah aku untuk mendudukinya?"
"Kasur ini hanya untuk Rasulullah SAW," Kata Ummu Habibas dengan tegas, "Ayah masih kafir dan tidak suci, bagaimana mungkin aku akan membiarkan ayah akan mendudukinya?"
"Setelah kita berpisah, ternyata engkau mempunyai perangai yang buruk," Kata Abu Sufyan dengan kecewa.
Tentu saja hal itu bukan perangai buruk Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA. Sebaliknya hal ini adalah wujud kecintaan dan penghormatannya kepada Nabi SAW, jauh melebihi kecintaan pada siapapun di dunia ini, termasuk orang tuanya sendiri.
            Hal sama juga ditunjukkannya ketika ayahnya meninggal dunia. Walau meninggalnya dalam keislaman, Ummu Habibah memakai wewangian pada malam ketiga setelah kewafatan ayahnya. Ia berkata, "Sebenarnya saya tidak terlalu suka memakai wewangian, tetapi Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya. Ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari jika suaminya meninggal. Karena itu saya memakai wewangian agar tidak dianggap masih berkabung atas kematian ayah saya."

Utsman bin Affan RA, Dzun Nurain


            Utsman bin Affan berasal dari kalangan bangsawan Suku Quraisy, kaya raya dan pengusaha yang sukses. Ia termasuk kelompok sahabat yang pertama-tama memeluk Islam. Dalam perjalanan pulang dari perniagaannya di Syam, di sebuah tempat teduh antara Ma'an dan Zarqa, ia tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu ia mendengar seorang penyeru agar mereka yang tidur segera bangun, karena Ahmad telah bangkit di Makkah!!
Setibanya di Makkah, ia segera menemui sahabatnya, Abu Bakar dan menceritakan mimpinya. Ternyata Abu Bakar telah memeluk Islam, dan menceritakan tentang dakwah baru yang disampaikan Nabi SAW. Utsman yang sebelumnya memang begitu takjub dan terpesona dengan ketinggian dan kemuliaan akhlak Nabi SAW, segera saja meminta Abu Bakar mengantarnya menghadap Rasulullah SAW untuk berba'iat memeluk Islam.
Ketika keislamannya diketahui keluarganya, pamannya yang bernama Hakam bin Abul Ash bin Umayyah menangkap dan mengikatnya dengan tali, kemudian berkata, "Apakah kamu membenci agama nenek moyangmu dan lebih suka pada agama baru tersebut? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan ikatanmu selamanya, jika kau tidak kembali ke agama nenek moyangmu!!"
Tetapi keimanan telah merasuki jiwanya sehingga dengan tegas ia berkata, "Demi Allah aku tidak akan meninggalkan agama ini selama-lamanya, dan tidak akan berpisah dengannya."
Melihat keteguhannya yang rasanya tidak akan tergoyahkan, akhirnya Hakam melepaskan ikatannya.
Utsman bin Affan merupakan sahabat yang pengusaha dan kaya raya sebagaimana Abdurrahman bin Auf. Mereka berdua juga sangat dermawan, dan termasuk dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga semasa hidupnya. Hanya saja tentang Abdurrahman bin Auf, Nabi SAW pernah bersabda bahwa ia akan masuk surga perlahan-lahan, dalam riwayat lain, dengan merangkak, karena hisab kekayaannya. Sebagaimana Nabi Sulaiman AS adalah nabi yang perlahan-lahan masuk surga karena hisab kekayaannya. Karenanya Nabi SAW menyatakan, “Abdurrahman bin Auf adalah Sulaimannya ummatku!!”
Tetapi menyangkut Utsman bin Affan, beliau justru menyatakan, "Tidak ada yang membahayakan Utsman, setelah apa yang dilakukannya hari ini…."
Ungkapan ini disabdakan Nabi SAW setelah apa yang dibelanjakan Utsman bin Affan di jalan Allah untuk perang Tabuk. Pasukan yang dibentuk untuk menghadapi serangan pasukan Romawi ini disebut dengan Jaisyul Usrah (Pasukan di Masa Sulit), karena waktu itu musim panas, kekeringan dan paceklik melanda jazirah Arab. Tidak mudah menghimpun dana dan perbekalan sementara kebanyakan kaum muslimin sendiri dalam kesulitan menjalani hidup sehari-hari.
Utsman bin Affan yang tengah mempersiapkan kafilah dagang ke Syam dengan 200 ekor unta lengkap barang dan perbekalannya berikut 200 uqiyah,  langsung dibelokkan ke masjid Nabi SAW untuk pasukan Tabuk. Itu belum cukup juga, ia menambah dan menambah hingga mencapai 900 unta dan 100 kuda, riwayat lain menyebutkan sebanyak 940 unta dan 60 kuda, lengkap dengan perlengkapan dan perbekalannya. Masih belum puas bersedekah, Utsman datang ke kamar Nabi SAW dan menyerahkan 700 uqiyah emas, riwayat lain menyebutkan 1000 atau 10.000 dinar, yang langsung diterima oleh tangan Rasulullah SAW sendiri.
Ungkapan dan sabda Nabi SAW tersebut mungkin merupakan puncak kekaguman dan penghargaan beliau atas pengorbanan Utsman atas kekayaannya, demi kepentingan ummat dan agama Islam.
Pada awal hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin mengalami kesulitan air. Sebenarnya ada mata air yang mengeluarkan air tawar yang segar dan enak yang disebut Sumur Raumah. Sayangnya mata air ini dikuasai oleh orang Yahudi, yang menjualnya satu geriba air dengan segantang gandum. Kaum Muhajirin yang kebanyakan meninggalkan kekayaannya di Makkah tentu saja tak mampu membayarnya.
Nabi SAW mengharapkan ada sahabat yang membeli telaga tersebut untuk kepentingan umat muslim, maka tampillah Utsman bin Affan memenuhi harapan Nabi SAW. Pada awalnya si Yahudi menolak menjualnya, maka Utsman bersiasat dengan membeli separuhnya saja. Si Yahudi setuju dengan harga 12.000 dirham, dengan pembagian, satu hari untuk Utsman dan satu hari untuk si Yahudi.
Ketika giliran waktu untuk Utsman, kaum muslimin dan masyarakat Madinah yang membutuhkan air dipersilahkan untuk mengambilnya dengan gratis dan tanpa batas. Karena itu mereka menampung untuk dua hari. Ketika tiba giliran waktu untuk si Yahudi, tak ada lagi orang yang membeli air darinya sehingga ia kehilangan pendapatannya dari telaga tersebut. Akhirnya ia menjual bagiannya tersebut kepada Utsman seharga 8.000 dirham, sehingga masyarakat Madinah bisa memperoleh air segar telaga tersebut kapan saja dengan cuma-cuma.
Ketika kaum muslimin di Madinah makin banyak dan masjid tidak lagi bisa menampung, Nabi SAW bermaksud melakukan perluasan dengan membeli tanah dan bangunan di sekitar masjid. Tampillah Utsman untuk merealisasikan maksud Nabi SAW tersebut, dan tanpa segan ia mengeluarkan 15.000 dinar. Begitupun setelah Fathul Makkah, Nabi SAW bermaksud memperluas Masjidil Haram dengan membeli tanah dan bangunan sekitar masjid, sekali lagi Utsman tampil memenuhi harapan Nabi SAW dengan mengeluarkan sedekah 10.000 dinar.
Masih banyak lagi kisah kedermawanan Utsman sehingga tak heran jika Nabi SAW berkata, bahwa teman beliau di surga adalah Utsman bin Affan.
Satu peristiwa lagi di jaman Khalifah Abu Bakar, saat itu paceklik melanda kota Madinah, kaum musliminpun mengalami berbagai kesulitan. Ketika dilaporkan kepada Abu Bakar, ia berkata, "Insya Allah, besok sebelum sore tiba, akan datang pertolongan Allah…"
Pagi hari esoknya, datanglah kafilah dagang Utsman dari Syam yang penuh dengan bahan makanan pokok. Berkumpullah para pedagang, termasuk dari kaum Yahudi yang biasa memonopoli perdagangan bahan makanan, mereka berlomba melakukan penawaran. Utsman berkata, "Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?"
"Sepuluh menjadi duabelas." Kata seorang pedagang.
"Ada yang lebih tinggi?" Tanya Utsman.
            "Sepuluh menjadi limabelas." Pedagang lain menawar. 
"Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pedagang Madinah berkumpul di sini?"
           Utsman bertanya, "Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?"
"Apa ada yang  mau membayar sebanyak itu?"
"Ada, yakni Allah SWT…." Kata Utsman dengan tegas.     
            Para pedagang itupun berlalu pergi, dan Utsman membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin Madinah dan mereka yang memerlukannya.                                      

Minggu, 11 Maret 2012

Adi bin Hatim RA


            Adi bin Hatim adalah seorang penduduk di sekitar Madinah, tetapi ia tidak termasuk penganut agama jahiliah (penyembah berhala) seperti umumnya penduduk Madinah. Ketika ia mendengar Nabi SAW akan hijrah ke Madinah, ia sangat tidak menyukai hijrah beliau itu dengan kebencian yang amat mendalam. Karena itu ia pergi hingga sampai negeri sang kaisar yakni Romawi. Tetapi ternyata ia merasa lebih tidak senang dengan tempatnya itu, melebihi ketidak-sukaan akan hijrahnya Nabi SAW ke Madinah.
Sementara di tempat lain, pasukan berkuda Nabi SAW menangkap beberapa orang, yang salah satunya adalah seorang wanita tua, yang masih bibinya Adi bin Hatim, yang hidup sendirian. Ketika dihadapkan kepada Nabi SAW, wanita tua itu berkata, "Wahai Nabi, sang duta berada jauh dari kami dan anak kami juga telah pergi, sedangkan aku wanita tua yang tidak punya pelayan, maka berbuat baiklah kepadaku, semoga Allah berbuat baik kepadamu pula."
Ketika Nabi bertanya tentang siapa sang duta itu, Wanita itu menjawab, “Adi bin Hatim.”
Ali bin Abi Thalib yang berada di sebelah Rasulullah SAW menyarankan wanita itu untuk meminta hewan tunggangan kepada Nabi SAW untuk mencari kerabatnya. Ia mengikuti saran Ali tersebut dan beliau memenuhinya. Kemudian wanita tua itu pergi mencari keberadaan keponakannya tersebut, yang ditemukannya di daerah Aqrab, termasuk wilayah Romawi. Ia berkata, "Sesungguhnya aku telah melakukan perbuatan yang belum pernah dilakukan ayahmu. Temuilah Nabi SAW itu, baik dengan berharap atau dengan takut. Sesungguhnya si fulan telah menemui beliau dan telah memperoleh sesuatu darinya, begitu juga dengan si fulan yang lain."
Adi bin Hatim yang pada dasarnya sangat tidak suka dengan tempatnya di wilayah Romawi, memutuskan untuk kembali ke Madinah. Dipikirnya, kalau lelaki itu (yakni Nabi SAW) memang pendusta, ia tidak akan bisa memberinya mudharat sedikitpun. Tapi kalau lelaki itu benar, ia pasti akan mengenali kebenarannya.
Adi bin Hatim menemui Nabi SAW di Madinah sesuai dengan saran bibinya. Beliau menyerunya kepada agama Islam, tetapi dijawab Adi menjawab, “Aku telah mempunyai agama!!”
Mendengar jawabannya itu, Nabi SAW bersabda, “Aku lebih tahu tentang agamamu tersebut dibandingkan engkau sendiri!!”
Adi bin Hatim keheranan dengan pernyataan beliau tersebut. Tentunya Nabi SAW telah memperoleh pemberitahuan dari Jibril tentang dirinya. Belum sempat Adi berkata apa-apa, beliau bersabda lagi, "Bukankah kamu berasal dari kalangan penganut Ar-Rukuusiyyah? Dan kamu memakan seperempat ghanimah (rampasan perang) dari kaummu, padahal itu haram menurut agamamu! Akupun tahu apa yang menghalangi kamu untuk memeluk Islam, engkau berkata bahwa orang-orang yang mengikutiku hanya orang-orang yang lemah, sedang orang-orang Arab sendiri telah mengusirku?"
Ar-Rukuusiyyah adalah agama perpaduan antara Nashrani dan agama kaum Shabiin. Adi hanya bisa membenarkan apa yang disabdakan oleh Nabi SAW.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi, "Apakah engkau tahu sebuah tempat bernama Hiirah? Demi Dzat Yang jiwaku di TanganNya, Allah akan menyempurnakan agama ini, hingga seorang wanita di Hiirah akan bepergian seorang diri dengan aman untuk thawaf di Baitullah. Begitupun Allah akan membuka perbendaharaan kekayaan Kisra bin Hurmuz, harta bendanya akan dibagi-bagikan, sehingga tiada seorangpun yang bersedia menerimanya."
Seperti yang diyakininya, Adi ternyata mengenali kebenaran itu dan membawanya memeluk Islam, walaupun memang ia belum mengerti “ramalan” Nabi SAW tentang wanita dari Hiirah dan Kisra bin Hurmuz. Bisa dimaklumi, karena waktu itu sering terjadi perampokan kafilah-kafilah di perjalanan, dan yang paling sering dan paling ditakuti adalah perampokan yang menimpa wanita-wanita Hiirah. Sedang Kisra bin Hurmuz saat itu sedang berkuasa dengan kuatnya di Persia dan tentaranyapun sangat ditakuti negeri-negeri lainnya. Hanya Kaisar Romawi yang bisa mengimbangi kekuatannya.
Waktu berlalu bertahun-tahun kemudian, suatu ketika Adi bin Hatim sedang thawaf di Ka'bah, dan ia melihat seorang wanita dari Hiirah, suatu kota tua di daerah Kufah, sedang thawaf sendiri tanpa pengawalan dan perlindungan seorangpun. Begitupun setelah Rasullullah SAW wafat, ia menyertai suatu pasukan yang mengalahkan tentara Persia, dan membuka harta kekayaan Kisra bin Hurmuz.
Dua peristiwa masa depan yang disampaikan Rasulullah SAW ketika menyerunya memeluk Islam, ternyata ia mengalaminya sendiri, dan itu makin meneguhkan dan mempertebal keimanannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Abbas bin Ubadah RA


         Abbas bin Ubadah bin Nadhlah merupakan sahabat Anshar yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia berasal dari Bani Sulaim bin Auf, Suku Khazraj dan termasuk salah satu dari duabelas orang yang berba'iat kepada Rasulullah di Aqabah yang pertama. Ia juga menyertai Ba'iatul Aqabah yang kedua, sebagai tonggak awal pembentukan negeri muslim di Madinah. 
Pada Ba’iatul Aqabah kedua itu, setelah Abul Haitsam berpidato kepada kaumnya, suku Aus, untuk menerima dan membela Nabi SAW, Abbas bin Ubadah juga berpidato kepada kaumnya, Suku Khazraj dengan ajakan yang sama. Antara lain ia berkata,"…jika kalian menyaksikan harta benda kalian musnah, dan orang-orang terhormat di antara kalian terbunuh, apakah kalian akan melemparkan beliau ke dalam kehancuran, dan tidak melindunginya dari musuh? Jika itu terjadi, maka Demi Allah, itu adalah kehinaan kalian di dunia dan di akhirat…. Bawalah beliau, korbankanlah harta kalian dan tidak mengapa orang-orang terhormat kalian terbunuh, karena demi Allah, itu akan menjadi kebaikan dunia dan akhirat."
Prosesi Ba'iatul Aqabah kedua itu terjadi pada sepertiga malam yang terakhir pada salah satu hari tasyriq. Memang dipilih waktu yang sepi dan gelap untuk tidak diketahui oleh kaum kafir Quraisy. Tetapi setelah seluruh proses ba'iat itu selesai, ada seorang kafir yang memergoki kumpulan tersebut. Ia berteriak di tempat ketinggian, "Wahai orang-orang yang ada di dalam rumahnya, apakah kalian menghendaki Muhammad dan orang yang berkumpul bersamanya, yang telah keluar dari agama nenek moyangnya? Lihatlah, mereka berkumpul di tempat penggembalaan kalian…."
"Demi Allah, ini krisis Aqabah... " Kata Nabi SAW.
Mendengar ucapan Nabi SAW ini, Abbas bin Ubadah berkata, "Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, jika engkau berkenan, besok kami akan menghabisi penduduk Mina dengan pedang-pedang kami…."
Tetapi Nabi SAW bersabda, "Kami tidak diperintahkan untuk itu, kembalilah kalian ke tenda kalian…!!"
Mereka kembali ke tenda masing-masing dan tidur. Keesokan harinya, beberapa pembesar Quraisy datang ke perkemahan penduduk Yatsrib, dan menanyakan kebenaran peristiwa semalam. Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin rombongan haji dari Yatsrib, dengan tegas berkata, "Itu bohong, kaumku tidak mungkin bertindak secara lancang melangkahiku. Apapun yang dilakukan penduduk Yatsrib, mereka selalu meminta pertimbangan dariku…!!"
Sementara itu, tujuhpuluh lebih orang yang telah memeluk Islam berbaur dengan yang lainnya, dan sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Kaum Quraisy tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti dan saksi yang menguatkan dugaannya tersebut.      
Inilah titik tolak awal bangkitnya Islam, dua suku terkuat di Madinah yang sebelumnya saling berperang bersedia berkorban untuk mendukung Nabi SAW. Dua tokohnya, Abbas bin Ubadah dari Khazraj dan Abul Haitsam at Tayyihan dari Aus, berhasil meyakinkan kaumnya untuk berdiri di belakang Nabi SAW demi menegakkan dan memenangkan Islam

Huwaithib bin Abdul Uzza RA

            Huwaithib bin Abdul Uzza adalah salah seorang pembesar Quraisy. Ketika mengikuti perang Badar di pihak kaum musyrikin, sebenarnya ia telah melihat suatu i'tibar bagaimana seribu pasukannya yang bersenjata dan perbekalan lebih lengkap dikalahkan oleh 313 orang muslim dengan persenjataan dan perbekalan seadanya, bahkan hanya dua orang yang menunggang kuda. Saat itu ia melihat gambaran, bagaimana malaikat yang bergerak di antara langit dan bumi berkelebat menyerang, menangkap dan menawan kawan-kawannya, sehingga terbersit dalam hatinya ucapan, "Orang itu (Nabi Muhammad SAW) adalah lelaki yang terpelihara…!" 
Huwaithib tidak menceritakan apa yang dilihatnya ini pada siapapun, tetapi hal itu tidak juga membuka hatinya untuk memeluk Islam. Bahkan sampai selesainya perjanjian Hudaibiyah, dimana makin banyak orang-orang Quraisy yang mengikuti Islam, baik kalangan biasa ataupun tokoh-tokohnya, ia belum tergerak juga untuk mengikuti jejak mereka.
Pada saat Nabi SAW dan sahabatnya melaksanakan umrah Qadhiyyah (umrah qadha'), umrah pengganti karena saat perjanjian Hudaibiyah itu gagal/terhalang, setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Huwaithib bersama Suhail bin Amr ditugaskan untuk mengusir Nabi SAW dan kaum muslimin dari Makkah jika waktunya telah habis.
Setelah tiga hari berlalu sesuai dengan waktu yang diberikan kaum Quraisy, Huwaithib dan Suhail menemui Nabi SAW , dan berkata, "Waktu yang menjadi syaratmu telah selesai, maka keluarlah engkau dari negeri kami ini…!"
Nabi SAW berkata kepada Bilal untuk mengumumkan kepada umat Islam lainnya, "Hai Bilal, hendaknya tidak ada seorangpun yang turut bersama kita ke Makkah, yang masih ada di sini sebelum matahari terbenam."
Kemenangan Nabi SAW dan kaum muslimin saat Fathul Makkah membuat Huwaithib ketakutan, ia mengungsikan keluarganya ke berbagai tempat yang dianggapnya aman. Ketika berada di kebun bani Auf, ia bertemu dengan Abu Dzar al Ghiffary, ia berusaha lari, tetapi Abu Dzar justru memanggilnya dengan lembut, dan menanyakan keadaannya. Antara mereka berdua memang ada keakraban dan kasih sayang, karena itu ia tidak ragu untuk menghampiri Abu Dzar dan menyatakan ketakutannya akan dibunuh. Ia juga menceritakan kalau keluarganya telah diungsikan untuk keamanan mereka.
Menanggapi kekhawatirannya itu, Abu Dzar mengatakan kalau sebenarnya dia dan penduduk Makkah lainnya aman dengan jaminan keselamatan dari Allah SWT, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW ketika memasuki kota Makkah. Abu Dzar juga meminta agar ia mengumpulkan lagi keluarganya dan kembali ke rumahnya, dan ia menyetujuinya. Sambil mengawal Huwaithib dan keluarganya, Abu Dzar terus berteriak, "Sesungguhnya Huwaithib telah diberi jaminan keselamatan, maka jangan seorangpun yang menyalakan api kemarahan kepadanya…"
Setelah sampai di rumah Huwaithib, Abu Dzar segera pergi. Tetapi beberapa saat kemudian ia kembali lagi, dan mengatakan kalau ia menemui Nabi SAW dan menceritakan apa yang dilakukannya, dan Nabi SAW membenarkan tindakannya, Huwaithib jadi merasa tenang. Abu Dzar berkata kepadanya, "Wahai Abu Muhammad, sampai kapan kamu tetap begini? Kamu telah terlewat dari banyak peperangan, karenanya kamu terlewat dari banyak kebaikan. Temuilah Rasulullah SAW dan masuklah Islam, kamu pasti akan selamat. Sesungguhnya beliau adalah sebaik-baiknya manusia, paling lembut hati dan paling banyak menyambung silaturahmi di kalangan mereka. Kemuliaannya adalah kemuliaanmu, ketinggiannya adalah ketinggianmu."
Huwaithib merenungi perjalanan hidupnya selama memusuhi Rasulullah SAW, dan perlakuan beliau selama ini, terutama setelah memperoleh kemenangan besar di Fathul Makkah itu. Akhirnya hati Huwaithib tergerak dengan saran Abu Dzar itu, ia minta diantarkan untuk menemui Nabi SAW. Mereka berdua mendapati Nabi SAW bersama Abu Bakar di Bathha'. Huwaithib menyampaikan salam seperti diajarkan oleh Abu Dzar, beliau menjawab salamnya, dan ia bersyahadat menyatakan keislamannya. Nabi SAW amat bersyukur dan gembira atas hidayah Allah yang membawanya memeluk Islam.
          Ketika Nabi SAW mempersiapkan pasukan karena ancaman serangan dari beberapa kabilah Arab yang bersekutu dalam Perang Hunain, beliau meminjam uang dari Huwaithib untuk membiayai pasukan, dan ia meminjami sebanyak empat puluh ribu dirham. Ia ikut menyertai Nabi SAW dalam perang Thaif dan Hunain, dan setelah selesainya perang Hunain, beliau mengembalikan uang milik Huwaithib dan memberinya ghanimah sebanyak seratus ekor unta.

Sabtu, 03 Maret 2012

Syuja' bin Wahb RA

            Syuja' bin Wahb al Asadi diperintahkan Rasullullah SAW untuk menyampaikan surat kepada Kisra, Raja Persia, yang berisi ajakan untuk masuk agama Islam. Ketika sampai di Persia, Kisra mengumpulkan para pembesarnya di aula istana yang telah dihias untuk menyambut utusan Nabi SAW. Syuja' diijinkan masuk aula istana Kisra, dan  seseorang diminta untuk mengambil surat Nabi SAW tersebut dari tangan Syuja', tetapi Syuja menolaknya, ia berkata tegas, "Aku diperintahkan Rasulullah SAW untuk menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu!"
Setelah diijinkan, ia mendekati Kisra dan menyerahkan surat tersebut. Kisra memerintahkan juru tulisnya yang berasal dari kota Hiirah, yang mengerti bahasa Arab untuk membaca surat tersebut, sekaligus menerjemahkannya. Ketika awal surat yang berbunyi, "Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Kisra, Raja Persia…!"
Kisra langsung berteriak marah. Ia tersinggung karena nama Nabi SAW disebutkan terlebih dahulu daripada namanya sebagai Raja Persia. Diambilnya surat tersebut dari tangan jurutulisnya dan ia merobek-robeknya. Dengan marah pula ia mengusir Syuja' dari aula istana Kisra.
Melihat situasi yang memanas tersebut, Syuja'-pun bergegas keluar dan menaiki kendaraannya, kemudian memacunya agar secepat-cepatnya pergi dari tempat itu. Ia berkata, "Demi Allah aku tidak perduli akan berada dimana dari dua jalan ini, karena aku telah menyampaikan surat Rasulullah SAW kepada Kisra."
Setelah sampai di hadapan Rasulullah SAW, Syuja' menceritakan apa yang terjadi, dan beliau bersabda, "Sebenarnya Kisra telah mengoyak-koyak kerajaannya sendiri, sebagaimana ia merobek-robek suratku."
           Beberapa waktu setelah itu, sebenarnya Kisra memerintahkan orang-orangnya untuk memanggil Syuja' untuk menghadapnya lagi, tetapi Syuja' tidak tersusul. Kisra memerintahkan wakilnya di Yaman, Badzan untuk mengirimkan dua orang menemui Nabi SAW, dan memerintahkan Beliau untuk menghadap Kisra. Ketika dua orang utusan yang bernama Abanauah dan Jadd Jamirah ini sampai di Madinah dan menghadap Nabi SAW, beliau menyuruh mereka beristirahat dahulu dan menemui beliau lagi esok harinya. Dalam pertemuan keesokan harinya itu, Nabi SAW mengabarkan bahwa Allah telah membinasakan Kisra, dan membuat putranya yang bernama Syiruyah mengalahkan dan membunuhnya.

Utsman bin Mazh'un RA

            Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi SAW wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
          Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!"

Dhimad al Azdy RA


            Dhimad adalah lelaki dari Azd Syanu'ah, salah satu suku dari Yaman, yang mempunyai keahlian mengobati penyakit gila atau gangguan jin. Ketika ia sedang umrah di Makkah, ia sempat duduk di dalam majelis dimana di dalamnya ada Abu Jahal, Utbah bin Rabiah dan Umayyah bin Khallaf. Abu Jahal menyebut nama Muhammad yang dianggapnya sebagai pemecah belah persatuan, menganggap bodoh akal orang-orang kafir Quraisy, menuduh sesat orang-orang terdahulu yang meninggal dan memaki berhala-berhala sembahan mereka. Umayyah menimpali kalau Muhammad telah terkena penyakit gila.
Sebagai orang yang memiliki keahlian mengobati penyakit gila dan gangguan jin, Dhimad merasa terpanggil mendengar informasi tersebut, ia-pun berusaha menemui Rasullullah SAW. Tetapi baru keesokan harinya ia menemukan Nabi SAW duduk di belakang maqam Ibrahim sedang shalat. Seusai shalat, iapun mengemukakan apa yang didengarnya dari orang-orang Quraisy tersebut dan maksudnya untuk mengobati. Dhimad berkata, "Tidak ada seorangpun yang berbuat demikian, kecuali orang yang terkena gangguan jin!"
Mendengar ucapan yang bersifat menuduh tersebut, Rasullullah SAW bersabda, "Segala pujian hanya milik Allah SWT, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, beriman kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya. Barang siapa yang diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya."
Dhimad terpesona mendengar perkataan Rasullullah SAW. Sebagai seorang yang terpelajar, ia mengetahui bahwa perkataan seperti bukanlah perkataan yang biasanya dilontarkan para penyair. Ia meminta beliau mengulangi perkataan itu beberapa kali dan Nabi SAW memenuhi permintaannya dengan sabar. Kemudian ia bertanya, "Kepada apakah engkau menyeru? Dan apa yang kuperoleh bila aku melakukannya?"
Nabi SAW menjawab, “Aku mengajakmu untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, kamu tinggalkan berhala-berhala dari tengkukmu, dan engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah. Dan ganjaran untukmu adalah surga."
Serta merta Dhimad-pun menyambut seruan itu dan masuk Islam. Ia tinggal selama beberapa hari bersama  Rasullullah SAW hingga mengetahui cukup banyak surah dari Qur'an, dan kemudian kembali kepada kaumnya.
Beberapa waktu berselang setelah Rasullullah SAW sudah di Madinah, beliau mengirim sepasukan jamaah jihad di daerah Yaman. Di suatu daerah, pasukan tersebut memperoleh ghanimah 20 ekor unta, Ali bin Abi Thalib yang memimpin pasukan, kemudian mengetahui kalau daerah itu adalah daerahnya Dhimad al Azdy, maka ia menyuruh pasukannya untuk mengembalikan ghanimah tersebut, walau tidak bertemu secara langsung dengan Dhimad.

Abu Dujanah RA


            Simak bin Kharasyah, atau lebih dikenal dengan nama Abu Dujanah adalah seorang sahabat Anshar. Pada perang Uhud, Nabi SAW mengangkat sebuah pedang kemudian bersabda, "Siapakah yang akan mengambil pedang ini?"
Kaum muslimin berkumpul dan berharap memperoleh pedang tersebut, tetapi Nabi SAW bersabda lagi, "Siapakah yang akan mengambilnya dengan haknya?"
Sesaat tidak ada yang menjawab, Zubair bin Awwam menyanggupinya, tetapi beliau tidak mau memberikan pedang itu kepadanya, bahkan beliau mengulangi lagi pertanyaannya. Abu Dujanah bangkit dan menghampiri Nabi SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, saya akan mempergunakannya dengan haknya. Apakah haknya tersebut?"
"Janganlah kamu membunuh seorang muslim dengan pedang ini, dan janganlah kamu mundur dari orang kafir, sedangkan pedang ini masih ada di tanganmu!"          
Abu Dujanah mengeluarkan sorban merah dan melilitkan di kepalanya, kemudian berjalan ke depan, menempatkan dirinya di antara dua pasukan. Orang-orang Anshar-pun berkata seperti biasanya kalau Abu Dujanah memakai sorban merahnya sebagai lambang semangat juangnya sampai titik darah penghabisan, "Abu Dujanah telah mengeluarkan sorban mautnya…!"
Melihat tingkah lakunya, yang telah menjadi ciri khasnya ketika berada di medan pertempuran itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Sungguh itu suatu cara berjalan yang dibenci oleh Allah, kecuali di tempat ini (yakni di medan jihad, karena akan memotivasi dan membangkitkan semangat jihad anggota pasukan lainnya)…”
Setelah menerima pedang tersebut, Abu Dujanah berangkat menyerang kaum musyrikin. Setiap orang yang berhadapan dengannya, dapat ditewaskannya. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan sekumpulan wanita, salah satu dari mereka adalah Hindun bin Utbah, yang berkata dengan nada angkuh, "Kami adalah anak-anak perempuan yang mulia, berjalan di atas bantal-bantal dan bau kesturi. Jika engkau menyerang, kami akan merangkul. Jika kamu berpaling, kami pun akan berpaling."
Melihat sikapnya tersebut, Abu Dujanah akan menyerang Hindun, tetapi wanita itu berteriak minta tolong. Beberapa saat tidak ada yang datang menolong, Abu Dujanah-pun meninggalkan mereka. Anas bin Malik yang saat itu bersamanya merasa heran dan menanyakan mengapa ia tidak membunuh wanita tersebut. Ia berkata, "Ia menjerit minta tolong, dan tidak ada seorang pun yang menolongnya, karena itu aku tidak mau menggunakan pedang Rasulullah SAW untuk membunuh wanita yang tidak mempunyai penolong seorangpun." 

Abu Bashir RA


            Abu Bashir RA adalah lelaki dari kalangan kaum Quraisy, ia memeluk Islam dan datang ke Madinah untuk tinggal bersama Nabi SAW sebagaimana umat Islam lainnya. Tetapi kehadirannya di Madinah ini setelah disetujuinya Perjanjian Hudaibiyah, maka tak lama berselang datang dua orang utusan dari Kaum Quraisy untuk membawa Abu Bashir kembali ke Makkah. Hal itu memang merupakan salah satu butir Perjanjian Hudaibiyah. Mereka berkata kepada Nabi SAW, "Penuhilah perjanjian yang telah engkau buat di antara kita!" 
Seperti halnya atas Abu Jandal, Rasulullah SAW terpaksa merelakannya dibawa kembali oleh dua utusan tersebut sesuai dengan perjnajian yang beliau sepakati. Abu Bashir pun dibawa keduanya keluar dari Madinah. Ketika sampai di Dzul Khulaifah, mereka berhenti untuk beristirahat dan memakan perbekalannya.
Abu Bashir sadar, apa yang akan dialaminya jika sampai tiba di Makkah dan berada di tangan pembesar-pembesar Quraisy, tentunya siksaan demi siksaan untuk membuatnya kembali ke agama jahiliahnya. Maka ketika ia melihat ada peluang untuk lepas dari dua orang ini, maka ia melakukan suatu muslihat. Abu Bashir berkata sambil memuji salah satu dari mereka, "Demi Allah, wahai Fulan, sungguh amat bagus pedangmu itu…!"
Sepertinya orang ini termakan oleh umpan Abu Bashir, ia mengeluarkan pedangnya tersebut dan menghunusnya dengan bangga seraya berkata, "Tentu saja, bahkan aku telah mencobanya dan terus mencobanya!"           
"Sungguh bagus!! Bolehkan aku melihatnya!" Kata Abu Bashir.
Tanpa sadar apa yang akan dihadapinya, lelaki ini menyerahkan pedangnya kepada Abu Bashir. Begitu pedang berada di tangannya, ia memukul lelaki tersebut dengan pedangnya sendiri hingga tewas. Melihat kiprah Abu Bashir itu, temannya segera berlari balik ke Madinah, ia menuju ke masjid dan meminta perlindungan kepada Nabi SAW, sedang Abu Bashir mengejar di belakangnya. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau bersabda, "Tampaknya lelaki ini telah melihat sesuatu yang amat menakutkannya…!"
Di hadapan Nabi SAW, lelaki Quraisy itu berkata, "Sesungguhnya sahabatku telah dibunuh oleh Abu Bashir dan akupun akan dibunuhnya pula…"
Tak lama berselang Abu Bashir tiba di Masjid, ia berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah menyempurnakan perjanjianmu, engkau telah mengembalikan aku kepada mereka, tetapi Allah telah menyelamatkan aku dari mereka."
Tetapi Nabi SAW bersabda, "Celakalah ibu dari orang yang telah menyalakan api peperangan, kalau saja ada seseorang baginya…!"           
Mendengar sabda Nabi SAW ini, tahulah Abu Bashir bahwa tidak bisa tidak, beliau masih akan mengembalikannya kepada orang Quraisy sesuai perjanjian yang berlaku. Tetapi di sisi lain, ia merasa Rasulullah SAW tidak menyalahkannya, justru mengkhawatirkan dirinya karena ia hanya sendirian. Maka ia memutuskan untuk menyembunyikan diri di daerah pesisir pantai. Setelah mengucap salam dan pamit kepada Nabi SAW, ia segera pergi meninggalkan Madinah.
Tak lama berselang Abu Jandal bin Suhail bin Amr pun lepas dari kekangan ayah dan keluarganya. Belajar dari pengalaman Abu Bashir yang ceritanya telah menyebar di Makkah, ia tidak lari ke Madinah, tetapi bergabung dengan Abu Bashir di pesisir pantai. Maka setiap ada orang muslim yang lolos dari Makkah, mereka tidak lagi ke Madinah tetapi bergabung bersama Abu Bashir dan Abu Jandal di pesisir pantai. Jumlah mereka terus bertambah hingga mencapai satu 'isbahah (antara 10 - 40 orang).
Dengan kekuatan kelompok yang dimilikinya dan semangat untuk membela panji-panji keimanan dan keislaman, Abu Bashir dan sahabat-sahabatnya selalu menghadang kafilah dagang Quraisy yang berjalan menuju Syam, karena tempat tersebut memang terletak antara Makkah dan Syam. Dengan keadaan ini, kafilah dagang kaum Quraisy berkali-kali mengalami kegagalan, bahkan merugi karena dirampas oleh kelompok Abu Bashir.
Untuk mengatasi masalah tersebut, orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi SAW di Madinah, meminta beliau, atas nama Allah dan kekerabatan mereka, agar melarang kelompok Abu Bashir mengganggu kafilah dagang mereka, dan memanggilnya kembali ke Madinah. Ini artinya, mereka membatalkan sendiri perjanjian Hudaibiyah. Maka kelompok Abu Bashirpun bergabung bersama Nabi SAW dan orang-orang muslim lainnya di Madinah.
Sebagian riwayat menyebutkan, setelah menerima surat Rasulullah SAW agar kelompoknya itu kembali ke Madinah, Abu Bashir sakit dan akhirnya meninggal sebelum sempat bertemu lagi dengan beliau.