Ummu Habibah RA adalah anak dari
tokoh kaum musyrik Makkah Abu Sufyan bin Harb. Pada masa jahiliah ia menikah
dengan Ubaidillah bin Jahsy, dan kemudian bersama-sama memeluk Islam. Karena
tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin, mereka berdua ikut berhijrah ke
Habasyah. Sayangnya disana Ubaidillah murtad dan mati dalam keadaan musyrik
(beragama Nashrani).
Sebelum suaminya
murtad, Ummu Habibah, yang nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan,
memimpikan wajah suaminya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Keesokan
harinya, suaminya memutuskan untuk memeluk agama Nashrani. Tentu saja Ummu
Habibah menjadi panik, namun demikian Allah meneguhkan pendiriannya dan tetap
bertahan dalam keislamannya.
Ketika Nabi SAW
mengirimkan surat
kepada Najasyi, lewat sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, beliau juga
menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah RA, dan meminta tolong Najasyi
menyampaikan lamarannya ini. Najasyi menyuruh seorang wanita bernama Abraha
untuk menyampaikan berita ini sekaligus menjemput Ummu Habibah. Memperoleh
kabar ini, Ummu Habibah begitu gembira, sehingga ia melepas perhiasan yang
dipakainya dan diberikannya kepada Abraha, beberapa benda berharga yang
dimilikinya juga diberikannya kepada utusan Najasyi tersebut.
Najasyi yang
saat itu baru saja memeluk Islam, menikahkan Rasulullah SAW dengan Ummu
Habibah, dan memberikan mahar sebanyak 400 dinar emas. Orang-orang yang hadir
pada majelis Najasyi saat itu juga diberikan hadiah uang dinar dan juga
makanan. Ummu Habibah pun berangkat ke Madinah untuk dipertemukan dengan
Rasulullah SAW. Najasyi mengirimkan banyak sekali barang-barang hadiah dan
minyak wangi ke Madinah, sebagai bingkisan pernikahan beliau itu.
Peristiwa tersebut
terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa
pernikahan terjadi pada tahun 6 hijriah, dan Ummu Habibah baru pindah ke
Madinah untuk tinggal bersama Rasulullah pada tahun 7 hijriah. Mengenai tahun kewafatan
Ummu Habibah, banyak perbedaan pendapat, sebagain meriwayatkan tahun 44
hijriah, ada yang tahun 42 hijriah, 55 hijriah atau juga 50 hijriah, wallahu
a'lam.
Saat
berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan yang masih kafir datang ke
Madinah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Ummu Habibah. Saat melihat
kasur terhampar, Abu Sufyan akan mendudukinya, tetapi putrinya tersebut
bergegas melipat dan menyingkirkannya. Tentu saja Abu Sufyan terkejut, ia
bertanya, "Apakah aku tidak boleh duduk di atasnya? Tidak pantaskah aku
untuk mendudukinya?"
"Kasur ini
hanya untuk Rasulullah SAW," Kata Ummu Habibas dengan tegas, "Ayah
masih kafir dan tidak suci, bagaimana
mungkin aku akan membiarkan ayah akan mendudukinya?"
"Setelah
kita berpisah, ternyata engkau mempunyai perangai yang buruk," Kata Abu
Sufyan dengan kecewa.
Tentu saja hal
itu bukan perangai buruk Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA. Sebaliknya hal ini
adalah wujud kecintaan dan penghormatannya kepada Nabi SAW, jauh melebihi
kecintaan pada siapapun di dunia ini, termasuk orang tuanya sendiri.
Hal sama juga ditunjukkannya ketika ayahnya meninggal
dunia. Walau meninggalnya dalam keislaman, Ummu Habibah memakai wewangian pada
malam ketiga setelah kewafatan ayahnya. Ia berkata, "Sebenarnya saya tidak
terlalu suka memakai wewangian, tetapi Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang wanita
tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya. Ia boleh
berkabung selama empat bulan sepuluh hari jika suaminya meninggal. Karena itu
saya memakai wewangian agar tidak dianggap masih berkabung atas kematian ayah
saya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar