Minggu, 21 September 2014

Auf bin Malik al Asyja'i RA

Auf bin Malik al Asyja'i, atau nama kunyahnya Abu Abdurrahman, bersama teman-temannya yang berjumlah sembilan (sebagian riwayat menyebutkan delapan atau tujuh) orang baru saja melakukan ba'iat kepada Nabi SAW. Tetapi tiba-tiba beliau bersabda, "Apakah kamu sekalian tidak akan berba'iat kepada Rasulullah SAW…!!"
Tentu saja mereka merasa heran karena baru beberapa menit yang lalu mereka telah ba'iat, karena itu Auf mewakili teman-temannya berkata, "Kami telah berba'iat kepada engkau, wahai Rasulullah!!"
Seolah mengabaikan apa yang dikatakan Auf, sekali lagi Nabi SAW bersabda, "Apakah kamu sekalian tidak akan berba'iat kepada Rasulullah SAW…!!"
Karena beliau masih menekankan pertanyaan tersebut, mereka kembali mengulurkan tangan kepada beliau sambil berkata, "Kami telah berba'iat kepada engkau, wahai Rasulullah, maka dalam hal apakah kami kami harus berba'iat lagi kepada tuan??"
Nabi SAW menjabat tangan mereka bersama-sama, sambil bersabda, "Kalian harus selalu menyembah Allah, Dzat Yang Maha Esa dan kalian jangan pernah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kerjakan shalat lima waktu, dan kalian harus selalu mendengarkan dan mentaati segala perintah-Nya….!!"
Sesaat beliau berhenti sambil menghela nafas, kemudian bersabda lagi dengan agak berbisik, "Janganlah kamu sekalian meminta-minta sesuatu apapun kepada sesama manusia…!!"
Sejak saat itu Auf bin Malik dan teman-temannya tersebut selalu menjaga diri untuk tidak meminta-minta kepada sesama manusia, bahkan meminta tolong untuk sesuatu hal yang sepele sekalipun. Pernah salah satu di antara mereka cambuknya terjatuh ketika sedang mengendarai unta. Beberapa orang yang berjalan kaki ingin mengambilkannya tetapi ia melarangnya. Ia menderumkan untanya, turun dan mengambil cambuknya kemudian menaiki untanya lagi.
Dalam perang Tabuk, Auf bin Malik datang menghadap Nabi SAW di kemah beliau yang terbuat dari kulit. Beliau menyambutnya dengan hangat, kemudian bersabda kepadanya, "Wahai Auf, hitunglah enam tanda kiamat, yakni : 1. Kematianku ; 2. Ditaklukannya Baitul Makdis ; 3. Banyak orang yang mati bagaikan kambing (ternak) yang mati diserang penyakit. ; 4. Harta yang berlimpah ruah, sehingga satu orang diberi hingga 100 dinar (uang emas). ; 5. Kerusakan, ketidak-sukaan dan fitnah yang memasuki seluruh rumah dari Bangsa Arab. ; 6. Perdamaian antara kalian dengan bangsa Ashfar (Bangsa berkulit Kuning), mereka menipu kalian, lalu mereka mendatangi kalian di bawah 80 bendera, dimana di bawah setiap bendera terdapat 12.000 tentara…!!"

Amr bin Taghlib RA

Dalam suatu pertempuran di mana diperoleh ghanimah dan tawanan perang, atau peristiwa lainnya di mana dibawakan kepada Nabi SAW ghanimah dan tawanan perang yang cukup banyak, beliau membagi-bagikannya tetapi tidak merata kepada semua orang atau sahabat. Sebagian diberi dan sebagian lagi tidak, dan Amr bin Taghlib termasuk dari mereka yang tidak memperoleh pembagian. Ternyata sebagian dari mereka yang tidak memperoleh bagian mencela sikap beliau, sedang bagi Amr hal itu bukanlah masalah besar, ia meyakini beliau memiliki alasan tepat untuk memilih siapa yang memang perlu mendapat bagian dari ghanimah atau tawanan tersebut.
Ketika issu pembagian yang dianggap tidak adil ini makin berkembang, beliau mengumpulkan orang-orang di masjid dan beliau naik mimbar. Setelah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, beliau bersabda, "…kemudian daripada itu, demi Allah sesungguhnya aku memberi kepada seseorang dan tidak memberi kepada yang lainnya. Orang yang tidak aku beri itu lebih aku cintai daripada orang aku beri. Aku memberi kepada seseorang yang kupandang dalam hati mereka terdapat kegelisahan dan keresahan. Dan aku serahkan kepada Allah orang-orang yang Allah tetapkan dalam hati mereka itu kekayaan dan kebaikan, salah satu dari mereka adalah Amr bin Taghlib…!!"
Saat itu Amr tidak hadir karena sesuatu hal, dan ketika disampaikan kepadanya apa yang disabdakan Nabi SAW dalam majelis pengajaran di masjid tersebut, hatinya sangat berbunga-bunga sambil memuji kepada Allah. Sesaat kemudian ia berkata, "Demi Allah, saya tidak suka kalau ucapan Rasulullah SAW yang menyangkut diriku tersebut diganti dengan ternak-ternak yang merah (jenis ternak yang sangat bagus dan mahal harganya), sebanyak apapun…!!"
Memang, kalau Rasulullah SAW telah "menjamin" keadaannya seperti itu, apalagi yang diperlukannya dari dunia ini, dan apa pula yang ditakutkannya? Harta sebanyak apapun dari dunia ini jadi sangat kecil artinya bila dibandingkan dengan beberapa kalimat Nabi SAW tersebut, begitu mungkin pemikiran Amr bin Taghlib.

Seorang Gembala Kambing Yahudi di Khaibar

Ketika orang-orang Yahudi di Khaibar mempersiapkan pasukan dan persenjataan untuk menghadapi pasukan muslim yang dipimpin sendiri oleh Nabi SAW, seorang buruh gembala kambing menemui salah seorang anggota pasukan Yahudi, dan bertanya, "Dengan siapakah kalian akan melakukan peperangan?"
Mereka menjawab, "Kami memerangi seseorang yang mengaku sebagai Nabi..."
Sang gembala ini justru tertarik untuk menemui orang yang dimusuhi pasukan Yahudi tersebut, padahal ia mengandalkan penghasilan dari orang-orang Yahudi ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tibalah saat Nabi SAW dan pasukan muslim berkemah di daerah Khaibar, sang gembala segera menemui Rasulullah SAW bersama kambing-kambing yang digembalakannya, dan ia bertanya, "Apakah yang engkau serukan itu, dan apa yang aku dapatkan jika aku mengikuti ajaranmu?"
Beliau menjelaskannya kepada gembala tersebut seluk beluk agama Islam dan menyerunya untuk mengikuti dan memeluk Islam, dan ia akan memperoleh surga kalau mati dalam keislaman. Hidayah Allah ternyata berkenan datang untuk sang gembala sehingga ia langsung memutuskan memeluk Islam. Kemudian ia berkata, "Ya Rasullullah, kambing-kambing ini merupakan amanah bagi diriku, bagaimana aku mengembalikannya?"
Nabi SAW bersabda, “Lepaskanlah ia di tengah padang, Allah akan menyampaikannya kepada pemiliknya."
Begitulah, akhirnya kambing-kambing itu pulang sendiri ke rumah tuannya, sedang sang gembala berpindah menjadi pihak muslim yang akan memerangi orang-orang Yahudi Khaibar.

Abdullah Dzulbijadain al Muzanni RA

Abdullah Dzulbijadain al Muzanni, ia telah menjadi yatim ketika masih seorang bayi. Karena ibunya seorang yang tidak mampu untuk membiayai kehidupannya, ia diasuh oleh salah seorang saudara ayahnya. Pamannya ini membiayai dan mendidiknya hingga menjadi seorang pemuda perkasa dan tercukupi segala kebutuhannya.
Suatu ketika ia mendengar tentang dakwah Nabi SAW, dan hatinya tersiram hidayah untuk memeluk Islam. Karena merasa berhutang budi kepada pamannya yang telah membesarkan dan mendidiknya, ia meminta ijin untuk bisa mengikuti risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi pamannya menentang keras keinginannya tersebut. Hatinya yang telah terpikat keimanan, rasanya tidak ada yang bisa membuatnya berpaling walaupun digantikan dengan kekayaan seisi bumi, karena itu ia berkata, "Wahai paman, aku akan mengikuti Nabi Muhammad SAW dan memeluk agama yang disampaikannya, tidak masalah, engkau menolak atau mengijinkannya…!!"
"Baiklah kalau begitu..," Kata pamannya dengan marah, "Aku telah mengambil dan merawatmu ketika engkau masih telanjang, tanpa sepotong kainpun yang menutupimu. Kalau engkau masih kukuh dengan keinginanmu, silahkan keluar dari rumahku ini, seperti ketika engkau memasukinya, yakni dalam keadaan telanjang…!!"
Sungguh pilihan yang berat, bagaimana mungkin ia menghadap Nabi SAW untuk berba'iat memeluk Islam dalam keadaan telanjang? Tetapi haruskan ia berpaling dari cahaya kebenaran yang begitu benderang menerangi hatinya? Suara hatinya tidak mungkin dihindarinya lagi, ia melepas semua pakaiannya dan menanggalkan semua perhiasan atau aksesoris yang memang pemberian pamannya tersebut, kemudian keluar rumah dengan menutupi auratnya dengan kedua tangannya.
Sang ibu yang tinggal tak jauh dari tempatnya tersebut sangat terenyuh melihat keadaan anaknya, tetapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong kain lurik (Arab: Bujada) yang juga dipakainya untuk menutupi tubuhnya. Kalau kain tersebut diberikan kepada anaknya, tentulah ia dalam keadaan telanjang. Tetapi rasa sayangnya sebagai  seorang ibu memang tidak pernah luntur walau ia tidak bisa merawat dan membesarkannya, ia memotong kainnya tersebut menjadi dua, kemudian memanggil anaknya untuk memakai salah satu potongan tersebut untuk menutupi tubuhnya. Sembari demikian, ia merestuinya untuk mengikuti dan memeluk agama yang dibawa Rasulullah SAW.
Abdullah sangat berterima kasih kepada ibunya kemudian bergegas menemui Nabi SAW. Walau dengan "pakaian" yang sangat tidak pantas, tetapi Abdullah dengan gembira menghadap Nabi SAW dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Ia juga menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan lengkap, yang menyebabkan ia berba'iat dengan keadaan seperti itu. Sebaliknya, Nabi SAW dan para sahabat justru merasa kagum dengan tekad dan pengorbanannya tersebut, dan beliau menggelarinya dengan nama "Dzulbijadain", Sang pemilik kain lurik yang dipotong dua, sehingga ia dikenali dengan nama Abdullah Dzulbijadaian.
Ketika menyertai Nabi SAW dalam pasukan yang berangkat ke Tabuk, Abdullah Dzulbijadain menemui syahidnya. Tidak dalam suatu pertempuran, karena pasukan Romawi telah lari tunggang-langgang ketika beliau telah tiba di Tabuk, tetapi ia meninggal karena sakit yang dideritanya. Maut menjemputnya ketika tengah malam, dan Nabi SAW sendiri yang memakamkannya. Suatu peristiwa yang sangat "diirikan" oleh seorang sahabat besar ahli Qur'an, Abdullah bin Mas'ud, yang secara tidak sengaja memergoki proses pemakamannya. Bahkan kalau bisa, ia ingin menggantikan posisi Abdullah Dzulbijadain untuk dimakamkan saat itu. Inilah kisah yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud.
Suatu malam ketika sedang berada di Perang Tabuk, Abdullah bin Mas'ud terbangun dan ia melihat ada nyala api di pinggiran perkemahan. Ia berjalan ke perapian tersebut, dan ia melihat tiga orang bersahabat, Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sedang memakamkan jenazah Abdullah Dzulbijadain al Muzanni. Nabi SAW  berada di dalam kuburan, Abu Bakar dan Umar berada di atas. Ia mendengar beliau bersabda, "Ulurkanlah kepadaku lebih dekat…!!"
Nabi SAW menerima jenazah Abdullah tersebut dan meletakkan di liang lahat, kemudian beliau berdo'a, "Ya Allah, aku telah ridha padanya, maka ridhai pula ia olehMu..!!"
Melihat pemandangan tersebut, Ibnu Mas'ud berkata,  "Alangkah baiknya jika akulah pemilik liang kubur itu…."
Namun ternyata keinginannya tidak terpenuhi karena tiga orang mulia tersebut mendahuluinya menghadap Allah. 

Seorang Lelaki Kabilah Tanukhi, Utusan Hiraqla

Lelaki dari Kabilah Tanukhi, utusan kaisar Hiraqla ini mungkin memang bukan seorang sahabat Nabi SAW karena tidak ada riwayat resmi yang menjelaskan ia akhirnya memeluk Islam. Tetapi kisahnya dihadirkan di sini karena ia juga menjadi saksi kebenaran Kenabian Nabi Muhammad SAW dan Risalah Islam. Lelaki ini dirujuk sebagai utusan Hiraqla, oleh seorang Arab beragama Nashrani dari kabilah Tujib yang tinggal di Syam, karena kefasihannya dalam bahasa Arab dan kekuatan hafalannya.
Dengan membawa surat balasan Hiraqla untuk Nabi SAW, ia menemui beliau yang berada di Tabuk, dengan diantar Dihyah al Kalbi, sahabat yang ditugaskan menyampaikan surat dakwah kepada Hiraqla. Sesampainya di hadapan Nabi  SAW, ia menyerahkan surat tersebut. Ia memperhatikan dengan seksama segala apa yang terjadi dan akan diucapkan Rasullulah SAW, karena selain surat tersebut, Hiraqla meminta untuk memperhatikan tiga perkara, tentang surat ajakan Islam kepada Hiraqla, tentang waktu malam, dan tentang tanda kenabian.
Nabi SAW bertanya tentang asal kabilahnya. Ketika dijawab dari kabilah Tanukh, maka beliau bertanya lagi, "Apakah engkau masih memeluk agama al hanifiyyah, yaitu agama nenek moyang kalian, Ibrahim?"
Lelaki ini terkejut dengan pertanyaan Nabi SAW, tetapi secara diplomatis ia berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan dari suatu kaum, dan aku berada di atas agama kaum tersebut. Aku tidak akan meninggalkan agama itu hingga aku kembali kepada mereka."
Nabi SAW bersabda lagi, "Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allahlah yang  memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih tahu siapakah yang mendapat petunjuk. Wahai Saudara dari Tanukh, Sesungguhnya aku telah menulis surat kepada Najasyi, Raja Habasyah (bukan Najasyi yang telah masuk Islam dan telah wafat, dan Rasulullah shalat ghaib untuknya), tetapi ia telah menyobeknya sehingga Allah menyobek tubuhnya dan kerajaannya. Dan aku telah menulis surat kepada rajamu, dan ia tidak menyobeknya, maka rakyatnya akan merasa selalu segan kepadanya, selama masih ada kebaikan dalam kehidupannya."
Lelaki Tanukh ini berkata dalam hati, "Ini adalah hal pertama yang dipesankan oleh Hiraqla."
Ia mengambil  anak panah, dan menuliskan pesan tersebut di atas sarung pedangnya. Ia melihat Nabi SAW memberikan surat Hiraqla kepada seseorang di sebelahnya untuk membacakan isinya. Ketika ia bertanya tentang siapa pembaca surat itu, ia mendapat jawaban, "Muawiyah."
Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan membaca sampai pada suatu kalimat, "Engkau menyeruku kepada jannah yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, jika demikian dimana letaknya neraka?"
Atas pertanyaan dalam surat tersebut, Nabi SAW bersabda, "Maha Suci Allah, dimanakah perginya malam jika siang menjelma?"
Lelaki Tanukh ini berkata dalam hati, "Ini adalah hal kedua yang dipesankan oleh Hiraqla."
Seperti sebelumnya, ia menuliskan di sarung pedangnya dengan anak panah perkataan Nabi SAW tersebut. Setelah surat selesai dibacakan, Nabi SAW bersabda, "Engkau adalah seorang utusan, karena itu engkau mempunyai hak. Jika kami masih mempunyai barang, kami akan menghadiahkannya kepadamu, tetapi kami adalah musafir yang sedang kehabisan bekal."
Salah seorang sahabat yang hadir kemudian mengatakan kalau akan memberikan hadiah untuk lelaki Tanukh itu. Ia mengeluarkan perbekalannya, dan memberikan satu kain yang berasal dari Shafurriyyah, dan diletakkannya di atas  pangkuan lelaki Tanukh. Ketika ditanyakan tentang nama pemilik kain tersebut, seseorang mengatakan, "Utsman".
Nabi SAW bersabda lagi, "Siapakah yang bersedia memberikan tempat menginap bagi lelaki ini?"
Seorang pemuda dari kalangan Anshar menyanggupinya. Ketika Lelaki Tanukh tersebut berdiri untuk mengikuti pemuda Anshar, Rasulullah SAW memanggilnya kembali dan berkata, "Berdirilah kamu di belakangku sebagaimana kamu telah diperintahkan."
Kemudian Rasulullah SAW membuka sedikit pakaian beliau di bagian punggungnya, sehingga lelaki Tanukh itu bisa melihat tanda kenabian yang berada di tulang rawan pundak, yang bentuknya seperti bekas bekam. Seketika lelaki ini berkata dalam hati, "Ini adalah hal ketiga yang dipesankan oleh Hiraqla."
Seperti sebelumnya, ia menuliskan di sarung pedangnya dengan anak panah tentang apa yang dilihatnya. Lengkaplah sudah apa yang dipesankan Hiraqla bagi dirinya sebagai utusan, semua itu dijawab dan ditunjukkan Nabi SAW kepadanya tanpa ia menyampaikannya kepada Nabi SAW.

Hiraqla, Kaisar Romawi

Hiraqla, atau dalam kebanyakan literatur umum disebut sebagai Hiraklius, adalah Kaisar Romawi ketika Nabi SAW diutus mengemban risalah Islamiah. Kalaupun ia dicantumkan dalam kisah-kisah ini, bukan karena ia telah memeluk Islam dan bisa dikatakan sebagai sahabat Nabi SAW sebagaimana Raja Najasyi dari Habasyah, tetapi semata-mata karena pernyataannya yang sebenarnya membenarkan Nabi Muhammad SAW dan Islam, tetapi hidayah Allah tidak menyapanya sehingga ia tetap dalam agama lamanya, sebagaimana terjadi pada Abu Thalib, paman Nabi SAW.
Sahabat Dihyah al Kalbi RA diutus Nabi SAW untuk menemui Kaisar Romawi, Hiraqla dengan membawa surat beliau tentang ajakan untuk masuk Islam. Surat itu kemudian dibacakan di majelis Kaisar yang dihadiri pembesar-pembesar Romawi. Abu Sufyan yang saat itu sedang berada di Syam, salah satu wilayah yang dikuasai Romawi saat itu, juga dipanggil Hiraqla untuk hadir dalam majelis yang dibentuk dalam rangka menanggapi surat Nabi SAW.
Ketika surat Nabi mulai dibacakan, keponakan Kaisar sempat menyuruh menghentikan membaca surat itu karena di awal surat, nama Nabi SAW didahulukan daripada nama Kaisar, dan Hiraqla tidak disebut sebagai raja, tetapi hanya sebagai penguasa Romawi, tetapi Hiraqla tetap menginginkan agar surat tersebut terus dibaca sampai habis.
Setelah pembacaan selesai, sebagai besar pembesar Romawi menunjukkan reaksi tidak suka atas ajakan Nabi SAW untuk masuk Islam tsb. Hiraqla kemudian menghadapkan Abu Sufyan bin Harb untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang Nabi SAW. Ia tahu bahwa Abu Sufyan sedang bermusuhan dengan Nabi SAW, karena itu ia membariskan Abu Sufyan dan teman-temannya ke belakang. Lalu menempatkan seorang penerjemah di dekatnya, dan berkata kepadanya, "Katakanlah kepada Abu Sufyan bahwa aku akan menanyakan tentang Muhammad ini, dan katakanlah kepada teman-temannya, kalau ia (Abu Sufyan) mendustaiku, hendaknya mereka mengatakan kalau ia berdusta."
Tentu saja ucapan bernada ancaman ini membuat keder Abu Sufyan, walau sebenarnya ia sangat ingin mengatakan suatu kedustaan yang bisa merusakkan citra Nabi SAW. Hiraqla menanyakan beberapa hal, lalu Abu Sufyan memberikan penjelasan bahwa Muhammad itu adalah orang yang leluhurnya mempunyai kedudukan yang mulia di kalangan kaum Quraisy Makkah. Ia juga tidak pernah berdusta sejak masih kecil. Tidak pernah merusak janji, bahkan termasuk orang yang sangat terpercaya. Tidak ada leluhurnya yang pernah menjadi raja, dan tidak ada orang-orang sebelumnya yang mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkannya (karena semua itu memang wahyu dari Allah). Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari kalangan orang-orang yang lemah, dan tidak ada di antara pengikutnya yang kembali ke agama jahiliah karena tidak suka dengan agamanya. Pengikutnya makin hari makin bertambah banyak. Telah terjadi beberapa peperangan antara dirinya dan Muhammad, kadang menang dan kadang kalah, dan saat itu sedang melaksanakan perjanjian gencatan senjata (yakni, Perjanjian Hudaibiyah). Nabi Muhammad ini memerintahkan untuk hanya menyembah Allah Yang Esa dan tidak mempersekutukannya, meninggalkan agama yang diajarkan nenek moyang, mengerjakan shalat, berkata benar, menghindarkan diri dari larangan Allah dan mengerjakan perintahNya, serta melangsungkan atau menyambung silaturahmi.
Begitulah, Abu Sufyan menjelaskan panjang lebar tentang Nabi Muhammad SAW, sesuai pertanyaan yang diajukan oleh Hiraqla. Atas penjelasan Abu Sufyan tsb. kemudian Hiraqla berkata, "Memang para rasul-rasul itu berasal dari nasab keturunan yang mulia. Kalau tidak ada orang yang berbuat seperti itu sebelumnya, berarti ia (Muhammad SAW) tidak hanya mengaku dan meniru saja dalam pengakuan kenabiannya. Kalau tidak ada dari nenek moyangnya yang menjadi raja, artinya ia tidak hanya sekedar menuntut kembalinya kerajaan yang pernah dimiliki leluhurnya. Kalau ia tidak pernah berdusta sejak masih kecil, maka tidak mungkin ia berdusta kepada Allah sementara ia tidak pernah berdusta kepada manusia. Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari orang-orang yang lemah, begitulah keadaan rasul-rasul sebelumnya, dan pengikutnya yang makin bertambah dan tidak ada yang murtad kembali, itulah keadaan iman yang  sebenarnya, ia akan terus bertambah sampai agama tsb sempurna, dan iman akan semakin kukuh merasuk ke dalam hati. Apa yang ia perintahkan, seperti itu pula yang diperintahkan rasul-rasul sebelumnya..."
Sejenak Hiraqla berhenti berbicara, dan sepertinya ia tidak sadar bahwa semua apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pembenaran akan Kenabian dan Risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia berkata kepada Abu Sufyan, "Kalau benar yang kau katakan itu, maka ia pasti akan menguasai bumi yang kupijak ini (Kerajaan Romawi), Aku sebenarnya tahu akan datang seorang rasul seperti dia, hanya saja aku tidak menyangka ia berasal dari kalangan kalian. Jika saja aku tahu sebelumnya bahwa aku akan sampai kepada masanya, tentu aku akan bersusah payah untuk menemuinya. Dan jika telah ada di sisinya, maka aku akan membasuh kedua telapak kakinya."
Hiraqla menyatakan semua itu seolah-olah ia lupa bahwa ia adalah Kaisar dari kerajaan besar yang menguasai hampir separuh Asia dan Eropa. Tetapi jelas terlihat ada binar-binar di matanya yang menandakan kegembiraan hatinya. Sebagian besar pembesar Romawi mendengus tidak senang, bahkan terjadi kegaduhan. Sebagian dari mereka berkata, "Apakah engkau akan menyuruh kami meninggalkan agama Nashrani dan menjadi budak orang Arab dari tanah Hijaz ini?"
Mendengar ucapan yang bernada kritikan keras tersebut, barulah Hiraqla menyadari kembali kedudukannya. Ia melihat adanya perpecahan dan potensi ancaman terhadap kekuasaannya, karena itu ia berkata, "Aku berkata demikian karena aku ingin melihat keteguhan kalian atas agama kalian!"
Majelis itu dibubarkan, masing-masing pulang ke tempat tinggalnya, Hiraqla tercenung sendiri di singgasananya. Tetapi jelas masih tersisa cercah-cercah kebenaran yang menyentuh hatinya, hanya saja ia belum siap untuk kehilangan kekuasaannya sebagai Kaisar Romawi.
Pada dasarnya Hiraqla adalah seorang yang menggilai ilmu pengetahuan. Ia juga suka meramal dengan melihat peredaran bintang-bintang. Beberapa waktu sebelumnya, yakni sebelum ia menerima surat ajakan memeluk Islam dari Nabi SAW, ia melihat dalam ramalannya, bahwa kerajaan al Khitan telah muncul, yaitu kerajaan yang orang-orangnya semua berkhitan. Ketika ramalannya ini disampaikan kepada para pembesarnya, mereka berkata kalau yang berkhitan adalah orang-orang Yahudi, dan ia tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut, ia tinggal memerintahkan para amir di bawah kekuasaannya untuk membunuh semua orang Yahudi yang ada.
Ketika permasalahan itu sedang dibahas dengan hangatnya, datang utusan dari raja Ghassan dengan membawa berita tentang adanya seseorang yang mengaku sebagai Nabi dari tanah Hijaz. Segera saja Hiraqla memerintahkan seseorang utusan (mata-mata) untuk mencari informasi tentang Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, apakah mereka orang-orang yang berkhitan? Setelah beberapa hari berlalu, utusan tersebut mengabarkan kalau Rasulullah SAW dan orang-orang Arab pada umumnya memang berkhitan. Ia-pun menyimpulkan bahwa Nabi dari tanah Hijaz tersebut adalah memang Nabi akhir dan Raja umat zaman ini. Hiraqla mengirimkan surat pada sahabatnya di Rumiyyah yang sebanding keilmuannya dengan dirinya, dan ia juga setuju dengan kesimpulan Hiraqla.
Dengan adanya surat Nabi SAW ini dan juga penjelasan Abu Sufyan, makin lengkaplah apa yang disimpulkannya, hanya saja para pembesarnya tidak sependapat dengan dirinya. Hiraqla memerintahkan untuk memanggil Dihyah dan juga menjemput Uskup yang biasa menjadi rujukan dalam urusan agama mereka. Uskup ini bernama Ibnu Nathur, ia juga penguasa kota Iliya sekaligus sahabat Hiraqla. Ketika uskup diberitahu tentang surat Nabi SAW tersebut dan tentang apa yang diserunya, Sang Uskup membacakan beberapa ayat-ayat injil, dan akhirnya ia berkata, "Ia adalah Rasul yang kita tunggu-tunggu dan Isa bin Maryam memberikan kabar gembira kepada kita tentang dirinya. Aku membenarkan dan mengikutinya."
Mendengar penjelasan ini, Hiraqla hanya tercenung. Jiwanya terguncang karena terjadi pertempuran hebat di dalam hatinya. Ketika uskup mengajak untuk mengikutinya memeluk Islam, ia belum bersedia karena takut akan kehilangan kekuasaannya.
Hiraqla memanggil seorang Arab beragama Nashrani dari kabilah Tujib, ia diminta untuk mencari seseorang yang fasih berbahasa arab dan mampu menghafal kisah dengan tepat dan lengkap. Didatangkanlah seorang lelaki dari kabilah Tanukhi, yang kemudian ditugaskan untuk menyampaikan surat balasan Hiraqla bagi Nabi SAW. Hiraqla berkata kepadanya, "Pergilah kamu kepada lelaki itu dengan membawa suratku ini. Dari semua yang kau lihat dan dengar, hafalkanlah darinya tiga perkara : Perhatikanlah, apakah ia mengingat tentang surat yang ia tulis padaku? Perhatikanlah, setelah membaca suratku, apakah ia menyebut tentang waktu malam? Perhatikanlah, pada punggungnya, apakah terdapat tanda kenabian yang kamu saksikan (sebagaimana tercantum dalam injil)?"
Lelaki dari kabilah Tanukhi ini berangkat bersama Dihyah al Kalbi menemui Rasulullah SAW di Tabuk. Ia melaksanakan dan mengingat dengan baik sebagaimana diperintahkan Hiraqla, dan melaporkannya kembali apa yang dialaminya ketika menghadap Nabi SAW. Hiraqla makin yakin akan kebenaran Islam dengan berita dari orang Tanukhi ini, tetapi ia belum siap juga untuk mengikuti Nabi SAW, karena ia akan kehilangan kekuasaannya sebagai Kaisar Romawi. Apalagi uskup dan penguasa Iliya yang juga sahabatnya, Ibnu Nathur, ketika menyatakan keislamannya, dibunuh beramai-ramai oleh masyarakat yang selama ini mendengarkan dan mematuhi nasehat-nasehatnya.

Nawwas bin Sim'an RA

Suatu pagi Nawwas bin Sim'an dan beberapa sahabat lainnya berkumpul di sekitar Nabi SAW, tidak jauh dari kebun kurma. Beliau bercerita tentang Dajjal, terkadang beliau merendahkan (melirihkan) suara beliau dan terkadang mengeraskannya, seolah tidak ingin sampai terdengar oleh orang lain atau Dajjal yang sedang dibicarakan. Akibat suasana dramatis yang muncul karena irama suara beliau, Nawwas dan beberapa sahabat lain berlari menyebar ke kebun kurma mencari-cari seseorang.
Melihat sikap para sahabatnya ini, beliau memanggil mereka dan bersabda, "Apa yang kalian lakukan??"
"Wahai Rasulullah," Kata Nawwas, mewakili beberapa sahabat lainnya, "Tadi engkau menceritakan tentang Dajjal, dalam menceritakannnya, engkau melirihkan dan mengeraskan suara engkau sehingga kami mengira Dajjal tersebut berada di tengah-tengah kebun kurma…!!"
Nabi SAW tersenyum mendengar kesimpulan mereka ini, lalu bersabda, "Selain Dajjal, ada yang lebih aku khawatirkan… Jika Dajjal muncul dan aku ada di tengah-tengah kalian, cukuplah aku saja yang melawannya tanpa kalian. Tetapi jika dia muncul sedang aku sudah tidak ada di antara kalian, maka masing-masing orang harus mempertahankan dirinya sendiri. Allah sebagai gantiku dalam melindungi setiap muslim..!!"
Kemudian Nabi SAW menjelaskan lagi,  "Dajjal tersebut adalah seorang pemuda berambut keriting, matanya agak menonjol keluar. Kalau boleh aku mengumpamakannya, dia seperti Abdul Uzza bin Qathan. Barang siapa di antara kalian yang menjumpainya, maka hendaklah membacakan permulaan surat al Kahfi kepadanya. Dajjal keluar di antara Syam (Saat itu meliputi wilayah Syiria/Suriah, Lebanon, Palestina dan sekitarnya) dan Irak, kemudian ia membuat onar ke kiri dan ke kanan…Wahai hamba Allah, teguhkanlah pendirian kalian..!!"
Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, berapa lama ia di permukaan bumi??"
"Empatpuluh hari, sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti seminggu, dan sehari seperti seperti hari-hari kalian!!" Kata Nabi SAW.
"Wahai Nabiyyallah," Kata seorang sahabat lainnya, "Pada hari yang seperti setahun, apakah kita cukup mengerjakan shalat seperti satu hari biasa saja?"
"Tidak, kira-kirakan saja!!"
"Wahai Rasulullah, bagaimana kecepatannya (yakni Dajjal) di permukaan bumi!!" Tanya salah satu sahabat.
"Seperti awan yang didorong angin!!" Kata Nabi SAW.
Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa Dajjal tersebut mendatangi suatu kaum dan ia mengajak mereka untuk mengikutinya. Kaum ini mempercayainya dan mengikuti apa yang diperintahkannya, maka Dajjal  menyuruh langit untuk menurunkan hujan, maka turunlah hujan. Ia menyuruh tanah menumbuhkan tanam-tanaman maka tumbuhlah tanam-tanaman, sehingga kembalilah para penggembala dengan ternak yang segar bugar, gemuk dan penuh dengan air susu.
Dajjal mendatangi suatu kaum yang lain dan mengajak mereka untuk mengikutinya, tetapi mereka menolaknya. Dajjal meninggalkan kaum tersebut, dan segera saja keadaan mereka menjadi sangat menyedihkan, harta benda dan makanan persediaan kaum tersebut langsung menghilang begitu saja.
Dajjal melewati suatu daerah kosong dan ia berkata, "Keluarkanlah simpananmu!!"
Maka simpanan kekayaan yang ada di tempat tersebut muncul secara ajaib dan mengiringi Dajjal, seperti seekor raja lebah yang diiringi pasukan lebah. Ia memanggil seorang pemuda dan dipenggal, lalu tubuhnya dipotong menjadi dua. Dua bagian tersebut dilempar ke arah yang berlawanan, lalu Dajjal memanggilnya kembali. Pemuda  tersebut tiba-tiba datang dengan wajah berseri dan tertawa gembira.
Dalam keadaan seperti itu, dimana Dajjal makin memuncak kesombongannya dan mengaku sebagai Tuhan karena berbagai keajaiban yang bisa dilakukannya, Allah mengutus Al Masih, Isa ibnu Maryam. Ia turun di menara putih di sebelah timur Damaskus, dengan meletakkan tangannya di sayap dua malaikat. Bila beliau menundukkan kepalanya, meneteslah airmatanya, dan bila mengangkat kepalanya, akan mengalir butiran seperti mutiara. Tidak seorang kafirpun yang membaui nafas beliau, kecuali dia akan meninggal. Kemudian Nabi Isa AS mencari Dajjal dan menemukannya di Bab Lud (sebuah tempat di Palestina) dan beliau membunuhnya.
Itulah sebagian dari fitnah Dajjal yang diceritakan Nabi SAW kepada Nawwas bin Sim'an dan beberapa sahabat lainnya. Pada riwayat lain, Nabi SAW menceritakan kepada sahabat Hudzaifah bin Yaman, "Sesungguhnya Dajjal itu akan membawa air dan api. Adapun yang terlihat air oleh manusia, maka sebenarnya itu adalah api yang membakar. Sedang yang terlihat sebagai api dalam pandangan manusia maka sebenarnya adalah air yang dingin dan segar. Barang siapa yang di antara kamu sekalian berjumpa dengan Dajjal, hendaknya ia memilih pada apa yang terlihat sebagai api, karena sesungguhnya ia adalah air yang segar dan baik.!"
Pada riwayat lainnya, Nabi SAW menjelaskan bahwa Dajjal datang pada seseorang dan berkata, "Bagaimana kalau aku membangkitkan ayah dan ibumu (yang telah meninggal), apakah engkau mau bersaksi bahwa aku adalah Tuhanmu?"
Orang tersebut menyetujuinya, dan Dajjal memanggil nama-nama mereka, maka dua setan yang menyerupakan dirinya dengan kedua orang tuanya datang dan berkata, "Wahai anakku, ikutilah dia, sesungguhnya dia itu tuhanmu..!!"
Nabi SAW juga mengingatkan kita akan bahaya fitnah Dajjal dengan sabda beliau, "Sungguh nanti akan ada Dajjal, dimana orang-orang akan berkata : Kami mengetahui bahwa Dajjal itu dusta, akan tetapi kami bersahabat dengannya agar kami mendapatkan makanan dan dapat menggembalakan ternak dari pohon-pohonan (yang dimunculkannya). Maka, ketika itu murka Allah datang dan kemurkaan itu menimpa mereka semua..!"
Sahabat Mughirah bin Syu'bah sering menanyakan masalah Dajjal kepada Nabi SAW, sehingga beliau bertanya, "Sebenarnya apa yang engkau khawatirkan!!"
"Ya Rasulullah!!" Kata Mughirah, "Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa Dajjal tersebut memiliki bukit roti dan sungai air…!!"
Maksudnya adalah Dajjal memiliki persediaan makanan dan minuman yang sangat berlimpah, sehingga sangat mungkin bagi kebanyakan orang akan terjatuh dalam fitnah dan tipuannya. Tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, "Yang demikian itu sangat remeh bagi Allah Ta'ala…!!"
Pada riwayat lainnya lagi, Nabi SAW menjelaskan bahwa Dajjal tersebut buta sebelah matanya, dan di antara kedua matanya terlihat huruf kaf, fa. dan ra (k,f,r=kafir) yang setiap orang mukmin dan muslim yang saleh akan bisa melihat dan membacanya walau sebelumnya ia buta huruf. Dajjal akan muncul dengan membawa sesuatu semacam surga dan neraka, sesuatu yang dikatakan Dajjal sebagai surga sebenarnya adalah neraka.
Masih cukup banyak versi-versi lainnya tentang fitnah Dajjal tersebut, tetapi kita cukupkan saja disini, semoga Allah SWT tidak mempertemukan kita dengan Dajjal, dan melindungi kita dari fitnah-fitnahnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung….!! Amin!!

Zanirah RA, budak Umar bin Khaththab

Zanirah telah memeluk Islam ketika tuannya, Umar bin Khaththab masih kafir. Ia termasuk dalam kelompok yang mula-mula memeluk Islam (as sabiqunal awwalin), yakni dari kalangan hamba sahaya. Tak pelak lagi ia mengalami banyak penyiksaan, dengan tujuan untuk mengembalikannya kepada agama jahiliah.
Suatu ketika Umar memukul matanya hingga Zanirah menjadi buta. Orang-orang kafir Quraisy berkata kalau yang membutakan mata Zanirah itu adalah Lata dan Uzza, berhala sesembahan mereka. Mendengar kabar tersebut, Zanirah langsung berkata, "Demi Allah tidak, Latta dan Uzza bahkan tidak mengenal orang-orang yang menyembahnya, sedangkan Tuhanku bisa menyembuhkan mataku ini."
Setelah berkata seperti itu, seketika itu pula Zanirah menjadi sembuh dan bisa melihat lagi. Zanirah sangat gembira dan ‘membanggakan’ pilihan mengikuti ajaran Nabi SAW, tetapi orang-orang kafir Quraisy hanya menganggapnya sebagai sihir yang dilakukan oleh Nabi SAW.
Pernah suatu ketika Umar memukulinya berkali-kali. Ia berdiri dengan sempoyongan karena kesakitan yang dirasakan di sekujur tubuhnya. Bisa dibayangkan, bagaimana tubuh seorang wanita yang lemah dipukuli oleh seorang jagoan gulat yang menjadi jawara di Pasar Ukadz seperti Umar. Namun Umar yang masih kafir tersebut justru berkata kepada Zanirah, "Aku tidak akan membiarkanmu hingga terus-menerus sempoyongan…!!"
Lalu ia memukulinya lagi hingga Zanirah terjatuh. Akhirnya Zanirah dibeli oleh Abu Bakar dan dibebaskan, sebagaimana budak-budak lainnya yang mengalami penyiksaan dari tuannya karena pilihannya memeluk Islam.
Itulah sebagian gambaran dari beratnya mereka mempertahankan keislaman pada masa-masa awal, terutama dari kalangan kaum lemah, wanita dan hamba sahaya. Pantaslah kalau mereka termasuk dalam kelompok as sabiqunal awwalin yang mendapat jaminan keselamatan di akhirat kelak.

Ummu Aiman RA

Ummu Aiman adalah wanita yang sangat dekat dengan kehidupan Nabi SAW. Sejak masa kanak-kanak ia telah bersama beliau, yakni menjadi pembantu rumah tangga ibunya, Aminah binti Wahb. Ketika Aminah meninggal di Abwa setelah berziarah ke makam suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib (Ayahanda Nabi SAW) di Yatsrib (yang di masa Islam berganti nama menjadi Madinah), Ummu Aiman-lah yang setia menemani dan menghibur beliau, yang ketika itu baru berusia 6 tahun, hingga sampai di Makkah. Kemudian ia mengantar dan menyerahkan beliau kepada sang kakek, Abdul Muthalib.
Ummu Aiman memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Ia dinikahkan Nabi SAW dengan Zaid bin Haritsah, sahabat kesayangan, yang juga pernah menjadi anak angkat beliau. Nabi SAW memang pernah bersabda, bahwa barang siapa yang ingin menikah dengan seorang wanita ahli surga, hendaklah menikahi Ummu Aiman. Zaid segera saja menyambut ‘tawaran’ Nabi SAW tersebut, walau sebenarnya ia wanita yang umurnya lebih tua dari dirinya dan berkulit hitam. Dari pernikahannya ini, ia mempunyai seorang putra yang diberi nama Usamah bin Zaid, yang juga menjadi sahabat kesayangan beliau.
Beberapa hari setelah Nabi SAW wafat, Abu Bakar yang telah menjadi khalifah berkata kepada Umar, "Marilah kita berkunjung ke tempat Ummu Aiman, sebagaimana Rasulullah SAW dahulu sering berkunjung ke sana..!!"
Umar menyetujui ajakan Abu Bakar, dan mereka berdua melangkah ke rumah Ummu Aiman. Setibanya di  sana, mereka berdua mendapati Ummu Aiman sedang menangis. Mereka berkata, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukankah engkau tahu bahwa apa yang disediakan Allah untuk Rasulullah SAW sangat baik?"
Ummu Aiman berkata, "Sesungguhnya saya menangis bukan karena itu, saya tahu bahwa yang disediakan Allah untuk Rasulullah SAW sangat baik, tetapi saya menangis karena wahyu dari Allah telah telah terputus…!!"
Mendengar penjelasan tersebut, Abu Bakar dan Umar ikut menangis juga.
Ketika khalifah Umar bin Khaththab syahid terbunuh, Ummu Aiman menangis sambil berkata, “Hari ini Islam menjadi lemah!!”
Mungkin ia pernah mendengar sabda Nabi SAW bahwa Umar adalah ‘gembok’ dari fitnah umat Islam, sehingga setelah kematiannya kaum muslimin mulai dilanda fitnah yang terjadi di antara sesamanya. Walau secara kuantitas (jumlah) dan realitas (tampak nyata), kaum muslimin makin kuat dan makin luas wilayah kekuasaannya, tetapi secara kualitas sedikit demi sedikit makin menurun, dan mulai terjadi pertentangan di antara sesama kaum muslimin sendiri.
Tidak lama setelah itu, yakni duapuluh hari kemudian setelah kematian Umar, Ummu Aiman menyusul pulang ke hadirat dan rammat Ilahi dalam keadaan tenang. Seolah ia tidak ingin terlibat, atau bahkan sekedar melihat fitnah yang telah terjadi di antara kaum muslimin, yang mungkin akan membuatnya menangis tiada hentinya.          

Khuzaimah bin Tsabit al Anshari RA

Khuzaimah bin Tsabit adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Rasulullah SAW memberikan kemuliaan kepadanya dengan menjadikan persaksiannya setara dengan persaksian dua orang. Artinya, jika umumnya kaum muslimin dalam menguatkan hujjah dan alasannya dalam sesuatu hal harus mendatangkan dua orang saksi, baru dianggap sah. Maka, jika yang menjadi saksi tersebut adalah Khuzaimah bin Tsabit, cukuplah dia sendirian saja telah menguatkan atau mengesahkannya. Tentu semua itu tidak terlepas dari kualitas keimanan dan ketakwaannya dalam pandangan Nabi SAW, khususnya dalam suatu peristiwa yang melibatkan dirinya bersama beliau.
Suatu ketika Nabi SAW membeli seekor kuda dari seorang Badui (pedesaan Arab) bernama Sawwa' bin Qais al Muharibi. Setelah terjadi kesepakatan harga, Nabi SAW mengajak Sawwa' ke rumah beliau untuk mengambil uang pembayarannya. Seperti diketahui, beliau kalau berjalan cukup cepat, seperti sedang berjalan di jalan menurun walau jalannya datar, sedangkan lelaki Badui tersebut berjalan lambat sambil menuntun kudanya sehingga mereka berdua terpisah cukup jauh.
Dalam perjalanan terpisah tersebut, beberapa orang mendatangi dan mengerumuni Sawwa' untuk menawar kuda yang dibawanya. Tentulah mereka tidak tahu bahwa kuda tersebut telah dibeli Nabi SAW dengan harga yang disepakati bersama, Sawwa' sendiri tidak memberitahukan hal itu kepada mereka. Di antara para penawar tersebut ada yang memberikan penawaran yang lebih tinggi daripada harga yang disepakatinya bersama Rasulullah SAW.
Tak lama kemudian Nabi SAW mendatangi Sawwa' sambil memberikan harga kuda yang disepakati, tetapi ternyata Sawwa' berkata, "Kalau engkau ingin membeli kuda ini, bayarlah dengan harga sekian…(harga penawaran yang lebih tinggi dari yang disepakatinya dengan Nabi SAW), jika tidak, aku akan menjualnya kepada orang lain..!!"
Rasulullah SAW menatap Sawwa' dengan heran dan bersabda, "Bukankah aku telah membeli kudamu dengan harga sekian..(harga yang disepakati sebelumnya)!!"
"Belum, demi Allah belum!!" Kata Sawwa' lagi.
"Sungguh, aku telah membelinya darimu..!!" Kata Nabi SAW, bertahan dengan pendapat beliau.
Tetapi Sawwa' tetap bertahan dengan pendapatnya. Ketika makin banyak orang yang berkerumun, yang tentunya sebagian besar dari mereka adalah para sahabat beliau, Sawwa' berkata "Baiklah, tunjukkan saksinya bahwa engkau telah membeli kuda ini dariku!!"
Mendengar perkataan Sawwa' ini, salah seorang sahabat yang hadir spontan berkata, "Celakalah engkau, Rasulullah SAW tidak mungkin berkata kecuali perkataan yang benar..!!"
Namun ucapan sang sahabat tersebut tidak mempengaruhi pendapat Sawwa'. Tidak ada penjelasan, apakah saat itu Sawwa’ telah memeluk Islam atau tetap dalam agama jahiliahnya. Ia tetap saja berkata, "Datangkanlah seorang saksi yang melihat bahwa saya telah menjualnya kepadamu..!!"
Dalam keadaan seperti itu Khuzaimah bin Tsabit datang. Setelah mendapat penjelasan dari salah seorang sahabat tentang apa yang terjadi, tiba-tiba saja ia berkata dengan tegas, "Saya menjadi saksi bahwa engkau telah menjual kuda tersebut kepada Rasulullah SAW..!!"
Nabi SAW menatapnya dengan heran karena saat beliau telah menyepakati harga itu dengan Sawwa’, tidak ada seorangpun yang menyaksikannya, termasuk Khuzaimah. Sementara Sawwa' seolah tercekam dengan perkataan Khuzaimah yang tegas berwibawa. Ia tidak berani berdalih lagi kemudian menyerahkan kuda kepada Nabi SAW dengan harga yang disepakati sebelumnya.
Setelah Sawwa' berlalu, Nabi SAW yang tentunya tidak ingin kalau sahabatnya itu berbohong, bersabda kepada Khuzaimah, "Dengan apa engkau memberi kesaksian??"
"Wahai Rasulullah SAW," Kata Khuzaimah, "Saya telah membenarkan dan meyakini tentang berita dari langit yang engkau sampaikan kepada kami, maka tidakkah (selayaknya) saya mempercayai dan membenarkan apa yang engkau katakan?"
Nabi SAW tersenyum mendengar jawaban diplomatis Khuzaimah, kemudian beliau menetapkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh Khuzaimah bin Tsabit adalah setara dengan kesaksian dua orang muslim yang benar.
Sekilas terlihat, bahwa apa yang disampaikan Khuzaimah adalah "kebohongan" dan Nabi SAW seolah membenarkan sikapnya tersebut, tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Mungkin benar bahwa Khuzaimah tidak melihat dengan mata kepalanya, tetapi sesungguhnya "mata keyakinan"-nya melihat lebih gamblang daripada mata lahiriahnya. Dan sebenarnyalah cukup banyak juga sahabat lainnya yang seperti itu, tetapi tidak cukup banyak yang "berani" menampilkannya seperti Khuzaimah.
Dengan berkembanganya ilmu pengetahuan sekarang ini, ternyatalah "pandangan" mata lahiriah lebih banyak tertipu, dan lebih unggul lagi "pandangan" akal pikiran. Misalnya saja, mata melihat bahwa matahari itu berjalan mengelilingi bumi dan ukurannya lebih kecil dari bumi. Kalau kita "mempercayai" informasi dari mata begitu saja, kita akan tertipu karena "pandangan" akal pikiran kita menjelaskan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, dan ternyata matahari jauh lebih besar daripada bumi kita ini.
Banyak lagi contoh-contoh dari alam semesta ini yang menjelaskan tertipunya pandangan mata lahiriah. Dan sesungguhnyalah "pandangan" mata keyakinan seperti yang disampaikan Khuzaimah sangat jauh lebih unggul daripada pandangan mata lahiriah, pandangan akal pikiran, bahkan pandangan terawang alam ghaib sekalipun. Sayangnya kebanyakan di antara kita yang hidup di zaman akhir ini, lebih banyak mengabaikan ‘mata keyakinan’, yang sesungguhnya bisa membahayakan "masa-depan" kita di akhirat. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan inayah dan maghfirah-Nya atas kelemahan kita tersebut, amin!!

Tamim ad Daari RA

Tamin bin Aus ad Daari, nama kunyahnya Abu Ruqayyah, tetapi lebih dikenal dengan nama Tamim ad Daari, adalah seorang pendeta dan ahli ibadah yang terkenal dalam agama Nashrani, ia tinggal di Palestina. Sebenarnya ia telah mendengar tentang diutusnya Nabi SAW sebagai Rasul Terakhir sebagaimana diramalkan dalam Taurat dan Injil, tetapi ia belum tergerak untuk memeluk agama Islam, sampai ia mengalami suatu peristiwa aneh dan menarik, sekaligus menakutkan yang membawanya untuk memperoleh hidayah dan memeluk Islam.
Ketika dalam suatu perjalanan mengarungi lautan di sekitar laut Yaman atau sekitar laut Syam, kapalnya mengalami kerusakan sehingga ia terombang-ambing tanpa arah yang pasti. Tidak tanggung-tanggung, selama sebulan penuh ia dipermainkan ombak, beserta sekitar tigapuluh orang penumpang dan awak kapal, yang kebanyakan dari mereka berpenyakit kulit dan lepra. Tiba-tiba mereka terdampar di sebuah pulau di arah matahari terbenam, suatu pulau yang mereka semua tidak tahu pasti dimana tempat kedudukannya.
Mereka menepi dengan sebuah sampan kecil dan memasuki pulau tersebut. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya binatang yang berbulu sangat tebal, sehingga tidak diketahui mana bagian kepalanya dan mana bagian ekornya. Tamim sempat berkata kepada binatang tersebut, tentunya tanpa mengharapkan jawaban apa-apa, terlontar begitu saja karena rasa terkejut, "Apakah kamu ini?"
Tetapi sungguh mengejutkan, ternyata binatang tersebut memberikan jawaban, "Saya adalah al Jassasah..!!"
"Apakah al Jassasah itu?" Tanya Tamim.
Binatang tersebut mengabaikan pertanyaan mereka dan justru berkata, "Wahai kaum, pergilah kalian kepada orang yang berada di dalam biara di sana, karena sesungguhnya ia sangat merindukan berita dari kalian…!!"
Tak jauh dari pantai tersebut memang tampak sebuah bangunan yang menempel pada dinding gunung, yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai gua daripada biara. Mendengar penuturan tersebut, mereka segera berlalu menjauhi binatang aneh yang menakutkan tersebut. Mereka berfikir, binatang tersebut adalah syaitan atau penjelmaan syaitan.
Mereka bergegas memasuki gua, tetapi sekali lagi mereka mendapati pemandangan mengejutkan. Seorang lelaki tinggi besar dan sangat tegap tubuhnya tampak terbelenggu pada dinding gua. Kedua tangannya terikat dengan rantai besar ke kuduknya. Antara kedua lutut dan dua mata kakinya terdapat rantai besar yang membelenggunya sehingga ia tidak mungkin keluar dari gua tersebut. Tamim dan teman-temannya bertanya, "Siapakah engkau ini??"
Seperti halnya binatang yang mengaku bernama Jassasah tadi, lelaki tinggi besar tersebut tidak mau membuka hakikat dirinya. Tetapi ia berkata, "Kalian telah mengetahui keadaanku seperti ini, karena itu beritahukanlah kepadaku, siapakah kalian ini?"
"Kami adalah orang-orang dari Arab…" Kata Tamim ad Daari.
Kemudian Tamim menceritakan keadaan mereka sejak terkatung-katung di lautan, sampai akhirnya terdampar di pantai, bertemu binatang yang mengaku bernama al Jassasah, dan menyuruhnya untuk menemui seorang  lelaki di dalam biara atau gua tersebut. Tamim menutup ceritanya dengan berkata, "Kami bergegas meninggalkan dia (al Jassasah) dan menemui engkau karena kami merasa tidak aman, jangan-jangan dia itu syaitan..!!"
Lelaki tersebut tidak banyak menanggapi cerita Tamim, ia justru berkata, "Beritahukanlah kepadaku tentang desa Nakhl Baisan!"
Nakhl Baisan adalah sebuah negeri yang terkenal di dekat Syam lama, dan termasuk dalam wilayah Palestina. Tamim berkata, "Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Tentang kurmanya, apa berbuah?"
"Ya, masih berbuah!!" Kata Tamim.
"Ketahuilah, sesungguhnya tidak lama lagi kurma-kurma tersebut akan tidak berbuah lagi..!!" Kata lelaki tersebut.
Sesaat kemudian lelaki tersebut berkata, "Beritahukanlah kepadaku tentang danau ath Thabariyah..!!"
Danau ath Thabariyah adalah sebuah danau besar yang terletak sekitar 150 km dari Baitul Makdis. Lebarnya sekitar 10 km dan panjangnya sekitar 15 km, airnya tawar manis dan cukup banyak ikannya sehingga menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitarnya. Danau ini cukup dalam dan dapat dilayari kapal, tetapi makin hari airnya makin berkurang. Tamin bertanya kepada lelaki tersebut, "Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Apakah masih ada airnya?"
"Ya, airnya banyak sekali!!"
"Ketahuilah, bahwa airnya akan berangsur berkurang dan akhirnya akan habis..!!" Kata lelaki tersebut.
Kemudian ia bertanya lagi, "Beritahukanlah kepadaku tentang mata air azh Zughar!!"
"Tentang apanya yang ingin engkau ketahui?"
"Apakah sumbernya memancarkan air yang bisa digunakan penduduknya untuk menyiram tananamnya?"
"Benar," Kata Tamim, "Airnya sangat banyak dan penduduk sekitarnya menggunakannya untuk bercocok tanam."
Lelaki tersebut bertanya lagi, "Beritahukanlah kepadaku tentang Nabi yang ummi, apa yang dilakukannya..!!"
Walaupun Tamim dan orang-orang yang bersamanya belum memeluk Islam, tetapi kabar tentang Nabi SAW memang telah menyebar luas, bahkan dakwah Islam juga telah sampai di Syam dan Palestina. Ia menjawab, "Beliau telah berhijrah, meninggalkan kota Makkah pindah ke Yatsrib!!"
"Apakah orang-orang Arab memeranginya?" Tanya lelaki tersebut.
"Ya!!"
"Apakah yang dilakukannya atas mereka?"
"Beliau telah menundukkan orang-orang Arab terdekatnya, sehingga mereka mengikuti dan mematuhinya!!"
"Benarkah seperti itu?" Tanya lelaki itu.
"Benar..!!" Kata Tamim.
"Ketahuilah…" Kata lelaki itu, "Bahwasanya lebih baik bagi mereka untuk mematuhi dan mengikutinya…!!"
Setelah rangkaian panjang pembicaraan tersebut, barulah lelaki tersebut membuka jati dirinya, ia berkata, "Aku akan memberitahukan tentang diriku pada kalian. Aku adalah al Masih dan aku hampir diizinkan untuk keluar (dari tempat ini). Jika aku keluar, aku akan berjalan di muka bumi, aku tidak melewati suatu kampung/negeri kecuali aku akan tinggal di sana selama empatpuluh malam, kecuali kota Makkah dan Thayyibah. Kedua kota tersebut diharamkan atasku. Setiap aku akan memasuki kota tersebut, aku dihadang oleh para malaikat yang membawa pedang, mereka mengancam akan memenggal kepalaku. Setiap celah jalan di kedua kota tersebut dijaga dengan ketat oleh para malaikat…!!"
Tamim dan teman-temannya terperangah kaget dengan pengakuan lelaki tersebut sebagai al Masih. Bagi  Tamim ad Daari yang seorang pendeta dan cukup menguasai injil, nama al Masih tentulah tidak asing. Hanya ada dua al Masih, yakni al Masih Isa ibnu Maryam dan al Masih ad Dajjal. Setiap Nabi dan Rasul selalu mengingatkan umatnya akan bahaya dan fitnah terbesar dari al Masih ad Dajjal ini, termasuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Bahkan beliau mengajarkan suatu doa perlindungan, yang disunnahkan dibaca pada sujud terakhir atau setelah takhiyat akhir sebelum mengucap salam dari setiap shalat fardhu yang kita lakukan, yaitu sbb. : "Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabil qabri, wamin 'adzaabin naar, wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin fitnatil masiikhad dajjaal."
Artinya adalah : "Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari siksa api neraka, dan dari fitnahnya kehidupan dan kematian, serta dari fitnahnya al masiih ad dajjal."
Dalam pemikiran Tamim, kalau al Masih Isa ibnu Maryam telah wafat di tiang salib, begitu menurut kepercayaannya sebagai seorang Nashrani saat itu, tentulah lelaki tinggi besar dan kekar di depannya ini adalah al Masih  ad Dajjal, yang akan menjadi fitnah terbesar di akhir zaman, begitu kesimpulan yang diambil oleh Tamim ad Daari.  Karena itu segera saja ia mengajak teman-temannya untuk meninggalkan pulau tersebut. Walau dalam keadaan terbelenggu saat itu, ia khawatir sang Dajjal tersebut akan menimbulkan bahaya bagi diri dan teman-temannya.
Setelah keluar dari pulau tersebut dan kembali mengarungi lautan lepas, perahu yang ditumpanginya mendapat pertolongan dari perahu lain dan akhirnya bisa pulang ke tempat asalnya di Palestina.
Tamim merenungi segala peristiwa yang dialaminya, khususnya pertemuan dengan seorang lelaki yang mengaku sebagai al Masih ad Dajjal di dalam gua di suatu pulau terpencil di tengah samudra, yang ia belum tentu bisa menemukan pulau itu lagi. Satu "nasehat" dari Sang Dajjal yang cukup melekat di benaknya, yakni : "Ketahuilah, bahwasanya lebih baik bagi mereka untuk mematuhi dan mengikutinya…!!"
Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti "nasehat" tersebut. Ia menyiapkan tunggangan dan perbekalan secukupnya kemudian memacunya mengarungi samudra pasir menuju Madinah. Setelah beberapa hari berjalan, ia sampai di Madinah dan segera menemui Nabi SAW untuk berba'iat memeluk Islam. Ia juga menceritakan semua pengalamannya ketika terombang-ambing di lautan, sampai kemudian bertemu dengan Dajjal, yang akhirnya membawanya kepada hidayah untuk memeluk Islam tersebut.
Keesokan harinya, setelah shalat shubuh, Nabi SAW berdiri di mimbar, sambil tersenyum beliau bersabda, "Hendaknya setiap orang tetap tinggal di tempat shalatnya. Tahukah kalian, kenapa aku mengumpulkan kalian saat ini?"
"Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui…!!" Kata para sahabat.
Beliau bersabda lagi, "Sesungguhnya aku, demi Allah, mengumpulkan kalian bukan karena ada pengharapan atau ketakutan, tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad Daari, yang dahulunya seorang Nashrani datang kepadaku untuk berba'iat memeluk Islam. Ia menceritakan kepadaku, seperti yang pernah aku sampaikan kepada kalian tentang  Dajjal…"
Nabi SAW kemudian menceritakan pengalaman Tamim ad Daari sejak terombang-ambing di lautan selama  satu bulan sampai akhirnya terdampar di suatu pulau yang dihuni oleh al Masih ad Dajjal. Beliau menceritakannya secara mendetail seperti ketika Tamim menceritakannya kepada beliau.  Setelah sampai pada perkataan Dajjal tentang dua kota, Makkah dan Thayyibah, beliau memukulkan tongkat beliau pada mimbar dan bersabda, "Inilah Thayyibah, inilah Thayyibah, inilah Thayyibah, yakni kota Madinah ini. Bukankah aku telah memberitahukan hal ini kepada kalian?"
"Benar, ya Rasulullah..!!" Kata para sahabat.
Kemudian beliau bersabda lagi, "Sungguh cerita Tamim ini sesuai benar dengan apa yang telah aku sampaikan kepada kalian (tentang Dajjal), dan juga tentang kota Makkah dan Madinah. Ketahuilah, Dajjal ini berada di laut Syam atau di laut Yaman…"
Sesaat terdiam, kemudian beliau bersabda lagi, "Oh, tidak!! Tetapi dia akan datang dari arah timur…dari arah timur…dari arah timur…!!" Sambil bersabda tersebut, tangan beliau menunjuk ke arah timur, arah yang jauh di timur.
Peristiwa tersebut seolah menjadi kelebihan bagi Tamim ad Daari. Walaupun ia termasuk sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa akhir sehingga hampir tidak pernah terjun dalam medan jihad bersama Rasulullah  SAW, (sebagian riwayat menyebutkan, ia memeluk Islam pada tahun 9 hijriah) tetapi peristiwa yang dialaminya tersebut seolah menjadi hujjah dan bukti kebenaran dari apa yang disampaikan Nabi SAW tentang Dajjal.

Fathimah binti Qais RA

Fathimah binti Qais adalah salah seorang sahabiah yang memeluk Islam pada masa-masa awal, bersama suaminya Ibnu Mughirah, seorang pemuda terpandang dari kalangan Quraisy. Ia adalah saudara dari Adh Dhahak  bin Qais, salah seorang sahabat Nabi SAW juga, dan termasuk dalam kelompok muhajirah angkatan pertama. Sebagian riwayat menyebutkan, ia merupakan salah satu wanita tercantik di jazirah Arabia saat itu.
Beberapa waktu berselang, suaminya, Ibnu Mughirah gugur sebagai syahid dalam salah satu pertempuran bersama Rasulullah SAW. Sebagai seorang janda yang sangat cantik, banyak sekali orang yang ingin melamarnya menjadi istri, termasuk Abdurahman bin Auf dan Rasulullah SAW, tetapi untuk sahabat kesayangan beliau, Usamah bin Zaid. Maka Fathimah memilih untuk menerima pinangan Rasulullah SAW untuk Usamah, yang sebenarnya secara penampilan fisik, sangat tidak sepadan dengan dirinya. Alasan Fathimah sangat sederhana, ia mendengar Nabi SAW pernah bersabda, "Barang siapa yang mencintai aku, hendaklah ia mencintai Usamah..!!"
Sebagian riwayat lain menyebutkan, setelah menjadi janda, Fathimah binti Qais sangat ingin diperistri oleh Nabi SAW, untuk lebih  menyempurnakan kecintaannya kepada beliau. Karena itu, setelah masa iddahnya selesai, ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, urusanku berada di tangan engkau, nikahkanlah saya dengan siapa saja yang engkau kehendaki….!!"
Tentu saja dengan ucapannya yang ‘bersayap’ tersebut, ia bermaksud agar beliau sendiri yang mengambilnya sebagai istri. Atas ucapannya ini, beliau bersabda, "Pindahlah engkau ke rumah Ummu Syarik..!!"
Ummu Syarik yang dimaksud adalah seorang sahabiah Anshar kaya raya yang banyak berinfak di jalan Allah, bukan Ummu Syarik Ghazyah binti Jabir, seorang sahabiah dari kalangan kaum Quraisy yang masih tinggal di Makkah. Fathimah berkata, "Baiklah, Rasulullah, saya akan melakukan itu..!!"
Tetapi beberapa saat kemudian Nabi SAW bersabda lagi, "Janganlah engkau lakukan! Sesungguhnya Ummu Syarik itu seorang wanita yang sering didatangi oleh tamu-tamu, dan aku tidak suka kerudung (jilbab)mu terlepas atau pakaianmu terbuka dan terlihat betismu, lalu dilihat oleh kaum itu apa yang tidak engkau sukai mereka melihatnya. Pindahlah kamu ke rumah anak pamanmu, Abdullah bin Amr bin Ummi Maktum…!!"
Fathimah dan Abdullah bin Amr sama-sama berasal dari Bani Fahr, yakni Bani Fihr Quraisy, sehingga ia bisa lebih nyaman dan aman bersama mereka. Setelah beberapa waktu berlalu, dan tidak ada perintah (wahyu) kepada Nabi SAW untuk menikahi Fathimah binti Qais, maka beliau menikahkannya dengan Usamah bin Zaid, kesayangan putra dari kesayangan Rasulullah SAW.
Para orientalis dan sejarawan dunia yang tidak suka kepada Islam, sering menuduh Nabi SAW sebagai seseorang yang mempunyai "perilaku seksual" menyimpang karena menikah sampai sebelas kali, dan hidup bersama dengan sembilan istri sampai beliau meninggal. Sungguh tuduhan yang tidak berdasar dan sangat tendensius, karena rasa tidak suka semata. Menurut sebagian ulama, peristiwa dengan Fathimah binti Qais ini membuktikan ketidak benaran tuduhan tersebut. Kalau memang benar seperti itu, tentulah beliau akan menikahi Fathimah binti Qais karena ia merupakan salah satu wanita tercantik di jazirah Arabia saat itu, apalagi ia telah menyerahkan urusannya kepada beliau. Tidaklah beliau mengatakan atau melakukan sesuatu kecuali karena telah ada wahyu atau bimbingan wahyu kepada beliau.
Pada kondisi yang lain, Nabi SAW "dipaksa" oleh wahyu untuk menikahi Zainab binti Jahsy walau secara etika dan adat bangsa Arab saat itu sangat bertentangan. Zainab binti Jahsy adalah janda (karena perceraian) dari Zaid bin Haritsah, yang pernah dijadikan anak angkat oleh Nabi SAW, sampai turun wahyu yang melarang budaya dan tradisi mengambil dan menjadikan "anak angkat" seperti halnya anak kandung, yang saat itu umum terjadi di masyarakat Arab.
Wallahu a'lam bissawab.

Julaibib al Anshari RA

            Julaibib adalah seorang sahabat Anshar yang sangat dicintai Nabi SAW walau ia tidak diketahui nasabnya dengan jelas, keadaannya-pun fakir dan wajahnya juga buruk. Tentu saja kecintaan beliau kepadanya ini adalah karena kualitas keimanan dan ketakwaannya, juga karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian ia belum menikah karena kebanyakan orang enggan mengambilnya sebagai menantu karena keadaan lahiriahnya tersebut. 
Para sahabat Anshar mempunyai kebiasaan, jika memiliki anak perempuan atau anggota keluarga perempuan yang belum menikah, baik gadis atau janda, mereka akan "menunjukkannya" kepada Rasulullah SAW. Jika beliau telah mengetahui dan tidak memintanya atau memintanya untuk orang lain yang dikehendaki beliau, barulah mereka menikahkannya dengan orang lain yang dikehendakinya. Bahkan tak jarang para wanita tersebut, atau melalui walinya,  "menyodorkan" diri untuk dinikahi beliau, atau orang lain yang dipilih oleh beliau. Sungguh kecintaan para sahabat Anshar kepada Nabi SAW sangat luar biasa.
Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan salah seorang sahabat Anshar dan bersabda, "Aku melamar putrimu!!"
"Baik, ya Rasulullah," Kata sahabat tersebut, "Ini suatu kehormatan besar dan sangat membanggakan!!"
"Tetapi aku tidak menginginkannya untuk diriku sendiri!!" Kata Nabi SAW.
"Untuk siapa ya, Rasulullah?" Kata sahabat tersebut.
"Untuk Julaibib...!!"
Sahabat tersebut tampak terkejut, tetapi kemudian berkata, "Kalau begitu saya akan bermusyawarah dahulu dengan ibunya!!"
Nabi SAW mengijinkannya, kemudian sahabat tersebut berlalu pulang. Sampai di rumah, ia berkata kepada  istrinya, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melamar putrimu!!"
"Baik, sungguh ini sangat menyenangkan!!" Kata istrinya dengan gembira.
"Beliau tidak melamar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Julaibib!!"
Seketika kegembiraan di wajah istrinya menghilang, dan berkata, "Untuk Julaibib?? Tidak, demi Allah kita tidak akan mengawinkannya dengan Julaibib!!"
Tampaknya kehebohan yang terjadi antara kedua orang tuanya menyebabkan sang gadis menghampiri mereka dan meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Sang ibu menjelaskan permintaan Nabi SAW dan sikap yang diambilnya, maka si gadis berkata, "Apakah kalian akan menolak urusan Rasulullah SAW? Pertemukanlah (nikahkanlah) aku dengan dia, sungguh dia tidak akan menyia-nyiakan aku!!"
Tentu tidak ada pertimbangan lain dari sang gadis kecuali ketaatan dan kecintaan kepada Nabi SAW. Ia meyakini, di balik semua kekurangan yang ada pada Julaibib yang memang sudah diketahui banyak orang, tentu ia memiliki banyak kelebihan lainnya yang membuatnya mendapat kedudukan yang baik di sisi Rasulullah SAW.
Sahabat Anshar tersebut kembali kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, engkau lebih berhak berurusan dengan anak gadisku!!"
Nabi SAW memanggil Julaibib dan menikahkannya dengan putri sahabat Anshar tersebut.
Julaibib hampir tidak pernah absen dalam medan pertempuran bersama Rasulullah SAW. Suatu ketika setelah berakhirnya suatu pertempuran, Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, "Apakah kalian tidak kehilangan seseorang?"
"Tidak, ya Rasulullah!!" Kata mereka.
"Tetapi aku kehilangan Julaibib," Kata Nabi SAW, "Carilah dia!!"
Mereka menyebar, dan akhirnya salah seorang sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, inilah dia orangnya, ia tertutup di antara tujuh orang musuh yang dibunuhnya, dan ia juga terbunuh oleh mereka!"
Nabi SAW mendatangi tempat Julaibib tewas. Beliau memangku jenazahnya dan menyuruh beberapa sahabat menggali lobang untuk kuburnya. Sambil bercucuran air mata, beliau bersabda, "Dia ini bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya…"
Setelah lubang kuburnya siap, beliau mengangkat sendiri jenazahnya dan membaringkannya di dalam kubur. Tidak ada tikar atau kain lainnya untuk menutup jenazahnya, sehingga langsung dikuburkan begitu saja. Tetapi semua itu tidak berarti mengurangi kemuliaan dan ketinggian derajadnya di sisi Allah dan Rasul-Nya, bahkan meningkatkannya karena tangan Nabi SAW sendiri yang memakamkannya.

Ibnu al Lutbiyyah RA

            Ibnu al Lutbiyyah, seorang sahabat dari Suku Azdi yang ditugaskan Nabi SAW untuk memungut dan mengumpulkan zakat dan shadaqah dari kaumnya dan beberapa kabilah di sekitarnya. Dengan sikap dan penjelasan yang ramah dan menyenangkan akan kewajiban atas harta ini, ia mampu menggerakkan hati para wajib zakat untuk menyerahkan kewajiban mereka dengan sukarela. Tak jarang dari mereka yang memberikan tambahan dari apa yang telah dihitung dan ditentukan oleh Ibnu al Lutbiyyah, tentunya sebagai hadiah dan tanda terima kasih atas bantuannya. 
Setelah mendatangi semua orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW untuk diambil zakatnya, ia kembali ke Madinah dan menghadap Nabi SAW. Sambil meletakkan harta yang dikumpulkannya, Ibnu al Lutbiyyah berkata, "Wahai Rasulullah SAW, ini untuk tuan (dari kewajiban zakat mereka),"
Kemudian sambil menunjuk pada bagian yang terpisah, ia berkata lagi "Dan ini hadiah untuk saya (yang diberikan mereka)…!!"
Nabi SAW menatap heran kepada Ibnu al Lutbiyyah tanpa berkata apa-apa, kemudian beliau berdiri di atas mimbar. Para sahabat segera saja berkumpul dan mengalihkan perhatian kepada beliau. Setelah beberapa lama memuji dan menyanjung Allah SWT, beliau bersabda, "…, kemudian setelah itu, sesungguhnya aku telah menugaskan salah seorang di antara kalian, untuk suatu tugas yang diberikan Allah kepadaku. Kemudian ia datang dan berkata : Ini buat tuan, dan ini hadiah untuk saya…! Mengapakah ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya sehingga datang hadiah itu kepadanya, jika memang benar seperti itu…."
Beliau berhenti beberapa saat sambil memandang berkeliling, kemudian bersabda lagi, "Demi Allah, seseorang di antara kamu sekalian yang mengambil sesuatu yang (dikira haknya, padahal) bukan haknya, niscaya pada hari kiamat nanti ia akan menghadap Allah dengan memikul sesuatu itu. Karena itu aku tidak ingin melihat seseorang di antara kalian datang menghadap Allah sambil memikul unta, lembu atau kambing…"
Ibnu al Lutbiyyah menyadari, apa yang disampaikan Rasulullah SAW tersebut ditujukan untuk dirinya, tetapi sepertinya beliau ingin menjadikan moment tersebut untuk sekaligus memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabat lainnya. Segera saja ia mengumpulkan atau menyatukan bagian terpisah dari sedekah atau zakat yang dikiranya adalah hadiah untuk dirinya pribadi.
Tampak Nabi SAW mengangkat kedua tangan beliau hingga terlihat putih kedua ketiak beliau, dan berkata, "Wahai Allah, bukankah saya telah menyampaikan!!"
Setelah beliau turun dari mimbar, Ibnu al Lutbiyyah segera mendekat dan meminta maaf atas apa yang dilakukannya. Beliau menerimanya dan mendoakannya untuk kebaikan.

'Aidz bin Amr RA

'Aidz bin Amr, seorang sahabat Nabi SAW yang berusia panjang hingga mengalami masa-masa fitnah di masa Muawiyah atau mungkin juga masa putranya, Yazid bin Muawiyah. Ia tinggal di Kufah di masa tuanya. Yang menjadi gubernur di Kufah adalah Ubaidillah bin Ziyad, ia yang mengirimkan pasukan sebanyak 4.000 orang untuk menghadang rombongan Husein bin Ali RA, cucu kesayangan Rasulullah SAW yang hanya berjumlah 72 orang dan berakhir dengan tragedi Karbala. Tentu, semua itu adalah skenario dari Yazid bin Muawiyah yang saat itu menjadi khalifah.
Suatu ketika 'Aidz bin Amr mendatangi istana Ubaidillah dan berkata kepada sang gubernur, "Wahai anakku, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemimpin adalah pemimpin yang kejam. Karena itu janganlah kamu termasuk golongan mereka!"
Tidak ada penjelasan, 'Aidz bin Amr ini mendatangi Ibnu Ziyad sebelum atau setelah peristiwa Karbala. Ubaidillah bin Ziyad memang terkenal sebagai pemimpin yang kejam. Atas "nasehat" ini, Ibnu Ziyad berkata, "Duduklah, sesungguhnya engkau hanyalah sahabat Muhammad SAW yang terbuang-buang!!"
"Apakah ada sahabat-sahabat beliau yang terbuang?" Kata 'Aidz, "Sesungguhnya yang terbuang adalah mereka yang hidup sesudah para sahabat dan orang-orang yang tidak termasuk kelompok sahabat beliau!!"
Tentu bukan maksud 'Aidz "mengecilkan" mereka yang bukan sahabat beliau, bahkan yang meriwayatkan peristiwa ini, Hasan al Bashry, bukanlah seorang sahabat, tetapi dia banyak mengambil manfaat dan belajar serta mencintai para sahabat Nabi SAW, termasuk menjadi "murid" dari Ali bin Abi Thalib, Sang Babul Ilmu. Maksud ucapannya tersebut adalah orang-orang seperti Ubaidillah bin Ziyad itulah yang sesungguhnya orang-orang terbuang, hidup bersama para sahabat tetapi sama sekali tidak masuk dalam kelompok mereka, bahkan melakukan kekejaman dan pembunuhan terhadap sebagian dari mereka.
Semoga kita bisa mengambil manfaat dari kehidupan para sahabat, mencintai mereka sehingga termasuk dalam kelompok mereka, dan akhirnya memperoleh syafaat Nabi SAW sebagaimana beliau memberi syafaat kepada mereka, Amin amin ya Robbal 'Alamin!!

Wanita Berkulit Hitam Ahli Surga

Abdullah bin Abbas, saudara sepupu Nabi SAW sekaligus seorang sahabat ahli ilmu agama dan ahli tafsir Al Qur'an karena pernah didoakan beliau, suatu ketika berkata kepada "muridnya", seorang tabi'in bernama Atha' bin Abi Rabah, "Maukah aku tunjukkan padamu salah seorang wanita ahli Surga?"
"Ya, saya mau!!" Kata Atha'.
"Itulah dia orangnya!" Kata Ibnu Abbas, sambil menunjuk seorang wanita berkulit hitam yang baru melintas.
Kemudian Ibnu Abbas menceritakan bahwa wanita berkulit hitam tersebut pernah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya mempunyai seorang ayah yang sudah tua (yang saya harus merawatnya) dan saya  mempunyai penyakit ayan. Sesungguhnya pernah terbuka aurat saya karena penyakit saya tersebut, karena itu saya mohon engkau doakan kepada Allah agar penyakit saya sembuh!!"
Suatu permintaan yang wajar, karena ia mempunyai kewajiban atas ayahnya dan kemadharatan karena penyakitnya tersebut. Tetapi mendengar permintaan wanita tersebut, beliau hanya tersenyum, lalu bersabda, "Bila kamu mau bersabar atas semua itu, kamu (pasti) akan mendapatkan surga. Tetapi jika engkau tetap meminta, aku akan mendoakan kepada Allah agar Dia menyembuhkan penyakitmu itu!!"
Tanpa berfikir panjang, wanita berkulit hitam itu berkata, "Saya akan bersabar, ya Rasulullah!!"
Sesaat kemudian ia berkata lagi, "Wahai Rasulullah, terkadang aurat saya terbuka (ketika penyakit tersebut menyerang), karena itu doakanlah agar aurat saya tidak pernah terbuka lagi!!"
Kali ini Nabi SAW memenuhi permintaan wanita tersebut, karena merupakan sesuatu yang memang diperintahkan agama untuk menjaga aurat jangan sampai terbuka.
Wanita tersebut tetap menjalankan kewajibannya merawat ayahnya dengan menanggung penyakit ayan, yang sewaktu-waktu menyerangnya (kambuh), namun kali ini auratnya tidak lagi pernah terbuka ketika ia hilang kesadaran. Ia tetap menjalaninya dengan sabar sesuai janjinya kepada Nabi SAW. Karena itulah ketika melihatnya lagi, Abdullah bin Abbas berani menyatakan wanita berkulit hitam tersebut sebagai seorang "Ahli Surga" sebagaimana dijanjikan Nabi SAW.