Hiraqla, atau dalam kebanyakan
literatur umum disebut sebagai Hiraklius, adalah Kaisar Romawi ketika Nabi SAW
diutus mengemban risalah Islamiah. Kalaupun ia dicantumkan dalam kisah-kisah
ini, bukan karena ia telah memeluk Islam dan bisa dikatakan sebagai sahabat
Nabi SAW sebagaimana Raja Najasyi dari Habasyah, tetapi semata-mata karena
pernyataannya yang sebenarnya membenarkan Nabi Muhammad SAW dan Islam, tetapi
hidayah Allah tidak menyapanya sehingga ia tetap dalam agama lamanya,
sebagaimana terjadi pada Abu Thalib, paman Nabi SAW.
Sahabat Dihyah al Kalbi RA diutus
Nabi SAW untuk menemui Kaisar Romawi, Hiraqla dengan membawa surat beliau tentang ajakan untuk masuk
Islam. Surat
itu kemudian dibacakan di majelis Kaisar yang dihadiri pembesar-pembesar
Romawi. Abu Sufyan yang saat itu sedang berada di Syam, salah satu wilayah yang
dikuasai Romawi saat itu, juga dipanggil Hiraqla untuk hadir dalam majelis yang
dibentuk dalam rangka menanggapi surat
Nabi SAW.
Ketika surat Nabi mulai dibacakan,
keponakan Kaisar sempat menyuruh menghentikan membaca surat itu karena di awal
surat, nama Nabi SAW didahulukan daripada nama Kaisar, dan Hiraqla tidak
disebut sebagai raja, tetapi hanya sebagai penguasa Romawi, tetapi Hiraqla
tetap menginginkan agar surat tersebut terus dibaca sampai habis.
Setelah pembacaan selesai, sebagai
besar pembesar Romawi menunjukkan reaksi tidak suka atas ajakan Nabi SAW untuk
masuk Islam tsb. Hiraqla kemudian menghadapkan Abu Sufyan bin Harb untuk
memperoleh informasi lebih lanjut tentang Nabi SAW. Ia tahu bahwa Abu Sufyan
sedang bermusuhan dengan Nabi SAW, karena itu ia membariskan Abu Sufyan dan
teman-temannya ke belakang. Lalu menempatkan seorang penerjemah di dekatnya,
dan berkata kepadanya, "Katakanlah kepada Abu Sufyan bahwa aku akan
menanyakan tentang Muhammad ini, dan katakanlah kepada teman-temannya, kalau ia
(Abu Sufyan) mendustaiku, hendaknya mereka mengatakan kalau ia berdusta."
Tentu saja ucapan bernada ancaman
ini membuat keder Abu Sufyan, walau sebenarnya ia sangat ingin mengatakan suatu
kedustaan yang bisa merusakkan citra Nabi SAW. Hiraqla menanyakan beberapa hal,
lalu Abu Sufyan memberikan penjelasan bahwa Muhammad itu adalah orang yang
leluhurnya mempunyai kedudukan yang mulia di kalangan kaum Quraisy Makkah. Ia
juga tidak pernah berdusta sejak masih kecil. Tidak pernah merusak janji,
bahkan termasuk orang yang sangat terpercaya. Tidak ada leluhurnya yang pernah
menjadi raja, dan tidak ada orang-orang sebelumnya yang mengucapkan kata-kata
seperti yang diucapkannya (karena semua itu memang wahyu dari Allah).
Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari kalangan orang-orang yang lemah, dan tidak
ada di antara pengikutnya yang kembali ke agama jahiliah karena tidak suka
dengan agamanya. Pengikutnya makin hari makin bertambah banyak. Telah terjadi
beberapa peperangan antara dirinya dan Muhammad, kadang menang dan kadang
kalah, dan saat itu sedang melaksanakan perjanjian gencatan senjata (yakni, Perjanjian
Hudaibiyah). Nabi Muhammad ini memerintahkan untuk hanya menyembah Allah Yang
Esa dan tidak mempersekutukannya, meninggalkan agama yang diajarkan nenek
moyang, mengerjakan shalat, berkata benar, menghindarkan diri dari larangan
Allah dan mengerjakan perintahNya, serta melangsungkan atau menyambung
silaturahmi.
Begitulah, Abu Sufyan menjelaskan
panjang lebar tentang Nabi Muhammad SAW, sesuai pertanyaan yang diajukan oleh
Hiraqla. Atas penjelasan Abu Sufyan tsb. kemudian Hiraqla berkata, "Memang
para rasul-rasul itu berasal dari nasab keturunan yang mulia. Kalau tidak ada
orang yang berbuat seperti itu sebelumnya, berarti ia (Muhammad SAW) tidak
hanya mengaku dan meniru saja dalam pengakuan kenabiannya. Kalau tidak ada dari
nenek moyangnya yang menjadi raja, artinya ia tidak hanya sekedar menuntut
kembalinya kerajaan yang pernah dimiliki leluhurnya. Kalau ia tidak pernah
berdusta sejak masih kecil, maka tidak mungkin ia berdusta kepada Allah
sementara ia tidak pernah berdusta kepada manusia. Pengikut-pengikutnya
kebanyakan dari orang-orang yang lemah, begitulah keadaan rasul-rasul
sebelumnya, dan pengikutnya yang makin bertambah dan tidak ada yang murtad
kembali, itulah keadaan iman yang
sebenarnya, ia akan terus bertambah sampai agama tsb sempurna, dan iman
akan semakin kukuh merasuk ke dalam hati. Apa yang ia perintahkan, seperti itu
pula yang diperintahkan rasul-rasul sebelumnya..."
Sejenak Hiraqla berhenti berbicara,
dan sepertinya ia tidak sadar bahwa semua apa yang dikatakannya itu adalah
sebuah pembenaran akan Kenabian dan Risalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia
berkata kepada Abu Sufyan, "Kalau benar yang kau katakan itu, maka ia
pasti akan menguasai bumi yang kupijak ini (Kerajaan Romawi), Aku sebenarnya tahu
akan datang seorang rasul seperti dia, hanya saja aku tidak menyangka ia
berasal dari kalangan kalian. Jika saja aku tahu sebelumnya bahwa aku akan
sampai kepada masanya, tentu aku akan bersusah payah untuk menemuinya. Dan jika
telah ada di sisinya, maka aku akan membasuh kedua telapak kakinya."
Hiraqla menyatakan semua itu
seolah-olah ia lupa bahwa ia adalah Kaisar dari kerajaan besar yang menguasai
hampir separuh Asia dan Eropa. Tetapi jelas
terlihat ada binar-binar di matanya yang menandakan kegembiraan hatinya.
Sebagian besar pembesar Romawi mendengus tidak senang, bahkan terjadi
kegaduhan. Sebagian dari mereka berkata, "Apakah engkau akan menyuruh kami
meninggalkan agama Nashrani dan menjadi budak orang Arab dari tanah Hijaz
ini?"
Mendengar ucapan yang bernada
kritikan keras tersebut, barulah Hiraqla menyadari kembali kedudukannya. Ia
melihat adanya perpecahan dan potensi ancaman terhadap kekuasaannya, karena itu
ia berkata, "Aku berkata demikian karena aku ingin melihat keteguhan
kalian atas agama kalian!"
Majelis itu dibubarkan,
masing-masing pulang ke tempat tinggalnya, Hiraqla tercenung sendiri di
singgasananya. Tetapi jelas masih tersisa cercah-cercah kebenaran yang
menyentuh hatinya, hanya saja ia belum siap untuk kehilangan kekuasaannya
sebagai Kaisar Romawi.
Pada dasarnya Hiraqla adalah
seorang yang menggilai ilmu pengetahuan. Ia juga suka meramal dengan melihat
peredaran bintang-bintang. Beberapa waktu sebelumnya, yakni sebelum ia menerima
surat ajakan memeluk Islam dari Nabi SAW, ia melihat dalam ramalannya, bahwa
kerajaan al Khitan telah muncul, yaitu kerajaan yang orang-orangnya semua
berkhitan. Ketika ramalannya ini disampaikan kepada para pembesarnya, mereka
berkata kalau yang berkhitan adalah orang-orang Yahudi, dan ia tidak perlu
mengkhawatirkan hal tersebut, ia tinggal memerintahkan para amir di bawah
kekuasaannya untuk membunuh semua orang Yahudi yang ada.
Ketika permasalahan itu sedang
dibahas dengan hangatnya, datang utusan dari raja Ghassan dengan membawa berita
tentang adanya seseorang yang mengaku sebagai Nabi dari tanah Hijaz. Segera
saja Hiraqla memerintahkan seseorang utusan (mata-mata) untuk mencari informasi
tentang Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, apakah mereka orang-orang yang
berkhitan? Setelah beberapa hari berlalu, utusan tersebut mengabarkan kalau
Rasulullah SAW dan orang-orang Arab pada umumnya memang berkhitan. Ia-pun
menyimpulkan bahwa Nabi dari tanah Hijaz tersebut adalah memang Nabi akhir dan
Raja umat zaman ini. Hiraqla mengirimkan surat
pada sahabatnya di Rumiyyah yang sebanding keilmuannya dengan dirinya, dan ia
juga setuju dengan kesimpulan Hiraqla.
Dengan adanya surat Nabi SAW ini dan juga penjelasan Abu
Sufyan, makin lengkaplah apa yang disimpulkannya, hanya saja para pembesarnya
tidak sependapat dengan dirinya. Hiraqla memerintahkan untuk memanggil Dihyah
dan juga menjemput Uskup yang biasa menjadi rujukan dalam urusan agama mereka.
Uskup ini bernama Ibnu Nathur , ia
juga penguasa kota
Iliya sekaligus sahabat Hiraqla. Ketika uskup diberitahu tentang surat Nabi SAW tersebut
dan tentang apa yang diserunya, Sang Uskup membacakan beberapa ayat-ayat injil,
dan akhirnya ia berkata, "Ia adalah Rasul yang kita tunggu-tunggu dan Isa
bin Maryam memberikan kabar gembira kepada kita tentang dirinya. Aku
membenarkan dan mengikutinya."
Mendengar penjelasan ini, Hiraqla
hanya tercenung. Jiwanya terguncang karena terjadi pertempuran hebat di dalam
hatinya. Ketika uskup mengajak untuk mengikutinya memeluk Islam, ia belum
bersedia karena takut akan kehilangan kekuasaannya.
Hiraqla memanggil seorang Arab
beragama Nashrani dari kabilah Tujib, ia diminta untuk mencari seseorang yang
fasih berbahasa arab dan mampu menghafal kisah dengan tepat dan lengkap.
Didatangkanlah seorang lelaki dari kabilah Tanukhi, yang kemudian ditugaskan
untuk menyampaikan surat
balasan Hiraqla bagi Nabi SAW. Hiraqla berkata kepadanya, "Pergilah kamu
kepada lelaki itu dengan membawa suratku ini. Dari semua yang kau lihat dan
dengar, hafalkanlah darinya tiga perkara : Perhatikanlah, apakah ia mengingat
tentang surat
yang ia tulis padaku? Perhatikanlah, setelah membaca suratku, apakah ia
menyebut tentang waktu malam? Perhatikanlah, pada punggungnya, apakah terdapat
tanda kenabian yang kamu saksikan (sebagaimana tercantum dalam injil)?"
Lelaki dari kabilah Tanukhi ini
berangkat bersama Dihyah al Kalbi menemui Rasulullah SAW di Tabuk. Ia
melaksanakan dan mengingat dengan baik sebagaimana diperintahkan Hiraqla, dan
melaporkannya kembali apa yang dialaminya ketika menghadap Nabi SAW. Hiraqla
makin yakin akan kebenaran Islam dengan berita dari orang Tanukhi ini, tetapi
ia belum siap juga untuk mengikuti Nabi SAW, karena ia akan kehilangan
kekuasaannya sebagai Kaisar Romawi. Apalagi uskup dan penguasa Iliya yang juga
sahabatnya, Ibnu Nathur, ketika menyatakan keislamannya, dibunuh beramai-ramai
oleh masyarakat yang selama ini mendengarkan dan mematuhi nasehat-nasehatnya.
LA HAula WA La Quwwata ILla Billah,,
BalasHapusinnallaha yahdi man yasa' wa yudhillu man yasa'