Abdullah Dzulbijadain al Muzanni,
ia telah menjadi yatim ketika masih seorang bayi. Karena ibunya seorang yang
tidak mampu untuk membiayai kehidupannya, ia diasuh oleh salah seorang saudara
ayahnya. Pamannya ini membiayai dan mendidiknya hingga menjadi seorang pemuda
perkasa dan tercukupi segala kebutuhannya.
Suatu ketika ia mendengar tentang
dakwah Nabi SAW, dan hatinya tersiram hidayah untuk memeluk Islam. Karena
merasa berhutang budi kepada pamannya yang telah membesarkan dan mendidiknya,
ia meminta ijin untuk bisa mengikuti risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, tetapi pamannya menentang keras keinginannya tersebut. Hatinya yang telah
terpikat keimanan, rasanya tidak ada yang bisa membuatnya berpaling walaupun
digantikan dengan kekayaan seisi bumi, karena itu ia berkata, "Wahai
paman, aku akan mengikuti Nabi Muhammad SAW dan memeluk agama yang
disampaikannya, tidak masalah, engkau menolak atau mengijinkannya…!!"
"Baiklah kalau begitu..,"
Kata pamannya dengan marah, "Aku telah mengambil dan merawatmu ketika
engkau masih telanjang, tanpa sepotong kainpun yang menutupimu. Kalau engkau
masih kukuh dengan keinginanmu, silahkan keluar dari rumahku ini, seperti
ketika engkau memasukinya, yakni dalam keadaan telanjang…!!"
Sungguh pilihan yang berat,
bagaimana mungkin ia menghadap Nabi SAW untuk berba'iat memeluk Islam dalam
keadaan telanjang? Tetapi haruskan ia berpaling dari cahaya kebenaran yang
begitu benderang menerangi hatinya? Suara hatinya tidak mungkin dihindarinya
lagi, ia melepas semua pakaiannya dan menanggalkan semua perhiasan atau
aksesoris yang memang pemberian pamannya tersebut, kemudian keluar rumah dengan
menutupi auratnya dengan kedua tangannya.
Sang ibu yang tinggal tak jauh dari
tempatnya tersebut sangat terenyuh melihat keadaan anaknya, tetapi ia tidak
memiliki apa-apa kecuali sepotong kain lurik (Arab: Bujada) yang juga
dipakainya untuk menutupi tubuhnya. Kalau kain tersebut diberikan kepada
anaknya, tentulah ia dalam keadaan telanjang. Tetapi rasa sayangnya
sebagai seorang ibu memang tidak pernah
luntur walau ia tidak bisa merawat dan membesarkannya, ia memotong kainnya
tersebut menjadi dua, kemudian memanggil anaknya untuk memakai salah satu
potongan tersebut untuk menutupi tubuhnya. Sembari demikian, ia merestuinya
untuk mengikuti dan memeluk agama yang dibawa Rasulullah SAW.
Abdullah sangat berterima kasih
kepada ibunya kemudian bergegas menemui Nabi SAW. Walau dengan
"pakaian" yang sangat tidak pantas, tetapi Abdullah dengan gembira
menghadap Nabi SAW dan menyatakan dirinya memeluk Islam. Ia juga menceritakan
peristiwa yang dialaminya dengan lengkap, yang menyebabkan ia berba'iat dengan
keadaan seperti itu. Sebaliknya, Nabi SAW dan para sahabat justru merasa kagum
dengan tekad dan pengorbanannya tersebut, dan beliau menggelarinya dengan nama
"Dzulbijadain", Sang pemilik kain lurik yang dipotong dua, sehingga
ia dikenali dengan nama Abdullah Dzulbijadaian.
Ketika menyertai Nabi SAW dalam
pasukan yang berangkat ke Tabuk, Abdullah Dzulbijadain menemui syahidnya. Tidak
dalam suatu pertempuran, karena pasukan Romawi telah lari tunggang-langgang
ketika beliau telah tiba di Tabuk, tetapi ia meninggal karena sakit yang
dideritanya. Maut menjemputnya ketika tengah malam, dan Nabi SAW sendiri yang
memakamkannya. Suatu peristiwa yang sangat "diirikan" oleh seorang
sahabat besar ahli Qur'an, Abdullah bin Mas'ud, yang secara tidak sengaja
memergoki proses pemakamannya. Bahkan kalau bisa, ia ingin menggantikan posisi
Abdullah Dzulbijadain untuk dimakamkan saat itu. Inilah kisah yang diriwayatkan
Ibnu Mas’ud.
Suatu malam ketika sedang berada di
Perang Tabuk, Abdullah bin Mas'ud terbangun dan ia melihat ada nyala api di
pinggiran perkemahan. Ia berjalan ke perapian tersebut, dan ia melihat tiga
orang bersahabat, Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sedang memakamkan
jenazah Abdullah Dzulbijadain al Muzanni. Nabi SAW berada di dalam kuburan, Abu Bakar dan Umar
berada di atas. Ia mendengar beliau bersabda, "Ulurkanlah kepadaku lebih
dekat…!!"
Nabi SAW menerima jenazah Abdullah
tersebut dan meletakkan di liang lahat, kemudian beliau berdo'a, "Ya
Allah, aku telah ridha padanya, maka ridhai pula ia olehMu..!!"
Melihat pemandangan tersebut, Ibnu Mas'ud
berkata, "Alangkah baiknya jika
akulah pemilik liang kubur itu…."
Namun ternyata keinginannya tidak
terpenuhi karena tiga orang mulia tersebut mendahuluinya menghadap Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar