Senin, 24 Maret 2014

Ummu Jamil RA

Ummu Jamil binti Khaththab adalah saudara Umar bin Khaththab, tetapi ia terlebih dahulu memeluk Islam daripada saudaranya itu, sebagaimana adiknya Fathimah. Pada awalnya ia menyembunyikan keislamannya, karena saat itu kaum kafir Quraisy sangat gencar melakukan penyiksaan kepada para pemeluk Islam, apalagi saudaranya, Umar.
Ketika Abu Bakar disiksa oleh orang kafir Quraisy sampai pingsan pada masa awal keislamannya, maka hal pertama yang ingin diketahuinya adalah keadaan Rasulullah SAW. Karena ibunya, Ummu Khair, yang merawatnya tidak mengetahui, ia diminta menemui Ummu Jamil, dan menanyakan keadaan Rasulullah SAW.
Mendengar pertanyaan Ummu Khair yang masih kafir, Ummu Jamil berkata, "Saya tidak kenal dengan Muhammad (SAW) dan Abu Bakar, tetapi ijinkanlah saya melihat anakmu itu."
Mereka berdua menemui Abu Bakar, dan ketika Ummu Jamil melihat keadaan Abu Bakar yang terluka parah, secara spontan ia berkata, "Apa yang dilakukan oleh orang-orang jahat itu? Semoga Allah membalas kelakuan jahat mereka!"
Abu Bakar menanyakan keadaan Nabi SAW, tetapi Ummu Jamil memberi isyarat tentang keberadaan Ummu Khair yang masih kafir. Abu Bakar mengerti ketakutan Ummu Jamil, karena itu ia berkata, "Jangan khawatir akan ibuku, kabarkan saja keadaan Rasulullah SAW!"
"Alhamdulillah beliau dalam keadaan selamat, saat ini beliau ada di rumah Al Arqam?" Kata Ummu Jamil.
Atas informasi ini, Abu Bakar bersumpah tidak akan makan dan minum sebelum bertemu Nabi SAW, sehingga dengan terpaksa dan sembunyi-sembunyi Ummu Khair mengantar Abu Bakar ke rumah Al Arqam untuk menemui Nabi SAW.
Setelah bertemu Rasulullah SAW, Abu Bakar meminta beliau mendoakan agar ibunya memeluk Islam. Beliau berdoa sesuai permintaan Abu Bakar, kemudian menjelaskan tentang risalah Islam sampai akhirnya Ummu Khair memeluk Islam. Secara tidak langsung, Ummu Jamil berperan dalam islamnya Ummu Khair ini.

Haritsah bin Suraqah RA

Haritsah bin Suraqah adalah seorang pemuda dari kalangan sahabat Anshar. Suatu pagi ia bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau bersabda, "Wahai Haritsah, bagaimana keadaanmu pagi ini?"
"Pagi hari ini saya benar-benar menjadi seorang mukmin, Ya Rasulullah!" Kata Haritsah.
"Perhatikanlah perkataanmu, wahai Haritsah," Kata Nabi SAW, "Setiap kata yang engkau ucapkan itu harus  ada bukti sebenarnya…!!"
Maka Haritsah berkata menjelaskan, "Wahai Rasulullah, jiwaku jemu dengan dunia, sehingga saya bangun di malam hari (untuk ibadah) dan puasa di siang harinya. Sekarang ini saya seolah-olah berhadapan dengan Arsy Allah, dan saya melihat ahli surga saling kunjung-mengunjungi satu sama lainnya, dan juga ahli neraka sedang menjerit-jerit di dalamnya…!!"
Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Haritsah, seolah gembira dengan "pencapaian" rohaniah pemuda Anshar tersebut. Beliau bersabda, "Engkau telah melihat, maka tetapkanlah (istiqomahlah)!!"
Haritsah berkata lagi, "Ya Rasulullah, doakanlah saya agar bisa memperoleh syahid!!"
Nabi SAW-pun mendoakan Haritsah seperti permintaannya, dan tentu saja doa beliau pasti akan terkabul.
Tibalah saatnya perang Badar, dan Haritsah tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sebenarnya Rasulullah SAW ‘tidak mewajibkan’ kaum muslimin, khususnya kaum Anshar untuk bergabung dalam pasukan itu karena tujuan utamanya hanya untuk menghadang kafilah dagang Makkah, tetapi kaum Anshar yang mengikuti justru lebih banyak, termasuk Haritsah. Bagi kaum Muhajirin, mereka hanya ‘mengambil ganti’ harta kekayaan mereka yang ditinggalkan di Makkah dan dirampas secara sepihak oleh kaum kafir Quraisy. Tetapi ternyata Abu Sufyan bin Harb beserta kafilah dagangnya berhasil lolos, dan pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan pasukan perang kaum kafir Makkah yang dipimpin Abu Jahal.
Walau menyadari persiapan yang kurang dan kekuatan yang jauh lebih kecil, kaum Muhajirin dan Anshar tidak jadi melemah semangatnya, termasuk Haritsah. Ia berjuang dengan perkasa menyerang kaum kafir Quraisy yang jauh lebih banyak jumlahnya. Akhirnya sebuah anak panah, yang tidak diketahui  siapa yang melepaskannya, mengenai tubuhnya dan ia tewas menemui syahid seperti yang didoakan Nabi SAW.
Ketika pasukan muslim kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan, ibu Haritsah, Ummu Rubayyi' binti Bara', yang telah memperoleh berita kalau anaknya tewas dalam perang Badar tersebut, bergegas menemui Nabi SAW, dan berkata, "Wahai Rasulullah, maukah engkau memberitahukan tentang putraku, Haritsah! Jika ia di surga, aku tidak  akan menangis atau menyesal. Tetapi jika tidak seperti itu, aku akan menangis selama sisa hidupku di dunia ini!!"
Maka Nabi SAW berkata, seakan menenangkan sang ibu yang kehilangan putranya tersebut, "Wahai Ummi Haritsah, bukan hanya satu surga, tetapi surga di dalam surga-surga. Dan kini Haritsah telah mencapai firdaus yang tertinggi…!!"
Mendengar penjelasan tersebut, Ummu Rubayyi' kembali ke rumah dengan gembira dan tertawa, sambil berkata, "Beruntung sekali engkau, Haritsah!! Beruntung sekali engkau, Haritsah!!"
Sungguh jauh sekali dari gambaran seorang ibu yang anaknya baru saja tewas dalam pertempuran. Hanya keimanan yang kokoh tertanam di dalam dada yang bisa membuat Ummu Rubayyi' bersikap seperti itu.

Amr bin Wahb RA dan Putrinya

Amr bin Wahb Ats Tsaqafi, seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Bani Tsaqif di Thaif. Setelah memeluk Islam, ia memutuskan tinggal di Madinah, untuk bisa lebih banyak memperoleh pengajaran dan keberkahan dari Nabi SAW. Seperti kebanyakan orang-orang Bani Tsaqif, ia memang baru memeluk Islam beberapa waktu setelah perang Hunain dan pengepungan kota Thaif tanpa penaklukan, yakni pasukan muslim mundur setelah beberapa hari pengepungan. Kabilah Bani Tsaqif sendiri dan sekutunya yang akhirnya menyerahkan diri kepada Nabi SAW, dan sebagian besar memeluk Islam.
Amr bin Wahb mempunyai seorang putri yang cantik dan cerdas bernama Atiqah binti Amr yang masih gadis, dan ia berharap putrinya ini akan menikah dengan seseorang yang mempunyai kemuliaan, khususnya di sisi Nabi SAW, sehingga sedikit banyak bisa "mengejar" ketertinggalannya dalam keislaman.
Suatu ketika ada seseorang yang mengetuk pintunya sambil mengucap salam dan permintaan ijin dengan bahasa Arab yang baik. Keluarga Amr menyambut dengan suka cita kedatangan tamunya tersebut. Dari tata bahasa dan suaranya, mereka mengira tamunya itu seorang yang terpelajar dan terpandang. Mereka bergegas membuka pintu untuk mempersilahkan tamunya masuk, tetapi seketika itu pula kegembiraannya lenyap. Sosok yang berdiri di depan pintunya adalah seorang lelaki berkulit hitam, berwajah jelek dan penampilannya tidak meyakinkan. Dan kekagetannya makin bertambah, ketika lelaki itu menyampaikan salam Rasulullah SAW dan berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menikahkan aku dengan putrimu!!"
Lelaki itu memang salah seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Sa'd as Sulami. Secara naluriah, Amr bin Wahb langsung menolak kehadiran lelaki tersebut sebagai calon menantunya. Bagaimana mungkin putrinya yang cantik, cerdas dan dari keluarga kaya akan bersanding dengan lelaki seperti itu? Spontan ia berkata kasar dan menolaknya untuk menikahkan dengan putrinya.
Sa'd as Sulami cukup tegar menerima penolakan tersebut, ia mengucap salam berpamitan dan meninggalkan rumah Amr bin Wahb. Beberapa saat setelah Sa'd pergi, putri Amr, Atiqah segera berlari keluar rumah mengejar Sa'd dan memanggilnya. Setelah Sa'd berhenti dan berpaling kepadanya, Atiqah berkata, "Wahai hamba Allah, kembalilah! Jika memang Rasulullah SAW menjodohkan engkau dengan aku, aku rela dengan apa yang ditetapkan dan direlakan oleh Rasulullah!!"
Sejenak Sa’d bimbang, tetapi kemudian ia melangkah meninggalkan gadis tersebut tanpa berkata apa-apa. Ia tahu betul bahwa seorang gadis tidak bisa menentukan sendiri pernikahannya, selama masih ada walinya, terutama ayahnya. Itulah ketentuan yang pasti dari Allah dan Rasul-Nya. Apalagi jelas-jelas sang ayah telah menolaknya.
Melihat reaksi Sa'd seperti itu, Atiqah segera kembali ke rumah dan berkata kepada ayahnya, "Wahai Ayah, carilah selamat! Segeralah engkau menemui Rasulullah SAW dan memenuhi perintah beliau, sebelum wahyu datang dan menelanjangi aib engkau di tengah masyarakat Arab. Jika memang Rasulullah SAW telah menjodohkan aku dengan lelaki itu, maka aku rela menerima apa yang Allah dan Rasul-Nya telah rela untukku!!"
Amr yang telah mulai hilang kekagetannya, memang menyadari kekeliruan sikapnya yang begitu tergesa. Seharusnyalah ia mengkonfirmasi terlebih dahulu kepada Nabi SAW sebelum mengambil sikap. Ia memahami apa yang disampaikan putrinya tersebut, dan segera saja ia berangkat ke masjid menemui Nabi SAW. Setibanya di sana, beliau langsung bersabda, "Kamukah orangnya yang menolak apa yang dikehendaki oleh Rasulullah?"
Amr berkata penuh takdzim dan penyesalan, "Benar, ya Rasulullah, tetapi saya memohon ampunan kepada Allah. Saya kira dia itu berbohong dalam berbicara. Jika dia memang benar, maka saya tidak berkeberatan menikahkannya dengan putri saya, karena sesungguhnya kami (sekeluarga) berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan kemurkaan Rasul-Nya…!!"
Nabi SAW bergembira dengan perkataan Amr, kemudian memanggil Sa'd as Sulami untuk mendekat. Saat  itu juga Amr menikahkan putrinya, Atiqah dengan Sa'd dengan maskawin 400 dirham. Usai prosesi ijab kabul, Nabi SAW memerintahkan Sa'd untuk menemui istrinya tersebut dan mempergaulinya dengan baik. Tetapi Sa'd beralasan akan mengumpulkan uang untuk mas kawin dan membelikan bawaan untuk istrinya terlebih dahulu.
Beberapa hari berlalu, keluarga Amr harap-harap cemas karena Sa'd tak juga datang untuk menemui istrinya yang telah dinikahinya atas perintah dan restu Rasulullah SAW. Atiqah sendiri juga gelisah dengan ketidakhadiran suaminya tersebut. Bagaimanapun ia sangat gembira karena suaminya tersebut adalah pilihan Rasulullah SAW. Penampilan luarnya memang tidak menarik, tetapi pastilah kualitas jiwa dan keimanannya tidak mungkin diragukan lagi.
Dalam ketidak-pastian tersebut, tiba-tiba datang utusan Rasulullah SAW datang ke rumahnya sambil membawa dan menyerahkan kuda, pedang, tombak, perisai dan beberapa barang lainnya. Utusan ini menyampaikan pesan Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah telah menikahkan Sa'd dengan wanita yang lebih baik dari putri kalian..!!"
Amr dan keluarganya tampak tidak mengerti akan pesan Nabi SAW. Akhirnya utusan tersebut menceritakan kalau Sa'd telah syahid dalam pertempuran yang diikutinya bersama Nabi SAW, dan barang-barang tersebut adalah warisannya yang harus diberikan kepada istrinya, Atiqah binti Amr, walau Sa'd belum pernah mempergaulinya sama sekali.

Seorang yang Minta Disegerakan Siksanya

Seorang lelaki yang bergelimang dosa, suatu ketika terpecik hidayah dalam hatinya untuk bertobat. Maka segera saja ia menghentikan semua kemaksiatan yang dilakukannya dan bertobat atas semua dosa-dosanya. Ia juga melakukan berbagai ibadah untuk mengisi sisa umurnya. Tetapi lelaki ini merasa bahwa semua itu belum cukup untuk bisa menyelamatkannya dari siksa neraka di akhirat kelak. Karena itu ia berdoa, "Allaahumma maa kunta tu'aaqibunii fil aakhirati fa'ajjilhu lii fid dunya…!!"
Maksud dari doanya tersebut adalah : "Wahai Allah, apa yang akan Engkau siksakan kepadaku di akhirat, maka segerakanlah untukku di dunia ini."
Ia berharap, dengan telah ditimpakan di dunia, di akhirat kelak tidak akan disiksa lagi karena dosa-dosanya. Beberapa waktu kemudian, lelaki ini mengalami sakit, dan makin hari makin parah sehingga ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya, bahkan kemudian tidak bisa bergerak sama sekali. Tampak sekali penderitaan lelaki ini, tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali kedua matanya yang terbuka, tetapi juga tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan segera menjemput kematiannya.
Para sahabat yang mengetahui keadaan lelaki ini menyampaikannya kepada Nabi SAW, dan beliau segera mengunjunginya. Begitu Nabi SAW masuk ke kamarnya, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya sedikit saja, diikuti dengan pandangan matanya. Hanya dengan cara itu ia bisa menyambut kedatangan beliau, tidak ada gerakan lain yang bisa dilakukannya, termasuk sekedar mengucap salam. Tampak sekali keprihatinan di wajah Nabi SAW atas penderitaan lelaki ini.
Salah seorang sahahat yang mengenal jalan kehidupan lelaki ini, menceritakannya kepada  beliau, termasuk doa yang diucapkannya, sebelum sakit yang dialaminya ini datang. Nabi SAW maklum akan apa yang terjadi pada lelaki ini, dan bersabda, "Wahai Anak Adam, sesungguhnya engkau tidak akan mampu menjalani siksa Allah! Akan tetapi, hendaklah engkau berdoa : Allaahumma rabbanaa aatina fid dunyaa khasanah wa fil aakhirati khasanah waqinaa 'adzaaban naar (Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa api neraka}…."
Lelaki ini melaksanakan anjuran Nabi SAW walau mulanya hanya bisa dilafalkannya di dalam hati. Ia terus melakukannya dengan istiqomah, sehingga akhirnya ia sembuh seperti sedia kala. Namun, walau telah sembuh, ia tetap menjalankan amalan dari Nabi SAW tersebut

Seorang Pemuda Penggali Kubur

Suatu ketika Umar bin Khaththab masuk ke rumah Nabi SAW sambil menangis. Beliau bersabda, "Wahai Umar, apa yang menyebabkan engkau menangis?"
"Wahai Rasulullah," Kata Umar, "Di depan pintu ada seorang pemuda yang tangisannya membakar hatiku!!"
"Bawalah ia kemari" Kata Nabi SAW.
Umar menjemput pemuda tersebut dan membawanya ke hadapan Nabi SAW. Ia masih saja menangis, tampak jelas penyesalan dan ketakutan yang menggelayut di wajahnya. Beliau menanyakan penyebab dari tangisannya yang seperti itu, sang pemuda berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berdosa!!"
Nabi SAW bersabda, "Wahai anak muda, apakah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu?"
"Tidak, ya Rasulullah!" Kata Sang Pemuda.
"Apakah engkau membunuh seseorang tanpa hak?"
"Tidak, ya Rasulullah!" Katanya lagi.
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengampuni dosamu meskipun dosa itu seperti tujuh langit, tujuh bumi dan gunung yang menjulang tinggi!!"
Sang Pemuda berkata, "Sesungguhnya dosa saya lebih besar daripada tujuh langit, tujuh bumi dan gunung-gunung yang menjulang!"
"Lebih besar mana dengan kursi / singgasana Allah?" Tanya Nabi SAW.
"Dosa saya lebih besar, ya Rasulullah!!".
"Lebih besar mana dengan 'Arasy Allah?" Tanya Nabi SAW.
"Dosa saya lebih besar, ya Rasulullah!!".
"Lebih besar mana dengan maghfirah (ampunan) Allah?" Tanya beliau lagi.
"Maghfirah Allah lebih besar dan lebih agung, ya Rasulullah!!" Kata sang pemuda.
Maka Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa yang besar, kecuali Allah Yang Maha Besar…!!"
Kemudian Nabi SAW meminta pemuda tersebut menceritakan dosa yang dilakukannya, tetapi ia berkata, "Saya malu untuk menceritakannya, Ya Rasulullah !!"
Nabi SAW memerintahkannya untuk tetap menceritakannya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi pemuda tersebut kecuali menceritakannya, walau dengan berat hati dan rasa malu yang tak tertahankan.
Pemuda ini adalah seorang penggali kubur dan ia telah menekuni pekerjaannya ini selama tujuh tahun. Tetapi ia mempunyai kebiasaan buruk, ia selalu mengambil/mencuri kain kafan dari jenazah yang dikuburkannya, jika kondisinya masih baik.  Suatu ketika ada seorang gadis dari golongan Anshar yang meninggal, kain kafan yang digunakannya masih baru, sehingga sang pemuda penggali kubur ini berencana mengambilnya.
Pada malam harinya, pemuda ini menggali lagi kubur sang gadis Anshar, dan mengambil kain kafannya. Ketika akan menimbunnya lagi, setan menggoda dan nafsunya-pun bangkit karena gadis Anshar itu memang cantik, apalagi keadaannya telanjang setelah kain kafan yang membungkusnya diambil. Ia tak mampu menguasai nafsunya dan menyetubuhi jenazah gadis Anshar tersebut.
Usai melampiaskan nafsu bejatnya, sang pemuda dibuat terkejut dan ketakutan karena tiba-tiba mayat gadis tersebut  bangun dan berkata, "Wahai anak muda, celakalah kamu! Apakah engkau tidak malu kepada Tuhannya Hari Pembalasan, yang Dia akan menggelar Kursi-Nya untuk pengadilan, yang akan mengambil pahala orang yang menganiaya dan diberikan kepada orang yang dianiayanya. Kamu tinggalkan aku dalam keadaan telanjang di barisan orang-orang yang  sudah mati, engkau biarkan aku dalam keadaan junub di hadapan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung….!!"
Sampai disini sang pemuda berhenti sesaat karena air matanya berurai penuh penyesalan, dan tangisannya menyesak sehingga ia susah bicara. Tetapi belum sempat ia meneruskan ceritanya, Nabi SAW bersabda tegas, "Wahai orang fasik, pantasnya tempatmu memang di neraka, pergilah dari sini!!"
Sang pemuda makin menyesak tangisnya, dan berlalu dari rumah Nabi SAW. Ia berjalan tanpa tujuan menyusur padang pasir, sambil mulutnya tak henti-hentinya mengucap taubat kepada Allah. Empat puluh malam ia terus berjalan di padang pasir, mulutnya tak pernah lepasi mengucap istighfar dan matanya tak pernah kering dari air mata. Bumi  yang luas serasa sempit, langit yang tinggi serasa menghimpit. Serasa tidak ada lagi tempat berlari dan sembunyi tatkala Rasulullah SAW telah "memvonis"-nya seperti itu.
Setelah genap empat puluh malam, ia menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhannya Muhammad, Tuhannya Adam dan Tuhannya Hawa, jika Engkau menerima taubatku, beritahukanlah kepada  Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Jika Engkau tidak menerima taubatku, turunkanlah api dari langit dan bakarlah diriku dengan api itu, tetapi kumohon selamatkanlah aku dari siksaan akhirat..!!"
Pada saat yang hampir bersamaan, ketika pemuda tersebut tengah bermunajat dan berputus asa dari semua mahluk kecuali kepada Allah, Allah mengirimkan malaikat Jibril kepada Nabi SAW. Jibril berkata, "Kesejahteraan buat engkau, wahai Muhammad, Tuhanmu mengirimkan salam untukmu…"
Nabi SAW menjawab ucapan salam ini dengan bersabda, "Dia adalah Dzat Yang Maha Sejahtera, dari-Nya datang kesejahteraan, dan kepada-Nya kesejahteraan akan kembali…"
Malaikat Jibril berkata, "Tuhanmu berfirman kepadamu : Engkaukah yang menciptakan mahluk?"
"Bukan, Allah-lah yang menciptakan aku dan mereka," Kata Nabi SAW.
"Engkaukah yang memberi rezeki kepada mereka?" Kata Malaikat Jibril lagi.
"Bukan, Allah-lah yang memberikan rezeki kepada aku dan mereka," Kata Nabi SAW.
"Engkaukah yang menerima taubat mereka?" Kata Malaikat Jibril lagi.
"Bukan, Allah-lah yang menerima taubatku dan taubat mereka," Kata Nabi SAW.
Setelah beberapa percakapan tersebut, Malaikat Jibril berkata lagi, "Sesungguhnya Allah berpesan kepadamu : Terimalah taubat hamba-Ku (yakni Sang pemuda penggali kubur tersebut), karena sesungguhnya Aku telah menerima taubatnya…!!"
Nabi SAW merasa gembira dengan pengabaran dari Malaikat Jibril AS ini, beliau menyampaikan kepada para sahabat dan memerintahkan mereka untuk mencari sang pemuda tersebut, serta membawanya pulang ke Madinah.

Seorang Peminta kepada Nabi SAW

Seorang lelaki yang memang miskin, meminta sesuatu kepada Nabi SAW untuk memenuhi kebutuhannya. Beliau berkata kepadanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu di rumahmu?"
"Benar, wahai Rasulullah," Kata lelaki itu, "Kami memiliki dua tikar yang sebagiannya sudah robek. Yang satu kami gunakan untuk duduk dan tidur, sebagian untuk alas dan sebagian lainnya untuk selimut. Yang satunya lagi kami gunakan untuk makan, minum dan membersihkan kepala kami…!"
"Bawalah keduanya kemari!" Kata Nabi SAW.
Lelaki tersebut bergegas pulang mengambil tikarnya. Tak lama kenudian ia hadir kembali di haapan Nabi SAW dan menyerahkan dua tikarnya kepada beliau. Beliau memegang dua tikar tersebut dan bersabda, "Siapa yang akan membeli tikar ini?"
Salah seorang sahabat menyahut, “Saya akan membeli keduanya dengan satu dirham!"
Nabi SAW bersabda lagi, "Apakah ada yang mau membelinya dengan harga lebih dari satu dirham?"
Seorang sahabat lainnya bersedia membelinya dengan harga dua dirham, dan beliau menyerahkan tikar tersebut kepadanya. Kemudian beliau memanggil lelaki pemilik dua tikar tersebut dan bersabda, "Satu dirham ini belikan makanan dan bawalah pulang ke rumahmu. Dan satu dirham lagi belikan kampak, bawalah kemari..!"
Lelaki tersebut melaksanakan perintah beliau. Beberapa saat kemudian kembali menghadap Rasulullah SAW  dengan membawa kampak yang dibelinya. Beliau meminta kampak tersebut dan memasangkan kayu pegangan yang telah beliau persiapkan, dan bersabda, "Pergilah, carilah kayu dan juallah! Aku tidak ingin melihat kamu selama limabelas hari..!"
Lelaki tersebut pergi memenuhi perintah Nabi SAW. Dan setelah lima belas hari, ia kembali menghadap Nabi SAW dan menceritakan kalau ia telah memperoleh sepuluh dirham dari mencari dan menjual kayu bakar. Sebagian digunakan untuk membeli makanan dan sebagian lagi membeli pakaian. Nabi SAW tersenyum dan bersabda, "Bukankah pekerjaan itu lebih baik bagimu, daripada nanti kamu datang di akhirat/hari kiamat, sedang perbuatan meminta-mintamu itu akan berupa noda hitam di wajahmu, yang tidak bisa dihapus kecuali dengan api neraka!!"

Abu Tsa'labah al Khasyni RA

Seorang tabi'in bernama Abu Umayyah, ketika menelaah suatu ayat al Qur'an : Yaa ayyuhalladziina aamanu, 'alaikum anfusakum (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu sendiri! - Surat Al Maidah 105), ia kurang mengerti akan perintah dalam ayat tersebut, yakni tentang menjaga diri sendiri. Maka ia datang kepada seorang sahabat Nabi SAW, Abu Tsa'labah al Khasyni dan menanyakan maksud ayat tersebut.
Abu Tsa'labah berkata, "Kamu menanyakan ayat ini kepada orang yang benar-benar mengetahuinya..!"
Kemudian ia menjelaskan kalau ia pernah datang kepada Nabi SAW untuk menanyakan maksud dari perintah "Jagalah dirimu sendiri" dalam ayat tersebut, dan beliau bersabda, "Wahai Abu Tsa'labah, hendaklah engkau mengajak berbuat baik dan mencegah dari yang mungkar. (Dan  di suatu ketika), apabila kamu melihat orang yang kikir diikuti, dunia lebih diutamakan, dan orang yang mempunyai pendapat mengagung-agungkan pendapatnya, maka jagalah dirimu sendiri ('alaikum anfusakum). Sesungguhnya saat-saat sesudah (berlalunya masa) kamu, adalah saat-saat kesabaran. Orang-orang yang berpegang teguh (pada ajaran dan nilai Islam seperti masa para sahabat) seperti pahala 50 orang yang beramal..!"
Abu Tsa'labah dan beberapa sahabat lainnya bertanya, "Wahai Rasulullah, seperti pahala 50 orang dari mereka atau dari kami?"
            "Tidak!" Kata beliau, "Bahkan seperti pahala 50 orang dari kalian (para sahabat)…!!"

Alqamah dan Ibunya R.huma

Alqamah adalah seorang pemuda yang rajin ibadah dan sangat gemar shadaqah. Ia cukup rajin hadir di majelis pengajaran Nabi SAW. Suatu ketika ia mengalami sakit keras, keadaannya sangat memprihatinkan dan ia sangat menderita. Istrinya sangat kasihan melihat keadaannya ini, karena itu ia mengirim seorang utusan kepada Nabi SAW untuk memberitahukan keadaan suaminya. Bagaimanapun juga Rasulullah SAW adalah "guru" Alqamah, karena itu beliau perlu tahu keadaan "muridnya" ini, begitu pikir istrinya.
Utusan tersebut menemui Nabi SAW dan memberitahukan pesan istrinya, "Ya Rasulullah, suami saya, Alqamah sedang sakit keras, mungkin sakaratul maut, dan saya ingin memberitahukan keadaannya kepada engkau."
Mendapat pemberitahuan ini, beliau berkata kepada Bilal, Ali, Salman al Farisi dan Ammar bin Yasir, "Pergilah kalian ke rumah Alqamah, perhatikanlah bagaimana keadaannya…!!"
Mereka berempat menuju rumah Alqamah sesuai perintah beliau. Tiba disana, mereka mengetahui kalau Alqamah dalam keadaan sakaratul maut (naza'), mereka membimbing Alqamah dengan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah, sebagaimana pernah diajarkan Nabi SAW (laqqinu mautikum bi laa ilaaha illallah).
Tetapi sungguh mengherankan, seseorang yang rajin ibadah, sedekah dan belajar di majelis Nabi SAW, dibimbing oleh sahabat-sahabat Nabi SAW yang tidak diragukan lagi keutamaan dan kesalehannya, ternyata mulut Alqamah seakan terkunci, tak mampu mengucapkan kalimat tauhid tersebut. Padahal sehari-harinya kalimat itu menjadi bagian dari dzikrnya. Ia berusaha keras membuka mulutnya untuk mengucapkannya seperti dibimbingkan para sahabat tersebut, tetapi susah payah ia berusaha, hanya ucapan-ucapan yang tidak jelas yang keluar dari mulutnya. Karena berbagai upaya dilakukan untuk membimbing Alqamah gagal, mereka mengutus Bilal untuk mengabarkan keadaannya itu kepada Nabi SAW.
Mendengar pemaparan Bilal tentang Alqamah, Nabi SAW bersabda, "Apakah ia (Alqamah) masih memiliki ayah dan ibu?"
Salah seorang sahabat memberi jawaban, "Ayahnya telah meninggal, dan ia hanya mempunyai seorang ibu yang telah tua..!!"
Nabi SAW menyuruh Bilal menemui ibunya Alqamah untuk menyampaikan salam beliau, dan berkata kepadanya, "Wahai Ummu Alqamah, jika kamu mampu untuk berjalan, maka datanglah kepada Rasulullah SAW. Dan jika tidak mampu, tunggulah sampai beliau datang kepadamu…!!"
Bilal mendatangi ibunya Alqamah, menyampaikan salam beliau dan pesan beliau tersebut. Sang ibu berkata, "Diriku menjadi tebusan bagi Rasulullah SAW, akulah yang sepantasnya menghadap beliau dan bukan beliau yang datang kemari menemui aku…!!"
Kemudian ia mengambil tongkatnya, dan tertatih-tatih mengikuti Bilal menghadap Nabi SAW. Setibanya di sana, ia mengucap salam dan duduk menghadap Nabi SAW. Beliau berkata, "Wahai Ummu Alqamah, berkatalah yang jujur kepadaku karena jika engkau bohong, akan turun wahyu dari Allah kepadaku (untuk memberitahukan kebohonganmu itu). Bagaimana keadaan Alqamah?"
Sang ibu berkata, "Wahai Rasulullah, dia rajin shalat, puasa, berjihad, bershadaqah yang jumlah dan banyaknya tidak ada yang mengetahuinya (yakni, sedekah sirri)…!!"
Nabi SAW bersabda lagi, "Bagaimana hubunganmu dengannya?"
Mendengar pertanyaan ini, wajahnya menjadi berubah. Ingin sekali ia menyembunyikan apa yang dirasakannya, tetapi beliau telah memerintahkan untuk tidak berbohong. Maka ia berkata, "Aku sedang sangat marah kepadanya, ya Rasulullah..!!"
"Mengapa demikian?" Kata beliau.
Ibunya berkata lagi, "Ia lebih mementingkan dan mengutamakan istrinya daripada saya. Dalam banyak hal, ia lebih patuh kepada istrinya dan durhaka kepada saya..!!" Terasa sekali nada kemarahan dalam ucapannya tersebut.
Nabi SAW berpaling kepada khalayak yang hadir dan bersabda, "Kemarahan ibunya inilah yang menghalangi Alqamah mengucap kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah…!!"
Beliau berpaling lagi kepada ibunya Alqamah dan berkata, "Maukah engkau memaafkan dan ridha kepada putramu itu?"
Sekali lagi ibunya Alqamah dalam kebimbangan. Tetapi beliau melarangnya berbohong, perasaan sakit dan marah dalam hatinya itu masih saja mengganjal. Karena itu ia berkata, "Untuk saat ini, aku belum bisa memaafkannya, ya Rasulullah..!!"
"Benarkah?" Kata Nabi SAW, menegaskan.
Sang ibu mengangguk, walau dengan ragu-ragu. Maka Nabi SAW berpaling kepada Bilal dan sahabat lainnya, kemudian bersabda, "Pergilah, dan kumpulkan kayu bakar yang banyak, agar aku bisa membakar Alqamah dengan api..!!"
Wajah sang Ibu segera saja berubah, tampak sekali ada ketakutan dan kekhawatiran menggelayut. Sang ibu segera berkata, "Wahai Rasulullah, anakku, buah hatiku, Alqamah akan engkau bakar di hadapanku? Bagaimana dengan perasaanku, ya Nabiyallah..!!"
Benarlah kata pepatah, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan, atau sepanjang masa. Bagaimanapun marahnya kepada Alqamah, rasa keibuan dan kasih sayangnya muncul juga mendengar "ancaman" yang disampaikan Nabi SAW kepada anaknya tersebut, dan itu yang memang diinginkan beliau dengan sabda beliau seperti itu.
Nabi SAW bersabda, "Wahai Ummu Alqamah, siksaan Allah itu lebih keras dan lebih kekal, karena itu lebih baik kalau aku membakarnya di dunia ini. Apabila engkau ingin agar Allah mengampuninya, engkau harus ridho kepadanya. Demi Dzat yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, shalat, shadaqah dan semua amalannya tidak akan bermanfaat sama sekali selama engkau masih murka kepadanya…!!"
Ibunya Alqamah mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku mempersaksikan kepada Allah yang di langit, dan kepada engkau, ya Rasulullah, serta semua orang yang ada di sini, bahwa aku telah ridho kepada anakku, Alqamah…!!"
Nabi SAW lega dengan keputusan sang ibu ini, semua yang hadir juga mengucap syukur. Nabi SAW bersabda kepada Bilal, "Wahai Bilal, datanglah kepada Alqamah, lihatlah, apakah ia telah bisa mengucap : Laa ilaaha illallah, siapa tahu Ummu Alqamah mengungkapkan semua ini tidak setulus hati, hanya karena malu kepada aku..!!"
Bilal bergegas ke rumah Alqamah. Setibanya di sana, ia melihat Alqamah telah bisa mengucap kalimat tauhid tersebut, walaupun tidak secara khusus dibimbing untuk mengucapkannya. Bilal berkata kepada orang-orang yang hadir di sana, "Ketahuilah, kemurkaan ibunya itulah yang membuat Alqamah tidak bisa mengucap syahadat, dan kerelaan ibunya pula yang telah melepaskan lidahnya untuk bisa mengucapkan syahadat..!!"
Pada hari itu juga Alqamah meninggal dunia dengan khusnul khotimah. Rasulullah SAW datang ke rumahnya dan memerintahkan orang-orang untuk memandikan dan mengkafaninya, kemudian beliau menyalatkannya. Sewaktu berdiri di tepi kuburnya, beliau bersabda, "Wahai shahabat Muhajirin dan Anshar, barang siapa yang mengutamakan istrinya daripada ibunya, ia akan mendapat kutukan Allah, amal ibadahnya, yang fardhu dan yang sunnah tidak akan diterima!"

Hudzaifah bin Asid al Ghifari RA

Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat yang diberi kelebihan dalam ilmu Al Qur'an dan kata Nabi SAW, bacaan al Qur'annya tepat seperti ketika al Qur'am diturunkan, pernah berkata dalam suatu majelis, "Orang yang celaka adalah orang yang (telah digariskan) celaka ketika dalam perut ibunya, dan orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain…!!"
Seorang tabi'in yang hadir dalam majelis Ibnu Mas'ud, yang bernama Amir bin Watsilah tampaknya kurang puas dengan penjelasan tersebut. Maka ia datang kepada sahabat Nabi SAW lainnya, yakni Hudzaifah bin Asid al Ghifari dan menceritakan apa yang didengarnya itu, kemudian berkata, "Bagaimana seseorang celaka tanpa ia melakukan suatu perbuatan!!"
Hudzaifah bin Asid berkata, "Apakah engkau heran terhadap hal itu?"
Kemudian Hudzaifah menceritakan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda, bahwa setelah mani telah berada di dalam rahim selama 42 malam, Allah mengutus malaikat kepadanya, lalu Allah membentuk bagaimana rupanya (wajahnya), menciptakan pendengaran dan penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Kemudian malaikat yang diutus itu berkata, "Ya Tuhanku, laki-laki atau perempuan?"
Allah menentukan apa yang dikehendaki-Nya, dan malaikat mencatatnya.
Sang malaikat bertanya lagi, "Ya Tuhanku, matinya?"
Allah menentukan apa yang dikehendaki-Nya, dan malaikat mencatatnya. Begitulah berulang, selain kematian sang janin ini, Allah juga telah menentukan rizkinya, amalannya, serta celaka atau bahagianya. Malaikat mencatat dalam lembaran yang dipegangnya, lalu membawanya keluar, tidak menambah dan menguranginya.
Begitulah, Hudzaifah menjelaskan kepada Ibnu Watsilah tentang apa yang disampaikan sahabat Abdullah bin Mas'ud tersebut dengan hadist Nabi SAW lainnya, yang pernah didengarnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, setelah 40 hari mani berubah menjadi segumpal darah, 40 hari kemudian menjadi segumpal daging, setelah 40 hari lagi dan menjadi jasad yang sempurna, Allah meniupkan ruh kepadanya, dan mengutus malaikat yang mencatat/ menetapkan empat hal, rizkinya, amalnya, ajal/kematiannya dan bahagia atau celakanya.
Bisa juga ditafsirkan, malaikat yang diutus setelah 42 malam, adalah yang "diperbantukan" Allah untuk memproses mani menjadi segumpal  darah, segumpal daging, membentuk rupa, menyusun pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya hingga jenis kelaminnya. Wujudnya menjadi sempurna setelah 120 hari (40+40+40 hari), Allah meniupkan ruh-Nya kepada janin tersebut sehingga menjadi jasad yang hidup, dan malaikat menanyakan tentang empat perkara tersebut. Allah menetapkan sesuai yang dikehendaki-Nya, kemudian malaikat mencatat dalam lembaran yang dibawanya.

Haybin Hamzah al Ja'diy RA

Haybin Hamzah al Ja'diy berasal dari Bani Laits, ia telah sangat tua ketika mengikuti seruan Nabi SAW untuk masuk Islam. Ketika turun perintah untuk Hijrah ke Madinah, sebenarnya ada rukhsah (keringanan) bagi orang Islam yang dalam keadaan lemah karena berbagai keadaan, untuk tidak mengikuti hijrah tersebut, di antaranya para wanita, anak-anak, orang tua, budak, dll-nya. Haybin Hamzah yang keadaannya sangat tua dan sakit-sakitan, termasuk dalam kelompok ini,  tetapi didorong rasa keimanan yang demikian kuat, ia bertekad untuk hijrah, memenuhi perintah Allah tersebut. Ketika orang-orang mencoba mencegah niatnya, ia berkata, "Demi Allah, aku bukanlah termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah dalam perintah hijrah ini, tidak ada alasan bagiku untuk itu. Aku memiliki harta yang dapat mengantarkanku ke Madinah atau ke tempat lain yang lebih jauh, aku tidak akan bermalam lagi di Makkah setelah hari ini."
Ia menyuruh sanak keluarganya untuk mengeluarkannya dari rumah dengan ditandu. Perjalanan Makkah – Madinah sejauh 450 km melalui padang pasir, tentulah tentulah bukan perjalanan yang mudah dengan tandu, apalagi bagi orang setua Haybin yang sakit-sakitan. Tapi semangat untuk mengikuti Nabi dan menjalankan perintah Allah membuatnya bertekad meneruskan perjalanan hijrah tersebut. Akibatnya penyakitnya bertambah parah dan kondisinya semakin lemah saja. Ketika merasa semakin dekat ajalnya, ia menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya seperti orang berba'iat, dan berkata, "Ya Allah, ini untuk-Mu!!"
Lalu ia melakukannya sekali, dan berkata, "Ya Allah, ini untuk Rasul-Mu, aku memba'iat-Mu atas apa yang Rasul-Mu memba'iat atasnya."
Tidak lama kemudian ajal menjemputnya dalam perjalanan hijrahnya ini. Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya sangat sedih dan sempat menyesalinya karena belum sampai di Madinah. Seolah-olah perjalanan hijrahnya itu sia-sia dan tidak memperoleh pahala yang diinginkannya. Tetapi kemudian turunlah ayat Al Qur'an, "Barang siapa keluar dari rumahnya dalam rangka hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian ajal menjemputnya, maka pahala telah jatuh dari Allah, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Nabi SAW dan para sahabat amat gembira dengan turunnya ayat tersebut. Haybin-pun termasuk seorang sahabat Muhajirin walau belum sempat tiba dan tinggal di Madinah barang sekejab.