Rabu, 01 Oktober 2014

Uqbah bin Amr al Badri RA (Abu Mas’ud al Badri)

            Uqbah bin Amr adalah seorang sahabat Anshar yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia juga sangat dikenal dengan nama kunyahnya Abu Mas’ud al Badri, karena memang termasuk salah seorang sahabat ahli Badar, yang di dalam Al Qur’an dijamin keselamatannya di alam akhirat kelak.  Namun demikian Abu Mas’ud pernah mengalami suatu peristiwa yang hampir mencelakakannya di akhirat, bahkan mungkin bisa membatalkan jaminan keselamatannya sebagai ahli Badar, hanya karena ia tidak mampu menahan amarahnya.
            Suatu ketika salah seorang budaknya berbuat suatu kesalahan yang memancing kemarahan dirinya. Begitu marahnya sehingga ia mencambuk sang budak tersebut. Saat  ia sedang melakukan “hukuman” itu, terdengar suara di arah belakangnya, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud…”
            Suara itu tidak terlalu jelas karena memang dari kejauhan, dan ia belum bisa mengenali siapa yang berbicara tersebut. Ia masih saja mencambuk budaknya akibat hawa kemarahan yang meliputi dirinya. Tetapi ketika seruan yang sama makin jelas di belakangnya karena memang telah dekat, ia mengenalinya sebagai suara Rasulullah SAW. Ia berbalik menghadap beliau, dan Nabi SAW bersabda lagi, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih kuasa untuk menyiksa kamu, daripada siksaanmu kepada budakmu itu…!!”
            Abu Mas’ud gemetar ketakutan mendengar sabda Nabi SAW tersebut, begitu takutnya sampai cambuknya terjatuh tanpa disadarinya, dan ia berkata, “Saya tidak akan pernah memukul seorang budak setelah ini selama-lamanya!!”
            Tampak ucapannya tersebut belum meredakan ekspresi ketidak-sukaan Rasulullah SAW atas apa yang dilakukannya. Karena itu ia berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya budak ini merdeka karena Allah..!!”
            Mendengar ucapannya itu, tampak ekpresi kelegaan di wajah Nabi SAW, kemudian beliau bersabda, “Seandainya engkau tidak segera memerdekakannya (budak tersebut), niscaya kamu akan disiksa atau dibakar oleh api neraka!!”
            Inilah salah satu bentuk kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya, khususnya kepada Abu Mas’ud. Beliau tidak ingin seorang sahabat ahli Badar seperti dirinya harus “mencicipi” panasnya api neraka untuk sekedar menebus kedzaliman yang dilakukannya, walaupun akhirnya tetap saja ia akan masuk surga.
Suatu ketika ia datang kepada Nabi SAW meminta untuk ditunjukkan jalan keselamatan, maka beliau bersabda, "Jagalah lidahmu, dan tinggallah di rumah sambil menangis menyesali dosa-dosamu."      

Harits bin Dharar al Khuzai RA

Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian gencatan senjata antara Nabi SAW, dalam hal ini mewakili kaum muslimin di Madinah dengan kaum musyrikin di Makkah. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut adalah sikap terbuka untuk menerima kabilah yang ingin bergabung dengan mereka, dan kabilah Bani Khuza’ah memilih bergabung/bersekutu dengan Nabi SAW, walau mereka tetap dalam agama jahiliahnya.
Suatu ketika Harits bin Dharar, salah seorang pemuka Bani Khuza’ah menemui Nabi SAW di Madinah untuk suatu keperluan sehubungan dengan persekutuan tersebut. Setelah urusannya selesai, Nabi SAW menyerunya untuk memeluk Islam. Tampaknya hidayah Allah membuka mata hatinya dan ia menerima seruan beliau. Setelah ia berba’iat memeluk Islam, sekali lagi Nabi SAW menyerunya untuk mengeluarkan zakat, karena dia dan kabilahnya memang termasuk kaya dan berkelebihan. Sekali lagi Dhirar berikrar untuk segera menyerahkan zakatnya kepada Nabi SAW.
Setelah mengucap janjinya tersebut, Dhirar berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk pulang ke kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam dan menghimbaunya untuk menunaikan zakat. Siapa saja yang bersedia membayar zakatnya, akan aku kumpulkan, dan pada saat yang ditentukan, hendaklah engkau mengirim utusan untuk mengambil zakat yang aku kumpulkan tersebut…!!”
Nabi SAW menyetujui permintaan Harits tersebut dan ia segera kembali ke kaumnya, Bani Khuza’ah. Setelah beberapa waktu lamanya, Harits berhasil mengajak sebagian besar kaumnya untuk memeluk Islam, termasuk juga kesediaan mereka yang mampu dan berkelebihan untuk menunaikan zakat.
Pada waktu yang ditentukan, mereka menunggu utusan Nabi SAW yang ditugaskan untuk mengambil zakat tersebut, tetapi tidak muncul, begitupun ketika ditunggu keesokan harinya. Harits berfikir bahwa Nabi SAW mungkin marah atau meragukan keislamannya. Karena itu ia mengumpulkan orang-orang kaya di kabilahnya yang telah memeluk Islam dan berkata, “Sungguh Rasulullah telah menjanjikan mengirimkan utusan pada waktu yang telah ditentukan untuk mengambil zakat yang berhasil aku kumpulkan ini. Aku yakin Rasulullah tidak akan menyalahi janjinya. Menurut dugaanku, tidak ada yang menghalangi beliau mengirim utusan kecuali karena beliau marah kepadaku. Karena itu, marilah kita berangkat ke Madinah untuk menyerahkan zakat ini langsung kepada Rasulullah ..!!”
Mereka menyetujui usulan Harits, dan segera mempersiapkan perbekalan kemudian berangkat ke Madinah.
Sebenarnya Nabi SAW tidaklah lupa atau mengingkari janji, beliau telah mengirim Walid bin Uqbah untuk datang ke Bani Khuza’ah dan mengambil zakat yang dikumpulkan Harits bin Dharar. Hanya saja di tengah perjalanan, ia dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran kalau Harits dan Bani Khuza’ah akan menolak dan menyakitinya. Tampaknya ia belum punya keteguhan hati dan kesediaan berkorban dalam mengemban tugas Nabi SAW. Karena itu, sebelum tiba di Bani Khuza’ah, ia melangkah pulang ke Madinah. Sayangnya lagi, Walid bin Uqbah tidak punya cukup keberanian untuk jujur kepada Nabi SAW bahwa ia dihantui ketakutan. Ketika sampai di hadapan Nabi SAW, ia berkata, “Sesungguhnya Harits menolak membayar zakatnya, bahkan ia hampir membunuh saya!!”
Mendengar laporan Walid tersebut, Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabat untuk menemui Harist untuk menarik zakatnya, bahkan kalau perlu memeranginya kalau ia melawan. Mereka segera berangkat, tetapi belum sampai keluar kota Madinah, mereka bertemu rombongan Harits, yang ia bertanya, “Hendak kemanalah kalian diutus Rasulullah?”
“Kami diutus untuk menemuimu!!”
“Mengapa?” Tanya Harits.
“Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Walid bin Uqbah kepadamu untuk mengambil zakat kalian, dan katanya engkau menolak menyerahkannya, bahkan engkau akan membunuhnya.”
“Tidak, demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan perkara yang haq, aku tidak pernah melihatnya, dan belum pernah ia datang kepadaku..!!” Kata Harits dengan kaget dan tak percaya.
Harits dan rombongannya disertai para utusan tersebut segera menghadap Rasulullah SAW yang masih berada di masjid. Begitu melihat Harits, Nabi SAW langsung bersabda, “Kamu tidak mau membayar zakat, bahkan kamu bermaksud membunuh utusanku?”
“Tidak, ya Rasulullah,” Kata Harits, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan perkara yang haq!!”
Tampak situasinya cukup kritis bagi Harits bin Dharar, karena Rasulullah “lebih percaya” kepada laporan yang dibuat oleh Walid bin Uqbah. Sesaat kemudian tampak Nabi SAW terdiam, tanda bahwa beliau sedang menerima wahyu. Setelah itu beliau mengabarkan kalau telah turun wahyu, yakni Surat al Hujurat ayat 6, yang membenarkan Harits.
Harist menjadi gembira, bahkan menjadi semacam kemuliaan dan kebanggan bagi dirinya, seakan-akan Allah sendiri yang turun untuk menyelamatkannya. Ia segera menyerahkan zakat yang telah dikumpulkan dan dibawanya kepada Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan tangan terbuka dan mendoakan keberkahan.
Beberapa waktu kemudian Nabi SAW mengirim Khalid bin Walid menuju Bani Khuza’ah, dan ia tidak mendapati mereka, kecuali selalu dalam kebaikan dan ketaatan semata.

Hubab bin Mundzir RA

Hubab bin Mundzir adalah seorang sahabat Anshar yang memiliki kecerdikan dalam strategi peperangan. Mungkin kemampuannya tersebut terbentuk ketika masih terjadi perang saudara di Madinah antara Suku Aus dan Khazraj.
Sebelum dimulainya perang Badar, Nabi SAW membawa pasukan muslim mendekati mata air Badar dan menentukan suatu tempat pertahanan bagi pasukan muslim. Ketika orang-orang muslim bersiap-siap mendirikan tenda, Hubab bin Mundzir menghampiri Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana tentang keputusan engkau berhenti dan berkemah di tempat ini, apakah ini tempat yang diturunkan Allah (sebagai wahyu) kepada engkau? Jika memang begitu keadaannya, tidak ada pilihan bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini hanya pendapat, siasat dan taktik peperangan semata?”
“Tidak,” Kata Rasulullah SAW, “Ini hanya pendapatku, siasat dan taktik perang semata!!”
“Bolehkan saya memberikan pendapat, ya Rasulullah?” Kata Hubab.
Nabi SAW mengijinkannya, dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, menurut pendapat saya, tidak tepat jika kita berhenti di tempat ini. Pindahkanlah pasukan kita ke tempat yang lebih dekat dengan mata air daripada mereka (yakni, pasukan kafir Quraisy Makkah), kita timbun mata air di belakang mereka dan kita menggali kolam dan mengalirkan air untuk kebutuhan kita. Setelah itu baru kita berperang melawan mereka. Kita bisa minum dan mereka akan kesulitan memperoleh air…!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan usulan Hubab tersebut, beliau bersabda, “Sungguh engkau telah memberikan pendapat yang jitu…!!”
Kemudian beliau memerintahkan para sahabat untuk pindah tempat seperti disarankan oleh Hubab. Hampir separuh malam, sebagian para sahabat menggali kolam dan mengalirkan air untuk kebutuhan pasukan muslim, dan sebagian lainnya menimbun kolam yang bisa digunakan oleh pasukan kafir Makkah.
Setelah semuanya siap, pemuka sahabat Anshar lainnya, Sa’d bin Mu’adz, mengusulkan untuk membuat tenda khusus bagi Rasulullah SAW, yang akan digunakan sebagai pusat komando, dan beliau menyetujuinya dan mendoakan kebaikan bagi Sa’d. Sebuah tenda didirikan di tempat yang lebih tinggi, dan Sa’d menugaskan beberapa pemuda Anshar untuk melakukan penjagaan pada tenda Nabi SAW tersebut.
Pasukan muslimin yang dibawa Nabi SAW ke Badar sebenarnya tidak dipersiapkan untuk melakukan pertempuran. Dengan 313 orang sahabat tersebut, Nabi SAW bermaksud mencegat kafilah dagang Abu Sufyan bin Harb yang baru pulang dari Syam. Tetapi dengan kepandaiannya, Abu Sufyan berhasil mengetahui rencana beliau dari mata-mata yang dikirimnya, sekaligus mengirim utusan ke Makkah untuk meminta bantuan. Maka Abu Jahal beserta tokoh-tokoh Quraisy lainnya membawa seribu orang lebih dalam pasukannya dengan persenjataan lengkap langsung menuju Badar. Abu Sufyan sendiri membelokkan kafilahnya melalui pesisir, dan berhasil melewati Madinah sebelum Nabi SAW sampai di Badar. Akhirnya pasukan muslim yang sebenarnya “tidak siap” tersebut harus berhadapan dengan pasukan Abu Jahal yang telah siap untuk bertempur dengan segala perlengkapan peperangannya.
Tetapi dengan strategi yang diusulkan Hubab bin Mundzir, semangat dan keteguhan untuk berjihad dari para sahabat, dan yang paling utama, datangnya pertolongan Allah kepada mereka, termasuk dikirimnya pasukan malaikat yang dipimpin Malaikat Jibril, akhirnya pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukan kafir Quraisy yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Peristiwa yang hampir sama terjadi pada Perang Khaibar, perang melawan kaum Yahudi, yang bisa dikatakan ‘mengendalikan’ perekonomian jazirah Arabia saat itu. Khaibar adalah markas besar mereka dengan perlindungan berlapis-lapis hingga delapan benteng pertahanan. Ketika tiba di dinding luar Khaibar pada waktu subuh, Nabi SAW bersabda, “Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar!! Allahu Akbar, runtuhlah Khaibar!! Jika kita tiba di pelataran suatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang layak mendapat peringatan!!”
Nabi SAW memilih suatu tempat dan memerintahkan untuk bermarkas di sana, tetapi Hubab bin Mundzir mendekati beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah apakah tempat yang engkau pilih ini merupakan ketetapan Allah, atau hanya sekedar pendapat dan siasat perang!!”
Beliau bersabda, “Ini adalah pendapatku!!”
Hubab berkata, “Wahai Rasulullah, tempat ini terlalu dekat dengan benteng Nathat dan para prajurit Khaibar dipusatkan di benteng itu. Dengan begitu mereka mengetahui keadaan kita dan kita tidak mengetahui keadaan mereka, anah panah mereka bisa sampai ke tempat kita dan anak panah kita tidak bisa mencapai mereka. Kita juga tidak aman dari sergapan mereka yang dilakukan sewaktu-waktu. Di sini banyak sekali pohon kormanya, tempatnya rendah dan tanahnya kurang baik. Jika engkau berkenan, pindahkanlah markas kita ke tempat yang tidak seperti ini!!”
Beliau sangat gembira dengan pendapatnya itu dengan bersabda, “Engkau memberikan pendapat yang sangat jitu!!”
Setelah itu beliau memerintahkan pindah ke tempat lainnya, yang juga tidak terlalu jauh dari Khaibar, tetapi lebih aman dan strategis.
            Ketika Rasulullah SAW wafat, dan saat itu sempat terjadi ketegangan tentang siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Rasulullah SAW, Hubab bin Mundzir sempat mengusulkan, bahkan setengah menuntut agar Amir atau Khalifah pengganti beliau terdiri dari dua orang, yakni seorang dari Muhajirin dan seorang dari Anshar. Alasannya sederhana, bukan karena iri atau gila kekuasaan, tetapi ia hanya khawatir, jika Amir hanya dari golongan Muhajirin saja, mereka akan menuntut balas kepada orang-orang Anshar, karena dalam pertempuran bersama Rasulullah SAW, mereka banyak membunuh kerabat orang-orang Muhajirin. Ketika ternyata khalifah yang diusulkan adalah Abu Bakar, yang telah sangat dikenal kedudukan dan kebaikannya di sisi Rasulullah SAW, ia menarik lagi usulannya tersebut.

Lelaki Najd yang Bahagia (akan Masuk Surga)

            Seorang lelaki dari daerah Najd yang telah memeluk Islam, datang menghadap Nabi SAW, yang sedang berkumpul dengan para sahabat. Lelaki tersebut rambutnya terurai tidak terawat, ia berbicara tetapi susah dimengerti walaupun terdengar suaranya. Ketika telah dekat dengan Nabi SAW, ia mengucap salam kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus saya lakukan dalam Islam?”
            Nabi SAW bersabda, “Shalat wajib lima kali sehari semalam..!!”
            “Apakah bagi saya ada kewajiban shalat lainnya?” Tanya lelaki itu.
            “Tidak ada,’ Kata beliau, “Kecuali jika kamu ingin mengerjakan shalat sunnah!!”
            Nabi SAW bersabda lagi, “Dan kamu harus berpuasa di Bulan Ramadhan!!”
            “Apakah bagi saya ada kewajiban puasa lainnya?” Tanya lelaki itu lagi.
            “Tidak ada,’ Kata beliau, “Kecuali jika kamu ingin mengerjakan puasa sunnah!!”                         
            Nabi SAW kemudian menjelaskan kepadanya tentang kewajiban zakat jika mampu, termasuk perincian-perinciannya.
            “Apakah bagi saya ada kewajiban zakat lainnya?” Tanya lelaki itu lagi.
            “Tidak ada,’ Kata beliau, “Kecuali jika kamu ingin memberikan shadaqah!!”
            Ia menunggu beberapa saat, dan Nabi SAW tidak menjelaskan lagi sesuatu yang harus ia kerjakan. Kemudian ia berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menambah atau mengurangi dari apa yang ditentukan ini…!!”
            Ia pamit kepada Nabi SAW dan berlalu pergi. Beliau memandangnya sampai agak jauh kemudian bersabda, “Berbahagialah jika ia benar (dengan ucapannya tersebut)…!!”
            Maksudnya adalah, jika lelaki tersebut hanya melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dengan benar dan istiqomah, yakni tanpa menguranginya, dan ia tidak menambahnya dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah, atau amalan-amalan lainnya, cukuplah bagi Rasulullah SAW untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat kelak, yakni akan masuk surga.
            Pada riwayat lain yang hampir senada, seorang lelaki Badui datang menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya tentang amal perbuatan, yang apabila saya mengerjakannya, niscaya saya masuk surga.”
            Nabi SAW bersabda, “Hendaknya engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan (apabila mampu), dan berpuasa di bulan Ramadhan…!!”
            Lelaki Badui tersebut berkata, “Demi Dzat yang jiwa saya dalam genggamanNya, sungguh saya tidak akan menambah ketentuan itu..!!”
            Kemudian ia pamit kepada Nabi SAW dan berlalu pergi. Setelah lelaki Badui tersebut agak jauh, beliau bersabda, “Barang siapa yang ingin melihat seseorang yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang Badui itu.”

Rafi bin Mu'alla az Zuraqi RA

            Rafi bin Mu'alla az Zuraqi, atau nama kunyahnya Abu Sa'id, adalah seorang sahabat Anshar. Suatu ketika di dalam masjid, Nabi SAW mendekatinya dan berkata, "Maukah engkau kuberitahu tentang surat yang paling istimewa dalam Al Qur'an, sebelum engkau nantinya keluar dari masjid..!!"
"Baiklah, ya Rasulullah..!!"
Beberapa sahabat lainnya berdatangan, dan beliau disibukkan dengan berbagai pertanyaan dan melayani  para sahabat lainnya. Setelah mereka semua berangsur habis, Nabi SAW memegang tangan Rafi bin Mu'alla dan menuntunnya keluar. Rafi sendiri menunggu akan apa yang diucapkan Nabi SAW, tetapi beliau sendiri tampaknya tidak akan mengucapkan sesuatu.
Mendekati pintu masjid, Rafi berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tuan tadi berjanji akan memberitahukan kepada saya tentang surat yang paling istimewa dalam al Qur'an!!"
            Nabi SAW memandangnya sesaat, entah beliau lupa atau memang beliau ingin "mengetes" keberanian sahabat ini, kemudian dengan tersenyum beliau bersabda, "Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, as sab'ul matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, yakni al Fatihah)  dan al Qur'anul 'azhiim yang diturunkan kepadaku…!!"

Barirah RA

            Barirah adalah budak milik Utbah (atau Uqbah) bin Abu Lahab, salah satu putra Abu Lahab yang akhirnya memeluk Islam setelah Fathul Makkah (Sebagian riwayat menyebutkan Utaibah bin Abu Lahab yang memeluk Islam, sedang Utbah meninggal diserang singa di Syam, karena didoakan oleh Nabi SAW akibat penghinaannya kepada beliau yang sangat keterlaluan). Barirah berkulit hitam karena berasal dari Habsyi seperti halnya Bilal bin Rabah dan telah memeluk Islam, hanya saja ia tetap diperlakukan dengan baik oleh tuannya. Ia tetap tinggal di Makkah ketika Nabi SAW dan para kaum muslimin hijrah ke Madinah.    
Ketika menjadi budak tersebut, ia dinikahkan tuannya dengan budak lainnya yang bernama Mughits yang juga beragama Islam. Walaupun sebenarnya tidak menyukainya terpaksa ia menerima pernikahan ini, sebagai budak ia memang hanya bisa menerima keputusan tuannya. Akibatnya Barirah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan  jiwa tertekan. Sebaliknya, Mughits sangat gembira karena ia memang sangat menyukai Barirah.
Keadaan kejiwaan Barirah ini akhirnya diketahui oleh Ummul Mukminin, Aisyah RA yang tinggal di Madinah. Aisyah mengirim utusan untuk membeli Barirah dan kemudian memerdekakannya. Tetapi Barirah memutuskan untuk tinggal dan menjadi pembantu Aisyah, walau sebenarnya ia telah merdeka, karena itu ia pergi ke Madinah. Atas ijin tuannya, Mughits menyertai kepergian istrinya itu ke Madinah, walau sebenarnya Barirah tidak menginginkannya.
Sesampainya di Madinah, Barirah menghadap Nabi SAW dan menyampaikan permasalahannya. Nabi SAW memberikan pilihan bebas kepada Barirah karena telah menjadi orang merdeka, ia bisa meneruskan pernikahannya dengan Mughits atau meninggalkannya (bercerai). Barirah mengambil pilihan kedua, yakni cerai sesuai dengan keadaan kejiwaannya, dan Nabi SAW memerintahkannya beriddah.
Sebaliknya bagi Mughits, keputusan Barirah tersebut ternyata membuatnya tenggelam dalam kesedihan, walau memang ia tidak mungkin menolak keputusan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Namun demikian ia tidak putus asa untuk meluluhkan hati Barirah. Dalam masa iddah tersebut ia menghiba dan memohon kepada Barirah agar tetap menjadi istrinya. Air matanya selalu mengalir hingga membasahi jenggotnya sehingga menimbulkan iba dan kasihan pada orang-orang di sekelilingnya.
Nabi SAW pernah berkata kepada pamannya, Abbas, "Wahai Abbas, tidakkah engkau heran dengan kecintaan Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits??"  
Suatu ketika Nabi SAW bertemu Barirah dan bersabda kepadanya, "Wahai Barirah, seandainya kamu kembali kepada Mughits…!!"
"Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan hal itu kepada saya?" Tanya Barirah.
Kalau saja itu memang perintah Rasulullah SAW, yang artinya adalah perintah Allah, tentu Barirah dengan senang hati akan memenuhinya walau mungkin bertentangan dengan suara hatinya. Tetapi Nabi SAW bersabda, "Tidak, aku hanya memberikan pertolongan/usulan semata!"
"Maaf, ya Rasulullah!!" Kata Barirah, "Saya sudah tidak menghajatkan (menginginkan) masalah pernikahan  ini lagi…!!"
Setelah itu Barirah membaktikan waktunya untuk melayani dan membantu Aisyah, walau ia bukan budaknya. Ketika Aisyah dilanda fitnah yang dikenal dengan dengan istilah Haditsul Ifki (berita bohong), ia bersaksi dengan tegas bahwa Aisyah dalam kebenaran dan tidak mungkin melakukan perbuatan keji yang dituduhkan dan disebarkan oleh kaum munafik.
Barirah pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan, yang di kemudian hari menjadi salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Saat pertemuan itu ia berkata, "Wahai Abdul Malik, aku melihat anda sebagai orang yang berkepribadian, dan anda layak memegang urusan kaum muslimin ini. Jika anda diangkat untuk memegang urusan kaum muslimin (yakni sebagai khalifah), janganlah anda menumpahkan darah, karena aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya seseorang ditolak/diusir dari pintu surga setelah ia melihat keindahan surga tersebut, hanya karena semangkuk darah seorang muslim yang ditumpahkannya dengan cara tidak benar…!!"
Apa yang dikatakan Barirah tersebut seakan sebuah "ramalan" dan nasehat, karena di kemudian hari Abdul Malik bin Marwan ternyata menjabat sebagai khalifah. Dan terlepas dari bertanggung jawab langsung atau tidak, cukup banyak darah  kaum muslimin yang tertumpah dengan cara tidak benar pada masa pemerintahannya, termasuk beberapa orang sahabat Nabi SAW.

Anas bin Malik RA

            Siapapun yang sedang membaca atau mempelajari kitab-kitab Hadist Nabi SAW, pastilah akan menemukan nama sahabat yang satu ini, karena ia termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits-hadits dari beliau. Tidak heran, karena sejak awal Nabi SAW menginjakkan kakinya di Madinah, ibunya, Ummu Sulaim (Rumaisha binti Milhan) menyerahkan anaknya yang masih kecil tersebut (sebagian riwayat menyebutkan, saat itu usianya belum 10 tahun) untuk menjadi pelayan Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan gembira. Dan Anas bin Malik terus menjadi pelayan Nabi SAW hingga beliau berpulang ke Rahmatullah. 
Sebelum kehadiran Islam di Madinah, keluarga Anas bin Malik diliputi kebahagiaan, kedua orang tuanya, Rumaisha binti Milhan dan Malik bin Nadhar termasuk pasangan yang ideal walaupun mereka masih saudara sepupu, hidupnya rukun tanpa diwarnai pertengkaran. Tetapi ketika cahaya Islam mulai menyinari Madinah, saat itu Nabi SAW belum berhijrah dan Agama Islam didakwahkan oleh utusan beliau, Mush'ab bin Umair dengan didampingi salah satu tokoh Madinah, As'ad bin Zurarah, rumah tangga orang tuanya mulai goncang. Ibunya, yang lebih dikenal  dengan nama Ummu Sulaim ternyata mengikuti dakwah dua orang tersebut dan memeluk Islam tanpa diketahui oleh ayahnya.
Ketika Malik bin Nadhar mengetahui keislamannya, ia sangat marah, tetapi keyakinan Ummu Sulaim sudah sangat menguat. Suaminya berkata, "Apakah engkau sudah murtad?"   
"Aku tidak murtad, tetapi justru aku telah beriman…!!" Kata Ummu Sulaim.
Saat itu Ummu Sulaim sedang bersama putra kesayangannya, Anas, yang segera saja ia merengkuhnya dan berkata, "Wahai Anas, ucapkanlah : Asyhadu an laa ilaaha illallaah…!!" 
Anas mengikuti perintah ibunya mengucap syahadat tersebut dengan lancar. Ayahnya berkata, "Janganlah engkau merusak keyakinan anakku!!"
"Aku tidak merusaknya," Kata Ummu Sulaim, "Bahkan aku akan mengajar dan mendidiknya…!"
Kemudian Ummu Sulaim berpaling lagi kepada putranya dan berkata, "Ucapkanlah : Asyhadu anna muhammadar rasulullah…!!"
Sekali lagi Anas mengikuti perintah ibunya dan mengulang ucapan tersebut dengan lancar. Ayahnya makin marah melihat sikap ibunya tersebut, dan ia mengancam akan meninggalkannya. Tetapi keyakinan Ummu Sulaim seakan tidak bergeming, bahkan ia terus mengajari Anas untuk mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut berulang-ulang. Kemarahan Malik bin Nadhar makin memuncak dan akhirnya meninggalkan rumah, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Sebagian riwayat menyebutkan ia pergi ke Syam dan meninggal di sana, dan riwayat lain menyatakan ia bertemu dengan musuh lamanya dan terbunuh dalam suatu perkelahian. 
Tentu ada kesedihan pada diri Ummu Sulaim dan anak-anaknya, terutama pada diri Anas yang masih kecil, kehilangan ayah yang menjadi pilar keluarganya, dan juga kebahagiaan keluarganya yang dahulu dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka mendapat kabar kalau ayahnya telah meninggal. Tetapi tidak ada kenikmatan yang lebih baik dan lebih utama daripada kenikmatan merasakan manisnya keimanan, mungkin itu yang dirasakan Ummu Sulaim, dan itu membuatnya tetap tegar menjalani kehidupan. 
Ketika Nabi SAW telah hijrah dan tinggal di Madinah, Ummu Sulaim menemui beliau dan menawarkan anak kesayangannya, Anas bin Malik menjadi pelayan beliau, dan beliau menerimanya dengan senang hati. Beliau juga mendoakannya atas permintaan ibunya, "Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan juga anak-anaknya, serta berkahilah ia di dalamnya…!!"
Doa Nabi SAW ini dikabulkan Allah, Anas berumur panjang dan hartanya melimpah ruah, tetapi ia tetap hidup dalam kezuhudan sesuai dengan contoh dari Rasulullah SAW. Beberapa orang anak dan cucunya telah meninggal sementara ia tetap dalam keadaan sehat dan selalu dalam kesalehannya.
Anas bin Malik memang bukan satu-satunya pelayan Nabi SAW, ada beberapa sahabat lainnya yang membaktikan hidupnya untuk melayani Rasulullah SAW seperti Bilal bin Rabah, Rabi'ah bin Ka'b, dan lain-lainnya. Tetapi ia memiliki kebiasaan unik, ia selalu bergegas menampung dan mengambil air bekas mandi Rasulullah SAW, lalu air tersebut digunakannya sendiri untuk mandi. Ia juga selalu mengumpulkan rambut-rambut Rasulullah yang terjatuh/ rontok, sebagaimana beberapa sahabat lainnya melakukannya, termasuk Khalid bin Walid, kemudian berpesan kepada orang-orang di sekitarnya agar rambut-rambut beliau tersebut disertakan/dimasukkan ke dalam kafannya kalau ia telah meninggal dan akan dikuburkan, termasuk surban Rasulullah SAW.
Anas bin Malik juga terjun dalam berbagai medan jihad bersama Rasulullah SAW, tentunya tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai pelayan beliau, apalagi saat hidupnya Nabi SAW usianya memang masih sangat muda. Setelah wafatnya Nabi SAW, barulah ia bisa terjun dengan maksimal di medan jihad, di samping ia memang sudah cukup dewasa. Di masa Umar bin Khatthab, ketika ia mengikuti pasukan yang mengepung benteng Tustar, ia seolah-olah  berada di ujung tanduk, sudah berada di pintu kematiannya. Tetapi karena Rasulullah SAW telah mendoakannya untuk berusia panjang, maka ada saja jalan yang menyelamatkannya.
Pasukan Persia yang mempertahankan kota Tustar menggunakan besi panas berkait untuk menyerang pasukan muslim yang mengepungnya. Tentara muslim yang terkena kaitan akan diangkat ke atas benteng dan dibunuh. Saat itu Anas bin Malik terkena kaitan besi panas tersebut dan mulai ditarik ke atas. Melihat keadaan tersebut, saudara Anas, Barra' bin Malik, yang memang bertubuh kecil tetapi mempunyai semangat dan kekuatan jihad yang luar biasa, meminta beberapa orang untuk melemparkannya ke arah kaitan besi panas yang membawa saudaranya tersebut. Gambarannya mungkin seperti aksi cheerleader yang melemparkan salah satu temannya pada struktur teratas. Barra' berhasil merengkuh kaitan besi, walau tangannya melepuh tidak diperdulikannya lagi. Ia berhasil melepaskan Anas dari kaitan tersebut dan menjatuhkan diri di kumpulan pasukan muslim, dan mereka berdua selamat. 
Selama sepuluh tahun menjadi pelayan Nabi SAW, yakni sepanjang hidup beliau di Madinah, seolah-olah ia menjadi putra Nabi SAW sendiri, dilimpahi kasih sayang dan pendidikan akhlak yang berbasis wahyu dan kenabian. Tidak heran kalau ia menjadi salah seorang sahabat yang ilmunya melimpah. Kita yang sering membaca dan mempelajari hadits-hadits Nabi SAW tentulah tidak asing dengan nama sahabat Anas bin Malik ini. 
Sahabat Abu Hurairah pernah berkata, "Aku tidak melihat seseorang yang shalatnya lebih mirip dengan shalatnya Rasulullah SAW kecuali shalatnya putra Ummu Sulaim (yakni, Anas bin Malik)…"
Ketika Anas bin Malik meninggal, yakni pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah sekitar tahun 90-an hijriah, para ulama pada masa itu berkata, "Telah hilang dari kita separuh dari ilmu…!!"
Anas bin Malik pernah didatangi seorang lelaki yang memberitahukan kalau daerahnya dilanda kekeringan  dan tanahnya sangat gersang. Ia mendatangi daerah tersebut, kemudian berwudhu dan shalat dua rakaat di suatu tanah lapang yang tandus, kemudian memanjatkan doa. Atas ijin Allah, beberapa saat kemudian awan datang berarak dan turun hujan di tempat itu. Padahal saat itu adalah musim panas.
            Hal yang paling berkesan baginya tentang Nabi SAW, diungkapkan dalam perkataannya, "Selama sepuluh tahun saya berkhidmad kepada Rasulullah SAW, saya tidak pernah melihat beliau memukul seorang pelayan ataupun seorang wanita. Beliau juga tidak pernah menegur (atau mempertanyakan) : Apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau lakukan? Mengapa engkau tidak lakukan ini? Mengapa engkau tidak tinggalkan itu?"

Waraqah bin Naufal

Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, sebenarnya bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW dan bukan  pula pemeluk Islam, tetapi bisa dikatakan ia telah "membenarkan" Islam dan Nabi SAW sebelum agama Islam didakwahkan secara "resmi" oleh Rasulullah SAW. Waraqah masih saudara sepupu Khadijah, istri kecintaan Nabi SAW, putra dari salah seorang paman Khadijah, Asad bin Abdul Uzza. Dia termasuk dari sedikit orang Arab yang orang yang beragama Nashrani, bahkan punya keahlian menulis buku dalam bahasa Ibrani, termasuk menulis (menyalin) Injil. Waraqah berperan penting menentramkan Nabi SAW ketika beliau pertama kali memperoleh wahyu.
Beberapa tahun sebelum berusia 40 tahun, Nabi SAW sering mengasingkan diri ke Gua Hira untuk merenungkan berbagai macam hal, termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik kenyataan. Beliau membawa bekal secukupnya, yang biasanya cukup untuk satu bulan di dalam gua Hira. Setelah bekalnya habis, beliau kembali ke rumah di Makkah. Setelah beberapa hari di rumah, beliau kembali lagi ke Gua Hira meneruskan "uzlah" dan perenungan beliau.
Setelah genap berusia 40 tahun (dalam hitungan qomariah/hijriah), beliau memperoleh impian yang mirip dengan suasana fajar menyingsing di waktu subuh. Mimpi yang mirip seperti itu berulang-ulang datang selama enam bulan, sampai akhirnya beliau didatangi Malaikat Jibril menyampaikan wahyu yang pertama, al Iqra', yakni surat al Alaq ayat 1-5.
Suatu malam ketika di gua Hira, ketika itu hari senin tanggal 21 Ramadhan (sebagian pendapat menyatakan  tanggal 17, 18 atau 7 Ramadhan), Nabi SAW didatangi sosok, yang kemudian dikenali sebagai Malaikat Jibril, yang berkata kepada beliau, "Bacalah"
Beliau gemetar melihat kehadiran sosok Malaikat Jibril yang tidak/belum dikenalinya ini, dan berkata, "Saya tidak bisa membaca!!"
Memang Nabi SAW tidak mengerti baca tulis, karena itu beliau sering disebut dengan Nabiyyil Ummi (Nabi yang buta huruf). Malaikat Jibril memegang dan mendekap Nabi SAW hingga beliau merasa sesak. Kemudian melepaskannya lagi dan berkata, "Bacalah!!"
Nabi SAW berkata lagi, "Saya tidak bisa membaca…!!"
Sekali lagi Malaikat Jibril mendekap beliau hingga beliau merasa sesak, kemudian melepaskannya dan berkata, "Iqra' bismi rabbikalladzii kholaq, kholaqol insaana min alaq, Iqra' wa rabbukal akram, alladzii 'allama bil qolam, 'allamal insaana maa lam ya'lam." (QS al Alaq 1-5).
Artinya lebih kurang sebagai berikut : Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang telah menciptakan; Dia menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar dengan perantaraan kalam (pena); Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Itulah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi SAW lewat Malaikat Jibril. Beliau mengulang kalimat-kalimat wahyu tersebut dengan lancar, walaupun dengan hati yang gemetar, kemudian Malaikat Jibril berlalu (menghilang). Beliau segera turun dari Gua Hira dan pulang ke Makkah. Badan beliau menggigil seperti orang yang terkena penyakit demam. Setelah bertemu istri beliau, Khadijah, beliau berkata, "Selimutilah aku, Selimutilah aku!!"
Khadijah menyelimuti beliau, dan setelah mulai tenang, beliau berkata, "Apa yang terjadi denganku?"
Kemudian beliau menceritakan semua peristiwa yang beliau alami di dalam Gua Hira malam itu, dan menutupnya dengan berkata, "Sesungguhnya aku mengkhawatirkan keadaan diriku sendiri..!!"
Khadijah dengan bijak berkata, "Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakan dirimu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan dan meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran…!!"
Beberapa waktu/tahun sebelum pernikahannya dengan Muhammad SAW (saat itu belum menjadi Nabi SAW),  Khadijah pernah bermimpi, matahari turun dari langit ke atas Kota Makkah, kemudian matahari itu meluncur masuk ke rumahnya, dan menerangi seluruh penjuru rumahnya, dan juga lingkungan sekelilingnya. Mimpi yang begitu berkesan tersebut diceritakan kepada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, dan ia berkata, "Sungguh akan turun (datang) seorang nabi dari Kota Makkah, dan engkau (Khadijah) akan menjadi istrinya, dan nabi tersebut akan menyampaikan dakwah dari dalam rumahmu…!!"
Dengan cerita yang disampaikan Nabi SAW itu, segera saja Khadijah teringat akan impiannya belasan tahun  sebelumnya. Ia mengajak Nabi SAW untuk menemui Waraqah bin Naufal, yang saat itu usianya telah sangat lanjut dan matanya telah buta. Setelah bertemu, Khadijah berkata, "Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita dari anak saudaramu ini (yakni Muhammad SAW)!!"
Waraqah berkata kepada Nabi SAW, "Apa yang telah engkau lihat, wahai anak saudaraku??"
Nabi SAW menceritakan secara detail pengalaman beliau ketika didatangi sosok (Malaikat Jibril) di Gua Hira. Mendengar cerita tersebut, Waraqah berkata dengan rona wajah gembira, "Itu adalah Namus (yakni, Malaikat Jibril) yang diturunkan Allah kepada Musa!! Andai saja aku masih muda ketika masa itu tiba…andai saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu..!!"
Matanya yang telah memutih dan buta tersebut tampak berbinar-binar penuh harapan. Nabi SAW berkata, "Benarkah mereka akan mengusirku??"
"Benar, tak seorangpun yang membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali dia akan dimusuhi…" Kata Waraqah, matanya yang buta tampak menerawang jauh, kemudian berkata lagi, "Andai saja aku masih hidup pada masamu nanti (diangkat menjadi Rasul), tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh…!!"
Nabi SAW menjadi lebih tenang dengan penjelasan Waraqah bin Naufal.
Beberapa waktu (bulan) berselang, wahyu tersebut seakan terputus dan beliau menjadi bimbang. Pada dasarnya, Nabi SAW sangat tidak suka dengan penyair dan syair-syairnya. Ketika wahyu pertama tersebut terputus seakan tidak ada kelanjutannya, beliau berfikir jangan-jangan itu sekedar syair semata, sebagaimana syair-syair yang disenandungkan oleh kaum Quraisy, dan hal itu menyebabkan beliau sangat gelisah.
Dalam puncak kegelisahan tersebut, beliau ingin mati saja dengan menerjunkan diri dari puncak gunung yang tinggi. Beliau mendaki sebuah gunung, tetapi belum jauh mendaki, tiba-tiba terdengar suara dari langit, "Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku adalah Jibril…!!"
Beliau mendongakkan kepala ke langit, dan di sana beliau melihat Jibril dalam rupa seorang lelaki dengan wajah sangat berseri, kedua kakinya menapak di ufuk langit. Sekali lagi Jibril berkata, "Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku adalah Jibril…!!"
Nabi SAW hanya terdiam dalam kebingungan, kaki beliau seakan terpaku ke bumi, tidak bisa bergerak maju ataupun mundur. Setiap kali beliau berpaling ke arah langit yang lain, sosok Jibril tersebut telah ada di sana dengan tersenyum kepada beliau. Peristiwa tersebut berlangsung beberapa waktu (jam) lamanya, setelah Malaikat Jibril telah benar-benar lenyap (pergi) dari ufuk langit, barulah beliau bisa menggerakkan kaki dan beliau segera pulang  ke Makkah.
Sementara itu di Makkah, Khadijah merasa kehilangan Nabi SAW. Ia telah mengutus beberapa orang untuk mencari keberadaan beliau di Makkah dan sekitarnya tetapi mereka tidak bisa menemukan beliau. Setelah para pencari tersebut pulang dengan  tangan hampa dan kembali ke rumahnya masing-masing, barulah Nabi SAW sampai di rumah, dan beliau langsung duduk di paha Khadijah dan bersandar kepada istrinya tercinta tersebut. Khadijah berkata, "Darimana saja engkau, wahai Abul Qasim? Sungguh aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu ke Makkah dan sekitarnya, tetapi mereka pulang dengan tangan hampa…!!"
Nabi SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan lengkap. Setelah Nabi SAW tertidur karena cape, Khadijah segera menemui Waraqah dan menceritakan pengalaman Nabi SAW tersebut. Dengan gembira Waraqah berkata, "Mahasuci, Mahasuci, demi jiwa Waraqah yang ada di Tangan-Nya, Namus yang besar, yang pernah datang  kepada Musa kini benar-benar telah datang kepadanya (lagi), dia (Muhammad SAW) adalah benar-benar nabi umat ini…!! Katakan kepadanya agar ia berteguh hati..!!"
Khadijah segera kembali ke rumah. Setelah Nabi SAW bangun dari tidurnya, Khadijah berkata, "Bergembiralah anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang berada di Tangan-Nya, aku benar-benar berharap engaku akan menjadi nabi dari umat ini…!!"
Beberapa waktu kemudian, ketika Nabi SAW bertemu langsung dengan Waraqah bin Naufal, beliau menceritakan pengalaman beliau tersebut, dan sekali lagi Waraqah berkata dengan gembira, "Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar  telah datang kepadamu, sebagaimana ia pernah datang kepada Musa…!!"
Sayangnya, sebelum turunnya wahyu kedua, Surat al Muddatstsir ayat 1-7, yang memerintahkan Nabi SAW  untuk mulai mendakwahkan agama baru, Risalah Islamiyah, Waraqah bin Naufal telah berpulang ke rahmatullah.
Sungguh tidaklah salah bila kita katakan, Waraqah telah membenarkan dan menjadi Islam sebelum agama Islam itu sendiri didakwahkan…Wallahu A'lam

Auf bin Harits bin Rifaah Al Afra RA

Auf bin Harits bin Rifaah adalah seorang pemuda dari kalangan Anshar dan saudara kandung dari Muawwidz bin Harits al Afra, salah satu dari dua pemuda Anshar yang membunuh Abu Jahal di Perang Badar. Nama al Afra dinisbahkan kepada ibunya, karena itu Auf bin Harits terkadang dikenali dengan nama Auf bin Harits al Afra, atau Auf bin Afra saja.
Auf bin Harits merupakan orang Yatsrib (nama Madinah sebelum Islam) yang mula-mula memeluk Islam, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘pioner’ dari tersebarnya Islam di kotanya itu. Saat itu tahun ke sebelas dari kenabian, bersama lima orang temannya yang masih sama-sama muda, ia melaksanakan ibadah haji. Mereka berenam ini memang terkenal sebagai pemuda yang cerdas dan cukup berpengaruh di kabilahnya masing-masing. Suatu malam, usai melaksanakan seluruh ritual haji (tentunya dengan cara jahiliah), mereka duduk-duduk di Aqabah, Mina sambil mengobrol. Tiba-tiba muncul tiga orang, yang salah satunya berkata, “Siapakah kalian ini?”
Auf dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang Khazraj dari Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi??” Tanya lelaki itu.
“Benar!!”
Lelaki itu berkata dengan sopannya, “Bolehkan kami duduk sebentar bersama kalian dan memperbincangkan sesuatu!!”
Penampilan tiga orang itu memang sangat menarik, terutama lelaki yang berbicara tersebut, wajahnya sangat cerah layaknya bulan purnama bersinar, pandangan mata dan ucapannya sangat menyejukkan hati. Tentu saja, karena lelaki tersebut tidak lain adalah Rasulullah SAW, dan dua orang yang menemani beliau adalah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Karena itu mereka mempersilahkannya.
Nabi SAW kemudian menceritakan tentang risalah kenabian beliau dan seluk-beluk tentang keislaman. Usai beliau bercerita, ke enam orang tersebut saling berpandangan, kemudian salah satunya berkata, “Demi Allah, kalian semua mengetahui bahwa dia (yakni Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi, yang ciri-cirinya sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi. Karena itu jangan sampai mereka mendahului kalian, dan marilah kita mengikuti seruannya memeluk Islam!!”
Memang, dalam pergaulannya dengan orang-orang Yahudi Yatsrib selama ini, telah santer terdengar berita kalau mereka tengah menunggu kehadiran seorang nabi yang muncul pada masa itu, dan menyebutkan ciri-cirinya. Bahkan orang-orang Yahudi itu, yang termasuk minoritas dan lemah dibanding penduduk asli Yatsrib, sering membangga-banggakan kalau telah mengikuti nabi tersebut, mereka akan menjadi kuat dan mampu memerangi Khazraj dan Aus dan menghancur-leburkannya, sebagaimana di masa lalu kaum Ad dan Iram dihancurleburkan dengan pertolongan Allah.
Auf dan ke lima temannya tampaknya memang sependapat tentang kebenaran kenabian Rasulullah SAW itu. Apalagi dengan penjelasan beliau tentang Risalah Islamiah, mereka berharapan besar akan bisa menyatukan dua suku, Khazraj dan Aus, yang telah terlibat perang saudara selama bertahun-tahun lamanya, dan melenyapkan permusuhan yang berlarut-larut rasanya.
Satu persatu mereka menjabat tangan Rasulullah SAW dan menyatakan diri memeluk Islam. Setelah keislamannya, Auf berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami (yakni Khazraj) dan kaum lainnya (yakni Aus) terus-menerus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah akan menyatukan mereka dengan kehadiran engkau. Sepulangnya nanti, kami akan mengajak mereka untuk memeluk agama engkau, dan jika mereka bisa bersatu , maka sungguh tidak ada yang lebih mulia di mata kami kecuali engkau!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan niat Auf dan kawan-kawannya untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang Yatsrib, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ternyata benar, seruan mereka memperoleh sambutan luar biasa dari kaumnya termasuk dari ‘musuhnya’, kaum Aus. Segera saja nama Nabi Muhammad SAW menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat Yatsrib dan banyak sekali yang memeluk Islam.
Pada tahun haji berikutnya, yakni tahun ke duabelas dari kenabian, lima dari enam pemuda tersebut termasuk Auf bin Harits al Afra, berikut tujuh orang tokoh-tokoh dari berbagai kabilah termasuk dari suku Aus, bertemu dan menghadap Nabi SAW di Aqabah, Mina untuk meneguhkan keislaman mereka, mewakili sebagian besar dari kaumnya yang telah memeluk Islam. Peristiwa ini dalam tarikh Islam disebut sebagai Bai’atul Aqabah Pertama, dan menjadi salah satu tonggak perkembangan Islam.
Karena peristiwa itu, tidak heran kalau Auf bin Harits menjadi salah satu pemuda yang disayang dan diperhatikan khusus oleh Rasulullah SAW.
Pada awal perang Badar, tiga orang penunggang kuda yang handal dari kaum kafir Quraisy menantang duel. Mereka bertiga masih bersaudara, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, saudara kandung dari Hindun binti Utbah. Mendapat tantangan duel ini, tiga orang pemuda Anshar langsung maju menyambutnya, yakni Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tiga tokoh Quraisy tersebut tampaknya tidak berkenan, salah satu dari mereka berkata, "Siapakah kalian ini?"
"Kami adalah orang-orang Anshar!!" Kata ketiga pemuda tersebut.
"Kami hanya menginginkan orang-orang yang terpandang (untuk menerima tantangan kami), kami tidak memerlukan kalian. Kami hanya menginginkan kerabat pamanku..!!"
Sebagian dari kaum kafir Quraisy juga ada yang berkata, "Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang terpandang yang berasal dari kalangan kami!!"
Para pemuda Anshar tersebut tampaknya marah dan tersinggung dengan sikap yang meremehkan itu, tetapi Nabi SAW memanggil mereka untuk kembali. Kemudian beliau memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib untuk menghadapi mereka, dan akhirnya berhasil mengalahkannya. Tetapi Ubaidah terluka parah dalam duel tersebut, yang menghantarnya memperoleh syahid dalam pangkuan Rasulullah SAW.
Auf bin Harits cukup kecewa karena gagal berduel dengan tokoh Quraisy. Karena itu, setelah peperangan mulai berlangsung, ia mendatangi Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang bisa menyebabkan Rabb (Allah) tersenyum terhadap hamba-Nya??"
Nabi SAW tersenyum melihat semangatnya. Beliau memang seorang motivator yang hebat, yang memahami benar bagaimana perasaan pemuda Anshar ini akibat peristiwa yang dialami sebelumnya. Beliau bersabda, "Kalau Dia melihat hamba-Nya menerjunkan diri menyerang musuh tanpa memakai baju besi!!"
Mendengar sabda beliau ini, Auf segera melepaskan baju besi yang dipakainya, kemudian menghambur menyerang musuh dengan pedangnya. Benarlah yang dikatakan Rasulullah SAW, dengan tanpa memakai baju besi, ia jadi lebih leluasa bergerak dan lebih maksimal dalam "menumpahkan" semangatnya untuk membela panji-panji keislaman. Tetapi tak ayal, tubuhnya-pun menjadi serangan empuk dari berbagai macam senjata musuh dan akhirnya ia menemui syahidnya.
Bukanlah penyesalan, karena kesyahidan itulah yang sebenarnya banyak diinginkan oleh para sahabat Nabi SAW. Bahkan Khalid bin Walid sempat "menyesal" ia tidak bisa menemui syahidnya di medan pertempuran tetapi hanya ‘syahid’ di atas tempat tidurnya, karena ia selalu memenangkan berbagai pertempuran yang diterjuninya, berkat doa Nabi SAW, yang kemudian menggelarinya sebagai Syaifullah, Si Pedang Allah.
Bagi Auf bin al Afra sendiri, kesyahidannya seolah melengkapi kemuliaan keluarganya, karena saudaranya Muawwidz bin al Afra, setelah berhasil membunuh Abu Jahal juga menemui syahidnya di perang Badar tersebut. Sedangkan saudara kandungnya yang lain, Mu’adz bin Harits al Afra tetap dalam keadaan hidup walau mengalami banyak luka-luka. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan, Mu’adz juga meninggal beberapa hari atau minggu setelah perang Badar tersebut.

Salamah bin Yazid al Ju'fiy RA

Salamah bin Yazid pernah bertanya kepada Rasulullah SAW "Wahai Nabi Allah, bagaimana pendapat tuan, jika seandainya di tengah-tengah kami diangkat seorang pemimpin, yang mana mereka menuntut kami akan hak mereka, tetapi mereka tidak mau memenuhi hak kami!! Apakah yang tuan perintahkan kepada kami?"
Walau Nabi SAW dengan jelas mendengarnya, tetapi beliau mengabaikannya, seolah-olah beliau tidak suka dengan pertanyaan tersebut. Tetapi Salamah tidak menangkap/mengerti isyarat tersebut, sehingga ia mengulangi pertanyaannya. Akhirnya beliau bersabda, "Dengarkan dan taati mereka, karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggung-jawaban atas kewajiban mereka. Dan kamu juga akan dimintai pertanggung-jawaban atas kewajiban kamu!!"
Tentunya dalam mentaati mereka, yakni para pemimpin atau penguasa (ulil amri), sejauh ketaatan tersebut  tidak menyalahi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Memang, dalam kesempatan lain beliau pernah berpesan kepada para sahabat, mungkin saat itu Salamah tidak hadir di antara mereka, "Sesungguhnya setelah aku nanti telah tiada (wafat), akan muncul orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri (termasuk para pemimpin /penguasa) dan akan muncul pula hal-hal yang kamu anggap mungkar!!"
Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang tuan perintahkan kepada kami (jika mengalami masa itu)?"
Beliau bersabda, "Kamu harus menunaikan kewajibanmu, dan (hendaklah) kamu memohon kepada Allah atas apa yang menjadi hakmu…!!"

Thikhfah al Ghiffary RA

Suatu ketika Thikhfah al Ghiffary sedang tidur-tiduran dengan tertelungkup. Tiba-tiba ada seseorang yang  mendatanginya, dengan  kakinya, orang tersebut menggerak-gerakkan tubuhnya untuk membangunkannya, lalu berkata kepadanya, "Tidur semacam ini adalah tidur yang dibenci oleh Allah….!!"
Thikhfah memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang membangunkannya tersebut, dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah SAW. Segera saja ia bangkit, kemudian meminta maaf dan berterima kasih atas nasehat yang beliau berikan kepadanya.
Dalam riwayat-riwayat lainnya disebutkan, bahwa Nabi SAW biasanya tidur dengan memiringkan tubuh beliau ke sebelah kanan, yakni meletakkan pinggang sebelah kanan di tanah/alas tidur kemudian membaca doa. Sahabat Abdullah bin Yazid juga pernah melihat Nabi SAW tiduran di masjid dengan telentang, dan meletakkan satu kaki di  atas kaki lainnya.

Jabir bin Sulaim al Hujaimy RA

Jabir bin Sulaim al Hujaimy atau nama kunyahnya adalah Abu Juray, suatu ketika ia melihat seseorang yang  selalu diikuti oleh banyak orang. Segala pendapat dan perkataannya selalu diikuti dan dipatuhi. Jabir bertanya kepada  salah seorang di antara mereka, "Siapakah orang itu?"
"Dia adalah Rasulullah SAW…" Kata sahabat yang ditanya tadi.
Jabir mendekat kepada Nabi SAW dan berkata, "Alaikas salaamu, yaa Rasuulallah..!!"
Seperti tidak mendengar atau mengabaikannya, Nabi SAW tidak menjawab. Jabir mengulangi ucapan yang sama, kemudian beliau bersabda, "Janganlah kamu mengatakan 'alaikas salam, karena ucapan 'alaikas salam adalah untuk orang yang telah meninggal dunia. Tetapi ucapkanlah Assalamu 'alaika…!"
Jabir mengulang salam seperti diajarkan Nabi SAW, kemudian berkata lagi, "Benarkah engkau utusan Allah?"
"Benar," Kata Nabi SAW, "Aku adalah utusan Allah..!!"
"Siapakah Allah yang mengutusmu itu?" Tanya Jabir lagi.
Beliau bersabda, "Dia adalah Dzat, yang apabila kamu tertimpa suatu musibah kemudian kamu berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan menghilangkan musibah yang menimpamu. Apabila kamu tertimpa musim paceklik, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan segera menumbuhkan tanaman untuk kamu. Dan jika kamu berada di gurun sahara atau di suatu tanah lapang, kemudian kendaraanmu atau ternakmu hilang, kemudian kamu berdoa kepada Dia, niscaya Dia akan mengembalikannya kepadamu…!!"
Jabir bin Sulaim sangat tertarik dengan penjelasan Nabi SAW yang begitu sederhana tentang masalah Ketuhanan, tetapi jelas dan mudah dipahami. Segera saja ia memutuskan untuk memeluk Islam dan berba'iat kepada Nabi SAW. Kemudian ia berkata, "Berilah saya nasehat, ya Rasulullah!!"
Beliau bersabda, "Janganlah sekali-kali engkau memaki seseorang…!!"
Nasehat pertama beliau dalam keislamannya ini begitu melekat di benaknya, dan ia berkomitmen kuat untuk melaksanakannya. Dan setelah itu ia tidak pernah memaki apapun, bukan sekedar orang-orang yang merdeka, bahkan budak, onta dan kambingpun, tidak pernah ia memakinya setelah menerima nasehat beliau itu.
Beliau juga memberi nasehat kepadanya, "Janganlah sekali-kali engkau meremehkan suatu kebaikan, dan berkatalah kepada temanmu dengan muka yang manis, sesungguhnya yang demikian itu merupakan suatu kebaikan juga. Dan tinggikanlah kainmu (sarungmu) sampai pertengahan betis, dan kalau kamu enggan, boleh sampai kedua mata kaki. Tetapi janganlah engkau memanjangkannya melebihi kedua mata kaki, karena itu merupakan kesombongan, dan Allah tidak suka pada sifat sombong. Dan jika seseorang memaki dan mencela engkau dengan sesuatu yang diketahuinya tentang dirimu, maka janganlah engkau (membalas) mencelanya dengan sesuatu yang engkau ketahui tentang dirinya. Sesungguhnya akibat dari caci maki itu akan kembali kepada dirinya….!!"

Hindun binti Utbah RA

Hindun binti Utbah merupakan putri tokoh Quraisy yang sangat keras permusuhan kepada Islam, yakni Utbah bin Rabiah. Begitu juga dengan suaminya, Abu Sufyan bin Harb, yang menjadi tokoh utama atau bisa disebut sebagai "raja" Makkah setelah kematian bapaknya di Perang Badar. Hindun juga merupakan "arsitek" yang merencanakan pembunuhan Hamzah bin Abdul Muthalib, Pahlawan Islam, Singa Allah dan paman Nabi SAW di Perang Uhud melalui tangan Wahsyi, seorang budak Habsyi. Hal itu dilakukannya untuk menuntut balas karena ayah dan saudara-saudaranya yang tewas di Perang Badar, tak lepas dari peran Hamzah.
Allah SWT memang memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, tanpa ada yang bisa memaksa dan mengatur keinginan-Nya. Kalau kepada Abu Thalib yang membela dan melindungi Nabi SAW dalam menjalankan dakwah di Makkah, Dia menghendakinya untuk mati dalam kekafiran, maka terhadap tiga orang ini sebaliknya.
Suami istri Abu Sufyan dan Hindun, berikut budak yang disuruhnya, Wahsyi, menorehkan luka yang teramat dalam  terhadap Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya dalam perang Uhud. Bukan masalah kalah-menangnya peperangan, tetapi perlakuan Hindun khususnya terhadap jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, yang sangat tidak manusiawi. Bahkan sebagian riwayat menyebutkan, karena begitu sedih dan berdukanya, Nabi SAW berdiri di hadapan jenazah Hamzah sambil bersabda, "…sungguh, akan aku perbuat terhadap tujuh puluh (dalam riwayat lain, tiga puluh) orang lelaki dari mereka, sebagaimana yang diperbuat terhadap dirimu…!!"
Tetapi seketika itu Jibril AS turun membawa wahyu Allah, Surat an Nahl ayat  125-128 sebagai teguran atas sikap Nabi SAW tersebut, dan beliau pun membatalkan rencana seperti itu. Dan terbuktilah kemudian Allah berkenan memberikan hidayah-Nya kepada tiga orang tersebut ketika terjadinya Fathul Makkah.
Malam hari pada hari terjadinya Fathul Makkah, Hindun berkata kepada suaminya, Abu Sufyan bin Harb, "Sesungguhnya aku mau berba'iat kepada Rasulullah SAW."
"Aku melihat kamu ini masih kufur!" Kata suaminya, yang telah memeluk Islam beberapa waktu sebelum Nabi SAW tiba di Makkah, yakni dalam perjalanan dari Madinah ke Makkah.
Hindun berkata, "Demi Allah! Demi Allah! Tidak pernah aku melihat sebelum ini, Allah disembah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya di masjid ini (Masjidil Haram) pada malam  hari ini. Tidaklah mereka menghabiskan malam, kecuali dengan ruku, sujud dan thawaf hingga subuh."
Abu Sufyan bertanya, "Apakah kamu melihat semua ini dari Allah?"
"Ya, ini memang dari Allah!!" Kata Hindun dengan tegas.
Keesokan harinya Hindun datang kepada Rasulullah SAW dengan saudaranya, Fathimah binti Utbah untuk memeluk Islam. Mereka diantar oleh saudaranya yang telah memeluk Islam sejak masa-masa awal, yakni Abu Hudzaifah bin Utbah. Riwayat lain menyebutkan bahwa Hindun datang bersama beberapa orang wanita Quraisy lainnya dengan diantar Utsman bin Affan, yang memang masih kerabat dekatnya.
Hindun datang menghadap dengan memakai cadar. Ia tidak ingin langsung dikenali, bagaimanapun ada perasaan malu dan bersalah kepada Nabi SAW karena tindakannya yang keterlaluan terhadap jenazah Hamzah pada waktu Perang Uhud, tindakan yang didorong oleh perasaan dendam jahiliah semata. Setelah tiba di hadapan Nabi SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah memenangkan agama yang telah dipilih-Nya sendiri. Semoga aku memperoleh manfaat dari kasih sayangmu, sesungguhnya aku adalah wanita yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…"
Sesaat ia berhenti bicara untuk membuka cadar yang menutupi wajahnya, kemudian berkata lagi, "Wahai Rasulullah, saya adalah Hindun binti Utbah…!!"
Tentu saja Nabi SAW tidak mungkin tidak mengenal Hindun, dan tidak mungkin pula beliau lupa akan apa  yang terjadi pada jenazah Hamzah di Perang Uhud. Tetapi beliau bukanlah sosok pendendam, sosok yang mudah memvonis seseorang dengan neraka atau dosa yang tidak terampunkan. Sebaliknya, beliau adalah pribadi yang pemaaf, penuh kasih sayang, bahkan terhadap orang-orang yang pernah menyiksa dan memperolok-olokkan beliau seperti yang terjadi pada peristiwa Thaif. Memang sangat tepat kalau beliau diutus sebagai rahmatan lil 'alamin, sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Melihat "strategi" yang dijalankan Hindun tersebut, Nabi SAW hanya tersenyum kemudian bersabda, "Selamat datang untukmu…!!"
Hindun amat gembira dengan sambutan Nabi SAW, seolah-olah tidak pernah suatu peristiwa yang mengganjal di antara mereka di masa lalu. Akhirnya ia berkata, "Sungguh, dahulu tidak ada penghuni rumah di muka bumi yang ingin kuhinakan selain penghuni rumahmu, tetapi sekarang ini tidak ada penghuni rumah di muka bumi yang lebih aku sukai untuk dimuliakan selain penghuni rumahmu…!!"
Nabi SAW amat senang dengan sanjungan yang diberikan Hindun, kemudian beliau memba'iatnya, berikut wanita-wanita Quraisy yang menyertainya, dengan tuntunan yang ada pada Surat al Mumtahanah ayat 12. Hindun sempat menyela pembicaraan beliau, "Wahai Rasullullah, apakah kami tidak perlu berjabat tangan denganmu (dalam ba'iat ini, sebagaimana kalau beliau memba'iat kaum lelaki...)?"
Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya perkataanku kepada seratus wanita sama seperti perkataanku kepada seorang wanita (dalam memba'iat ini)…."
Kemudian beliau meneruskan proses ba'iat bagi Hindun dan wanita-wanita Quraisy tersebut.

Seorang yang Lupa Membaca Bismillah

Ketika Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan beberapa orang sahabat, salah seorang lelaki dari mereka makan, dan ia tidak memulainya dengan membaca Bismilah. Beliau hanya memperhatikan saja tanpa menegurnya. Tetapi, ketika tinggal suapan terakhir, tiba-tiba ia berhenti seperti teringat sesuatu, dan berkata, "Bismillaahi awwalahu wa-aakhiruhu…"
Kemudian ia memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
Nabi SAW yang sebelumnya hanya diam memperhatikan, tiba-tiba tertawa. Seorang sahabat yang keheranan dengan sikap beliau ini menanyakan sebabnya, dan beliau bersabda, "Syetan selalu menyertai lelaki tersebut ketika ia makan (karena ia tidak mengawalinya dengan membaca  Bismillah). Dan ketika ia mengucapkan asma Allah, maka syetan itu memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya…!!"

Uqbah bin Harits RA

Uqbah bin Harits, kunyahnya Abu Sirwa'ah, suatu ketika menikah dengan putri dari Abu Ihab bin Aziz. Setelah beberapa waktu berlalu, seorang wanita agak tua datang menemuinya dan berkata, "Sesungguhnya saya dahulu pernah menyusui engkau, dan aku juga pernah menyusui wanita yang menjadi istrimu itu..!!"
Uqbah kaget dengan pengakuan wanita tersebut. Itu artinya ia dan istrinya masih saudara sesusuan, dengan demikian sebenarnya mereka masih "mahram" dan dilarang menikah. Uqbah berkata, "Saya tidak tahu bahwa kamu dahulu menyusui saya, dan kamu tidak pernah memberitahukannya kepadaku!!"
Uqbah bergegas pergi ke Madinah menemui Nabi SAW untuk menceritakan permasalahannya tersebut, dan beliau bersabda, "Bagaimana lagi, sedangkan hal itu telah jelas (hukumnya)….!!"
Uqbah tidak banyak bertanya lagi. Setelah mengucap terima kasih dan salam, ia bergegas pulang ke tempat tinggalnya, kemudian menceraikan istrinya. Walau sebenarnya ia masih sangat mencintai istrinya, dan pernikahannya belum berlangsung lama, tetapi pilihan untuk menjalani pernikahan sesuai petunjuk syariat Rasulullah SAW adalah pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Beberapa waktu kemudian, setelah iddahnya habis, bekas istrinya yang masih saudara sesusunya itu menikah lagi dengan orang lain.

Arqam bin Abil Arqam RA

Arqam bin Abil Arqam al Makhzumy adalah sahabat yang memeluk Islam pada hari-hari pertama didakwahkannya Islam, bersamaan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah, Bilal bin Rabah, Abu Salamah dan beberapa lainnya. Mereka yang disebut sebagai as sabiqunal awwalin ini telah dijamin memperoleh keridhaan Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Surat at Taubah ayat 100, yang artinya memperoleh jaminan masuk surga.
Ketika kaum Quraisy makin meningkatkan teror dan penyiksaan kepada para pemeluk Islam, Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk menyembunyikan keislaman mereka, termasuk segala aktivitas ibadah dan majelis pengajaran keislaman. Dari beberapa tempat yang dipertimbangkan, Nabi SAW memutuskan memilih tempat tinggal Arqam bin Abil Arqam, karena tempatnya agak terpencil di atas bukit Shafa. Orang-orang Quraisy tidak mudah melakukan kegiatan pengintaian dan mata-mata, karena dengan cepat bisa diketahui kehadirannya.
Rumah Arqam atau Darul Arqam menjadi madrasah pertama dalam Islam, sekaligus pusat kegiatan islam (islamic center) walaupun sifatnya sembunyi-sembunyi. Di rumahnya ini, Nabi SAW mendidik dan membentuk jiwa-jiwa yang tangguh dalam berdakwah dan membela Islam. Tercatat ada sekitar 40 sahabat yang aktif hadir di rumah al Arqam, dari yang termuda berusia 8 tahun, yakni Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam, sampai yang paling tua, yakni Ubaidah bin Harits, yang berusia 50 tahun.
Ketika Hamzah bin Abdul Muthalib memeluk Islam, disusul kemudian oleh Umar bin Khaththab tiga hari kemudian, kegiatan ibadah dan pengajaran mulai bisa dilaksanakan di luar Darul Arqam, termasuk di halaman Masjidil Haram, berkat pengawalan dan pengamanan dua tokoh jagoan Quraisy ini. Tetapi Darul Arqam tetap menjadi agenda harian Nabi SAW dalam memberikan pengajaran keislaman, sampai akhirnya kaum muslimin diwajibkan untuk hijrah ke Madinah.

Nu'aim bin Mas'ud al Asyja'y RA

Nu'aim bin Mas'ud bin Amir al Asyja'y, adalah salah seorang pemuka dari Ghathafan, salah satu suku besar yang ikut bersekutu dengan kaum Quraisy untuk menyerang kaum muslimin di Madinah, yakni dalam perang Ahzab atau Khandaq. Nu'aim adalah orang yang mempunyai keahlian dalam hal diplomasi dan negosiasi. Sebagian riwayat menyebutkan, ia bergabung dengan sekelompok kaum Yahudi Bani Nadhir, dan berhasil mempengaruhi (memprovokasi) kaum Quraisy dan kaum Ghathafan untuk bersekutu menyerang Madinah, termasuk mempengaruhi kaum Yahudi Bani Quraizhah (yang tinggal di Madinah) yang sebenarnya terikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin dalam Piagam Madinah. Mereka ini diminta untuk menyerang kaum muslimin dari dalam, yang diam-diam akan didukung oleh kaum munafik.
Sebenarnyalah posisi kaum muslimin dalam perang Khandaq tersebut cukup kritis. Sepuluh ribu prajurit gabungan kaum musyrikin tersebut jauh lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita dan anak-anak. Belum lagi aroma pengkhianatan yang akan dilakukan oleh kaum Yahudi Bani Quraizhah dan kaum munafik sangat terasa. Untunglah strategi pertahanan dengan parit yang disarankan oleh Salman al Farisi berhasil menghambat gerak pasukan sekutu tersebut.
Untuk mengatasi situasi kritis ini, Nabi SAW sempat merancang strategi untuk mengadakan perjanjian dengan dua pemimpin Ghatafan, yakni Uyainah bin Hisn dari Bani Fazarah dan Harits bin Auf dari Bani Murrah. Beliau akan  menyerahkan sepertiga hasil panen korma Madinah, asalkan mereka menarik diri (mundur) dari persekutuan dengan kaum Quraisy. Tetapi ketika rencana ini disampaikan kepada dua pemimpin Anshar, Sa'd bin Mu'adz dan Sa'd bin Ubadah, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jika Allah memang memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti itu, kami akan tunduk dan patuh…"
"Ini adalah pendapatku sendiri..." Kata Nabi SAW, "Sebab aku melihat semua orang Arab sedang menyerang kalian dari segala penjuru…!!"
"Kalau memang begitu, kami tidak membutuhkannya, Ya Rasulullah..!!" Kata mereka berdua.
Bukan maksud mereka menolak atau membangkang pendapat Nabi SAW, hanya saja mereka memilih untuk berjuang demi Islam, demi Allah dan demi Rasul-Nya, daripada sekedar memikirkan keselamatan mereka sendiri. Kemudian mereka berkata lagi, "Dahulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah korma dari kami kecuali lewat jalan jual beli atau sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk Islam lewat engkau, mengapa kami harus memberikan harta kami? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang-pedang kami …(dalam peperangan)…!!"
Nabi SAW menghargai pendapat tersebut, dan mendoakan kebaikan bagi mereka.
Ketika beliau sedang memikirkan jalan dan strategi lainnya, Nu'aim bin Mas'ud datang menghadap beliau. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah (memutuskan) untuk memeluk Islam, dan tidak ada seorangpun dari kaumku yang mengetahui tentang keislamanku ini. Karena itu, perintahkanlah kepadaku apa yang engkau kehendaki!!"
Nabi SAW amat gembira mendengar pengakuan Nu'aim ini. Seolah-olah Allah mengirimkan Nu'aim sebagai jalan keluar bagi suasana kritis dan sulit yang dialami oleh kaum muslimin. Setelah memba'iatnya, beliau bersabda, "Engkau adalah orang satu-satunya, berilah pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu, karena sesungguhnya perang itu adalah tipu muslihat!!"
Nu'aim mengerti apa yang dimaksudkan Nabi SAW. Ia pamit kepada beliau dan pergi kepada kaum Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah. Mereka adalah kawan karibnya semasa jahiliah. Setelah bertemu mereka,  ia berkata, "Kalian tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dengan kalian!!"
"Engkau benar!!" Kata mereka.
Nu'aim mulai melancarkan strateginya memecah-belah musuh dengan memanfaatkan kemampuannya dalam diplomasi dan negosiasi, ia berkata, "Orang-orang Quraisy tidak bisa disamakan dengan kalian. Negeri ini milik kalian, di sini ada harta benda, istri dan anak-anak kalian. Tidak mudah bagi kalian meninggalkan negeri ini untuk pindah ke tempat lain. Sementara  Quraisy dan Ghathafan datang memerangi Muhammad, dan kalian menampakkan dukungan kepada mereka, padahal negeri, harta benda, istri dan anak-anak mereka berada di tempat lain. Jika mereka kalah, dengan mudah pulang ke negeri mereka sendiri, sedangkan kalian akan menghadapi Muhammad, yang akan melampiaskan dendam kepada kalian…."
Tampaknya kaum Yahudi tersebut terpengaruh oleh penjelasan yang disampaikannya, yang memang sangat logis. Karena itu mereka berkata, "Lalu, bagaimana baiknya wahai Nu'aim?"
"Kalian jangan terjun ke pertempuran dan berperang bersama mereka sebelum mereka memberikan jaminan, yakni mintalah salah seorang pemimpin mereka untuk tinggal bersama kalian….!!" Kata Nu'aim.
"Engkau memberikan pendapat yang sangat tepat!!"
Mereka berterima-kasih atas saran yang diberikan Nu'aim, setelah itu ia berpamitan dan diam-diam menuju tempat berkumpulnya pasukan Quraisy. Setelah bertemu Abu Sufyan dan tokoh-tokoh Quraisy lainnya, ia menyebut  dan menceritakan tentang hubungan harmonis mereka yang telah terjalin selama ini, kemudian ia berkata, "Kalian semua tahu bagaimana kadar kecintaanku kepada kalian dan nasehat-nasehat yang pernah kusampaikan selama ini. Dan aku mempunyai informasi sangat penting untuk kalian, tetapi kalian harus merahasiakannya bahwa itu berasal dari aku!!"
"Baiklah, kami akan melakukannya..!!"
"Sesungguhnya kaum Yahudi (Bani Quraizhah) merasa menyesal telah melanggar perjanjiannya dengan Muhammad. Ia telah mengirim utusan kepada Muhammad untuk memperbaharui kesepakatan dan berjanji akan mengirimkan seorang tokoh Quraisy sebagai tebusannya. Karena itu, jika mereka meminta jaminan salah seorang pemimpin kalian, janganlah kalian memberikannya…!!"
Kaum Quraisy amat berterima kasih dengan informasi tersebut, kemudian Nu'aim "pulang" ke kaumnya sendiri, Ghathafan. Ia berkata kepada mereka, "Wahai orang Ghathafan, kalian semua adalah keluargaku, dan orang-orang yang paling kucintai. Kulihat kalian selalu mempercayaiku!!"
Mereka membenarkannya. Kemudian Nu'aim berkata kepada mereka seperti perkataannya kepada kaum Quraisy, dan mereka dengan senang hati akan melaksanakan nasehatnya tersebut.
Beberapa hari berlalu, di suatu hari jum'at, di bulan Syawal tahun 5 hijriah, para pemimpin Quraisy dan Ghathafan mengirim Ikrimah bin Abu Jahal sebagai utusan kepada Bani Quraizhah. Pesannya adalah mereka akan menyerang keesokan harinya, dan diminta Bani Quraizhah untuk menyerang dari arah belakang kaum muslimin, yakni dari dalam kota Madinah sendiri. Dengan begitu mereka dengan mudah bisa menghancurkan kaum muslimin.
Setelah utusan Quraisy pulang, kaum Yahudi Bani Quraizhah ganti mengirim utusan kepada mereka. Pesan yang disampaikannya adalah sbb, "Besok adalah hari sabtu, dan kami tidak boleh mengerjakan apa-apa pada hari itu. Lagipula, kami tidak akan memerangi Muhammad bersama kalian, kecuali kalian mengirimkan beberapa pemimpin kalian bersama kami, karena kami khawatir jika pertempuran telah berkobar, kalian pulang ke negeri kalian begitu saja dan membiarkan kami sendirian menghadapi Muhammad…!!"
Setelah utusan tersebut pulang, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, "Demi Allah, sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nu'aim bin Mas'ud…!!"
Setelah itu mereka mengirimkan utusan lagi ke Bani Quraizhah, dengan menyampaikan pesan, "Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan seorang pun dari pemuka-pemuka kami. Kalau kami ingin berperang, kami akan berperang sendiri. Kalau kalian ingin berperang, berangkatlah dan berperanglah sendiri…!!"
Setelah utusan tersebut menyampaikan pesan ini kepada Bani Quraizhah, mereka berkata, "Demi Allah, sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nu'aim bin Mas'ud, mereka hanya ingin mengambil kesempatan untuk kepentingannya sendiri, tidak memperdulikan kita sama sekali…!!"
Begitulah, kekacauan terjadi di antara pasukan sekutu yang mengepung Madinah. Quraisy dan Ghathafan tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya dalam menyerang kaum muslimin. Di samping halangan parit yang cukup merepotkan, mereka juga khawatir kalau kaum Yahudi Bani Quraizhah ternyata benar bergabung dengan pasukan muslimin, sehingga hampir tidak mungkin mereka mengalahkannya.
Tidak lama kemudian, Allah SWT melengkapi kekacauan itu dengan mengirimkan angin topan yang memporak-porandakan perkemahan mereka, sehingga mereka bergegas meninggalkan pinggiran kota Madinah.
Itulah rangkaian pertolongan Allah yang memenangkan pasukan muslimin di Perang Khandaq, yang diawali dengan keislaman Nu'aim bin Mas'ud. Setelah keislamannya, ia ditugaskan Nabi SAW untuk berdakwah kepada kaum kerabatnya, Bani Asyja'y, dan  mengajak mereka untuk berjihad di jalan Allah.

Seorang Peminta Bekal kepada Nabi SAW

Seorang lelaki telah mempersiapkan diri untuk suatu perjalanan. Semua perlengkapan, tunggangan dan bekal makanan yang diperlukan telah tersedia, tetapi ia merasa ada sesuatu yang kurang. Tiba-tiba ia teringat kepada Rasulullah SAW dan bergegas menemui beliau. Setelah bertemu ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya akan bepergian, karena itu saya meminta bekal kepada Tuan!!"
Nabi SAW bersabda kepadanya, "Semoga Allah membekali kamu dengan takwa!!"
Lelaki itu berkata lagi, "Tambahkanlah bekal itu, ya Rasulullah!!"
Beliau bersabda, "Semoga Allah mengampuni dosamu!!"
Lelaki itu berkata lagi, "Tambahkanlah bekal itu, ya Rasulullah!!"
Nabi SAW tersenyum, dan bersabda lagi, "Semoga Allah memudahkan kebaikan padamu dimanapun kamu berada…!!"
Lelaki tersebut sangat gembira dengan bekal doa dari Nabi SAW tersebut, setelah mengucap terima kasih ia berlalu dan segera berangkat ke tempat tujuannya.

Muawiyah bin Hakam as Sulamy RA

Suatu ketika Muawiyah bin Hakam sedang shalat bersama Rasulullah SAW, salah seorang jamaah tiba-tiba bersin, dan Muawiyah spontan berkata, "Yarhamukallah!!"
Para sahabat di sekitarnya segera membelalakkan matanya kepadanya, dan segera ia berkata, "Alangkah kecewanya ibuku, mengapa kalian memandangku seperti itu!!"
Atas ucapannya ini, beberapa sahabat memukulkan tangannya ke pahanya, dan Muawiyah baru mengerti kalau maksudnya adalah menyuruhnya untuk diam, dan ia tidak berkata-kata lagi. Memang, beberapa waktu sebelumnya telah turun larangan untuk bercakap-cakap di dalam shalat, dan ia belum mengetahuinya.
Usai shalat, Nabi SAW menghadapkan wajah kepada jamaah, dan Muawiyah sudah ketakutan beliau akan memarahinya karena sikapnya tadi. Tetapi ternyata beliau tidak membentak, memukul atau memakinya, dengan  lemah lembut beliau bersabda, "Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak diperbolehkan bercakap-cakap dengan manusia, walau hanya sepatah kata, karena shalat itu untuk membaca tasbih, takbir, dan ayat-ayat al Qur'an…"
Sebelum peristiwa itu, Muawiyah pernah bertanya kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru saja melewati masa jahiliah dan kini Allah telah mendatangkan Islam. Bahwasanya ada di antara kami yang suka mendatangi dukun-dukun…!!"
Dengan lembut beliau berkata, "Janganlah engkau mendatangi mereka!!"
Muawiyah berkata lagi, "Di antara kami, ada juga  orang-orang yang suka meramal…!!"
Nabi SAW bersabda, "Itu merupakan suatu kepercayaan yang ada di dalam hati mereka, maka jangan dibiarkan mereka seperti itu!!"
Karena pengalamannya seperti itu, dan ketika shalat tadi, Muawiyah berkata, "Demi ayah dan bundaku, tidak pernah saya melihat seorang pendidik yang yang lebih baik daripada beliau, baik sebelum atau sesudahnya…!!"