Barirah adalah budak milik Utbah (atau Uqbah) bin Abu Lahab,
salah satu putra Abu Lahab yang akhirnya memeluk Islam setelah Fathul Makkah
(Sebagian riwayat menyebutkan Utaibah bin Abu Lahab yang memeluk Islam, sedang
Utbah meninggal diserang singa di Syam, karena didoakan oleh Nabi SAW akibat
penghinaannya kepada beliau yang sangat keterlaluan). Barirah berkulit hitam
karena berasal dari Habsyi seperti halnya Bilal bin Rabah dan telah memeluk
Islam, hanya saja ia tetap diperlakukan dengan baik oleh tuannya. Ia tetap
tinggal di Makkah ketika Nabi SAW dan para kaum muslimin hijrah ke
Madinah.
Ketika menjadi budak tersebut, ia
dinikahkan tuannya dengan budak lainnya yang bernama Mughits yang juga beragama
Islam. Walaupun sebenarnya tidak menyukainya terpaksa ia menerima pernikahan
ini, sebagai budak ia memang hanya bisa menerima keputusan tuannya. Akibatnya
Barirah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan jiwa tertekan. Sebaliknya, Mughits sangat
gembira karena ia memang sangat menyukai Barirah.
Keadaan kejiwaan Barirah ini akhirnya diketahui oleh Ummul
Mukminin, Aisyah RA yang tinggal di Madinah. Aisyah mengirim utusan untuk
membeli Barirah dan kemudian memerdekakannya. Tetapi Barirah memutuskan untuk
tinggal dan menjadi pembantu Aisyah, walau sebenarnya ia telah merdeka, karena
itu ia pergi ke Madinah. Atas ijin tuannya, Mughits menyertai kepergian
istrinya itu ke Madinah, walau sebenarnya Barirah tidak menginginkannya.
Sesampainya di Madinah, Barirah
menghadap Nabi SAW dan menyampaikan permasalahannya. Nabi SAW memberikan
pilihan bebas kepada Barirah karena telah menjadi orang merdeka, ia bisa
meneruskan pernikahannya dengan Mughits atau meninggalkannya (bercerai).
Barirah mengambil pilihan kedua, yakni cerai sesuai dengan keadaan kejiwaannya,
dan Nabi SAW memerintahkannya beriddah.
Sebaliknya bagi Mughits, keputusan
Barirah tersebut ternyata membuatnya tenggelam dalam kesedihan, walau memang ia
tidak mungkin menolak keputusan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Namun demikian
ia tidak putus asa untuk meluluhkan hati Barirah. Dalam masa iddah tersebut ia
menghiba dan memohon kepada Barirah agar tetap menjadi istrinya. Air matanya
selalu mengalir hingga membasahi jenggotnya sehingga menimbulkan iba dan
kasihan pada orang-orang di sekelilingnya.
Nabi SAW pernah berkata kepada
pamannya, Abbas, "Wahai Abbas, tidakkah engkau heran dengan kecintaan
Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits??"
Suatu ketika Nabi SAW bertemu
Barirah dan bersabda kepadanya, "Wahai Barirah, seandainya kamu kembali
kepada Mughits…!!"
"Wahai Rasulullah, apakah
engkau memerintahkan hal itu kepada saya?" Tanya Barirah.
Kalau saja itu memang perintah
Rasulullah SAW, yang artinya adalah perintah Allah, tentu Barirah dengan senang
hati akan memenuhinya walau mungkin bertentangan dengan suara hatinya. Tetapi
Nabi SAW bersabda, "Tidak, aku hanya memberikan pertolongan/usulan
semata!"
"Maaf, ya Rasulullah!!"
Kata Barirah, "Saya sudah tidak menghajatkan (menginginkan) masalah
pernikahan ini lagi…!!"
Setelah itu Barirah membaktikan
waktunya untuk melayani dan membantu Aisyah, walau ia bukan budaknya. Ketika
Aisyah dilanda fitnah yang dikenal dengan dengan istilah Haditsul Ifki (berita
bohong), ia bersaksi dengan tegas bahwa Aisyah dalam kebenaran dan tidak
mungkin melakukan perbuatan keji yang dituduhkan dan disebarkan oleh kaum
munafik.
Barirah pernah bertemu dengan Abdul
Malik bin Marwan, yang di kemudian hari menjadi salah seorang khalifah dari
Bani Umayyah. Saat pertemuan itu ia berkata, "Wahai Abdul Malik, aku
melihat anda sebagai orang yang berkepribadian, dan anda layak memegang urusan
kaum muslimin ini. Jika anda diangkat untuk memegang urusan kaum muslimin
(yakni sebagai khalifah), janganlah anda menumpahkan darah, karena aku telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya seseorang ditolak/diusir dari
pintu surga setelah ia melihat keindahan surga tersebut, hanya karena semangkuk
darah seorang muslim yang ditumpahkannya dengan cara tidak benar…!!"
Apa yang dikatakan Barirah tersebut
seakan sebuah "ramalan" dan nasehat, karena di kemudian hari Abdul
Malik bin Marwan ternyata menjabat sebagai khalifah. Dan terlepas dari
bertanggung jawab langsung atau tidak, cukup banyak darah kaum muslimin yang tertumpah dengan cara
tidak benar pada masa pemerintahannya, termasuk beberapa orang sahabat Nabi
SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar