Perjanjian Hudaibiyah merupakan
perjanjian gencatan senjata antara Nabi SAW, dalam hal ini mewakili kaum
muslimin di Madinah dengan kaum musyrikin di Makkah. Salah satu klausul dalam
perjanjian tersebut adalah sikap terbuka untuk menerima kabilah yang ingin
bergabung dengan mereka, dan kabilah Bani Khuza’ah memilih bergabung/bersekutu
dengan Nabi SAW, walau mereka tetap dalam agama jahiliahnya.
Suatu ketika Harits bin Dharar,
salah seorang pemuka Bani Khuza’ah menemui Nabi SAW di Madinah untuk suatu
keperluan sehubungan dengan persekutuan tersebut. Setelah urusannya selesai,
Nabi SAW menyerunya untuk memeluk Islam. Tampaknya hidayah Allah membuka mata
hatinya dan ia menerima seruan beliau. Setelah ia berba’iat memeluk Islam,
sekali lagi Nabi SAW menyerunya untuk mengeluarkan zakat, karena dia dan
kabilahnya memang termasuk kaya dan berkelebihan. Sekali lagi Dhirar berikrar
untuk segera menyerahkan zakatnya kepada Nabi SAW.
Setelah mengucap janjinya tersebut,
Dhirar berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk pulang
ke kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam dan menghimbaunya untuk
menunaikan zakat. Siapa saja yang bersedia membayar zakatnya, akan aku
kumpulkan, dan pada saat yang ditentukan, hendaklah engkau mengirim utusan
untuk mengambil zakat yang aku kumpulkan tersebut…!!”
Nabi SAW menyetujui permintaan
Harits tersebut dan ia segera kembali ke kaumnya, Bani Khuza’ah. Setelah
beberapa waktu lamanya, Harits berhasil mengajak sebagian besar kaumnya untuk
memeluk Islam, termasuk juga kesediaan mereka yang mampu dan berkelebihan untuk
menunaikan zakat.
Pada waktu yang ditentukan, mereka
menunggu utusan Nabi SAW yang ditugaskan untuk mengambil zakat tersebut, tetapi
tidak muncul, begitupun ketika ditunggu keesokan harinya. Harits berfikir bahwa
Nabi SAW mungkin marah atau meragukan keislamannya. Karena itu ia mengumpulkan
orang-orang kaya di kabilahnya yang telah memeluk Islam dan berkata, “Sungguh
Rasulullah telah menjanjikan mengirimkan utusan pada waktu yang telah
ditentukan untuk mengambil zakat yang berhasil aku kumpulkan ini. Aku yakin
Rasulullah tidak akan menyalahi janjinya. Menurut dugaanku, tidak ada yang
menghalangi beliau mengirim utusan kecuali karena beliau marah kepadaku. Karena
itu, marilah kita berangkat ke Madinah untuk menyerahkan zakat ini langsung
kepada Rasulullah ..!!”
Mereka menyetujui usulan Harits,
dan segera mempersiapkan perbekalan kemudian berangkat ke Madinah.
Sebenarnya Nabi SAW tidaklah lupa
atau mengingkari janji, beliau telah mengirim Walid bin Uqbah untuk datang ke
Bani Khuza’ah dan mengambil zakat yang dikumpulkan Harits bin Dharar. Hanya
saja di tengah perjalanan, ia dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran kalau
Harits dan Bani Khuza’ah akan menolak dan menyakitinya. Tampaknya ia belum punya
keteguhan hati dan kesediaan berkorban dalam mengemban tugas Nabi SAW. Karena
itu, sebelum tiba di Bani Khuza’ah, ia melangkah pulang ke Madinah. Sayangnya
lagi, Walid bin Uqbah tidak punya cukup keberanian untuk jujur kepada Nabi SAW
bahwa ia dihantui ketakutan. Ketika sampai di hadapan Nabi SAW, ia berkata,
“Sesungguhnya Harits menolak membayar zakatnya, bahkan ia hampir membunuh
saya!!”
Mendengar laporan Walid tersebut,
Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabat untuk menemui Harist untuk menarik
zakatnya, bahkan kalau perlu memeranginya kalau ia melawan. Mereka segera
berangkat, tetapi belum sampai keluar kota
Madinah, mereka bertemu rombongan Harits, yang ia bertanya, “Hendak kemanalah
kalian diutus Rasulullah?”
“Kami diutus untuk menemuimu!!”
“Mengapa?” Tanya Harits.
“Sesungguhnya Rasulullah telah
mengutus Walid bin Uqbah kepadamu untuk mengambil zakat kalian, dan katanya
engkau menolak menyerahkannya, bahkan engkau akan membunuhnya.”
“Tidak, demi Allah yang telah
mengutus Muhammad dengan perkara yang haq, aku tidak pernah melihatnya, dan
belum pernah ia datang kepadaku..!!” Kata Harits dengan kaget dan tak percaya.
Harits dan rombongannya disertai
para utusan tersebut segera menghadap Rasulullah SAW yang masih berada di
masjid. Begitu melihat Harits, Nabi SAW langsung bersabda, “Kamu tidak mau
membayar zakat, bahkan kamu bermaksud membunuh utusanku?”
“Tidak, ya Rasulullah,” Kata
Harits, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan perkara yang haq!!”
Tampak situasinya cukup kritis bagi
Harits bin Dharar, karena Rasulullah “lebih percaya” kepada laporan yang dibuat
oleh Walid bin Uqbah. Sesaat kemudian tampak Nabi SAW terdiam, tanda bahwa beliau
sedang menerima wahyu. Setelah itu beliau mengabarkan kalau telah turun wahyu,
yakni Surat al Hujurat ayat 6, yang membenarkan Harits.
Harist menjadi gembira, bahkan
menjadi semacam kemuliaan dan kebanggan bagi dirinya, seakan-akan Allah sendiri
yang turun untuk menyelamatkannya. Ia segera menyerahkan zakat yang telah
dikumpulkan dan dibawanya kepada Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan tangan
terbuka dan mendoakan keberkahan.
Beberapa waktu kemudian Nabi SAW
mengirim Khalid bin Walid menuju Bani Khuza’ah, dan ia tidak mendapati mereka,
kecuali selalu dalam kebaikan dan ketaatan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar