Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi SAW
Ali
bin Abi Thalib masih sepupu Nabi SAW, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib,
paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama
Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam
selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran.
Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh
Nabi SAW sejak usia 6 tahun.
Sebagian
riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah,
riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat
beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan
akhlakul karimah Nabi SAW dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan
karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi SAW. Dan secara keilmuan, ia
mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau SAW pernah
bersabda, "Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…" (Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).
Apalagi,
ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi SAW, Fathimah az Zahra,
sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi SAW
terus berlanjut hingga kewafatan beliau.
Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib
Salah
satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan
kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar,
sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia
menerjuni hampir semua medan
jihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan
fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khaththab misalnya,
tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu
memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena
senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan
semangatnya. Nabi SAW seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau,
"Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada
pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi
Thalib…" (Laa fatan illaa aliyyun).
Ali
bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah SAW
menerjuni medan
pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari
kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rab'iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar
menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra
dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan
meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi SAW memerintahkan
Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid,
sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran
pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih
terlatih dan berpengalaman.
Pada
perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush'ab bin Umair menemui syahidnya,
Nabi SAW memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang
panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi
serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji
pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena
masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang
menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi.
Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong
tersebut, ia berkata, "Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa'ad bin Abi
Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!"
Merekapun
terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur
rapat. Pada suatu kesempatan, Ali
berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan
pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa'ad membuka auratnya dan Ali-pun
berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat
menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, "Ia
memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…"
Usai
pertempuran, Ali dikerumuni orang-orang yang berusaha mengobati lukanya, tetapi
kesulitan karena begitu banyak luka yang dialaminya. Ketika Nabi SAW
menghampiri, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami merasa kesulitan,
kalau kami obati satu lukanya, terbukalah luka lainnya…"
Akhirnya
beliau turun tangan ikut membalut luka, dan dengan berkah tangan beliau yang
penuh mu'jizat, luka- lukanya dapat diobati dengan mudah. Setelah itu beliau
bersabda, "Sesungguhnya seseorang yang mengalami semua ini karena membela
agama Allah, sungguh telah berjasa besar dan diampuni dosa-dosanya…"
Pada
perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi
parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan
Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi
tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang
memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia
melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya.
Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih
besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia
menampar kudanya hingga roboh. Namun semua ia tidak membuat Ali gentar, bahkan
dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota
pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk
menyelamatkan diri.
Menjelang
perang Khaibar, Nabi SAW bersabda sambil memegang bendera komando (panji
peperangan), "Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada
seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat
mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya"
Esoknya
para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah SAW dan sangat berharap dialah
yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas,
'Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya',
derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendiri oleh beliau. Pandangan Rasulullah SAW
berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri
dengan harapan akan ditunjuk beliau.
Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda,
"Dimanakah Ali bin Abi Thalib?"
Seorang
sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi SAW
menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan
Rasulullah SAW, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendoakan,
seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau
menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, "Wahai Rasulullah,
aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!"
"Janganlah
terburu-buru," Kata Nabi SAW, "Turunlah kepada mereka, serulah mereka
kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui
dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekalipun!!"
Sebagian
riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah
dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na'im,
benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng
pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.
Ketika
perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah
yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang
musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu
tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat
ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir
dari jazirah Arabia .
Begitulah,
hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib
selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas
akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi SAW. Sampai pernah diceritakan,
dalam suatu pertempuran Ali sudah hampir membunuh musuhnya, tiba-tiba musuh
tersebut meludahi wajahnya. Tampak tersirat kemarahan Ali, tetapi justru ia
meninggalkan dan membiarkannya hidup. Sebagian anggota pasukan muslim
melihatnya dengan heran menanyakan sikapnya tersebut. Ali menjawab,
"Ketika aku bertempur dan akan membunuhnya, aku masih berjuang karena
agama Allah. Tetapi ketika ia meludahiku dan ada sedikit kemarahan dalam
diriku, aku takut membunuhnya itu karena (nafsu) kemarahanku yang muncul."
Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib
Salah
satu bentuk didikan Nabi SAW yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau
pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat
Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri,
"Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh
sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah
menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina,
kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis).
Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan
jalannya sangat berbahaya."
Itulah
prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum
mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.
Bekerja pada Orang Yahudi
Suatu
ketika Rasullullah SAW mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya
menjumpai putrinya, Fathimah Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua
cucunya, Fathimah berkata kalau keduanya
sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air
pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi
mereka sekeluarga.
Rasulullah
SAW menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram
tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air.
Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya
sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi SAW berkata kepada Ali, "Wahai
Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari
akan menyengat mereka?"
Ali
menjawab, "Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun
untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih
banyak kurma untuk Fathimah."
Rasulullah
SAW akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir
kurma untuk bisa dibawa pulang.
Pengadilan Atas Kepemilikan
Baju Besi
Ketika
menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang
Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada
pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan
menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.
Ali
mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil.
Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada
kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si
Yahudi. Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan
membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama
Qanbar.
Mendengar
penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’
kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas, "Gantikan Hasan
dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!"
"Apakah
engkau menolak kesaksian Hasan?" Tanya Ali kepada Shuraih, "Padahal
Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di
surga?"
"Bukan
begitu Ali," Kata Shuraih ,
ia sengaja tidak menyebut Amirul
Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan,
"Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk
bapaknya."
Karena
Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju
besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima
keputusan tersebut dengan lapang dada.
Si
Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui kalau baju itu
ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung
mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju
besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan
baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham.
Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang
Shiffin.
“Engkau Bebas karena Allah!!”
Suatu
ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai
dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari
keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari tempat itu. Dengan
heran Ali berkata,”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!!”
Dengan
santai budaknya itu berkata, “Ya, saya mendengar!!”
“Mengapa
engkau tidak memenuhi panggilanku??”
Jawabannya
sungguh mengejutkan, budak itu berkata, “Saya sangat mengenalmu, dan saya
merasa tidak bakal dihukum, karena itu saya membiarkan saja panggilan itu!!”
Bagi
Ali, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk
merambah jalan akhirat, kalau sikapnya seperti itu justru akan mengotori hati
saja. Karena itu ia berkata, “Engkau bebas karena Allah, engkau aku
merdekakan!!”
Karena Ali Memuliakan Seorang
Lanjut Usia
Suatu
ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi SAW ruku’ dalam waktu cukup lama.
Bukan karena apa, tetapi malaikat Jibril datang dan menggelar salah satu
sayapnya di punggung beliau sehingga beliau tidak bisa bangkit. Setelah Jibril
pergi barulah beliau bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai
shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya, “Apa yang
terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu lama yang
sebelumnya belum pernah engaku lakukan??”
Nabi
SAW menceritakan tentang malaikat Jibril yang menahan beliau dalam ruku.
Sahabat itu bertanya lagi, “Mengapa bisa seperti itu??”
Nabi
SAW bersabda, “Aku tidak tahu!!”
Tidak
berapa lama Jibril datang lagi dan berkata, “Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa
untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki tua nashrani yang
berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya karena sangat memuliakan
lelaki tua itu!! Karena itu Allah memerintahkan aku untuk menahanmu dalam
ruku, agar Ali dapat ikut jamaah!!”
Nabi
SAW tampak terkagum-kagum dengan penjelasan Jibril tersebut, tetapi Jibril
meneruskan, “Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail
untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak
habis karena menunggu Ali hadir!!”
Nabi
SAW memanggil Ali. Ketika Nabi SAW meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan
tenangnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang ajaib terjadi, “Benar, ya
Rasulullah, lelaki tua itu sangat pelan jalannya dan aku tidak suka untuk
mendahuluinya karena memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak datang untuk
shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga aku tidak
tertinggal shalat jamaah bersamamu!!”
Nabi
SAW hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para
sahabat. Setelah itu beliau bersabda, “Inilah derajad orang yang memuliakan
seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!!”
Ali di Jalan Zakaria dan
Fathimah di Jalan Maryam
Suatu
ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada makanan untuk
kusantap hari ini?”
Fathimah
berkata, “Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu,
begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”
“Tidakkah
engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.
“Aku
malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”
Kemudian
Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu
dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan
uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi SAW lainnya, Miqdad al Aswad,
sedang berjalan sendirian di padang
pasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang
menggelisahkanmu??”
Miqdad
berkata, “Wahai Abul Hasan, janganlah mengganggu aku, janganlah menanyakan
kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”
Ali
berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu
dari aku!!”
“Baiklah
kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan
kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali
karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku
mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan
tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”
Miqdad
enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali
tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan
pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata
hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan
Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali
seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu
dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku
sendiri!!”
Miqdad
menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat
zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga
shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi SAW
menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk
kita makan malam??”
Pada
masa Nabi SAW, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir
waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya
para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia
tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi SAW. Karena ia diam saja,
beliau bersabda lagi, “Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika
engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”
“Baiklah,
ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”
Mereka
berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika
mengetahui kedatangan Rasulullah SAW, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam
putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana
engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah
mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”
Fathimah
mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya
tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya.
Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia
menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah
pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah
berkata, “Subkhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah aku telah
berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”
Ali
berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari
ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan
apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”
Fathimah
menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah
berkata kecuali kebenaran semata!!”
Nabi
SAW tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di
pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda, “Wahai Ali, inilah
pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja
yang dikehendakinya!!”
Sesaat
kemudian Nabi SAW menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah,
Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan
engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai
Fathimah di jalan Maryam!!”
Semoga pahala untuk mu dgn sudah memposting kisah ini . terimakasih
BalasHapus