Hamnah binti Jahsy memeluk Islam
pada masa-masa awal di Makkah, sebagaimana saudaranya Zainab dan Abdullah. Ia
sebenarnya masih keponakan Rasulullah SAW, dan akhirnya ia menjadi ipar beliau
karena Zainab binti Jahsy menjadi salah seorang Ummul Mukminin, dinikahi oleh
Nabi SAW atas perintah Allah lewat turunnya wahyu Qur’an, Surat al Ahzab 37. Ia
menikah dengan Mush’ab bin Umair pada masa-masa awal keislamannya.
Pada perang Uhud, suami dan
suadaranya terjun dalam peperangan tersebut, dan mereka menemui syahidnya.
Ketika pasukan muslim kembali ke Madinah, ia berbaur dengan masyarakat Madinah
lainnya yang menyambut kedatangan mereka. Tiba-tiba salah seorang sahabat
berkata, “Wahai Hamnah, saudaramu Abdullah bin Jahsy menemui syahidnya…!!”
Hamnah hanya berkata, “Innaa
lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk
saudaranya tersebut. Tidak berapa lama, seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai
Hamnah, pamanmu Hamzah bin Abdul Muthalib menemui syahidnya…!!”
Hamnah memang sangat dekat dengan
Hamzah, dan ia lebih membahasakan dia dengan “paman” karena kedekatannya
tersebut. Mendengar penuturan sahabat tersebut Hamnah berkata, “Innaa lillahi
wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk
Hamzah bin Abdul Muthalib. Sesaat kemudian seorang sahabat lainnya berkata
kepadanya, “Wahai Hamnah, suamimu, Mush’ab bin Umair telah menemui
syahidnya…!!”
Mendengar kabar ini, Hamnah
menjerit keras kemudian menangis sesenggukkan, tanpa bisa menyembunyikan
kesedihan dan kehilangannya. Nabi SAW yang melihat perubahan sikap Hamnah
tersebut bersabda, “Sesungguhnya suaminya itu mempunyai tempat yang khusus di
hati Hamnah…!!”
Dalam peristiwa Haditsul Ifki,
berita bohong tentang perselingkuhan Ummul Mukminin Aisyah dengan sahabat
Shafwan bin Mu’aththal yang terjadi setelah pertempuran Bani Musthaliq atau
Perang al Muraisi’, kebanyakan kaum muslimin menahan diri untuk tidak
berkomentar dan membicarakannya. Tuduhan perselingkuhan tersebut pertama kali
diungkapkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh Khazraj yang keislamannya
hanya pura-pura saja, sejatimya ia adalah munafik tulen. Berita bohong tersebut
makin dibesar-besarkan oleh para pengikutnya. Tetapi ternyata ada juga tiga
orang muslim yang ikut terbuai dengan “berita infotainment” tersebut, yakni
Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy ini.
Memang, sepertinya Allah SWT
“sengaja membiarkan” berita itu berkembang dan mengambang hingga sekitar satu
bulan lamanya. Kaum muslimin, bahkan Nabi SAW sendiri dilanda kebingungan dan
ketidak-pastian, benarkah Aisyah berselingkuh? Dari “pembahasan dan analisa
infotainment” yang digembar-gemborkan Abdullah bin Ubay dan antek-anteknya,
berita itu sangat mungkin kebenarannya dan sangat masuk akal. Hanya mereka yang
sangat mengenal dan yakin akan kesucian dan ketinggian akhlak Aisyah RA tanpa
reserve, seperti Barirah RA misalnya, yang langsung percaya bahwa berita itu
kebohongan dan fitnah semata-mata, umumnya dilanda ketidak-pastian.
Setelah sekitar satu bulan
berkembang menjadi bola panas, barulah Allah SWT menurunkan wahyu, QS an Nur
ayat 11-22 yang menjelaskan tentang peristiwa fitnah tersebut. Nabi SAW
“membiarkan” urusan orang-orang munafik yang mem-blow-up berita bohong kepada
Allah, tetapi beliau memutuskan untuk mengenakan sanksi hukum dera 80 kali
kepada tiga orang sahabat tersebut. Beliau tidak ingin orang-orang yang beliau
sayangi sendiri, termasuk Hamnah binti Jahsy, akan “memanen” hasil perbuatan
tersebut di akhirat kelak. Nabi SAW lebih senang (tega) melihat kesakitan dan
penderitaan umat beliau di alam dunia fana (terbatas) ini, asalkan tidak lagi
akan mengalami penderitaan di alam akhirat yang kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar