Quthbah bin Amir bin Hadidah adalah
seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Salamah, termasuk suku Khazraj.
Bersama lima orang teman lainnya yang sama-sama masih muda, yang juga berasal
suku Khazraj, mereka ini bisa dikatakan pelopor atau pionir tersebarnya Islam
di Kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, dan menjadi pusat
pemerintahan dan penyebaran Islam ke seluruh dunia. Mereka telah memeluk Islam
ketika belum dilakukannya Ba’iatul Aqabah pertama, bahkan mereka inilah yang
menjadi cikal bakal ba’iat tersebut.
Pada tahun ke sebelas dari nubuwwah
(Kenabian Nabi Muhammad SAW), Quthbah bersama lima orang temannya melakukan ibadah haji dan
umrah (jahiliah) ke Makkah. Menjelang tengah malam, ketika sedang beristirahat dan
mengobrol di Aqabah Mina, Nabi SAW yang ditemani Abu Bakar dan Ali bin Abi
Thalib mendatangi mereka, beliau berkata, “Siapakah kalian ini?”
Quthbah dan teman-temannya berkata,
“Kami orang-orang dari Khazraj di Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi?”
Kata Nabi SAW.
“Benar!!” Kata mereka.
Nabi SAW bersabda, “Bolehkah aku
duduk bersama kalian, dan ikut berbincang-bindang dengan kalian?”
“Baiklah!!” Kata mereka berenam.
Nabi SAW terlibat pembicaraan
dengan mereka, dan pada suatu kesempatan, beliau menceritakan tentang risalah
Islam, dan tugas kenabian yang beliau laksanakan. Beliau juga membacakan beberapa
ayat-ayat al Qur’an, yang tampaknya sangat menarik perhatian mereka.
Mereka ini memang pemuda-pemuda
pilihan yang cerdas, sehingga dengan mudah mereka bisa menangkap adanya
kebaikan dan kebenaran dari apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Apalagi selama
ini, kaum Yahudi yang menjadi sekutu mereka, selalu menceritakan dan
membangga-banggakan seorang nabi akhir zaman yang akan mereka ikuti, dan
membawa mereka menjadi pemimpin dunia. Kaum Yahudi tersebut juga menceritakan
ciri-ciri yang dimiliki oleh nabi yang mereka tunggu-tunggu itu, dan semua itu
amat sesuai dan tepat menyata pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Nabi SAW selesai
menceritakan tentang risalah Islam tersebut, mereka saling memandang dengan
mata berbinar, dan berkata, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia (Rasulullah SAW)
benar-benar seorang nabi seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi itu.
Janganlah mereka mendahului kita memenuhi seruannya!!”
Dan ternyata enam pemuda tersebut
mempunyai pemikiran yang sama, dan mereka segera memeluk Islam mengikuti seruan
beliau itu. Sepulangnya ke Yatsrib, Quthbah dan teman-temannya mulai
menceritakan dan mendakwahkan tentang Islam kepada kaumnya. Berita itu terus
menyebar, termasuk kepada suku Aus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan suku
Khazraj, sehingga tidak ada satu rumahpun di Yatsrib, kecuali telah
menyebut-nyebut nama Rasulullah SAW.
Pada musim haji tahun berikutnya,
tahun ke duabelas dari nubuwwah, mereka bermaksud menemui Nabi SAW lagi sambil
melaksanakan haji dan umrah, tetapi salah seorang dari mereka, yakni Jabir bin
Abdullah bin Ri’ab, tidak bisa mengikuti karena sesuatu hal. Namun demikian ada
tujuh orang lainnya dari para pemuka kaum/kabilahnya yang ingin bertemu
Rasulullah SAW, termasuk dua orang dari suku Aus. Quthbah bersama sebelas orang
inilah yang mengikatkan diri dalam janji setia, yang dikenal dengan nama
Ba’iatul Aqabah yang pertama. Ketika pulang ke Yatsrib, Nabi SAW mengirimkan
guru dan muballigh pertama untuk mereka, Mush’ab bin Umair.
Sudah menjadi kebiasaan dan
peraturan tidak tertulis, ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah (sejak masa
jahiliah), orang-orang Quraisy yang digelari dengan al Hams (kaum Ksatria)
selalu keluar dan masuk rumahnya lewat pintu depan atau pintu utama, begitu
juga ketika mereka memasuki dan keluar dari Baitullah di Makkah. Sedangkan
orang Arab lainnya selain kaum Quraisy, harus lewat pintu belakang atau pintu
lainnya, yang bukan pintu depan atau pintu utama.
Sejak keislamannya, Quthbah bin
Amir selalu berusaha mencontoh/meneladani akhlak dan perilaku Nabi SAW,
walaupun tidak semirip dan mendetail seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin
Umar. Dalam suatu musim haji, ia keluar rumahnya dari pintu depan, begitu juga
ketika memasuki Baitullah. Melihat tindakannya itu, orang-orang menegur apa
yang dilakukannya. Dengan tegas Quthbah berkata, “Saya hanya mengikuti dan
mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah…!!”
Tampaknya orang-orang tersebut
tidak puas dengan penjelasan Quthbah, mereka mengadukan pelanggarannya itu
kepada Nabi SAW, dan beliau menegur sikapnya tersebut. Memang, untuk suatu aturan atau tatakrama
(adab) yang telah berlaku sejak masa jahiliah, yang tidak mengandung unsur
kemusyrikan dan tidak jelas-jelas dilarang atau dirubah oleh syariat Islam,
biasanya Nabi SAW masih menghargai dan menjalankan aturan tersebut.
Mendapat teguran Nabi SAW itu,
Quthbah berkata, “Saya hanya meneladani apa yang tuan lakukan, ya Rasulullah!!”
“Tetapi aku adalah golongan al-Hams
(Ksatria)!!” Kata Nabi SAW lagi.
“Ya Rasulullah, saya adalah
penganut agama tuan juga!!” Quthbah masih mencoba bertahan dengan pendapatnya.
Semoga Saya bisa Mengikut Jejak Para Sahabat Yang Mulia Ini
BalasHapusInsya Allah
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus