Kamis, 18 Desember 2014

Quthbah bin Amir RA

Quthbah bin Amir bin Hadidah adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Salamah, termasuk suku Khazraj. Bersama lima orang teman lainnya yang sama-sama masih muda, yang juga berasal suku Khazraj, mereka ini bisa dikatakan pelopor atau pionir tersebarnya Islam di Kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, dan menjadi pusat pemerintahan dan penyebaran Islam ke seluruh dunia. Mereka telah memeluk Islam ketika belum dilakukannya Ba’iatul Aqabah pertama, bahkan mereka inilah yang menjadi cikal bakal ba’iat tersebut.
Pada tahun ke sebelas dari nubuwwah (Kenabian Nabi Muhammad SAW), Quthbah bersama lima orang temannya melakukan ibadah haji dan umrah (jahiliah) ke Makkah. Menjelang tengah malam, ketika sedang beristirahat dan mengobrol di Aqabah Mina, Nabi SAW yang ditemani Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka, beliau berkata, “Siapakah kalian ini?”
Quthbah dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang dari Khazraj di Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi?” Kata Nabi SAW.
“Benar!!” Kata mereka.
Nabi SAW bersabda, “Bolehkah aku duduk bersama kalian, dan ikut berbincang-bindang dengan kalian?”
“Baiklah!!” Kata mereka berenam.
Nabi SAW terlibat pembicaraan dengan mereka, dan pada suatu kesempatan, beliau menceritakan tentang risalah Islam, dan tugas kenabian yang beliau laksanakan. Beliau juga membacakan beberapa ayat-ayat al Qur’an, yang tampaknya sangat menarik perhatian mereka.
Mereka ini memang pemuda-pemuda pilihan yang cerdas, sehingga dengan mudah mereka bisa menangkap adanya kebaikan dan kebenaran dari apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Apalagi selama ini, kaum Yahudi yang menjadi sekutu mereka, selalu menceritakan dan membangga-banggakan seorang nabi akhir zaman yang akan mereka ikuti, dan membawa mereka menjadi pemimpin dunia. Kaum Yahudi tersebut juga menceritakan ciri-ciri yang dimiliki oleh nabi yang mereka tunggu-tunggu itu, dan semua itu amat sesuai dan tepat menyata pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Nabi SAW selesai menceritakan tentang risalah Islam tersebut, mereka saling memandang dengan mata berbinar, dan berkata, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia (Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi itu. Janganlah mereka mendahului kita memenuhi seruannya!!”
Dan ternyata enam pemuda tersebut mempunyai pemikiran yang sama, dan mereka segera memeluk Islam mengikuti seruan beliau itu. Sepulangnya ke Yatsrib, Quthbah dan teman-temannya mulai menceritakan dan mendakwahkan tentang Islam kepada kaumnya. Berita itu terus menyebar, termasuk kepada suku Aus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan suku Khazraj, sehingga tidak ada satu rumahpun di Yatsrib, kecuali telah menyebut-nyebut nama Rasulullah SAW.
Pada musim haji tahun berikutnya, tahun ke duabelas dari nubuwwah, mereka bermaksud menemui Nabi SAW lagi sambil melaksanakan haji dan umrah, tetapi salah seorang dari mereka, yakni Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, tidak bisa mengikuti karena sesuatu hal. Namun demikian ada tujuh orang lainnya dari para pemuka kaum/kabilahnya yang ingin bertemu Rasulullah SAW, termasuk dua orang dari suku Aus. Quthbah bersama sebelas orang inilah yang mengikatkan diri dalam janji setia, yang dikenal dengan nama Ba’iatul Aqabah yang pertama. Ketika pulang ke Yatsrib, Nabi SAW mengirimkan guru dan muballigh pertama untuk mereka, Mush’ab bin Umair.
Sudah menjadi kebiasaan dan peraturan tidak tertulis, ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah (sejak masa jahiliah), orang-orang Quraisy yang digelari dengan al Hams (kaum Ksatria) selalu keluar dan masuk rumahnya lewat pintu depan atau pintu utama, begitu juga ketika mereka memasuki dan keluar dari Baitullah di Makkah. Sedangkan orang Arab lainnya selain kaum Quraisy, harus lewat pintu belakang atau pintu lainnya, yang bukan pintu depan atau pintu utama.
Sejak keislamannya, Quthbah bin Amir selalu berusaha mencontoh/meneladani akhlak dan perilaku Nabi SAW, walaupun tidak semirip dan mendetail seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar. Dalam suatu musim haji, ia keluar rumahnya dari pintu depan, begitu juga ketika memasuki Baitullah. Melihat tindakannya itu, orang-orang menegur apa yang dilakukannya. Dengan tegas Quthbah berkata, “Saya hanya mengikuti dan mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah…!!”
Tampaknya orang-orang tersebut tidak puas dengan penjelasan Quthbah, mereka mengadukan pelanggarannya itu kepada Nabi SAW, dan beliau menegur sikapnya tersebut.  Memang, untuk suatu aturan atau tatakrama (adab) yang telah berlaku sejak masa jahiliah, yang tidak mengandung unsur kemusyrikan dan tidak jelas-jelas dilarang atau dirubah oleh syariat Islam, biasanya Nabi SAW masih menghargai dan menjalankan aturan tersebut.
Mendapat teguran Nabi SAW itu, Quthbah berkata, “Saya hanya meneladani apa yang tuan lakukan, ya Rasulullah!!”
“Tetapi aku adalah golongan al-Hams (Ksatria)!!” Kata Nabi SAW lagi.
“Ya Rasulullah, saya adalah penganut agama tuan juga!!” Quthbah masih mencoba bertahan dengan pendapatnya.
Para sahabat khawatir dengan sikap Quthbah yang berusaha “membantah” Rasulullah SAW, apalagi setelah perkataannya itu tampak beliau terdiam beberapa lamanya. Tetapi kemudian mereka melihat Nabi SAW tersenyum, dan berkata, “Jibril telah turun membawa wahyu yang membenarkan sikap Quthbah…!!”
            Nabi SAW menjelaskan tentang turunnya wahyu Allah, QS Al Baqarah ayat 189, bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah itu tidaklah penting memasuki rumah dari pintu depannya atau dari belakangnya, karena semua itu bukanlah kebaikan sebagaimana yang diyakini pada masa haji jahiliah. Tetapi yang terpenting adalah ketakwaan, dan itulah kebaikan yang sebenarnya.  

2 komentar:

  1. Semoga Saya bisa Mengikut Jejak Para Sahabat Yang Mulia Ini
    Insya Allah

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus