Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik suatu kali tergoda
seorang wanita dan melakukan perbuatan terlarang dengan wanita tersebut,
padahal saat itu ia telah menikah. Sebenarnya ketika peristiwa maksiat itu
terjadi, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua, dan
Allah SWT tentunya. Segera setelah peristiwa itu terjadi, Ma’iz sangat
menyesalinya, perasaan dosa terasa selalu meliputinya.
Suatu
ketika ia tidak mampu lagi menguasai kerisauan hatinya, maka ia datang kepada
Umar bin Khaththab dan berkata, “Orang yang jauh dari kebaikan ini (yakni
dirinya sendiri) telah melakukan perbuatan nista (zina)!!”
Kemudian
Ma’iz menceritakan peristiwa yang dialaminya dan kerisauan hatinya. Di luar
dugaan, Umar yang terkenal tegas ini berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan
tutupilah itu, karena sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah,
sesungguhnya Allah selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya
bisa mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau
bertaubat)!!”
Walaupun
nasehat Umat itu begitu jelasnya, tetapi belum bisa menyembuhkan kerisauan
hatinya. Karena itu ia datang kepada Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan
hatinya, tetapi ia memperoleh jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban
Umar.
Tentu saja
sahabat sekaliber Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sangat tahu hukuman bagi
pezina yang telah pernah menikah adalah rajam. Tetapi tentunya jawaban yang
diberikan mereka berdua bukanlah bermaksud “menolak” hukum tersebut. Mereka
berdua adalah didikan Rasulullah SAW yang tidak hanya mencakup keislaman
(syara’ atau masalah hukum) saja, tetapi jauh menjangkau kepada masalah iman
dan akhlak (ihsan). Mereka berdua bersama Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib adalah yang terdekat kemuliaan akhlaknya dengan akhlak Nabi SAW. Mereka
berdua memberi nasehat seperti itu karena mereka sangat mengenal Allah,
sebagaimana diajarkan Nabi SAW, bahwa Allah sangat gembira menerima (menemukan) kembali hamba-Nya yang bertobat, melebihi
kegembiraan manusia yang sedang sangat gembiranya (Lihat Kisah dalam “Percik
Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Sungguh Allah Lebih Gembira”).
Ma’iz
menemui seorang sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan
yang dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan
Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir logis. Jika
ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh solusi, mengapa
tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW. Huzal menyarankannya
menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
Ma’iz
segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama beberapa sahabat
lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
saya telah berzina!!”
Nabi SAW
memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa. Ma’iz
kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi sekali lagi
beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata apapun. Ketika peristiwa
itu telah berulang sampai ke empat kalinya, Nabi SAW bersabda kepada para
sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila atau sinting? Atau kalian meragukan
kesehatan akalnya?”
“Tidak, ya
Rasulullah!!” Kata para sahabat.
Kemudian
Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah
menyetubuhinya?”
Nabi SAW
masih menegaskan lagi penjelasannya tentang persetubuhan itu dengan mendetail, bahkan
beliau membuat perumpamaan dengan pensil celak yang dimasukkan ke botol celak, seperti
timba yang dimasukkan ke dalam sumur. dan
Ma’iz tetap mengakui melakukannya. Beliau masih saja berkata menegaskan,
“Tahukah kamu apa zina itu?”
Ma’iz
menjawab, “Tahu, ya Rasulullah, aku menggaulinya seperti halnya kalau aku
menggauli istriku!!”
Setelah
penjelasan mendetail beliau sebelumnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu.
Beliau memang telah mendapat laporan tentang Ma’iz bin Malik ini dari Abu Bakar
dan Umar, dan beliau setuju dengan nasehat yang diberikan mereka berdua.
Tampaknya dengan pertanyaan tersebut beliau ingin “mengulur waktu” dan
menemukan alasan bagi Ma’iz untuk kembali kepada saran yang diberikan oleh Abu
Bakar dan Umar. Tentu saja semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang
kepada umatnya, khususnya kepada Ma’iz yang sangat beliau kenal kesalehannya ini. Hanya saja
pada saat itu ia sedang tergelincir.
Sebaliknya
pada Ma’iz sendiri, ketergelincirannya yang hanya sekali itu membuat dunianya
gelap. Bukannya putus asa dari rahmat Allah, tetapi ia ingin kepastian bahwa
dosanya tersebut benar-benar telah diampuni oleh Allah.
Walau telah
cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi beliau masih bersabda lagi
kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau inginkan dengan mengaku seperti ini?”
Ma’iz
berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
Maka beliau
bersabda, “Rajam adalah kaffarah (penghapus dosa/kesalahan) dari apa yang telah
engkau lakukan itu…!!”
Beliau
kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan bersabda, “Bawalah ia ke lapangan
mushalla (lapangan untuk shalat id) dan rajamlah di sana …!!”
Tampak
sekali wajah beliau diliputi kesedihan, dan beliau berpaling agar tidak melihat
proses rajam terhadap Ma’iz tersebut. Mereka membawa Ma’iz ke tempat yang
ditentukan dan merajamnya di sana .
Ketika merasakan kesakitan, Ma’iz sempat melarikan diri, tetapi mereka terus
menyusulinya dengan tetap merajam hingga akhirnya tewas.
Jenazah Ma’iz dibawa kepada
Rasulullah SAW di dalam masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan
berkhotbah, “Wahai manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini,
dan barang siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang jenazah Ma’iz,
beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian dari aku, selama Allah
masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam kejahatan hendaklah ia
menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Salah seorang sahabat menceritakan bahwa
Ma’iz sempat melarikan diri karena kesakitan, tetapi mereka mengejarnya dan
terus merajamnya hingga tewas. Beliau tampak agak marah dan penuh sesal,
kemudian bersabda, “Mengapa tidak kalian biarkan ia lari??”
Nabi SAW memandang kepada Huzal yang
menyarankan Ma’iz membuat pengakuan kepada beliau, dan bersabda, “Seandainya
engkau menutupi (yakni dosa Ma’iz dan menyarankan bertaubat seperti Umar dan
Abu Bakar), tentu itu lebih baik bagimu!! “
Tampak dua orang sahabat saling
berbicara cukup pelan, “Lihatlah orang ini, Allah telah menutupi keburukannya,
tetapi jiwanya tidak puas sehingga ia dirajam seperti anjing…!!”
Walau ucapannya cukup pelan, tetapi
Nabi SAW mendengar (memahami) apa yang mereka katakan. Beliau turun dari
mimbar, dan berjalan keluar diikuti para sahabat lainnya. Ketika beliau
menemukan bangkai keledai, beliau bersabda, “Wahai Fulan dan Fulan!!”
“Kami disini, ya Rasulullah!!” Kata
dua orang sahabat yang tadi ‘membicarakan’ (mengghibah) Ma’iz.
“Kemarilah, dan makanlah bangkai
keledai ini!!” Kata Beliau.
Dua orang sahabat itu mendekat
kepada Nabi SAW sambil gemetar ketakutan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni
kesalahan engkau, ya Rasulullah. Siapakah orang yang mau makan bangkai seperti
ini?”
Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya menyinggung kehormatan saudara kalian tadi (yakni mengghibah Ma’iz
yang telah wafat), jauh lebih buruk daripada memakan bangkai seperti ini. Demi
Allah, sungguh ia sedang berenang di sungai-sungai di surga!!”
Dalam riwayat lain, beliau
bersabda, “Sungguh ia sedang bersenang-senang di surga!!”
Subhanallah Sungguh Maha Besar Allah dan Maha Penyayang bagi Hambanya
BalasHapussebuah kisah yang begitu menginspirasi
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusastagfirulloh
BalasHapus