Kamis, 18 Desember 2014

Ma’iz bin Malik RA

Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik suatu kali tergoda seorang wanita dan melakukan perbuatan terlarang dengan wanita tersebut, padahal saat itu ia telah menikah. Sebenarnya ketika peristiwa maksiat itu terjadi, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua, dan Allah SWT tentunya. Segera setelah peristiwa itu terjadi, Ma’iz sangat menyesalinya, perasaan dosa terasa selalu meliputinya.
            Suatu ketika ia tidak mampu lagi menguasai kerisauan hatinya, maka ia datang kepada Umar bin Khaththab dan berkata, “Orang yang jauh dari kebaikan ini (yakni dirinya sendiri) telah melakukan perbuatan nista (zina)!!”
            Kemudian Ma’iz menceritakan peristiwa yang dialaminya dan kerisauan hatinya. Di luar dugaan, Umar yang terkenal tegas ini berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan tutupilah itu, karena sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah, sesungguhnya Allah selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya bisa mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau bertaubat)!!”
            Walaupun nasehat Umat itu begitu jelasnya, tetapi belum bisa menyembuhkan kerisauan hatinya. Karena itu ia datang kepada Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan hatinya, tetapi ia memperoleh jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban Umar.
            Tentu saja sahabat sekaliber Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sangat tahu hukuman bagi pezina yang telah pernah menikah adalah rajam. Tetapi tentunya jawaban yang diberikan mereka berdua bukanlah bermaksud “menolak” hukum tersebut. Mereka berdua adalah didikan Rasulullah SAW yang tidak hanya mencakup keislaman (syara’ atau masalah hukum) saja, tetapi jauh menjangkau kepada masalah iman dan akhlak (ihsan). Mereka berdua bersama Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah yang terdekat kemuliaan akhlaknya dengan akhlak Nabi SAW. Mereka berdua memberi nasehat seperti itu karena mereka sangat mengenal Allah, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, bahwa Allah sangat gembira menerima (menemukan)  kembali hamba-Nya yang bertobat, melebihi kegembiraan manusia yang sedang sangat gembiranya (Lihat Kisah dalam “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Sungguh Allah Lebih Gembira”).  
            Ma’iz menemui seorang sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan yang dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir logis. Jika ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh solusi, mengapa tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW. Huzal menyarankannya menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
            Ma’iz segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama beberapa sahabat lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina!!”
            Nabi SAW memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa. Ma’iz kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi sekali lagi beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata apapun. Ketika peristiwa itu telah berulang sampai ke empat kalinya, Nabi SAW bersabda kepada para sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila atau sinting? Atau kalian meragukan kesehatan akalnya?”
            “Tidak, ya Rasulullah!!” Kata para sahabat.
            Kemudian Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah menyetubuhinya?”
            Nabi SAW masih menegaskan lagi penjelasannya tentang persetubuhan itu dengan mendetail, bahkan beliau membuat perumpamaan dengan pensil celak yang dimasukkan ke botol celak, seperti timba yang dimasukkan ke dalam sumur.  dan Ma’iz tetap mengakui melakukannya. Beliau masih saja berkata menegaskan, “Tahukah kamu apa zina itu?”
            Ma’iz menjawab, “Tahu, ya Rasulullah, aku menggaulinya seperti halnya kalau aku menggauli istriku!!”
            Setelah penjelasan mendetail beliau sebelumnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu. Beliau memang telah mendapat laporan tentang Ma’iz bin Malik ini dari Abu Bakar dan Umar, dan beliau setuju dengan nasehat yang diberikan mereka berdua. Tampaknya dengan pertanyaan tersebut beliau ingin “mengulur waktu” dan menemukan alasan bagi Ma’iz untuk kembali kepada saran yang diberikan oleh Abu Bakar dan Umar. Tentu saja semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada umatnya, khususnya kepada Ma’iz yang sangat  beliau kenal kesalehannya ini. Hanya saja pada saat itu ia sedang tergelincir.
            Sebaliknya pada Ma’iz sendiri, ketergelincirannya yang hanya sekali itu membuat dunianya gelap. Bukannya putus asa dari rahmat Allah, tetapi ia ingin kepastian bahwa dosanya tersebut benar-benar telah diampuni oleh Allah.
            Walau telah cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi beliau masih bersabda lagi kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau inginkan dengan mengaku seperti ini?”
            Ma’iz berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
            Maka beliau bersabda, “Rajam adalah kaffarah (penghapus dosa/kesalahan) dari apa yang telah engkau lakukan itu…!!”
            Beliau kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan bersabda, “Bawalah ia ke lapangan mushalla (lapangan untuk shalat id) dan rajamlah di sana…!!”
            Tampak sekali wajah beliau diliputi kesedihan, dan beliau berpaling agar tidak melihat proses rajam terhadap Ma’iz tersebut. Mereka membawa Ma’iz ke tempat yang ditentukan dan merajamnya di sana. Ketika merasakan kesakitan, Ma’iz sempat melarikan diri, tetapi mereka terus menyusulinya dengan tetap merajam hingga akhirnya tewas.
Jenazah Ma’iz dibawa kepada Rasulullah SAW di dalam masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan berkhotbah, “Wahai manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini, dan barang siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang jenazah Ma’iz, beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian dari aku, selama Allah masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam kejahatan hendaklah ia menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Salah seorang sahabat menceritakan bahwa Ma’iz sempat melarikan diri karena kesakitan, tetapi mereka mengejarnya dan terus merajamnya hingga tewas. Beliau tampak agak marah dan penuh sesal, kemudian bersabda, “Mengapa tidak kalian biarkan ia lari??”
Nabi SAW memandang kepada Huzal yang menyarankan Ma’iz membuat pengakuan kepada beliau, dan bersabda, “Seandainya engkau menutupi (yakni dosa Ma’iz dan menyarankan bertaubat seperti Umar dan Abu Bakar), tentu itu lebih baik bagimu!! “
Tampak dua orang sahabat saling berbicara cukup pelan, “Lihatlah orang ini, Allah telah menutupi keburukannya, tetapi jiwanya tidak puas sehingga ia dirajam seperti anjing…!!”
Walau ucapannya cukup pelan, tetapi Nabi SAW mendengar (memahami) apa yang mereka katakan. Beliau turun dari mimbar, dan berjalan keluar diikuti para sahabat lainnya. Ketika beliau menemukan bangkai keledai, beliau bersabda, “Wahai Fulan dan Fulan!!”
“Kami disini, ya Rasulullah!!” Kata dua orang sahabat yang tadi ‘membicarakan’ (mengghibah) Ma’iz.
“Kemarilah, dan makanlah bangkai keledai ini!!” Kata Beliau.
Dua orang sahabat itu mendekat kepada Nabi SAW sambil gemetar ketakutan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni kesalahan engkau, ya Rasulullah. Siapakah orang yang mau makan bangkai seperti ini?”
Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya menyinggung kehormatan saudara kalian tadi (yakni mengghibah Ma’iz yang telah wafat), jauh lebih buruk daripada memakan bangkai seperti ini. Demi Allah, sungguh ia sedang berenang di sungai-sungai di surga!!”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sungguh ia sedang bersenang-senang di surga!!”  

3 komentar:

  1. Subhanallah Sungguh Maha Besar Allah dan Maha Penyayang bagi Hambanya
    sebuah kisah yang begitu menginspirasi

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus