Tsumamah bin Utsal al Hanafi
adalah pemuka dari Bani Hanifah dan salah seorang Raja Yamamah yang diakui
kepemimpinanya oleh masyarakat jahiliah. Pada tahun 6 hijriah, Nabi SAW
mengirim surat
kepadanya untuk diseru kepada Islam. Tsumamah menerima surat Nabi SAW dengan sombong dan
menghinakan, bahkan ia sesumbar akan membunuh beliau untuk menghentikan dakwah
Islamiyah. Ia selalu mencari peluang dan kesempatan untuk bisa membunuh Nabi
SAW dan para sahabatnya, karena itu beliau menghalalkan darahnya (yakni, kaum
muslimin diperbolehkan membunuhnya) dan beliau mengumumkan hal itu secara luas.
Suatu ketika
Tsumamah berniat umrah ke Makkah, di perjalanan di dekat Madinah ia bertemu
serombongan sahabat yang memang ditugaskan Nabi SAW untuk berjaga-jaga. Kedua
pasukan terjadi bentrok, dan para sahabat tidak tahu kalau mereka adalah
rombongan Tsumamah dari Yamamah. Pasukan Tsumamah dapat dikalahkan dan ditawan,
kemudian diikat di tiang-tiang masjid untuk menunggu keputusan dari Nabi SAW.
Ketika beliau
datang ke masjid, beliau mengamati para tawanan, beliau bertanya kepada para
sahabat, "Tahukah kalian, siapakah para tawanan ini?"
Walaupun
sebelumnya Nabi SAW telah menghalalkan darah Tsumamah, tetapi beliau tidak
memerintahkan para sahabat membunuhnya, bahkan
memerintahkan untuk melayani diri dan pasukannya dengan baik. Sungguh cerminan
akhlak yang mulia dan sifat Rahmatan lil ‘Alamin. Sepulang dari Masjid, Nabi
SAW menemui para istrinya dan memerintahkan untuk mengumpulkan makanan yang
dimiliki untuk melayani Tsumamah dan tawanan lainnya. Beliau juga memerintahkan
beberapa sahabat untuk memerah susu untuk minuman mereka.
Setelah para
tawanan selesai menikmati suguhan yang diberikan, Rasulullah SAW mendatangi
Tsumamah, dan beliau menanyakan keadaannya. Tsumamah berkata, "Keadaanku
baik saja, wahai Muhammad, sekiranya engkau ingin membunuh, bunuhlah mereka
yang telah melukai dan membunuh orang-orangmu. Dan sekiranya engkau ingin
mengampuni, maka ampunilah orang yang tahu bersyukur. Dan sekiranya engkau
ingin harta, kami akan memberikan sebanyak apa yang kau minta."
Nabi SAW hanya
tersenyum mendengar jawaban itu tanpa berkata apapun, kemudian meninggalkannya.
Beliau membiarkannya dalam keadaan seperti itu selama dua hari, tetapi tetap
memberikan hidangan dan minuman yang mereka butuhkan.
Setelah dua hari
itu, Nabi SAW menemui Tsumamah lagi dan bertanya, “Hai Tsumamah, bagaimana
keadaanmu?"
"Wahai
Muhammad," Kata Tsumamah, "Aku tidak mempunyai keputusan lain, selain
apa yang kusampaikan padamu tempo hari."
Kemudian ia
mengulang apa yang ia ucapkan sebelumnya, dan Nabi SAW meninggalkannya.
Keesokan harinya, beliau mendatanginya lagi dan menanyakan keadaan dan
keputusannya, tetapi Tsumamah tetap teguh dengan apa yang disampaikannya
sebelumnya. Nabi SAW bersabda pada para sahabatnya, "Bebaskanlah Tsumamah
dan berikanlah tunggangannya..!"
Tsumamah-pun
dilepaskan, ia berjalan ke luar kota
Madinah. Di suatu tempat dekat Baqi’ dimana banyak ditanami pohon kurma dan
terdapat mata air, ia beristirahat dan membersihkan diri di mata air tersebut.
Ia duduk merenung. Masih jelas tergambar di fikirannya, bagaimana aktivitas
Nabi SAW dan para sahabat dalam tiga hari tersebut. Ia juga menyadari bagaimana
beliau tidak membunuh atau menyuruh membunuhnya walaupun sebelumnya telah
menghalalkan darahnya. Bahkan walaupun tertawan, beliau masih melayani
kebutuhan makan minumnya dengan baik. Terbukalah pintu hatinya, dan hidayahpun
menghampirinya.
Ia kembali ke
masjid, di depan para sahabat yang sedang berkumpul, ia dengan lantang
mengucapkan dua kalimah syahadat untuk menyatakan keislamannya. Kemudian ia
menghadap Nabi SAW dan berkata, "Ya Muhammad, Demi Allah, dahulu tidak ada
wajah yang paling aku benci kecuali wajahmu, tetapi hari ini, wajahmu menjadi
wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada agama yang paling
aku benci kecuali agamamu, tetapi hari ini, agamamu menjadi agama yang paling
aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada tempat yang paling aku benci kecuali
tempatmu, tetapi hari ini, tempatmu adalah menjadi tempat yang paling aku cintai."
Nabi SAW
menyambut gembira keislaman Tsumamah. Ketika ia menanyakan tentang apa yang
harus dilakukannya untuk menebus dosa-dosanya karena menyebabkan banyak musibah
yang menimpa sahabat-sahabat Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak ada cercaan
bagimu, hai Tsumamah, keislamanmu telah menghapuskan dosa-dosamu yang kau
lakukan dalam masa jahiliah."
Kemudian Nabi
SAW memerintahkan para sahabatnya membebaskan tawanan lainnya, yang merupakan anggota
pasukan dan kawan-kawan Tsumamah. Mereka semua akhirnya mengikuti jejak
Tsumamah memeluk Islam. Tsumamah berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, selama
ini aku banyak memberikan kesusahan kepada sahabat-sahabatmu, jauh lebih hebat
daripada yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, karena itu sejak saat ini,
aku akan menyerahkan diriku, pedangku, dan orang-orang yang bersamaku untuk
membantumu dan membantu agamamu."
Nabi SAW
menerima ikrar (ba’iat) yang disampaikan oleh Tsumamah dan pasukannya tersebut,
dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan.
Kemudian
Tsumamah berkata lagi, "Wahai Rasulullah, aku dan pasukanku berniat untuk
umrah ke Makkah ketika pasukanmu menangkapku, apakah aku harus mengurungkan
niatku itu?"
Nabi SAW melarangnya untuk
membatalkan niat pelaksanaan umrah tersebut, hanya saja mereka harus melakukannya dengan
tata cara yang sesuai tuntunan Allah dan RasulNya, dan Nabi SAW mengajarkan
tata cara umrah menurut syariat Islam.
Segera setelah
itu Tsumamah dan pasukannya bertolak ke Makkah, dengan niat yang sama tetapi
dengan jiwa dan semangat yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Sampai di Makkah,
rombongan umrah Tsumamah melantunkan talbiah sebagaimana diajarkan Nabi SAW dengan
gegap gempita, dengan pedang dan persenjataan tersandang siap digunakan. Inilah
pertama kalinya talbiah bergema menggetarkan kota Makkah.
Tentu saja hal
itu menarik perhatian rombongan umrah lainnya, dan kaum Quraisypun sebagai
pengelola tanah suci menjadi marah. Mereka datang dengan pedang terhunus dan
panah menghambur ke rombongan Tsumamah. Ketika hampir saja Tsumamah dan pasukannya
yang siap siaga itu diserang dan ditangkap, tiba-tiba terdengar teriakan salah
seorang Quraisy, "Celaka kalian! Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah
Tsumamah bin Utsal, Raja
Yamamah. Demi Allah, jika kalian menangkap dan membunuhnya, kaumnya akan menghentikan
bantuan makanan kepada kita, dan kita akan mati kelaparan."
Mendengar
peringatan tersebut, mereka batal menyerang, dan menghampiri Tsumamah dengan
pedang masih terhunus, kemudian bertanya, "Apa yang terjadi denganmu,
wahai Tsumamah, apakah engkau murtad dari agama nenek moyangmu?"
"Tidak, aku
tidak murtad, tetapi aku telah mengikuti sebaik-baiknya agama, yakni agama
Muhammad," Kata Tsumamah dengan tegas, lalu melanjutkan, "Aku
bersumpah Demi Tuhannya Ka'bah, setelah aku pulang ke Yamamah, tidak akan ada
satu butir gandum yang sampai ke Makkah, sebelum kalian mengikuti agama
Muhammad."
Kaum Quraisy tak
berkutik dengan ancaman tersebut, dan mereka membiarkan rombongan Tsumamah
berumrah secara Islami.
Ancaman Tsumamah
ternyata bukan hanya gertak sambal, ia melakukan embargo makanan untuk kaum
Quraisy, sehingga mengakibatkan penderitaan dan kesulitan makanan di Makkah,
bahkan bencana kelaparan mulai menjadi-jadi. Tentu mereka amat berat untuk
memeluk Islam seperti “persyaratan” yang diminta Tsumamah. Tetapi mereka
menemukan pilihan lain, para pimpinan Quraisy datang ke Madinah, meminta tolong
kepada Nabi SAW agar Tsumamah menghentikan embargo makanannya ke Makkah. Mereka
meminta atas nama kekerabatan dan kemuliaan akhlak beliau, yang suka menolong
dan menyambung silaturahmi. Nabi SAW pun menulis surat kepada Tsumamah untuk mengirimkan
bantuan makanan lagi bagi penduduk Makkah.
Setelah menerima
surat Nabi SAW,
Tsumamahpun langsung mematuhinya. Padahal sebenarnya ia menginginkan agar
mereka memeluk Islam dahulu baru ia memberikan bantuan makanan itu. Tetapi
kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah SAW mengalahkan keinginannya
sendiri. Makkahpun selamat dari bencana kelaparan.
Ketika
Musailamah al Kadzdzab mendakwahkan dirinya sebagai nabi di Yamamah, saat itu
Nabi SAW masih hidup, Tsumamah menentangnya dengan keras. Musailamah yang juga
pembesar Bani Hanifah itu akhirnya menjadi pemimpin dari orang-orang yang
murtad sekaligus menjadi nabinya.
Ketika Nabi SAW
wafat, semakin banyak orang menjadi pengikutnya dan kekuatannya makin besar,
Tsumamah-pun berseru lantang kepada kaumnya, "Hai Bani Hanifah, ini adalah
perbuatan orang-orang yang dzalim. Kecelakaan besar dari Allah bagi orang-orang
yang mengikuti Musailamah, dan ujian bagi orang yang tidak mengikutinya. Hai
Bani Hanifah, tidak akan ada dua nabi dalam masa yang sama, dan tidak ada nabi
lagi setelah Nabi Muhammad SAW."
Kemudian Tsumamah bersama orang-orang yang masih teguh
dengan keislamannya memerangi pasukan Musailamah, sehingga akhirnya ia syahid dalam
memerangi nabi palsu yang masih kerabatnya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar