Ka'ab bin Malik adalah salah
seorang sahabat Anshar periode awal, karena ia telah berba'iat memeluk Islam di
Aqabah, ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Ia tidak pernah tertinggal
dalam berjihad bersama Rasulullah SAW, kecuali dalam perang Badar dan Tabuk.
Tetapi ketertinggalannya dalam perang Tabuk merupakan musibah terbesar dalam
hidupnya.
Ketika Nabi SAW
menyeru untuk berjuang ke Tabuk, keadaannya sebenarnya cukup lapang, kekuatan,
kendaraan dan perbekalan yang mencukupi semuanya tersedia. Ketika pasukan
muslim telah bersiap, ia meminta ijin kepada Nabi SAW untuk mempersiapkan
perbekalannya, tetapi sesampainya di rumah, ia tidak segera melakukannya. Fikirnya,
itu gampang dilakukannya karena semuanya telah tersedia.
Esok paginya,
ketika Rasulullah SAW dan pasukannya telah berangkat, ia akan bersiap-siap,
tetapi lagi-lagi ia menundanya. Ia fikir, kalau ia berangkat sore harinya ia
akan bisa menyusul rombongan pasukan Nabi SAW. Tetapi sorenyapun ia tidak bisa
melakukannya, begitu juga dengan sehari dan dua hari berikutnya, niatnya untuk
menyusul ke Tabuk tidak pernah kesampaian.
Nabi SAW sendiri
tidak pernah teringat akan Ka'ab kecuali ketika telah berkemah di Tabuk. Memang
pasukan muslim saat itu sangat banyak, sekitar sepuluh ribu orang, sehingga
kalau tertinggal satu dua orang mungkin tidak akan kelihatan. Tetapi tiba-tiba
Nabi SAW bertanya, "Apa yang dilakukan Ka'ab saat ini?"
Seorang lelaki
dari Bani Salimah mengomentarinya dengan negatif, tetapi Muadz bin Jabal
memotongnya, "Sungguh buruk yang engkau katakan, Demi Allah, wahai
Rasulullah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali hanya kebaikan
saja."
Rasulullah SAW
hanya diam mendengar komentar dua orang sahabat beliau yang saling berlawanan.
Ka'ab bin Malik sendiri
akhirnya menyesali keteledorannya sehingga tertinggal. Di Madinah tidaklah
tinggal kecuali para sahabat yang memang mempunyai udzur untuk tidak berperang,
baik karena kekuatannya atau karena tidak memiliki kendaraan dan perbekalan.
Dan juga mereka yang tertuduh sebagai orang-orang munafik.
Ketika rombongan
Nabi SAW dalam perjalanan pulang ke Madinah, ia sempat berfikir untuk membuat
alasan bohong agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW, tetapi niat itu
diurungkannya. Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, seperti biasanya baliau
langsung menuju masjid, shalat dua rakaat, kemudian duduk untuk menerima
kunjungan. Orang-orang yang tidak menyertai beliau dalam peperangan,
berdatangan untuk menyampaikan alasannya, ada yang memang benar-benar mempunyai
udzur, tetapi ada juga yang dibuat-buat untuk menghindari kemarahan Nabi SAW.
Yang terakhir ini ada sekitar 80 orang, termasuk orang-orang yang tertuduh sebagai
munafik. Untuk mereka ini, Nabi SAW menerima alasannya secara lahirnya, dan
secara batinnya diserahkan kepada Allah. Kemudian beliau memba'iat mereka dan
memohonkan ampunan kepada Allah.
Ketika Ka'ab
mendekat, Nabi SAW melihatnya dengan senyum, senyuman orang yang biasanya menunjukkan
sikap tidak puas atau sedang marah. Beliau memanggilnya dan bersabda, "Apa
yang menyebabkan engkau tertinggal? bukankah engkau telah membeli kendaraan
untuk perang?"
Ka'abpun
mengakui terus terang kelalaiannya sehingga tertinggal tanpa alasan yang benar.
Ia juga mengatakan kalau sempat akan berbohong dengan alasan yang dibuat-buat,
sekedar untuk menghindari kemarahan Nabi SAW, tetapi ia yakin hal itu akan mengundang
kemurkaan Allah. Karenanya ia memilih berbicara jujur, walaupun dimarahi Allah
dan RasulNya, tetapi ia masih bisa berharap untuk memperoleh ampunan Allah.
Setelah
memperoleh penjelasan panjang lebar dari Ka'ab, Nabi SAW bersabda, "Engkau
berkata benar, bangunlah! Tunggulah hingga Allah memberikan keputusanNya
kepadamu!"
Ka'ab keluar
dari masjid, beberapa orang dari Bani Salimah mengikutinya. Mereka mencelanya
mengapa ia tidak membuat alasan saja sehingga tidak menimbulkan kemarahan
Rasulullah SAW, apalagi selama ini ia belum pernah berbuat dosa. Karena celaan
yang bertubi-tubi, sempat membuatnya menyesal telah berkata jujur, tetapi
perasaan tersebut segera dibuangnya. Ia bertanya kepada mereka, "Adakah
orang lain yang keadaannya sama denganku?"
Mereka
menjelaskan kalau ada dua orang, yakni Murarah bin Rabi dan Hilal bin Umayyah.
Dua orang ini adalah lelaki salih yang menyertai perang Badar, dan juga menjadi
panutan bagi sahabat lainnya.
Hari-hari
setelah itu adalah hari-hari yang menyesakkan dada bagi Ka'ab dan dua orang
sahabat tersebut. Secara khusus Nabi SAW melarang orang-orang untuk berbicara
dengan mereka bertiga, sehingga kaum muslimin selalu berusaha menjauhi
ketiganya. Murarah dan Hilal hanya tinggal di rumah dan menangis karena merasa
begitu hinanya, sementara Ka'ab masih berjamaah bersama Nabi SAW dan
berkeliling di pasar walau tidak ada yang mengajak bicara.
Makin hari
keadaannya makin menyesakkan dada bagi Ka’ab karena ketidak-perdulian
orang-orang di sekitarnya. Bahkan kemenakan kesayangannya, Abu Qatadah tidak
mau menjawabnya. Ketika Ka'ab bersumpah bahwa ia sangat mencintai Allah dan
RasulNya, Abu Qatadah hanya berkata, "Allah dan RasulNya lebih
mengetahui!!"
Ka'ab hanya bisa
menangis mengenangkan keadaannya. Suatu ketika ia sedang berjalan di pasar,
seseorang memberikan suatu surat
yang terbungkus kain sutra. Surat
itu ternyata dari Raja Ghassan, Jabalah bin al Aiham. Isi surat tersebut adalah sbb. : Amma ba'du,
sesungguhnya telah sampai kabar kepadaku, bahwa sahabatmu telah menyakitimu,
dan Allah tidak akan meletakkanmu di negeri yang hina, yang menyebabkan
hilangnya hak-hakmu. Oleh karena itu, bergabunglah bersama kami, kami akan
memberikan perlindungan kepadamu.
Ka'ab menangkap
maksudnya, yakni memintanya untuk meninggalkan Islam dan memeluk agama kristen,
agama yang dipeluk raja Ghassan tersebut. Tentunya dengan iming-iming kebebasan
dan kemewahan. Tetapi Islam telah merasuk ke dalam darah dan sum-sumnya,
sehingga tidak mungkin ia meninggalkannya walaupun saat itu ia sedang
menghadapi ujian yang amat berat, ujian kesabaran dalam keimanan. Ka’ab membawa
surat indah
bersampul sutra tersebut ke tempat pembakaran, dan memasukkan ke dalamnya.
Cobaan itu
ternyata belum selesai. Setelah empat puluh hari dalam suasana pengasingan,
datang utusan Rasulullah SAW agar ia menjauhi istrinya, tetapi bukan
menceraikannya. Iapun menyuruh istrinya kembali ke keluarganya untuk sementara
waktu, sampai ada keputusan lebih lanjut. Begitu juga dengan Murarah dan Hilal,
tetapi istri Hilal meminta dispensasi kepada Rasulullah SAW untuk tetap merawat
Hilal karena ia sudah tua renta dan tidak memiliki pembantu. Nabi SAW
mengijinkannya, dengan syarat jangan sampai mereka "kumpul". Kerabat
Ka'ab menyarankannya untuk meminta dispensasi seperti Hilal, tetapi Ka'ab
menolaknya.
Pada hari ke
limapuluh, setelah shalat subuh di atas atap salah satu rumahnya, ia duduk
dengan keadaan sangat tertekan dan dadanya terasa sesak, tiba-tiba terdengar
teriakan dari atas gunung Sal’un, "Hai Ka'ab, berita gembira
untukmu!!"
Ternyata setelah
shalat subuh itu, Nabi SAW mengumumkan bahwa taubat ketiga sahabat tersebut
telah diterima Allah. Seseorang langsung menunggangi kudanya menuju rumah Ka'ab
untuk menyampaikan kabar gembira ini, dia adalah Zubair bin Awwam. Sedang
seorang lelaki dari bani Aslam, yakni Hamzah bin Amr al Aslami, segera menaiki
gunung Sal’un dan berteriak mengabarkan hal tersebut. Teriakan inilah yang
lebih dahulu diterima dan diketahui oleh Ka’ab daripada kuda yang dipacu
Zubair. Begitu Hamzah sampai di hadapannya, Ka'ab melepas dua lapis pakaian
yang dikenakannya dan memakaikannya pada Hamzah sebagai tanda terima kasihnya.
Padahal saat itu ia tidak mempunyai pakaian lain kecuali dua pakaian tersebut.
Dengan meminjam
pakaian pada orang lain, Ka'ab menuju ke masjid untuk menemui Nabi SAW.
Sepanjang perjalanan orang-orang menyalaminya dan mengucapkan selamat padanya,
iapun menyambutnya dengan sangat gembira. Begitu memasuki masjid, Thalhah bin
Ubaidillah segera bangkit dan berlari kecil menyambutnya, memberi salam dan
mengucapkan selamat. Sikap Abu Thalhah yang sangat antusias ini begitu
mengesankan di hati Ka'ab sehingga ia tidak akan pernah melupakannya.
Sampai di
hadapan Rasulullah SAW, Ka'ab mengucapkan salam dan beliau membalasnya dengan
wajah berbinar seperti bulan purnama, yang menandakan kegembiraan hati beliau.
Nabi SAW bersabda, "Bergembiralah dengan sebaik-baiknya hari yang
melewatimu sejak engkau dilahirkan ibumu!"
Ka'ab menanyakan tentang penerimaan taubatnya
tersebut, dari Allah atau keputusan Nabi SAW sendiri. Beliau menyatakan kalau
semua itu langsung dari Allah, yakni dengan turunnya Surah at Taubah ayat
117-119. Makin gembiralah hati Ka’ab, dan sebagai bentuk syukur atas diterima
taubatnya, Ka'ab menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan RasulNya.
Tetapi Nabi SAW menyarankan agar ia menyimpan sebagiannya untuk keperluannya,
dan Ka'ab hanya menyisakan bagiannya dari perang Khaibar.
Subhanallah...
BalasHapussebegitu excitednya Ka'ab bin Malik r.a mengetahui taubatnya diterima.
sampe ada di suratdalam Al-Qur'an gitu..
Subhanallah,,,,
Subhanallah, demikianlah keteguhan iman orang2 yg begitu mencintai ALLAH Swt beserta Rasul-NYA SAW.
BalasHapus