Secara umum,
seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah
lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri
menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil,
khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi
kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri
yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya
Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan
oleh Allah SWT.
Riwayat paling masyhur,
istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
1. Khadijah
binti Khuwailid RA
2. Saudah binti Zam'ah RA
3. Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
4. Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
5. Zainab binti Khuzaimah RA
6. Ummu
Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
8. Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
9. Ummu
Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
10. Shafiyah binti Huyyai bin
Akhthab RA
11 Maimunah binti Harits bin Hazn
RA
Mereka ini
adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum
muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi
wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah
meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab
binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah
dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka,
yaitu :
1. Seorang wanita dari Bani Qilab
bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
2. Seorang wanita Bani Kindah
bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.
Keduanya
dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.
Mengenai
kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat
menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan
Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu
dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua
istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk
menjebak Asma.
Setelah matang,
dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat
itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata, "Wahai Asma, sesungguhnya
Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan
'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"
Asma yang belum
mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima
kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada
Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah
berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh
Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.
Tetapi seketika
itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan
sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau
telah memohon perlindungan kepada Allah…?"
Setelah itu
beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh
seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada
orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.
Setelah tahu
duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW
untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas
perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau
hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan
di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar
biasa."
Tetapi
bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan
Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya
tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.
Kisah ini
sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan
kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali
pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.
Selain mereka,
Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah
al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an
Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan
bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri
beliau sendiri.
Dakwah Nabi SAW
kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama
Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan
sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam
di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan
beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang
gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian
riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah
dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga
beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.
Nabi SAW mengambil
Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin
diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin
lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan
di luar kota
Madinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang
ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau
memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih
kecil.
kalau opini anda betul bahwa poligami tidak disunahkan kenapa para sahabat generasi Rosulullah dan generasi kedua, ketiga banyak mempraktekan poligami, bukan kah di dalam Al-Quran Allah berfirman bahwa Rosulullah adalah suri teladan yang baik.
BalasHapusAss.Wr.Wb, Mas ZiDit,memang terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum poligami dalam Islam. Saya hanya ittiba' (mengikuti) pada pendapat ulama yang menyatakan hukumnya 'boleh (mubah)', hanya saja sifat mubah ini, menurut para ulama, bisa saja berubah menurut situasi dan keadaan yang sifatnya kondisional, menjadi sunnah atau makruh, bahkan wajib atau juga haram. Memang benar bahwa kita diperintahkan ittiba' dan menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan, tetapi sayangnya kebanyakan dari kita terkadang 'mengabaikan' yang utama dari teladan itu, yakni akhlak dan amal ibadah beliau, dan 'membesarkan' dalam meneladani poligami, walau memang tidak ada salahnya. Padahal hampir pasti, kita tidak akan bisa seperti Rasulullah SAW dalam bersikap adil dan berakhlak karimah terhadap istri-istri kita, Wallahu A'lam
Hapus