Abu Dzar al
Ghifari RA, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang
tinggal jauh dari kota
Makkah, tetapi ia merupakan kelompok
sahabat yang pertama memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang
yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, karena itu ia langsung
tertarik ketika mendengar kabar tentang seorang nabi yang mencela berhala dan
para pemujanya.
Ia merupakan
orang dewasa ke lima
atau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi SAW bahwa
ia berasal dari Ghifar, beliau tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar terkenal
sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka
sangat ahli melakukan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan
bagi mereka, karena itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi
SAW makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar datang sendirian hanya untuk
mendengar dan mengikuti risalah Islam yang beliau bawa, yang sebenarnya baru
didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya bisa berkata, "Sungguh
Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…"
Setelah
keislamannya, beliau menyarankan agar ia menyembunyikan keimanannya dan kembali
kepada kaumnya sampai waktunya Allah memberikan kemenangan. Karena sebagai
perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya jika diketahui ia telah memeluk
agama baru yang menentang penyembahan berhala. Ia bisa memahami saran beliau
tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan menyerah seolah
memberontak, ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku takkan
pulang sebelum meneriakkan keislamanku di Masjid."
Ia berjalan ke
Masjidil Haram, dan di sana
ia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras
syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi
ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh
pingsan.
Abbas bin Abdul
Muthalib, paman Nabi SAW yang mendengar kabar tersebut segera datang ke masjid, tetapi melihat kondisinya,
tidak mudah melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa , karena itu ia berkata diplomatis,
"Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan
kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah mereka. Apa
jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"
Merekapun
melepaskannya. Tetapi pada hari berikutnya, ketika Abu Dzar melihat dua wanita
mengelilingi berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon, lagi-lagi jiwa tauhidnya
terusik. Ia mencegat dua wanita tersebut dan menghina dua berhala itu
sejadi-jadinya, sehingga dua wanita itu menjerit ketakutan. Tak pelak
orang-orang musyrik berkumpul dan sekali lagi menghajarnya beramai-ramai hingga
pingsan. Melihat kejadian tersebut, sekali lagi Rasulullah SAW memerintahkannya
untuk segera pulang ke kabilahnya.
Kembali ke
daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga sedikit
demi sedikit mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah
tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini. Beberapa tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah
tinggal di Madinah, serombongan besar manusia datang dengan suara gemuruh,
kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang
diserang musuh. Ternyata mereka adalah Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua
kabilah yang terkenal jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase
menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allah tersebut datang melalui tangan Abu Dzar.
Ketika dua
rombongan besar ini menghadap Nabi SAW, beliau berkaca-kaca diliputi keharuan,
suka cita dan rasa kasih berlimpah. Beliau bersabda kepada Kabilah Bani Ghifar,
"Ghifaarun ghafarallahu laha…." (Suku Ghifar telah diampuni oleh
Allah).
Kemudian beliau
berpaling kepada Kabilah Bani Aslam sambil bersabda, "Wa Aslamu
Saalamahallahu…." (Suku Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh
Allah).
Pada perang Tabuk yang terkenal
dengan nama Jaisyul Usrah (Pasukan di masa sulit), beberapa orang tertinggal
dari rombongan besar Rasulullah SAW. Dan ketika ini dilaporkan, beliau
bersabda, "Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh
Allah kepada kalian. Dan jika tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya."
Salah seorang
yang tertinggal tersebut adalah Abu Dzar. Keledai yang ditungganginya sangat
lelah sehingga tidak bisa bergerak lagi. Berbagai cara dicoba Abu Dzar agar
keledainya berjalan lagi tetapi tidak berhasil, bahkan akhirnya mati.
Sementara itu
rombongan Nabi SAW sedang beristirahat ketika pagi tiba. Seorang sahabat
melaporkan ada satu sosok terlihat berjalan sendiri di jauh di ufuk. Nabi SAW
bersabda, "Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!!"
Setelah dekat dan
sampai di hadapan Nabi SAW, ternyata memang Abu Dzar-lah orangnya. Ia memanggul
barang dan perbekalan di punggungnya dan meneruskan perjalanan menyusul
rombongan Nabi SAW dengan berjalan kaki. Walau jelas terlihat kelelahannya,
tetapi wajahnya bersinar gembira bisa bertemu dengan Nabi SAW dan anggota
pasukan lainnya. Beliau menatapnya penuh takjub, kemudian dengan senyum yang
santun dan penuh kasih, beliau bersabda, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
pada Abu Dzar , ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian,
dan ia akan dibangkitkan
sendirian…"
Sebuah bentuk
pujian, atau sebuah ramalan, atau sebuah bentuk rasa kasihan, atau apapun itu,
hanyalah sebuah gambaran tentang apa yang telah dan akan dijalani oleh Abu
Dzar, bahkan pada hari kebangkitan nanti.
Dari sejak
pertama memeluk Islam, keberaniannya mengeksplorasi keimanannya di saat dan
tempat yang bisa membahayakan dirinya, Nabi SAW langsung mengetahui watak dan
karakter Abu Dzar, apalagi dengan kondisi lingkungan Bani Ghifar yang
mendidiknya. Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Wahai Abu Dzar,
bagaimana pendapatmu jika menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk
keperluan pribadinya."
Dengan tegas Abu
Dzar menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran,
aku akan luruskan mereka dengan pedangku!"
Beliau
tersenyum, kemudian bersabda, "Maukah aku beri jalan yang lebih baik dari
itu…"
Abu Dzar
mengangguk, Nabi SAW bersabda, "Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui
aku…!!"
Inilah gambaran
situasi yang akan dihadapi oleh Abu Dzar sepeninggal Nabi SAW. Tetapi di masa
khalifah Abu Bakar dan Umar, tidak ada
sesuatu yang mengusik kehidupan Abu Dzar, situasi tidak jauh berbeda seperti
masa hidupnya Nabi SAW.
Setelah wafatnya
Umar bin Khaththab, yang memang digelari Nabi SAW dengan istilah "Pintunya
Fitnah" atau "Gemboknya Fitnah", sedikit demi sedikit fitnah
duniawiah menjalari umat Islam. Apalagi wilayah Islam makin luas dan harta
kekayaan melimpah ruah. Gaya
hidup Romawi dan Persi sedikit demi sedikit diadopsi oleh para penguasa muslim.
Jurang pemisah antara kaum fakir miskin dan penguasa atau hartawan mulai
terbentuk. Pada keadaan seperti inilah jiwa Abu Dzar terusik. Abu Dzar
menerawang jauh ke belakang, teringat akan waktu bersama Nabi SAW dan apa yang
beliau sabdakan tentang dirinya. Beliau sudah mewasiatkan dirinya untuk
bersabar dan tidak menggunakan pedangnya. Tetapi jiwa perjuangan untuk
menegakkan kebenaran seakan tidak bisa terbendung. "Nabi SAW melarang aku
untuk meluruskan mereka dengan pedang, tetapi beliau tidak pernah melarang
untuk meluruskan dengan lidah dan nasihat," begitu pikirnya.
Maka dimulailah
babak baru perjuangannya. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan
kekayaan, para penguasa dan hartawan, khususnya yang tidak lagi meneladani Nabi SAW dalam
mengemban amanat harta dan jabatan. Dalam menyampaikan kebenaran, lidahnya tak
kalah tajamnya dengan pedangnya. Ia mengutip Surah at Taubah ayat 34-35, dan
merangkaikannya menjadi syair singkat yang segera saja menjadi simbol
perjuangannya, "Berilah kabar gembira para penumpuk harta, yang menumpuk
emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika
kening dan pinggang mereka di hari kiamat…."
Segera saja Abu
Dzar mendapat sambutan hangat di seluruh penjuru negeri yang dikunjunginya.
Banyak sekali orang yang bergabung dan berdiri di belakangnya untuk mendukung
perjuangannya. Kalau orang Islam biasa yang mengucapkan kalimat tersebut di
hadapan penguasa dan para hartawan, tentulah tidak begitu besar pengaruhnya.
Tetapi seorang sahabat sekaliber Abu Dzar, yang berdiri kokoh menghadapi
penguasa dan hartawan, dengan tegas dan tanpa gentar sedikitpun menasehati
mereka, seolah memunculkan kutub baru, kutub kaum tertindas dan teraniaya dalam
negeri Islam yang begitu kaya dan melimpah.
Inilah
rahasianya, kenapa Nabi SAW dalam menasehatinya langsung pada titik tertinggi,
"Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui aku…!!"
Dan beliau tidak
menasehatinya untuk berjuang dengan lisannya. Kutub baru yang terjadi karena
perjuangannya bisa menimbulkan fitnah baru yang lebih besar daripada fitnah
yang telah ada, yakni perpecahan umat. Dan Abu Dzar menyadari satu hal, tidak
semua orang tulus dan murni berjuang untuk menegakkan kalimat dan agama Allah. Ada sebagian orang yang
memanfaatkan perjuangannya menegakkan kebenaran, untuk memenuhi ambisi dan
keinginan nafsunya. Maka ketika Khalifah Utsman memanggilnya untuk kembali ke
Madinah, ia segera memenuhinya.
Tiba di Madinah,
Khalifah Utsman memintanya dengan halus untuk tinggal bersamanya, segala kebutuhannya
akan dipenuhi. Tentu saja tawaran seperti itu ditolaknya, ia hanya meminta izin
untuk mengasingkan diri di pedalaman padang
pasir di Rabadzah. Ia ingin melaksanakan wasiat Nabi SAW kepadanya untuk
bersabar di tempat terpencil, sehingga tidak terganggu dengan fitnah-fitnah
yang mulai menyebar. Khalifah Utsman mengijinkannya.
Sebagian riwayat
menyebutkan, Khalifah Utsman-lah yang memberikan pilihan kepadanya, tinggal di
Madinah dengan segela kebutuhannya dicukupi, atau ia akan diasingkan ke pedalaman
Rabadzah. Tujuan jelas, agar ia tidak lagi berkeliling wilayah Islam mendakwahi
para penguasa dan hartawan. Dan Abu Dzar sebagai seorang muslim sejati tetap
taat kepada Utsman sebagai Amirul Mukminin, dan mengambil pilihan ke dua.
Abu Dzar tinggal
di Rabadzah bersama istri, anak dan pembantunya yang sudah tua, dan beberapa
ekor unta sebagai sumber kehidupannya.
Suatu ketika datang seseorang dari Bani Sulaim menemuinya dan berkata
"Saya ingin tinggal bersama engkau, agar aku dapat mendalami pengetahuan tentang
perintah Allah, dan juga mengenal sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW.
Saya bersedia membantu hambamu yang sudah tua itu dalam memelihara
onta-ontamu!"
"Aku tidak
mau tinggal dengan orang yang tidak menuruti kehendakku," Kata Abu Dzar,
"Jika kamu berjanji akan melakukan apa yang suruh, aku akan mengijinkanmu
tinggal bersamaku."
"Bagaimana
cara menuruti kehendak-kehendakmu?" Tanya orang Bani Sulaim itu.
"Apabila
aku menyuruh membelanjakan hartaku, hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik
dari hartaku itu." Kata Abu Dzar. Orang itu menyetujuinya, dan ia tinggal
bersama Abu Dzar sambil menggembalakan unta-untanya.
Suatu ketika ada
kabar bahwa ada sekelompok orang-orang miskin yang kehabisan bekal makanan,
berkemah di dekat mata air. Abu Dzar memerintahkan pembantunya dari bani Sulaim
untuk menyembelih satu ekor unta buat mereka. Ia memilih yang terbaik dari unta yang dimiliki
Abu Dzar, dan ternyata ada dua, salah satunya tampak lebih bagus untuk ditunggangi.
Karena dimaksudkan untuk bekal makanan dan akan disembelih, ia memilih unta
yang satunya kemudian dibawa menghadap Abu Dzar. Ketika melihat unta tersebut,
Abu Dzar berkata, "Engkau mengkhianati janjimu dulu?"
Orang tersebut
sadar apa yang dimaksudkan Abu Dzar ,
ia membawa kembali unta tersebut
dan menukarnya dengan unta yang lebih bagus untuk ditunggangi. Abu Dzar
menyuruh dua pembantunya menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya.
Untuk keluarganya, sama banyaknya dengan keluarga dalam kelompok orang miskin tersebut.
Saat akhir kehidupannya,
ketika Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istri yang menungguinya menangis. Ia
berkata, "Apa yang engkau tangisi,
padahal maut itu pasti datang??"
"Bukan itu," Kata
istrinya, "Engkau meninggal, padahal tidak ada kain untuk mengkafani
jenazahmu!!"
Abu Dzar
tersenyum sambil matanya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu. Ia berkata,
"Aku ingat, junjunganku, Rasulullah SAW berkata pada sekelompok sahabat
termasuk aku, 'Ada salah satu dari kalian yang
meninggal di padang
pasir yang liar dan terpencil, yang akan disaksikan oleh serombongan orang
beriman.' Semua sahabat yang hadir di majelis tersebut telah meninggal syahid
atau di hadapan kaum muslimin, kecuali aku. Nah, kalau aku telah meninggal,
perhatikanlah jalan (riwayat lain, letakkan aku di sisi jalan), agar rombongan
orang beriman itu melihatku. Demi Allah aku tidak bohong, dan tidak pula
dibohongi (oleh Nabi SAW)…"
Ternyata benar,
tidak lama setelah kewafatannya, sebuah kafilah lewat tak jauh dari tempatnya,
dan kemudian membelokkan arah menuju sosok mayat yang sedang ditangisi oleh dua
orang, istri dan anak Abu Dzar, berada. Sahabat Abdullah bin Mas'ud yang
memimpin rombongan tersebut langsung mengenalinya sebagai Abu Dzar. Ia berurai
air mata melihat keadaan sahabatnya tersebut, sambil berkata, "Benarlah Rasulullah SAW, anda berjalan
seorang diri, anda meninggal seorang diri, dan anda akan dibangkitkan pula
seorang diri…"
Sebagian riwayat
menyebutkan, ketika kafilah yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud itu sampai di
tempatnya, ia masih hidup dalam keadaan sakaratul maut. Ia berkata kepada
mereka, "..seandainya aku dan istriku mempunyai kain, tentu aku ingin
dikafani dengan kainku atau milik istriku. Tetapi aku minta dengan nama Allah,
janganlah seseorang yang pernah menjabat gubernur, walikota, atau penguasa
apapun yang mengafani aku!!”
Ternyata hampir
semua anggota kafilah tersebut pernah memangku jabatan yang disebutkannya,
kecuali satu orang sahabat Anshar. Dia
berkata, "Wahai pamanku, akulah yang tidak pernah menjabat seperti
yang engkau sebutkan, aku yang akan mengafani jenazahmu dengan sorbanku dan dua
bajuku yang ditenun sendiri oleh ibuku!!”
"Hanya
engkau yang boleh mengafani jenazahku," Kata Abu Dzar.
Setelah Abu Dzar
wafat, mereka merawat jenazahnya dan sahabat Anshar tadi yang mengafaninya.
Setelah itu mereka pulang ke Madinah
dengan gembira, terutama sahabat Anshar tersebut, karena mereka telah masuk
dalam bagian dari realisasi sabda Nabi SAW seperti yang disampaikan Abu Dzar.
Dan kegembiraan apalagi yang lebih besar, bahwa Nabi SAW menyebut dan menjamin
mereka sebagai "rombongan orang beriman."
Alhamdulillah...
BalasHapusMasyaAllah...
subhanallah .......
BalasHapusSubhanallah...:'( :'(
BalasHapusKau hidup sendiri, mati sendiri , dan dibangkitkan sendirian . nowhere man :'(
BalasHapusmantap bray
BalasHapusJalan sunyi sahabat Rosulullah.. seorang anti kapitalis.. ada kesamaan dgn tan malaka..
BalasHapusJalan sunyi sahabat Rosulullah.. seorang anti kapitalis.. ada kesamaan dgn tan malaka..
BalasHapusInsya Allah akan jadi nama putraku yang kedua. Semoga dapat meneladani kehidupan beliau. Amiin
BalasHapusYang paling ditakuti manusia adalah kematian, & yang paling disukai manusia adalah terus menerus menambah harta benda.
BalasHapus