Bilal bin Rabah
al Habsyi hanyalah seorang budak biasa sebagaimana budak-budak lainnya,
nasibnya sebagai putra seorang budak yang secara otomatis menjadikannya sebagai
budak pula. Ia dimiliki oleh seorang tokoh Quraisy dari bani Jumah, Umayyah bin
Khalaf, yang sangat membenci Nabi SAW dan kehadiran agama baru di lingkungan
mereka. Tetapi justru kebencian tuannya kepada Nabi dan Islam ini yang menjadi
jalan hidayah bagi Bilal. Mereka begitu semangat membahas, menghujat dan
mencaci-maki, dan sesekali takjub atas munculnya agama baru dan sosok Nabi
Muhammad SAW. Dan itu semua menjadi informasi tak terbatas bagi Bilal tentang
Islam, yang akhirnya membawa langkahnya menemui Nabi SAW, tentu tanpa
sepengetahuan tuannya, untuk memeluk Islam.
Bilal merupakan
orang Islam pertama dari golongan budak, dan itu menjadikan Umayyah bin Khalaf
merasa begitu terhina dan ternoda kehormatannya. Karena itu ia melakukan
berbagai macam cara penyiksaan yang biadab untuk bisa mengembalikan Bilal
kepada agama jahiliah. Ia tidak ingin, peristiwa ini menjadi preseden bagi
budak-budak lainnya dan ia yang disalahkan oleh tokoh Quraisy lainnya.
Tetapi siksaan
seperti apa yang bisa mengubah keyakinan seseorang jika telah begitu lekat di
dalam jiwa. Jika tidak ada hal-hal lain yang diinginkan, dan jika kematian tidak
lagi ditakuti, bagaimana mungkin bisa mengubah prinsip hidup seseorang. Itulah
yang terjadi pada diri Bilal, makin berat siksaan yang dirasakannya, makin
mendekatkan dirinya pada al Ahad, Allah SWT…, Ahad, Ahad, Ahad, itulah yang
seolah menjadi simbol perjuangannya.
Siang hari yang
sangat panas di padang
pasir, ia dibaringkan di atas bara. Terkadang dalam keadaan telanjang ia
dilemparkan ke atas pasir yang seperti menyala, kemudian ditindih dengan batu
besar yang tak kalah panasnya. Sore hari ketika mulai dingin, ia ditegakkan dan
lehernya dirantai kemudian diarak keliling melalui bukit-bukit dan jalanan di kota Makkah. Tidak satu hari dua hari, tidak satu minggu
dua minggu, tetapi berbilang bulan, bahkan mungkin berbulan-bulan siksaan itu
berlangsung.
Seolah karang
yang tak hendak lapuk dan hancur diterjang ombak selama bertahun-tahun,
begitulah keyakinan yang tertanam di dalam jiwa Bilal. Di dalam kelemahannya,
di dalam ketidak-berdayaannya, hanya satu kata yang lekat dan tertanam erat, Ahad,
Ahad, Ahad. Sampai-sampai para penyiksanya jatuh kasihan, atau juga menjadi
bosan dengan apa yang dilakukannya. Tetapi mereka enggan untuk melepaskan Bilal
begitu saja karena gengsi, takut nama baik dan kehormatannya sebagai tokoh kaum
Quraisy tercemar, karena mengalah pada seorang budak yang keras kepala. Atau
lebih tepatnya, seorang muslim yang begitu kokoh keimanannya.
Bahkan ada
riwayat menyatakan, para penyiksa itu meminta Bilal untuk satu kali saja
mengatakan "Latta dan Uzza",
agar mereka punya alasan untuk melepaskannya, setelah itu terserah apa
yang akan dilakukannya, bahkan mereka akan membebaskannya dari perbudakan.
Tetapi Bilal tak bergeming, Cuma satu kata yang keluar dari mulutnya secara
berulang-ulang, “Ahad, Ahad, Ahad…!!”
Di suatu pagi
menjelang siang, seperti biasanya Bilal digiring ke padang pasir, ke tempat
penyiksaannya, datanglah Abu Bakar kepada mereka dan berkata, "Apakah
kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhannya adalah
Allah??"
Kemudian Abu Bakar berpaling
kepada Umayyah bin Khalaf, sambil menyerahkan uang ia berkata, "Terimalah
uang ini sebagai tebusannya, ini lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan
dia…!!"
Tampak sekali
kelegaan pada Umayyah bin Khalaf dan para penyiksa Bilal, mereka sudah sangat
jenuh dan hampir putus asa. Mereka hanya
butuh alasan kecil untuk bisa melepaskan Bilal, tetapi malah mendapat setumpuk
uang, tentu saja mereka amat gembira, apalagi mereka ini pada dasarnya seorang
pedagang. Namun demikian Umayyah berkata, "Bawalah dia, demi Latta dan
Uzza, andai saja engkau membayar tak lebih dari satu uqiyah, akau akan
melepaskannya…"
Abu Bakar
mengerti apa yang dimaksudkan Umayyah, yakni ingin merendahkan martabat Bilal.
Karena itu ia berkata, "Andai saja kalian tidak melepasnya kecuali dengan
harga seratus uqiyah, aku pasti akan membayarnya."
Abu Bakar
membawa Bilal ke hadapan Rasulullah SAW, sekaligus mengumumkan pembebasannya
dari status budak. Sekelompok kecil sahabat yang hadir saat bergembira seolah
sedang merayakan hari besar. Dan hari itu memang hari besar, bukan hanya buat
Bilal, tetapi untuk seluruh umat manusia, hari yang sebenarnya lebih tepat untuk dijadikan sebagai "Hari Persamaan
Hak Asasi Manusia."
Ketika Nabi SAW
hijrah ke Madinah dan umat Islam bisa melaksanakan peribadatan tanpa gangguan
dari pihak-pihak yang memusuhi, mulailah dicari cara mengumpulkan umat Islam
untuk melaksanakan shalat jama'ah. Berbagai usulan muncul, tetapi akhirnya
dipilih cara yang kini dikenal sebagai "adzan". Ada beberapa riwayat, tentang siapa yang
pertama kali menyusun redaksi adzan, tetapi yang jelas pilihan pertama Nabi SAW
untuk melantunkannya adalah Bilal bin Rabah. Suaranya yang empuk, merdu,
lantang dan penuh keharuan merupakan alasan utama. Siapapun yang mendengarnya
serasa disiram dengan segelas air dingin,
kesejukan dari nilai keimanan.
Bilal adalah
Muadzdzin pertama dalam Islam, dan namanya kini sangat dikenal di seluruh dunia
karena identik dengan "jabatan" muadzdzin itu sendiri dalam setiap
pelaksanaan shalat Jum'at. Selain sebagai muadzdzin, Nabi SAW juga menunjuk
Bilal sebagai pengurus keuangan beliau. Namun walau disebut sebagai pengurus keuangan, Bilal
tidak pernah memegang uang terlalu lama atau menyimpannya, karena Nabi SAW
memang tidak pernah menyimpan sesuatu, baik uang atau barang, sampai malam
harinya. Bilal hanya diserahi tugas untuk mengurus dan melayani apabila ada kaum
muslimin yang datang meminta bantuan kepada Nabi SAW. Ia akan mencari pinjaman
atas nama Nabi SAW, untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut.
Suatu hari ada
seorang musyrik kaya raya yang mendatangi Bilal dan berkata, "Hai Bilal,
aku mempunyai banyak harta benda, jika kamu mempunyai keperluan, janganlah
meminjam pada siapapun, berhutanglah pada saya!"
"Apalagi yang lebih baik
daripada hal ini," Kata Bilal menyambut baik tawaran si orang musyrik tersebut.
Sebenarnya si orang musyrik ini,
dalam riwayat lain adalah seorang Yahudi, merasa hasud (iri) dengan
kedudukannya yang begitu dekat dengan Nabi SAW, pemimpin tertinggi kaum
muslimin, atau bahkan bisa dikatakan ‘pemimpin tertinggi’ Jazirah Arabia yang
paling disegani saat itu. Pikirnya, “Dia hanya seorang bekas budak, berkulit
hitam lagi. Bagaimana mungkin ia memperoleh kedudukan begitu mulia di sisi
Muhammad (SAW)?? Sungguh aku akan mengembalikannya seperti dahulu lagi!!”
Tentu saja Bilal
tidak mengetahui rencana yang tersimpan di kepala si orang musrik itu, yang
jelas ia memperoleh kemudahan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Nabi
SAW. Maka ketika ada perintah Rasulullah SAW, iapun meminjam dari orang tersebut,
dan menyerahkannya pada orang yang dikehendaki Nabi SAW untuk menerimanya. Hal
ini berlangsung berulang-ulang hingga hutangnya menumpuk banyak pada orang
musyrik itu. Suatu kali ketika selesai berwudlu dan akan mengumandangkan adzan,
orang musyrik ini mendatanginya dengan beberapa orang, ia mencaci maki Bilal
dan berkata bengis, "Hai Habsyi, tinggal berapa hari lagi bulan ini?"
"Bulan ini
hampir habis!!" Kata Bilal.
"Tinggal
empat hari lagi," Kata orang musyrik itu, "Jika sampai akhir bulan
engkau belum melunasi pinjamanmu kepadaku, maka aku akan menjadikanmu hamba
sahaya dan engkau harus menggembala kambing seperti dulu lagi."
Setelah
mengatakan itu, si orang musyrik meninggalkannya. Bilal menjadi sangat bingung
dan gelisah. Selepas shalat isya, ia menemui Rasulullah dan menceritakan apa
yang terjadi. Ia berkata, "Ya Rasulullah, engkau tidak mempunyai
persediaan apapun untuk membayar hutang itu, dan saya juga tidak mempunyai
apa-apa. Saya merasa orang ini ingin menghinakan saya lagi, karena itu, kalau diijinkan,
saya ingin bersembunyi sambil mencari jalan untuk membayar hutang tersebut.
Jika datang kepada engkau sesuatu untuk membayar hutang ini, saya akan datang
lagi."
Ternyata Nabi
SAW mengijinkannya. Bilal pulang dan mempersiapkan pedang, perisai dan apa yang
diperlukan dalam perjalanan. Menjelang waktu shubuh, ia keluar tanpa tujuan.
Tetapi belum jauh, datang seseorang diutus Nabi SAW untuk memanggilnya. Ia
bergegas menemui Nabi SAW di masjid, dan tampak disana empat ekor unta dengan
muatan penuh. Setelah sampai di masjid, Nabi bersabda, "Dengarkanlah kabar
gembira ini, wahai Bilal, Allah telah menyiapkan sesuatu untuk membayar
hutangmu. Ambillah unta dan muatannya ini, barang-barang ini telah dikirim
sebagai hadiah untukku dari ketua bani Fidak."
Bilal bersyukur
penuh kegembiraan. Selesai shalat subuh, ia berlalu membawa unta-unta itu
menemui si orang musyrik. Setelah melunasi semua hutang-hutangnya, ternyata
masih tersisa cukup banyak. Ia kembali ke masjid menemui Nabi SAW dan berkata,
"Ya Rasulullah, aku bersyukur Allah telah membebaskan hutang-hutang kita
tanpa sisa sedikitpun!"
Melihat masih
ada yang tersisa dari barang tersebut, Nabi SAW bersabda, "Bagikanlah
barang-barang ini sampai habis sehingga aku menjadi tenang. Aku tidak akan
pulang ke rumah sebelum sisa barang-barang ini habis dibagikan."
Bilal melaksanakan perintah Nabi
SAW, ia berkeliling mencari orang-orang miskin yang membutuhkan, dan membagikan
sisa barang tersebut. Setelah shalat isya, Nabi SAW menemui Bilal dan bertanya
tentang sisa barang tersebut. Bilal menjawab, "Masih ada, ya Rasulullah,
karena sudah tidak ada orang yang memerlukannya lagi!"
Mendengar
jawaban ini Nabi tidak pulang, tetapi tidur di masjid. Keesokan harinya,
setelah shalat isya beliau bertanya lagi seperti sebelumnya. Kali ini Bilal
menjawab, "Tidak ada sisa, ya Rasulullah, Allah telah memberkati anda
dengan ketentraman jiwa, semua sisa barang itu telah habis saya bagikan pada hari
ini."
Mendengar
jawaban itu, Rasulullah SAW bersyukur memuji Allah SWT dan pulang ke rumah
istrinya.
Pada hari
wafatnya Rasulullah SAW dan saat itu beliau belum dimakamkan, Bilal
mengumandangkan Adzan seperti biasanya. Ketika sampai pada kalimah syahadah
dimana nama Nabi SAW disebutkan, ia menangis dan banyak para sahabat lainnya
menangis juga. Setelah Beliau dikebumikan, Abu Bakar meminta Bilal untuk
mengumandangkan adzan seperti biasanya, Bilal menolak dan berkata, "Jika
engkau dahulu memerdekakan aku agar aku selalu menyertaimu, itu memang
seharusnya. Tetapi jika engkau memerdekakan aku karena Allah, maka ijinkanlah
aku bersama Dzat Yang demi Dia, engkau memerdekakan aku."
Abu Bakar
mengatakan bahwa ia memerdekakannya karena Allah, maka Bilal berkata, "Aku
tidak akan menjadi muadzdzin lagi setelah Rasulullah SAW wafat. Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, bahwa amalan seorang mukmin yang paling utama adalah
jihad di jalan Allah, maka ijinkanlah aku untuk berjuang bersama para mujahid
di Syam!"
Dalam satu
riwayat dikatakan bahwa Abu Bakar mengijinkannya pergi ke Syam, dan riwayat lainnya
menyatakan, Abu Bakar mempertahankannya tetap di Madinah walau tidak sebagai
muadzdzin. Dan baru pada masa Umar ia memaksa untuk pergi berjihad di Syam,
walau Umar berusaha mempertahankannya tetap tinggal di Madinah.
Ketika Khalifah
Umar berkunjung ke Syam, beberapa orang mendatanginya dan memohon agar Bilal
mau melantunkan adzan, walau untuk satu shalat saja. Mereka ini mungkin telah
mendengar kisah kehidupan Bilal, tetapi
sama sekali belum pernah mendengar adzan Bilal. Mereka ingin tahu
seperti apa sehingga Nabi SAW memilihnya sebagai muadzdzin pertama. Ketika hal
itu disampaikan Umar, sebenarnya Bilal menolak, tetapi karena banyaknya suara
yang memintanya, iapun memenuhinya.
Bilal naik ke menara dan mulai melantunkan adzan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar