Zaid bin Sahl
adalah seorang sahabat Anshar yang mempunyai suara keras menggelegar. Ia lebih
dikenal dengan nama kunyahnya Abu Thalhah. Ia telah memeluk Islam sebelum Nabi
SAW hijrah ke Madinah. Kisah keislamannya termasuk unik. Ia adalah orang
tampan, terpandang dan kaya di Madinah, wanita manapun tidak akan menolak jika
diperistrinya. Tetapi pilihannya jatuh pada seorang wanita muslimah bernama
Ummu Sulaim, seorang janda yang sudah mempunyai anak, yang sangat teguh
keislamannya. Ketika ia mengajukan lamaran kepada Ummu Sulaim , ia
mendapat jawaban yang mengejutkan, "Wahai Abu Thalhah, Demi Allah tidak
ada wanita yang akan menolak lamaran orang yang sepertimu. Tetapi aku seorang wanita muslimah dan engkau
seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika
engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, dan itulah mahar yang kuminta,
dan aku tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!"
Sebenarnya akan
lebih mudah bagi Abu Thalhah jika mahar yang diminta adalah uang, perhiasan,
kebun atau harta lainnya, yang umumnya sangat disukai wanita, tetapi ini
"keyakinan"nya? Cukup lama ia menimbang-nimbang, tetapi ternyata
kehendak Allah menggiringnya untuk memperoleh hidayah lewat jalan pernikahan
ini. Ia menyetujui permintaan Ummu Sulaim. Ia menikah dengan mahar
keislamannya. Dan ternyata kemudian ia menjadi salah seorang sahabat Anshar
yang terpandang, saleh dan dermawan.
Seorang sahabat
bernama Tsabit berkata, "Aku tidak pernah mendengar seorang perempuan yang
mahar pernikahannya lebih utama daripada mahar Ummu Sulaim ketika dinikahi Abu
Thalhah."
Pernah suatu
ketika ia sedang mendirikan shalat di kebunnya yang hijau, Tiba-tiba terlihat
seekor burung yang tersesat di antara
rimbunan daun-daun, matanya mengikuti gerak-gerik burung tersebut
sehingga ia lupa dengan jumlah rakaat shalatnya. Ia sangat menyesal dengan
kelalaiannya ini, usai shalat ia menemui Nabi SAW, ia berkata, "Ya
Rasulullah, aku telah tertimpa musibah karena kebunku, karena itu kebun itu
kuserahkan untuk Allah. Silahkah engkau pergunakan sesuai keinginan
engkau."
Abu Thalhah
merupakan sahabat Anshar yang memiliki kebun-kebun terbaik dan terbanyak di kota Madinah. Salah satu kebun
terbaik dan terindah yang dimilikinya, terletak tidak jauh dari masjid Nabi
SAW. Di dalamnya terdapat air telaga
yang sangat menyegarkan. Rasulullah SAW sering mengunjungi kebun tsb.
dan meminum air telaganya. Kebun ini dikenal dengan nama 'Birha'. Ketika turun
ayat Al Qur'an Surah Ali Imran 92,
"Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai."
Abu Thalhah
bergegas menemui Nabi SAW, dan berkata, "Ya Rasulullah, saya sangat
mencintai Birha, karena Allah telah memerirntahkan untuk menyedekahkan harta
yang paling dicintai, maka saya serahkah Birha ini untuk dibelanjakan di jalan
Allah SWT, sebagaimana yang dikehendaki-Nya."
"Inilah
salah satu pemberian yang mulia di sisi Allah," Kata Rasulullah SAW dengan
penuh gembira, "Tetapi menurut pendapatku, akan lebih bermanfaat jika
engkau membagikan kebun itu kepada kerabatmu sendiri."
Abu Thalhah
menerima nasehat Nabi SAW dan membagikan kebun tersebut pada kaum kerabatnya
yang tidak mampu dan membutuhkan.
Di masa tuanya
pada masa khalifah Utsman bin Affan, ketika ia sedang membaca Surah Taubah, dan
sampai pada ayat ke 31, dimana Allah berfirman, "Berangkatlah kamu (untuk
berjihad), baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat,"
Tiba-tiba saja
ia tersentak kaget dan tampak merenung sejenak, kemudian ia berkata kepada
anaknya, "Wahai anakku, persiapkanlah bekalku, persiapkanlah
bekalku!"
Anaknya dan
beberapa orang yang hadir mencoba menghalangi maksudnya tersebut, mereka berkata,
"Semoga Allah merahmatimu, engkau telah berperang bersama Rasulullah SAW,
bersama Abu Bakar dan juga Umar hingga mereka semua wafat, biarkanlah kami saja
yang berjuang dan engkau tinggal di sini."
"Tidak,"
Kata Abu Thalhah dengan tegas, "Persiapkanlah bekalku!"
Keluarga dan
para kerabatnya tidak bisa menahannya lagi, mereka mempersiapkan perbekalan. Ia
ikut berjuang bersama pasukan yang berperang menyeberangi lautan. Di dalam salah
satu pelayarannya, ketika di tengah lautan lepas, Abu Thalhah meninggal. Selama
tujuh hari tidak ditemukan pulau untuk memakamkannya, tetapi keadaan jenazahnya
tidak berubah sedikitpun.
Luar biasa kisahnya..
BalasHapus