Minggu, 03 Juni 2012

Abu Thalhah al Anshari RA


Zaid bin Sahl adalah seorang sahabat Anshar yang mempunyai suara keras menggelegar. Ia lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Thalhah. Ia telah memeluk Islam sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah. Kisah keislamannya termasuk unik. Ia adalah orang tampan, terpandang dan kaya di Madinah, wanita manapun tidak akan menolak jika diperistrinya. Tetapi pilihannya jatuh pada seorang wanita muslimah bernama Ummu Sulaim, seorang janda yang sudah mempunyai anak, yang sangat teguh keislamannya. Ketika ia mengajukan lamaran kepada Ummu Sulaim, ia mendapat jawaban yang mengejutkan, "Wahai Abu Thalhah, Demi Allah tidak ada wanita yang akan menolak lamaran orang yang sepertimu. Tetapi  aku seorang wanita muslimah dan engkau seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, dan itulah mahar yang kuminta, dan aku tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!"
Sebenarnya akan lebih mudah bagi Abu Thalhah jika mahar yang diminta adalah uang, perhiasan, kebun atau harta lainnya, yang umumnya sangat disukai wanita, tetapi ini "keyakinan"nya? Cukup lama ia menimbang-nimbang, tetapi ternyata kehendak Allah menggiringnya untuk memperoleh hidayah lewat jalan pernikahan ini. Ia menyetujui permintaan Ummu Sulaim. Ia menikah dengan mahar keislamannya. Dan ternyata kemudian ia menjadi salah seorang sahabat Anshar yang terpandang, saleh dan dermawan.
Seorang sahabat bernama Tsabit berkata, "Aku tidak pernah mendengar seorang perempuan yang mahar pernikahannya lebih utama daripada mahar Ummu Sulaim ketika dinikahi Abu Thalhah."
Pernah suatu ketika ia sedang mendirikan shalat di kebunnya yang hijau, Tiba-tiba terlihat seekor burung yang tersesat di antara  rimbunan daun-daun, matanya mengikuti gerak-gerik burung tersebut sehingga ia lupa dengan jumlah rakaat shalatnya. Ia sangat menyesal dengan kelalaiannya ini, usai shalat ia menemui Nabi SAW, ia berkata, "Ya Rasulullah, aku telah tertimpa musibah karena kebunku, karena itu kebun itu kuserahkan untuk Allah. Silahkah engkau pergunakan sesuai keinginan engkau."
Abu Thalhah merupakan sahabat Anshar yang memiliki kebun-kebun terbaik dan terbanyak di kota Madinah. Salah satu kebun terbaik dan terindah yang dimilikinya, terletak tidak jauh dari masjid Nabi SAW. Di dalamnya terdapat air telaga  yang sangat menyegarkan. Rasulullah SAW sering mengunjungi kebun tsb. dan meminum air telaganya. Kebun ini dikenal dengan nama 'Birha'. Ketika turun ayat Al Qur'an Surah Ali Imran 92,  "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang  sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai."
Abu Thalhah bergegas menemui Nabi SAW, dan berkata, "Ya Rasulullah, saya sangat mencintai Birha, karena Allah telah memerirntahkan untuk menyedekahkan harta yang paling dicintai, maka saya serahkah Birha ini untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT, sebagaimana yang dikehendaki-Nya."
"Inilah salah satu pemberian yang mulia di sisi Allah," Kata Rasulullah SAW dengan penuh gembira, "Tetapi menurut pendapatku, akan lebih bermanfaat jika engkau membagikan kebun itu kepada kerabatmu sendiri."
Abu Thalhah menerima nasehat Nabi SAW dan membagikan kebun tersebut pada kaum kerabatnya yang tidak mampu dan membutuhkan.
Di masa tuanya pada masa khalifah Utsman bin Affan, ketika ia sedang membaca Surah Taubah, dan sampai pada ayat ke 31, dimana Allah berfirman, "Berangkatlah kamu (untuk berjihad), baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat,"
Tiba-tiba saja ia tersentak kaget dan tampak merenung sejenak, kemudian ia berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, persiapkanlah bekalku, persiapkanlah bekalku!"
Anaknya dan beberapa orang yang hadir mencoba menghalangi maksudnya tersebut, mereka berkata, "Semoga Allah merahmatimu, engkau telah berperang bersama Rasulullah SAW, bersama Abu Bakar dan juga Umar hingga mereka semua wafat, biarkanlah kami saja yang berjuang dan engkau tinggal di sini."
"Tidak," Kata Abu Thalhah dengan tegas, "Persiapkanlah bekalku!"
Keluarga dan para kerabatnya tidak bisa menahannya lagi, mereka mempersiapkan perbekalan. Ia ikut berjuang bersama pasukan yang berperang menyeberangi lautan. Di dalam salah satu pelayarannya, ketika di tengah lautan lepas, Abu Thalhah meninggal. Selama tujuh hari tidak ditemukan pulau untuk memakamkannya, tetapi keadaan jenazahnya tidak berubah sedikitpun.

1 komentar: