Jumat, 30 Maret 2012

Dzil Jausyan adh Dhibabi RA


Dzil Jausyan Adh Dhibabi adalah seorang penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir. Ia mempunyai  seekor kuda terbaik bernama Al Qarha yang cukup terkenal. Ia belum masuk Islam, tetapi ia menghargai keberadaan Nabi SAW di Madinah. Setelah selesai Perang Badr, ia menunggangi kuda keturunan Al Qarha, untuk diberikan kepada Nabi SAW sebagai hadiah dan penghargaannya.
Tetapi Nabi SAW tidak mau menerimanya begitu saja, kecuali jika menukarnya dengan baju-baju besi pilihan yang berasal dari ghanimah Perang Badr.  Dzil Jausyan tidak mau dengan tukar-menukar itu, karena niatnya sejak awal memang untuk dihadiahkan tanpa pengganti, bahkan seandainya ditukar dengan yang lebih berharga seperti budak, ia tetap tidak bersedia. Sebaliknya Rasulullah SAW pun tidak bersedia karena memang tidak memerlukannya.
Nabi SAW menyerunya masuk Islam sehingga ia akan menjadi orang-orang yang pertama dalam Islam (As Sabiqunal Awwalun). Tetapi seruan Nabi SAW belum diterimanya, dengan alasan kaum beliau sendiri masih menyakiti dan menghasut untuk tidak mengikuti agama Islam. Bahkan kekalahan kaum Qureisy di Badr belum bisa meyakinkannya, ia berkata, "Aku akan masuk Islam jika engkau dapat menaklukan Ka'bah dan mendudukinya."
Maka Nabi SAW bersabda, "Semoga engkau masih hidup saat itu, dan engkau bisa menyaksikan peristiwa itu."
Rasulullah SAW memerintahkan Bilal untuk mengambilkan sekarung kurma terbaik sebagai perbekalan, saat Dzul Jausyan akan kembali ke kabilahnya. Beliau juga memujinya sebagai penunggang kuda terbaik dari kalangan Bani Amir.
Waktupun berlalu, seseorang membawa kabar ke kabilah Bani Amir kalau Nabi SAW telah menaklukan Mekkah dan mendudukinya, Dzul Jausyan berseru, "Celaka, ibuku kehilangan diriku (ungkapan penyesalan orang-orang Arab), seandainya aku memeluk Islam saat itu, dan meminta darinya sepetak tanah dari Hiirah, pasti beliau akan memberikannya."
            Begitulah, sesuai janjinya kepada Rasullullah SAW, Dzul Jausyan akhirnya memeluk Islam.         

Amr bin Salamah RA


Amr bin Salamah RA tinggal di suatu daerah yang sering dilalui orang-orang yang akan ke Madinah atau kembali dari kota itu. Ia masih anak-anak ketika orang-orang menceritakan tentang Nabi SAW dan wahyu-wahyu yang beliau terima. Ternyata Allah memberikan kelebihan kepada Amr kemampuan untuk menghafal, sehingga dari pembicaraan tersebut ia bisa menghafal beberapa ayat-ayat Al Qur'an, walaupun ia belum memeluk Islam.
Setelah Fathul Makkah, Amr dan ayahnya serta beberapa orang dari kaumnya segera memeluk Islam, mereka belajar tentang syariat dan peribadatan dalam Islam. Ketika tiba masalah shalat jamaah, dicarilah imam, yakni yang paling banyak dan baik hafalan Al Qur'annya. Dan ternyata Amr bin Salamah yang terpilih, karena ia telah banyak mengetahui dan menghafal Al Qur'an sebelumnya. Padahal ia yang paling muda saat itu.


Abdullah bin Unais RA

Suatu ketika Nabi SAW memanggil Abdullah bin Unais dan berkata, "Aku memperoleh kabar bahwa Khalid bin Sufyan bin Nubayh al Hudzali telah mengumpulkan banyak orang  untuk menyerangku. Sekarang ini ia ada di Uranah (suatu tempat dekat Arafah), pergilah engkau ke sana untuk membunuhnya."
Abdullah bin Unais berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada saya ciri-cirinya agar saya bisa mengenalinya!!”
Tetapi Nabi SAW tidak menjelaskan ciri-ciri fisiknya, beliau hanya berkata, "Apabila kamu melihatnya, kamu akan menggigil karenanya..!"
Bisa dibayangkan, bagaimana dengan melihatnya saja bisa menggigil, itu artinya Khalid bin Sufyan ini seorang yang sangat berwibawa, malah mungkin menakutkan. Tetapi Rasulullah SAW telah memberikan tugas ini kepadanya dan bukan kepada sahabat lainnya, tentunya dengan pertimbangan dan doa, bahwa ia bisa melakukannya. Tanpa banyak pertanyaan lagi, ia segera berangkat menuju Uranah, dengan menyandang pedang di pinggangnya. Sambil berjalan, otaknya terus berputar menyusun rencana dan strategi, bagaimana caranya membunuh musuh Allah dan Rasulullah SAW tersebut
Ibnu Unais sampai di Uranah pada waktu ashar, dan ia melihat seorang lelaki yang dikelilingi beberapa wanita. Memang benar perkataan Nabi SAW, begitu melihatnya ia merasa benar-benar menggigil, tetapi sama sekali tidak ada ketakutan di hatinya. Tiba-tiba ia sadar kalau harus shalat ashar, dan tidak mungkin ia membuka jati dirinya sebagai seorang muslim dengan melakukan shalat, karena sudah dalam jarak pandang Khalid. Ia berijtihad melakukan shalat sambil berjalan, ruku dan sujud dilakukan dengan isyarat kepala.
Ketika sampai di hadapannya, Khalid bertanya, “Siapakah engkau ini?”
Ibnu Unais berkata, "Aku hanyalah seorang lelaki Arab biasa, tetapi kudengar engkau sedang mengumpulkan orang banyak untuk membunuh lelaki itu (yakni Nabi SAW), aku datang untuk membantu usahamu itu, kalau diijinkan."
Khalid sangat senang mendengar ucapan Ibnu Unais tersebut, "Silakan bergabung, aku memang telah merencanakannya."
Ibnu Unais bergabung dan berbincang-bincang dengan Khalid sambil terus berjalan bersama. Begitu ahlinya Ibnu Unais ‘berakting’ sehingga dalam beberapa saat saja mereka berdua tampak sangat akrab layaknya seorang sahabat lama. Sampai suatu ketika ada kesempatan seperti yang direncanakannya, dan ia segera memancung Khalid hingga terbunuh seketika tanpa sedikitpun perlawanan. Para wanita yang mengikutinya menangis dan Ibnu Unais meninggalkannya begitu saja.
Ketika Abdullah bin Unais tiba di hadapan Nabi SAW, beliau langsung berkata, "Inilah wajah yang telah mendapat kemenangan!!"
"Aku telah membunuhnya, wahai Rasulullah!" Kata Ibnu Unais.
Beliau sangat gembira dengan hasil kerjanya itu, dan mendoakannya dengan kebaikan, dan para sahabat lain juga memberi ucapan selamat kepadanya. Kemudian Nabi SAW bangkit dan mengajaknya masuk ke dalam rumah dan beliau memberinya sebatang tongkat. Beliau berpesan agar ia menyimpan tongkat itu dengan sebaik-baiknya.
Ibnu Unais keluar menemui orang banyak, dan mereka menanyakan tentang tongkat tersebut. Ia hanya menjawab kalau Nabi SAW yang memberikannya dan memintanya untuk  menyimpannya dengan baik. Mereka berkata, "Mengapa engkau tidak kembali kepada Rasulullah SAW dan menanyakan kegunaan tongkat tersebut?"
Suatu saran yang masuk akal, maka Ibnu Unais mengikuti saran tersebut, dan ia kembali menemui Nabi SAW dan menanyakan tentang tongkat tersebut. Beliau bersabda, "Ini adalah sebagai tanda antara diriku dan kamu pada hari kiamat, karena pada hari itu sedikit sekali orang yang datang dengan membawa amal salih."
Ia keluar lagi dan menyampaikan penjelasan Rasulullah SAW tersebut. Mereka berkata, “Sungguh beruntung engkau ini, ya Ibnu Unais!!”
            Sejak saat itu, Abdullah bin Unais tidak pernah berpisah dengan tongkat dari Nabi SAW tersebut, dan ia menyatukannya dengan pedangnya, yang selalu menyertainya dalam berbagai perjuangan jihad di jalan Allah. Ketika hampir meninggal, ia mewasiatkan agar tongkat tersebut juga ikut dikafani bersama jenazahnya. 

Basyir bin Sa'id RA


Basyir bin Sa'id atau Abu Athiyah adalah salah seorang sahabat Anshar. Suatu ketika ia sedang bekerja menggali parit beserta sahabat-sahabat lainnya, sebagai benteng pertahanan kota Madinah, karena adanya rencana serangan besar-besaran dari pasukan Quraisy yang bersekutu dengan pasukan suku Ghathafan. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh umat Islam dalam keprihatinan, karena secara umum sebenarnya mereka dalam keadaan kekurangan bahan makanan. Tetapi itu memang satu-satunya cara yang mungkin untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh yang jumlahnya sangat besar.  
Saat istirahat di siang harinya, istri Basyir, Amrah binti Rawahah memanggil anak perempuannya untuk mengantarkan segenggam kurma pada bapaknya tersebut. Kurma itu dibungkusnya dengan ujung kain bajunya, dan ia mulai berjalan berkeliling mencari ayahnya. Ketika ia melewati Rasulullah SAW, beliau memanggilnya dan bertanya, "Kemarilah Nak, apa yang kau bawa itu?"
Anak perempuan itu menjawab, "Aku diutus oleh ibuku mengantarkan segenggam kurma ini untuk ayahku, Basyir bin Sa'id."
Nabi SAW memanggilnya, dan meminta ia untuk meletakkan kurma itu pada telapak tangan Nabi SAW. Putri Basyir ini melaksanakan perintah beliau itu, dan ternyata tidak memenuhi tangan beliau. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan seorang sahabat untuk membentangkan kain, dan beliau meletakkan segenggam kurma di atasnya. Kemudian beliau berkata kepada sahabat tadi, "Panggillah para pekerja khandaq untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id."
Putri Basyir yang masih berdiri tak jauh dari situ tampak tidak mengerti, tetapi sahabat tersebut kemudian berteriak keras, “Wahai pekerja khandaq, berkumpullah di sini untuk menyantap makan siang kiriman istri Basyir bin Sa’id!!”
            Berkumpullah para pekerja khandaq di sekeliling kain tersebut, termasuk Basyir sendiri, dan mulai menyantap kurma dengan lahap. Yang sungguh ajaib, kurma terus bertambah banyak ketika orang-orang mengambilnya. Ketika semua orang telah merasa kenyang, kurma itu masih tersisa cukup banyak di pinggir kain.

Abdullah bin Abdullah bin Ubay RA


            Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah anak dari tokoh munafik, Abdullah bin Ubay, yang memeluk Islam dan menjadi salah satu sahabat pilihan yang shalih. Sebelum kedatangan Nabi SAW ke Madinah, ayahnya, Abdullah bin Ubay hampir diangkat jadi raja Madinah, kemudian gagal karena kebanyakan penduduknya memeluk Islam dan menjadikan Nabi SAW sebagai tokoh sentralnya, karena itulah ia begitu membenci Nabi SAW walau pada lahirnya ia beragama Islam juga.
Ketika Rasulullah SAW mendengar pimpinan Banu Musthaliq, Al Harits bin Abu Dhirar menghimpun pasukan untuk memerangi kaum muslimin, Beliau menyusun pasukan dan segera berangkat ke tempat Banu Musthaliq. Dalam pasukan yang dipimpin sendiri oleh Nabi ini ikut juga sekelompok kaum munafik, termasuk pimpinannya, Abdullah bin Ubay.
Setelah pertempuran usai dan dalam perjalanan kembali ke Madinah, Abdullah bin Ubay berkata pada kelompoknya, "Jika kita kembali ke Madinah, orang-orang yang terhormat akan mengusir orang-orang yang terhina."
Ucapan "terhina" ini dimaksudkan pada Nabi SAW dan sahabat Muhajirin yang terusir dari Makkah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW lewat sahabat Zaid bin Arqam, Umar bin Khaththab meminta Nabi menyuruh Abbad bin Bisyr untuk membunuh tokoh munafik tersebut. Tetapi Abdullah bin Ubay mengingkari kalau telah mengatakan itu, sehingga terjadi suasana yang tegang dan penuh prasangka, sampai akhirnya turun ayat yang membenarkan Zaid bin Arqam.
Melihat perkembangan situasi tersebut, Abdullah bin Abdullah bin Ubay mendatangi Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, jika engkau menginginkan ayahku dibunuh, perintahkanlah aku untuk membunuhnya! Karena kalau orang lain yang engkau perintahkan membunuh, aku khawatir aku tidak bisa bersabar untuk tidak menuntut balas atas kematiannya, yang karenanya aku akan masuk neraka. Semua orang Anshar tahu, aku adalah orang yang berbakti pada orang tuaku."
Rasulullah SAW menjawab, "Baiklah, berbaktilah kepada orang tuamu, ia tidak melihat darimu kecuali kebaikan."
Tahulah Abdullah bahwa Rasulullah memaafkan ayahnya. Namun demikian, sebagai wujud kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasul-Nya daripada orang tuanya, Abdullah menghadang dengan pedang terhunus, dan melarang ayahnya masuk kota Madinah, kecuali jika Nabi SAW telah mengijinkannya. Ketika mencoba memaksa, Abdullah menyerangnya dengan pedangnya itu sehingga ia mundur kembali. Dengan terpaksa ia mengirim utusan untuk meminta ijin Rasulullah SAW bagi tokoh munafik tersebut memasuki kota Madinah.
            Bagaimanapun juga, Abdullah adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya, dan itu telah lama terbentuk sebelum Islam memasuki kota Madinah. Anak tetaplah anak, dan ketika ayahnya tersebut meninggal, kesedihan merasuki hatinya. Ia tahu bahwa orang tuanya itu mungkin hanya pantas berada di neraka, namun demikian ia ingin menunjukkan bakti terakhirnya. Ia datang kepada Nabi SAW meminta baju gamis beliau untuk mengkafani jenazahnya, dan beliau mengabulkannya. Sekali lagi ia datang kepada beliau untuk menyalatkan jenazahnya, dan beliau mengabulkannya, walau Umar sempat memprotes keras. Tetapi setelah itu turun ayat 84 dari surat at Taubah, yang melarang beliau untuk menyalati jenazah orang munafik dan berdiri di atas kuburan mereka.   

Kamis, 29 Maret 2012

Samurah bin Jundub RA

           Samurah bin Jundub RA masih belum dewasa ketika terjadi perang Uhud. Ia bersama beberapa anak lainnya  yang mempunyai semangat juang tinggi untuk membela panji keislaman, dikeluarkan dari barisan pasukan perang  Uhud oleh Nabi SAW karena belum cukup umur. Tetapi salah seorang di antaranya, Rafi bin Khadij, karena permintaan ayahnya dibolehkan oleh Nabi SAW ikut karena ia mempunyai keahlian memanah, dan menunjukkan kemampuannya di hadapan beliau.
Melihat dibolehkannya Rafi ikut bertempur, Samurah berkata kepada ayah tirinya, Murrah bin Sinan RA, "Wahai ayah, Rafi dibolehkan ikut berperang sementara saya tidak. Padahal saya lebih kuat daripada Rafi. Kalau diadu tanding, pasti saya dapat mengalahkan Rafi.."
           Melihat semangat yang begitu menggebu dari anaknya ini, Murrah menyampaikan hal ini pada Nabi SAW, beliaupun mengadakan adu kekuatan antara Rafi dan Samurah, dan ternyata Samurah memenangkannya, sehingga iapun dbolehkan ikut serta dalam pertempuran di Uhud itu. Ketika itu Samurah berusia 15 tahun, sama seperti Rafi.

Qa'is bin Sala' RA

        Qa’is bin Sala’ adalah seorang sahabat Anshar. Saudara-saudaranya pernah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah memubazirkan hartanya dan bermewah-mewah dengannya. Waktu Nabi SAW mempertanyakan masalah itu, Qa'is bin Sala'  berkata, "Wahai Rasulullah SAW, aku mengambil bagianku dari buah kurma dan menafkahkannya di jalan Allah, dan kepada orang yang menemaniku."
Mungkin karena setelah menafkahkannya itu, harta bagiannya dari kurma itu menjadi habis, saudara-saudaranya mengadukan sikapnya itu kepada Rasulullah SAW. Tetapi justru beliau menepuk dadanya, dan berkata kepadanya sampai tiga kali, "Nafkahkanlah, maka Allah akan menafkahimu."
            Pada suatu kesempatan Qa’is berjuang di jalan Allah, ia menunggangi unta yang kuat dengan perbekalan yang sangat banyak. Dan hari itu, ia yang paling banyak dan paling mudah berinfak daripada anggota keluarganya yang lain.