Suatu ketika seorang sahabat bernama Akkaf bin Wada’ah
datang menghadap Nabi SAW, beliau langsung berkata, “Wahai Akkaf, apakah engkau
tidak beristri??”
Akkaf berkata, “Tidak, ya
Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Apakah
engkau memiliki seorang budak wanita??”
Akkaf
berkata lagi, “Tidak juga, ya Rasulullah!!”
Tradisi masa itu, yang juga diakui
oleh syariat Islam, seorang budak atau sahaya wanita boleh ‘dipergauli’ oleh
tuannya. Jika ia melahirkan seorang anak, maka anaknya dinisbahkan kepada
tuannya, yakni menjadi anak tuannya dan menjadi orang merdeka. Budak atau
sahaya berbeda dengan pembantu atau pekerja. Hukum yang berlaku saat itu, budak
lebih merupakan ‘barang milik’, dan ia tidak memperoleh gaji atau pembayaran
dari pekerjaan yang dilakukan atas perintah tuannya. Tetapi segala kebutuhan
hidupnya menjadi tanggung jawab tuannya.
Nabi SAW
menatap Akkaf dengan keheranan, kemudian bersabda, “Bukankah engkau sehat afiat
(maksudnya normal secara seksual) dan kaya??”
Ia
berkata, “Benar, ya Rasulullah, Alhamdulillah!!”
Maka
dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Jika memang demikian, engkau dari kawannya
syaitan. Jika engkau seorang Nashrani, ikutilah jejak para pendeta mereka.
Tetapi jika engkau dari golongan kami (yakni seorang muslim) maka berbuatlah
seperti kami, dan sebagian dari sunnahku adalah menikah. Orang yang sangat
jelek adalah orang yang tidak beristri, orang mati yang sangat hina adalah
orang yang tidak beristri… Celakalah engkau, wahai Akkaf!! Menikahlah segera!!”
Mendengar ‘teguran’ yang begitu kerasnya,
Akkaf langsung berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengan siapapun
yang engkau kehendaki!! Saya tidak akan menikah kecuali engkau yang menikahkan
saya!!”
Nabi SAW
tersenyum gembira dengan tanggapannya yang begitu cepat atas anjuran beliau
tersebut, dan bersabda, “Aku akan menikahkan engkau atas nama Allah dan
berkah-Nya, dengan Karimah binti Kultsum al Himyari..!!”
Akkaf
menerima dengan senang hati, dan Nabi SAW menjabat tangannya mengucap ijab
kabul pernikahannya, dengan disaksikan beberapa sahabat yang hadir.
Sehubungan
dengan menikah ini, Nabi SAW pernah bersabda, “Barang siapa mendapat seorang
anak, hendaklah ia membaguskan namanya dan pendidikannya. Dan jika telah mencapai
usia baligh, hendaklah ia menikahkannya. Jika anak itu telah menjadi dewasa dan
ia tidak dinikahkan, kemudian ia berbuat dosa (yakni berzina), maka sebagian
dari dosa (zina) itu ditanggung oleh ayahnya!!”
Nabi SAW
juga pernah berkomentar tentang keengganan kaum wanita untuk menikah karena
tidak mau direpotkan dengan kehamilan dan mengurus anak-anaknya. Beliau
bersabda, “Apakah seorang wanita tidak rela (senang), jika ia sedang hamil dan
suaminya ridha dengannya, maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa
dan bangun malam (yakni shalat tahajud) di jalan Allah (fii sabilillah).
Kemudian jika ia melahirkan, maka tidaklah penduduk langit dan bumi mengetahui
(betapa besarnya pahala) yang disediakan oleh Allah untuknya, sesuatu yang sangat
memuaskan pandangan matanya. Setelah melahirkan dan mengeluarkan air susu,
kemudian ia menyusui anaknya, maka untuk setiap teguk atau isapan itu ia
memperoleh satu hasanat (kebaikan). Jika ia bangun malam karena anaknya
(menangis atau lainnya), maka ia mendapat pahala seperti orang yang
memerdekakan tujuhpuluh orang budak di jalan Allah (fii sabilillah)!!”
Ini kisah rujukannya dari buku apa Mas Ibnu Ghufron?
BalasHapusini adalah sebuah kisah yang sangat menginsripasi
BalasHapushttp://www.maxisbola.com/NewIndex.aspx
Terima Kasih atas artikelnya sangat bermanfaat ni bagi saya.!
BalasHapusSekalian Numpang Link : Obat Tradisional Astigmatisma atau Mata Silinder
Masya Allah. Semoga Allah mudahkan semua muslim/ah yang masih sendiri bertemu jodohnya yang sholeh dan sholehah. Terkadang, orang tua juga kadang menjadi sebab pemuda/i memilih sendirian. Perlulah digalakkan lagi pengajian-pengajian agama. baca juga https://www.ladangcerita.com/2016/11/kisah-nyata-sahabat-yang-memilih-janda.html
BalasHapus