Kamis, 20 Oktober 2016

Akkaf bin Wada'ah RA



Suatu ketika seorang sahabat bernama Akkaf bin Wada’ah datang menghadap Nabi SAW, beliau langsung berkata, “Wahai Akkaf, apakah engkau tidak beristri??”
Akkaf berkata, “Tidak, ya Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau memiliki seorang budak wanita??”  
            Akkaf berkata lagi, “Tidak juga, ya Rasulullah!!”
Tradisi masa itu, yang juga diakui oleh syariat Islam, seorang budak atau sahaya wanita boleh ‘dipergauli’ oleh tuannya. Jika ia melahirkan seorang anak, maka anaknya dinisbahkan kepada tuannya, yakni menjadi anak tuannya dan menjadi orang merdeka. Budak atau sahaya berbeda dengan pembantu atau pekerja. Hukum yang berlaku saat itu, budak lebih merupakan ‘barang milik’, dan ia tidak memperoleh gaji atau pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan atas perintah tuannya. Tetapi segala kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab tuannya.
            Nabi SAW menatap Akkaf dengan keheranan, kemudian bersabda, “Bukankah engkau sehat afiat (maksudnya normal secara seksual) dan kaya??”
            Ia berkata, “Benar, ya Rasulullah, Alhamdulillah!!”
            Maka dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Jika memang demikian, engkau dari kawannya syaitan. Jika engkau seorang Nashrani, ikutilah jejak para pendeta mereka. Tetapi jika engkau dari golongan kami (yakni seorang muslim) maka berbuatlah seperti kami, dan sebagian dari sunnahku adalah menikah. Orang yang sangat jelek adalah orang yang tidak beristri, orang mati yang sangat hina adalah orang yang tidak beristri… Celakalah engkau, wahai Akkaf!! Menikahlah segera!!”
            Mendengar ‘teguran’ yang begitu kerasnya, Akkaf langsung berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengan siapapun yang engkau kehendaki!! Saya tidak akan menikah kecuali engkau yang menikahkan saya!!”
            Nabi SAW tersenyum gembira dengan tanggapannya yang begitu cepat atas anjuran beliau tersebut, dan bersabda, “Aku akan menikahkan engkau atas nama Allah dan berkah-Nya, dengan Karimah binti Kultsum al Himyari..!!”
            Akkaf menerima dengan senang hati, dan Nabi SAW menjabat tangannya mengucap ijab kabul pernikahannya, dengan disaksikan beberapa sahabat yang hadir.
            Sehubungan dengan menikah ini, Nabi SAW pernah bersabda, “Barang siapa mendapat seorang anak, hendaklah ia membaguskan namanya dan pendidikannya. Dan jika telah mencapai usia baligh, hendaklah ia menikahkannya. Jika anak itu telah menjadi dewasa dan ia tidak dinikahkan, kemudian ia berbuat dosa (yakni berzina), maka sebagian dari dosa (zina) itu ditanggung oleh ayahnya!!”
            Nabi SAW juga pernah berkomentar tentang keengganan kaum wanita untuk menikah karena tidak mau direpotkan dengan kehamilan dan mengurus anak-anaknya. Beliau bersabda, “Apakah seorang wanita tidak rela (senang), jika ia sedang hamil dan suaminya ridha dengannya, maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa dan bangun malam (yakni shalat tahajud) di jalan Allah (fii sabilillah). Kemudian jika ia melahirkan, maka tidaklah penduduk langit dan bumi mengetahui (betapa besarnya pahala) yang disediakan oleh Allah untuknya, sesuatu yang sangat memuaskan pandangan matanya. Setelah melahirkan dan mengeluarkan air susu, kemudian ia menyusui anaknya, maka untuk setiap teguk atau isapan itu ia memperoleh satu hasanat (kebaikan). Jika ia bangun malam karena anaknya (menangis atau lainnya), maka ia mendapat pahala seperti orang yang memerdekakan tujuhpuluh orang budak di jalan Allah (fii sabilillah)!!”

Sahl bin Hanif RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud



Keadaan Rasulullah SAW di Perang Uhud makin kritis setelah gugurnya Umarah bin Sakan dan enam temannya dari sahabat Anshar. Serangan kaum kafir Quraisy makin menjadi-jadi. Utbah bin Abi Waqqash, saudara dari Sa’d, menyerang Nabi SAW dengan batu hingga melukai lambung, gigi seri dan bibir beliau. Abdullah bin Syihab sempat memukul dan melukai kening beliau. Dan akhirnya Abdullah bin Qami’ah berhasil memukul bahu dan pipi beliau hingga beliau jatuh terjerembab ke dalam suatu lubang, dan dua potongan besi menancap di pipi beliau. Dua sahabat Muhajirin yang tersisa, Sa’d bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah hampir tidak mampu lagi bertahan.
Ketika pada akhirnya Thalhah roboh, dua orang sahabat berhasil mencapai tempat Nabi SAW, yakni Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kemudian beberapa orang menyusul seperti Abu Dujanah, Ali bin Abi Thalib, Sahl bin Hanif, Malik bin Sinan, seorang wanita Anshar, Nasibah (Nusaibah) binti Ka’ab al Maziniyah, atau yang lebih dikenal dengan Ummu Ammarah, Umar bin Khaththab, Qatadah bin Nu’man, Hathib bin Abi Balthaah, dan Abu Thalhah.
Mereka ini menjadikan tubuh mereka menjadi tameng hidup untuk melindungi Nabi SAW dari serangan kaum Quraisy yang datang tanpa hentinya. Sahl bin Hanif adalah seorang pemanah ulung, dan ia berjanji kepada Nabi SAW untuk siap mati dalam melindungi beliau. Tidak sekedar bertahan, bahkan ia menerjang barisan pasukan Quraisy yang bergelombang datang. Tak ayal tubuhnya dihujani senjata dan akhirnya gugur menemui syahidnya.

Note:sn352

Tsabit bin ad Dahdahak RA, Sahabat yang Syahid di Perang Uhud



Tsabit bin ad Dahdahak, atau dalam beberapa riwayat lain disebut Tsabit bin ad Dahdah, adalah seorang sahabat Anshar. Pada perang Uhud, ketika terjadi kekacauan dan kebingungan pasukan muslim karena berhembusnya berita bahwa Nabi SAW telah terbunuh, Tsabit berteriak keras, "Wahai orang-orang Anshar, mendekatlah kepadaku! Aku adalah Tsabit bin ad Dahdahak, sekiranya Muhammad SAW telah tewas, sesungguhnya Allah Maha Hidup, tidak akan mati. Karena itu berperanglah semata-mata untuk agama kalian. Sungguh Allah akan memenangkan dan memberikan pertolongan kepada kalian…"
Beberapa sahabat Anshar lainnya bergabung dengan Tsabit, mereka menyerang pasukan musyrik dengan garangnya. Sekelompok pasukan Quraisy bersenjata lengkap, antara lain Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, Dhirar bin Khaththab dan lain-lainnya lagi menghadapi para sahabat Anshar ini. Akhirnya Khalid bin Walid melepaskan tombaknya dan mengenai Tsabit sampai tembus dan tewas seketika. Para sahabat Anshar yang mengikutinya pada akhirnya menemui syahid juga.
Menurut sebagian riwayat, para sahabat Anshar ini merupakan orang-orang yang terakhir menemui syahidnya di Perang Uhud. Riwayat lainnya menyebutkan, tujuh orang sahabat Anshar di sekitar Nabi SAW, yang terakhir Umarah bin Yazid bin as Sakan, yang menjadi syahid-syahid terakhir di peperangan itu. Atau bisa jadi menjadi syahid dalam waktu yang hampir bersamaan karena keadaan pasukan muslim saat itu terpecah-pecah dan porak poranda. Setelah itu keadaan berbalik, pasukan muslim kembali menyusun kekuatan, setelah tahu dan yakin bahwa Nabi SAW masih hidup walaupun dalam keadaan terluka. Dan akhirnya mereka berhasil mengusir pasukan kafir Quraisy.          

Note:sn345