Selasa, 31 Januari 2012

Malik bin Sinan RA


          Malik bin Sinan RA adalah seorang sahabat Anshar, ayah dari Abu Said al Khudri RA, seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Dalam perang Uhud, keadaan Rasulullah SAW sangat kritis karena diserang kaum kafir Quraisy dari berbagai penjuru, dan hanya tinggal dua sahabat muhajirin yang melindungi beliau sehingga beliau terjatuh dan terluka. Tujuh sahabat Anshar yang sebelumnya ikut melindungi Nabi SAW telah menemui syahidnya satu persatu. 
          Malik bin Sinan termasuk beberapa sahabat (tidak sampai sepuluh orang) yang berhasil membuka “jalan darah” untuk berhimpun di sekitar Rasulullah SAW dalam kondisi kritis tersebut. Mereka ini akhirnya berhasil mengamankan keadaan beliau dari gempuran kaum kafir Quraisy. Ada bagian dari topi besi yang menancap di kepala beliau, Abu Ubaidah berhasil melepaskannya dengan gigi serinya hingga rompal, tetapi dari luka di kepala Rasulullah SAW itu mengucur darah segar. Segera saja Malik bin Sinan menjilat luka pada kepala Nabi SAW dan meminum darah yang mengucur itu, sampai darah tidak keluar lagi. Melihat apa yang dilakukan Malik bin Sinan, beliau bersabda, "Seseorang yang darahnya menyatu dengan darahku, maka api neraka tidak akan menyentuhnya."
          Sungguh suatu keberuntungan besar bagi Malik bin Sinan. Dan keberuntungan itu makin lengkap karena Malik bin Sinan gugur sebagai syahid di Perang Uhud ini. 

Mughirah bin Syu'bah RA


           Mughirah bin Syu'bah berasal dari Bani Tsaqif di Thaif. Tetapi tidak seperti kebanyakan kaumnya yang dengan gencar memusuhi Nabi SAW dan Islam, bahkan ketika Makkah telah ditaklukkan, ia justru meninggalkan kota kelahirannya tersebut menuju Madinah untuk memeluk Islam, tidak lama setelah terjadinya Perang Uhud. Walaupun selama masa jahiliahnya ia memiliki sikap yang kurang terpuji, tetapi pergaulannya dengan Nabi SAW dan para sahabat lainnya membentuk dirinya menjadi sosok berkepribadian baik dan sangat mencintai Nabi SAW. 
Mughirah ikut serta dalam rombongan umrah Nabi SAW yang gagal, yakni yang berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu utusan kaum kafir Quraisy, Urwah bin Mas'ud ats Tsaqafi, sedang berbincang dengan Rasulullah SAW tentang maksud kunjungan beliau ke Makkah. Seperti kebiasaan kaum Arab, sambil berbicara tersebut Urwah berusaha untuk memegang jenggot Nabi SAW. Tetapi saat itu Mughirah berdiri di dekat beliau, setiap kali Urwah mengulurkan tangan untuk memegang janggut Nabi SAW, Mughirah memukulkan sarung pedangnya ke tangan Urwah sambil berkata, "Undurkan tanganmu dari jenggot Rasulullah SAW!"
"Siapakah orang ini?" Tanya Urwah.
Saat itu Mughirah memang mengenakan baju besinya sehingga hanya tampak dua bola matanya saja. Ketika dijawab sahabat lainnya bahwa ia adalah Mughirah bin Syu'bah, Urwah segera berkata, "Hai pengkhianat, bukankah aku telah berusaha untuk membelamu atas pengkhianatanmu itu?"
Di masa jahiliahnya, Mughirah memang pernah dipercaya untuk mengawal suatu kaum, tetapi ia malah membunuh mereka semua dan mengambil harta mereka. Dan saat itu Urwah bin Mas'ud memang berpihak pada Mughirah, dan membela sikapnya tersebut dengan berbagai macam argumerntasi.
Nabi SAW kemudian bersabda, "Aku telah menerima keislamannya. Sedang urusan harta yang engkau bicarakan itu, aku tidak ikut campur tangan sedikitpun."
Urwah pun tidak bisa berkutik dengan pembelaan Nabi SAW tersebut. Apalagi ia melihat dengan matanya sendiri, bagaimana kokohnya kecintaan para sahabat kepada Nabi SAW dan kepada sesama muslim lainnya. Ketika Nabi SAW meludah, mereka berebut untuk menadahinya dengan tangannya. Kala beliau memerintahkan sesuatu, mereka berebut melaksanakannya. Tidak ada yang berani bersuara keras, dan mereka juga berebut air bekas wudlu beliau. Dalam kondisi seperti itu, sama saja ia bunuh diri kalau terus saja menghujat Mughirah atas perbuatannya di masa lalu.
Mughirah bin Syu'bah juga dipercaya Nabi SAW untuk menulis wahyu-wahyu yang turun. Ia juga pernah diperintahkan untuk menulis surat balasan yang dikirimkan beliau ke Uskup Najran, untuk mengajaknya untuk memeluk Islam.
Beberapa bulan berlalu setelah Perang Hunain dan perang Thaif, ketika itu ia sedang menggembalakan unta tunggangan Nabi SAW dan para sahabat lainnya di luar Kota Madinah, tampak rombongan bani Tsaqif dari daerah Thaif, yang sebagian dari mereka adalah kerabatnya, berjalan menuju kota Madinah. Mughirah bergegas menuju masjid untuk memberitahukan Nabi SAW akan kedatangan mereka, tetapi ia bertemu Abu Bakar, dan Abu Bakar memintanya untuk tidak mengatakan kepada Nabi SAW sebelum dirinya, dan ia menerima saran Abu Bakar tersebut.
Kedatangan mereka ini karena dibayang-bayangi ketakutan akan diperangi Nabi SAW setelah mereka melakukan pembunuhan kepada Urwah bin Mas’ud, salah satu tokohnya yang telah memeluk Islam. Setelah diterima Nabi SAW, orang-orang bani Tsaqif yang dipimpin oleh Abd Yalil ini menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi mereka minta pada beliau untuk diperbolehkan melakukan beberapa hal, seperti zina, minum khamr dan menarik/memakan riba, serta dibebaskan dari kewajiban shalat. Tentu saja semua persyaratan ditolak mentah-mentah oleh beliau.
Mereka juga sempat meminta agar diijinkan tetap menyembah berhala dalam beberapa tahun, tetapi sekali Nabi SAW menolaknya. Begitu juga ketika mereka memintanya hanya untuk beberapa bulan, minggu dan hari, Nabi SAW tetap menolaknya. Pada akhirnya mereka meminta agar tidak disuruh menghancurkan berhala-berhala sembahan mereka dengan tangan mereka sendiri. Maka Nabi SAW menerima persyaratan ini, dan beliau mengirimkan Mughirah dan Abu Sufyan bin Harb (dalam riwayat lain, sekelompok sahabat yang dipimpin Khalid bin Walid, Mughirah salah satu di antaranya), untuk menghancurkan patung-patung sembahan bani Tsaqif di Thaif.
Mughirah yang memang “putra daerah” dari Bani Tsaqif di Thaif itu, yang paling gencar dan bersemangat menghancurkan berhala-berhala tersebut. Ia berkata kepada sahabat lainnya, “Demi Allah, aku benar-benar akan membuat kalian tertawa karena sikap orang-orang Tsaqif..!!”
Setelah itu ia mengambil dua cangkul dan mendatangi berhala Lata yang selama ini menjadi sesembahan utama Bani Tsaqif, sangat dihargai dan ditinggikan sekaligus ditakuti. Dengan dua cangkul tersebut, Mughirah merobohkan berhala Lata, dan tampak penduduk Thaif bergetar penuh ketakutan, seolah-olah dunia akan runtuh menimpa mereka. Bahkan ada yang berkata, “Semoga Allah mengutuk al Mughirah, dia tentu akan dicekik penjaga berhala…!!”
Mendengar perkataan tersebut, Mughirah melompat ke hadapan mereka dan berkata, “Semoga Allah memburukkan rupa-rupa kalian, berhala ini tidak lain hanyalah tumpukan batu dan lumpur yang hina…!!”
Kemudian Mughirah mengajak para sahabat untuk menghancurkan pintu penyimpanan barang dan merobohkan pagar-pagarnya. Tidak sekedar menghancurkan bangunan-bangunannya, bahkan ia menggali dan menghancurkan pondasinya, dan mengeluarkan harta dan barang simpanan di dalamnya, untuk diserahkan kepada Nabi SAW di Madinah. Orang-orang Tsaqif hanya terpaku tak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut. Dengan atribut dan “kebesaran” berhala Lata itulah selama ini mereka merasa bangga dan berkuasa. Begitu semua itu rata dengan tanah, seolah-olah segala kebesaran dan kebanggaannya selama ini ikut tercerabut dari akar-akarnya.
Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, tepatnya pada tahun 15 hijriah, pasukan muslim yang dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqash menuju Qadisiah untuk memerangi pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustum. Umar juga mengirim pasukan tambahan dari Madinah yang dipimpin oleh Mughirah bin Syu'bah untuk mendukung Sa'ad. Pasukan Abu Ubaidah sejumlah seribu orang yang berada di daerah Syam, juga diminta Umar untuk bergabung dengan Sa'ad.
Ketika kedua pasukan, Muslimin dan Persia  telah berhadapan, Rustum mengirim utusan menemui Sa'ad agar ia mengirim seseorang yang alim dan bijaksana kepadanya untuk melakukan pembicaraan. Sa'adpun  mengirim Rib'i bin Amir. Pada hari berikutnya Rustum meminta dikirim lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Huzaifah bin Mihsan. Ketika pada hari berikutnya Rustum masih meminta lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Mughirah bin Syu'bah.
Mughirah segera memacu tunggangannya membelah kumpulan pasukan Persia tanpa sedikitpun rasa gentar. Ketika memasuki ruang pertemuan yang dipersiapkan, Rustum telah menyediakan tempat duduk yang beralaskan kain sutera, tetapi Mughirah tidak mau duduk di situ. Ia meminta seseorang di sebelah Rustum untuk melemparkan perisainya, dan ia menduduki perisai tersebut.
Pada mulanya pembicaraan berlangsung tenang, dan dalam beberapa hal Rustum mengakui kebenaran yang disampaikan oleh Mughirah. Tetapi pada akhirnya, Rustum menawarkan makanan, uang dan harta lainnya yang sangat banyak, dengan syarat pasukan muslim ditarik dari Qadisiah. Atas penawaran ini, tegas sekali Mughirah berkata, "Akankah itu terjadi jika kami memusnahkan kerajaanmu dan melemahkan kekuatanmu? Kami tidak mempunyai waktu yang banyak, kami hanya akan mengambil jizyah darimu dan kamu akan berada di bawah taklukan Madinah dan menjadi hamba kami, akibat dari kekerasan hatimu…"
Pembicaraan menjadi panas, terjadi saling mengancam dan perang mental. Rustum mengancam akan membantai habis pasukan muslim yang hanya sekitar 30.000 orang, dengan 120.000 tentaranya. Mendengar ancaman ini, dengan tegar Mughirah berkata, "Jika kalian membunuh kami, maka kami akan memasuki jannah, tetapi jika kami membunuh kalian, tempat kalian adalah neraka yang menyala-nyala…."
Inilah yang terjadi sebelum pecahnya perang Qadisiah, dan dalam peperangan itu tentara Persia yang dipimpin Rustum, yang jauh lebih besar berhasil dicerai-beraikan oleh pasukan muslimin

Minggu, 29 Januari 2012

Amr bin Umayyah adh Dhamri RA


            Amr bin Umayyah adh Dhamri termasuk dalam rombongan tujuhpuluh sahabat Huffadz Qur'an yang ditugaskan Nabi SAW untuk mengajarkan Islam pada Bani Amir di Najd. Ketika perkemahan mereka di Bi'r Ma'unah diserang oleh kelompok  yang dipimpin Amir bin Thufail, ia diserahi tugas menggembala unta-unta bersama Mundzir bin Uqbah bin Amr, sehingga keduanya lolos dari pembantaian.
Mereka melihat burung pemakan bangkai terbang di atas perkemahan teman-temannya, sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi, karena itu mereka bergegas kembali. Tetapi dari kejauhan tampak para sahabat tersebut bergelimpangan bersimbah darah, dikelilingi para pembunuh yang senjatanya masih meneteskan darah. Amr berkata kepada Mundzir, "Marilah kita kembali ke Madinah, dan memberitahukan kejadian ini kepada Nabi SAW!"
Tetapi Mundzir menolak usulannya tersebut, menurutnya, kejadian ini pasti akan sampai kepada Nabi SAW, cepat atau lambat, lebih baik kalau mereka menyerang para pembunuh itu hingga syahid menyusul sahabat-sahabatnya tersebut. Amr menyambut usulan ini, mereka berdua menghambur menyerang para pembunuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, Mundzir tewas terbunuh dan Amr ditawan oleh Amir bin Thufail, sekaligus dijadikan budaknya.
Amir bin Thufail membawa Amr pulang, tetapi ketika bertemu ibunya, sang ibu memaksa Amir bin Thufail untuk membebaskan Amr sebagai sahayanya, karena ia memang pernah bersumpah/bernadzar untuk memerdekakan seorang budak. Amir bin Thufail bersedia menunaikan amanat ibunya tersebut, dan Amr dilepaskan.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, di sebuah jalan tembus bernama Qarqarah, Amr beristirahat. Tak lama berselang datang dua orang dari bani Kilab, yang juga masih kerabat dengan Amir bin Thufail, beristirahat di tempat itu juga. Setelah kedua orang itu tertidur, Amr membunuh keduanya, sebagai tindakan balasan atas pembunuhan teman-temannya.
Ketika Amr telah sampai di Madinah dan menceritakan apa yang dialaminya kepada Nabi SAW, beliau amat sedih dan marah atas tindakan Amir bin Thufail dan kabilah yang membantunya. Beliau sempat mendoakan keburukan bagi mereka selama tigapuluh hari, yakni ketika berjamaah shalat subuh, yaitu dengan membaca qunut nazilah.
Tetapi Nabi SAW menyesalkan tindakan Amr membunuh dua orang bani Kilab yang sedang beristirahat di Qarqarah, karena sebenarnya beliau menjalin perjanjian persahabatan dengan kabilah tersebut. Kemudian beliau mengumpulkan uang dari orang-orang muslim dan sekutunya dari Yahudi, untuk membayar tebusan (diyat) pada bani Kilab.
Amr bin Umayyah dan Salamah bin Abu Salamah pernah diutus Nabi SAW ke Makkah secara diam-diam untuk membunuh Abu Sufyan. Hal itu dilakukan sebagai tindakan balasan karena Abu Sufyan telah mengirimkan seorang Arab Badui untuk membunuh Nabi SAW. Tetapi sebagaimana orang Arab Badui itu gagal membunuh Nabi SAW, mereka berdua juga gagal membunuh Abu Sufyan karena ketatnya pengawalan. Tetapi mereka berdua berhasil menyelamatkan jenazah sahabat Khubaib bin Adi dari tiang penyaliban kaum Quraisy setelah berhasil memperdaya penjaganya (dalam riwayat lain, membunuh tiga orang yang menjaga tiang salib, atau membunuh tiga orang Quraisy dalam perjalanan tersebut), kemudian membawa pergi dan memakamkannya di tempat tersembunyi.
Amr bin Umayyah juga diutus Nabi SAW untuk menyampaikan surat kepada Raja Najasyi di Habasyah, surat seruan memeluk Islam. Memang, walaupun saat itu Ja’far bin Abu Thalib telah tinggal di sana dengan jaminan keamanan Najasyi, tetapi ia tidak menyeru dan tidak diperintah Nabi SAW untuk mendakwahi Najasyi untuk memeluk Islam. Setelah menerima surat tersebut dari Amr dan selesai membacanya, Najasyi meletakkan surat tersebut di depan matanya yang berkaca-kaca. Kemudian ia turun dari singgasananya dan mengucap syahadat di hadapan Ja’far bin Abu Thalib.
Selain surat tersebut, Amr juga membawa surat lamaran Nabi SAW untuk memperistri Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang telah menjadi janda ketika di Habasyah. Surat tersebut juga diberikan kepada Najasyi, dimana Najasyi sendiri bertindak mewakili Nabi SAW melamar Ummu Habibah dengan mahar 400 dinar (uang emas) dari Najasyi. Ia juga mengadakan jamuan makan untuk semua kaum muslimin yang hadir, dan memberi mereka dengan dinar-dinar.
Amr kembali ke Madinah bersama rombongan Ja’far dan juga Abu Musa al Asy’ary yang sebelumnya perahu mereka terdampar di Habasyah.

Jarir bin Abdullah al Bajali RA


         Jarir bin Abdullah termasuk kalangan sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa akhir, yakni mereka yang memeluk Islam setelah terjadinya Fatkhul Makkah, dimana kekuatan Islam yang bermarkas di Madinah mulai diakui dan ditakuti oleh masyarakat di Jazirah Arabia dan sekitarnya, termasuk Romawi dan Persia. 
Ketika datang kepada Nabi SAW untuk berba'iat, Jarir mengatakan akan selalu mendengar dan taat, baik pada hal yang disukainya, atau hal yang dibencinya. Mendengar hal itu, Nabi SAW bersabda, "Apakah kamu mampu melakukannya? Berhatilah-hatilah! Lebih baik engkau katakan : Dalam hal yang aku mampu melakukannya."
          Ini adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan Nabi SAW atas umatnya, beliau tidak ingin membebani pada umatnya, sesuatu yang mereka tidak mampu. Maka Jarir meralat ba'iatnya sesuai dengan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, dan juga berba'iat untuk menasehati kaum muslimin. 
Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapa tidak engkau senangkan hatiku berkenaan dengan Dzul Khalasah?"                                                                                
            Dzul Khalasah adalah berhala kaum jahiliah dari suku Khas'am yang sering disebut Ka'bah Yamaniah. Jarir langsung menanggapi pernyataan Nabi SAW ini, ia berangkat dengan seratus limapuluh orang pengendara kuda yang mahir dari suku Ahmas. Tetapi ternyata Jarir sendiri yang mengalami kesulitan untuk tetap di atas kudanya. Nabi SAW mendatanginya dan menepuk dadanya sehingga meninggalkan bekas sambil berdoa, "Ya Allah, tetapkanlah ia di atas kudanya dan jadikanlah ia penunjuk yang benar…"
Segera saja Jarir berhasil menguasai kudanya dan ia berangkat ke Dzul Khalasah bersama rombongannya. Setelah berhasil menghancurkan berhala tersebut, Jarir mengirim utusan kepada Nabi SAW mengabarkan keberhasilannya, dan beliau mendoakan keberkahan bagi pengendara kuda dari suku Ahmas tersebut dan para pemimpinnya, yakni Jarir, bahkan beliau mendoakannya sampai lima kali.

Sabtu, 28 Januari 2012

Jabir bin Abdullah RA


          Jabir bin Abdullah adalah seorang sahabat Anshar yang cukup banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW. Ia putra salah seorang pahlawan Uhud yang syahid dalam pertempuran tersebut, yaitu Abdullah bin Amr bin Haram. Ketika Nabi SAW menghimpun pasukan ke Uhud, ia sebenarnya ikut “mendaftarkan diri” menjadi mujahid dalam pertempuran tersebut bersama ayahnya, tetapi Nabi SAW hanya mengijinkan salah satunya. Akhirnya Jabir mengalah dan mendahulukan ayahnya untuk mengikuti Perang Uhud. 
Sepulangnya dari perang Uhud, hanya semalam tinggal di Madinah, Nabi SAW kembali menghimpun pasukan untuk mengejar kaum musyrikin Makkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Cukup banyak yang ingin bergabung, termasuk sekitar tigaratus kaum munafiqin pimpinan Abdullah bin Ubay, yang dalam perang Uhud mereka “ngacir’ (pulang dahulu, desersi) sebelum pertempuran dimulai. Tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, "Yang boleh bergabung dalam pasukan ini, hanyalah orang-orang yang sebelumnya mengikuti perang Uhud."
Jabir datang kepada Nabi SAW dan meminta ijin untuk mengikuti pasukan tersebut, ia berkata, "Ya Rasulullah SAW, aku sangat senang bila senantiasa mengiringi engkau berjuang di jalan Allah. Tetapi kemarin itu ayahku meminta agar aku tinggal di rumah mengurusi saudara-saudaraku. Karena itu, ijinkanlah aku mengikuti peperangan kali ini, sebagai ganti ayahku yang telah syahid di medan Uhud." 
            Sebenarnya Nabi SAW mengijinkan mereka yang dalam kesedihan karena kehilangan anggota keluarganya di Uhud untuk tetap tinggal di Madinah. Karena itu beliau menyarankan Jabir untuk tidak menyertai pasukan ini. Tetapi Jabir tetap memaksa sehingga beliau mengijinkannya ikut serta. Peperangan yang dikenal dengan nama Hamra'ul Asad ini, akhirnya tidak sampai terjadi kontak bersenjata, karena pasukan kaum Quraisy ketakutan, dan lebih memilih kembali ke Makkah.  
            Ayahnya, Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, gugur di Uhud dengan meninggalkan hutang, maka Jabir datang kepada Nabi SAW untuk minta tolong membebaskan hutang-hutangnya. Beliau-pun menyampaikan permintaan Jabir tersebut, tetapi para pemberi hutang tersebut enggan untuk memenuhinya. Karena itu Nabi SAW bersabda pada Jabir, “Pergilah, atur kurmamu yang bermacam-macam itu, ajwah sebagian, azqa zaid sebagian, dan beberapa lainnya. Beritahukanlah kepadaku jika selesai!"
Jabir melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi SAW dan segera diberitahukannya kepada beliau setelah selesai. Beliau memerintahkan Jabir untuk memanggil semua orang yang menghutangi ayahnya. Ketika mereka semua telah berkumpul, beliau duduk di atas atau di tengah-tengah kurma tersebut dan beliau bersabda kepada Jabir, "Takarlah, dan bayarkan kepada mereka yang berpiutang kepada ayahmu…!"  
            Mereka yang menagih hutang ayahnya maju satu persatu, Jabir menakar dan memberi tambahan secukupnya, sehingga semua tanggungan ayahnya dapat diselesaikan, dan anehnya kurma-kurmanya yang berada di sekitar Nabi SAW duduk tidak berkurang sedikitpun.
Sungguh suatu peristiwa menakjubkan dimana mu’jizat Nabi SAW membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Jabir bin Abdullah. Ada satu peristiwa lagi, dimana mu’jizat Nabi SAW ikut “campur tangan” sehingga niat baik Jabir yang sebenarnya kecil dan sederhana saja, menjadi berdampak besar dan bermanfaat bagi banyak orang.
Peristiwa ini terjadi saat penggalian parit (khandaq) di sekeliling kota Madinah, sebagai benteng pertahanan atas rencana serangan besar-besaran yang akan dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy Makkah dan sekutunya. Penggalian parit tersebut berlangsung selama hampir satu bulan. Tidak jarang para sahabat pekerja penggalian parit ini dilanda kelaparan karena keterbatasan makanan, termasuk juga Nabi SAW.
Suatu ketika Jabir melihat Nabi SAW dalam keadaan sangat lapar. Memang, ia tidak melihat Nabi SAW memakan sesuatu dalam tiga hari terakhir, kecuali hanya air putih. Bahkan beliau telah mengganjal perut beliau dengan batu untuk mengurangi efek lapar. Jabir memiliki seekor kambing kecil yang tidak terlalu gemuk, dan ia ingin mempersembahkannya untuk Rasulullah SAW, karena itu ia diam-diam pulang. Ia menyembelih dan membakar kambing tersebut, dan menyuruh istrinya untuk membuat roti dari gandum.
Setelah makanan siap, dengan diam-diam ia mengundang Rasulullah SAW saja untuk datang ke rumahnya. Begitu menerima undangan Jabir, Beliau meminta seseorang mengumumkan undangan itu, "Pergilah kalian semua ke rumah Jabir."
Jabir pun terkejut dan menggumam, "Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'un."
           Jabir dan Rasulullah SAW berjalanan beriringan ke rumahnya, diikuti semua orang yang menggali parit. Roti dan daging dihidangkan dan Rasulullah SAW membaca Basmalah kemudian mulai menyantap. Setelah selesai, beliau menyuruh satu rombongan masuk untuk makan. Setelah mereka ini kenyang dan keluar rumah Jabir, satu rombongan lagi diperintahkan masuk. Begitu seterusnya berulang-ulang hingga semua sahabat pekerja khandaq jadi kenyang. Sungguh keberkahan karena doa Rasulullah SAW dan keikhlasan Jabir bin Abdullah.

Sa'd bin Khaitsamah RA dan Khaitsamah bin Harits RA

          Sa'd bin Khaitsamah adalah seorang sahabat Anshar yang memeluk Islam pada masa awal, yakni ketika Ba'iatul Aqabah kedua. Ia juga ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaumnya di Madinah, yakni salah satu kabilah dari suku Aus. 
Ketika Nabi SAW menggerakkan pasukan ke Badar, Sa'd dan ayahnya, Khaitsamah bin Harits mendatangi Nabi SAW untuk mengikutinya. Tetapi Nabi SAW menolak jika mereka berdua yang mengikutinya, dan hanya salah satu saja yang diijinkan. Khaitsamah berkata kepada anaknya, "Tidak bisa tidak, salah seorang dari kita harus tinggal, karena itu tinggallah kamu bersama istri-istrimu!"
Tetapi Sa'd menolak perintah ayahnya tersebut. Untuk membaktikan diri kepada Nabi SAW dan Islam, ia tidak ingin mengalah begitu saja. ia berkata, "Jika tidak karena jannah, aku akan mendahulukan ayah untuk berangkat. Sesungguhnya aku menginginkan syahid di tempat yang kutuju ini."
          Karena tidak ada yang mengalah dan masing-masing bertahan dengan argumentasinya, Nabi SAW menyarankan mereka melakukan undian. Ternyata Sa'd yang menang dan terpilih ke Badar menemani Rasullullah SAW. Dan Allah memenuhi keinginannya, ia terbunuh syahid di tangan Amr bin Abdu Wadd.

Pada tahun berikutnya, ketika Nabi SAW sedang mempersiapkan pasukan untuk Perang Uhud, Khaitsamah bin Harits mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah,tadi malam aku bermimpi bertemu dengan anakku, Sa’d dalam keadaan yang seindah-indahnya. Ia menikmati hidup yang nyaman di surga. Ia berkata kepadaku : Wahai ayah, apa yang dijanjikan Tuhanku benar adanya, maka segeralah temui aku untuk bercengkerama di surga. Pagi harinya waktu bangun, aku sungguh merasa sangat rindu untuk menemani anakku dan bertemu Tuhanku. Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dikaruniai mati syahid…!!”
          Nabi SAW tersenyum mendengar cerita Khaitsamah tersebut dan mendoakan seperti yang dimintanya. Ketika perang Uhud berlangsung, ia langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran dan akhirnya menemui syahid seperti yang dirindukannya.                      

Rabu, 25 Januari 2012

Sa'd bin Rabi' RA


            Sa’d bin Rabi’ adalah seorang sahabat Anshar, pada masa awal hijrah ke Madinah, oleh Nabi SAW ia dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf. Mendengar keputusan Nabi SAW itu, segera saja ia berkata kepada Ibnu Auf, "Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, aku bagi dua hartaku dan separuhnya untukmu. Lihatlah istri-istriku, mana yang engkau sukai akan aku ceraikan. Setelah usai iddahnya, engkau bisa menikahinya…" 
           Abdurrahman bin Auf berterima kasih atas tawarannya tersebut, tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia minta ditunjukkan pasar dan keesokan harinya ia berdagang di Pasar Qainuqa. 
Pada perang Uhud, Sa'd bin Rabi' mengalami sekitar tujuh puluh luka, baik karena pedang, tombak ataupun anak panah. Dalam keadaan sekarat dimana nafasnya tinggal satu-satu, datanglah Zaid bin Tsabit yang memang  diperintahkan Rasulullah untuk mencarinya. Zaid berkata, "Wahai Sa'd, sungguh aku diperintah Rasulullah SAW mencarimu, dan beliau mengirim salam untukmu. Dan beliau bertanya kepadamu, bagaimana keadaanmu?"
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Sa'd berkata,                                                                         
            "Kesejahteraan bagi Rasulullah dan bagimu juga. Katakan pada beliau, 'Wahai Rasulullah, aku telah mencium baunya jannah.' Dan katakan kepada kaumku, orang-orang Anshar, 'Kalian tidak mempunyai alasan apapun untuk melepaskan diri dari Rasulullah, walaupun kalian hanya bisa menggerakkan alis kalian…'."
Setelah itu, Sa'd meninggal sebagai syahid dalam perang Uhud tersebut.
Sa’d wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan. Seperti kebiasaan jahiliah, saudara dari Sa'd mengambil seluruh harta peninggalan Sa'd. Istri Sa'd, Amrah binti Hizam datang kepada Nabi SAW dengan membawa putrinya, dan berkata,        "Ya Rasulullah, dua anak wanita ini adalah putri Sa'd bin Rabi, yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan syahid disana. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya tanpa meninggalkan sedikitpun bagi keduanya. Padahal ia akan sulit mendapatkan jodohnya jika tidak memiliki harta."
Atas pernyataan Amrah ini, Nabi SAW bersabda, "Allah akan memutuskan hukumNya."
Tidak lama berselang, turunlah ayat tentang hukum waris, yakni Surah an Nisa ayat 11-12, dimana salah satunya mengatur hak anak perempuan atas warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Inilah salah satu wujud penghargaan Islam kepada wanita dan menghapuskan kebiasaan jahiliah yang “menafikan” seorang anak wanita dalam hal harta warisan.

Ummul Mukminin Hafshah binti Umar RA


         Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, sebelumnya adalah istri Khunais bin Khudzafah, seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa awal. Mereka menikah ketika masih di Makkah, sempat hijrah ke Habasyah, dan langsung berhijrah ke Madinah, ketika Nabi SAW dan para sahabat lainnya hijrah ke sana. Khunais meninggal akibat luka parah yang diperolehnya ketika perang Badar (riwayat lain menyebutkan perang Uhud).
Hafshah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan wafat di Madinah pada Jumadil Ula tahun 45 hijriah dalam usia 63 tahun (Riwayat lain menyebutkan, tahun 41 hijriah dalam usia 60 tahun). Khunais meninggal pada tahun 2 atau 3 Hijriah, beberapa bulan kemudian Nabi SAW menikahi Hafshah, ketika itu ia berusia sekitar 21 tahun.
Ketika Hafshah menjadi janda, Umar bin Khaththab menjadi sedih dengan keadaan anaknya tersebut, karena itu ia menemui Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi Hafshah, tetapi Abu Bakar hanya diam tanpa berkata apapun. Melihat reaksi ini, Umar menemui Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah RA, putri Rasulullah SAW. Ia meminta Utsman menikahi Hafshah, tetapi Utsman berkata, "Saat ini, aku belum ada keinginan untuk menikah lagi!"
Mendengar penolakan dari dua orang sahabatnya, yang juga dua orang muslim terbaik, kesedihan Umar menjadi bertambah, karena itu ia mengadukan persoalan ini pada Rasulullah SAW. Mendengar keluh kesah dan kegundahan hati Umar ini, Nabi SAW hanya tersenyum, kemudian beliau bersabda, "Akan aku tunjukkan padamu, suami bagi Hafshah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman, dan bagi Utsman ada istri yang lebih baik daripada Hafshah…"
Umar sempat bingung dan tidak mengerti dengan ungkapan Nabi SAW. Tetapi kemudian menjadi kegembiraan tak terkira ketika beliau mengatakan akan menikahi Hafshah, dan menikahkan Utsman dengan putri beliau lainnya, Ummu Kultsum.
Setelah pernikahan Nabi SAW dengan Hafshah tersebut, Abu Bakar menemui Umar dan meminta maaf atas sikapnya tersebut, ia menjelaskan kalau Nabi SAW menyatakan kepadanya, berniat menikahi Hafshah. Karena itu tidak mungkin ia menerima permintaan Umar untuk menikahi anaknya tersebut, tetapi ia tidak ingin mengatakan rahasia Rasulullah SAW. Atas penjelasan ini Umar berkata, "Sesungguhnya diamnya Abu Bakar, lebih mengejutkan dan menyedihkan daripada penolakan Utsman!"
Hafshah adalah seorang wanita ahli ibadah yang sangat wara'. Namun demikian, seperti halnya Aisyah, ia juga seorang istri dengan kecintaan yang begitu besar kepada Nabi SAW, sekaligus rasa cemburu yang besar kepada istri beliau lainnya. Atas kecemburuan putrinya yang berlebihan ini, Umar pernah menasehatinya, "Hai Hafshah, insyaflah, apa arti dirimu dibanding Aisyah, apalah arti bapakmu ini dibanding Abu Bakar!!"
Pernah juga ia membantah Nabi SAW, sehingga beliau sempat marah selama satu hari. Ketika Umar mendengar hal ini dari istrinya, Umar begitu murka, ia mendatangi Hafshah dan berkata, "Ingatlah wahai Hafshah, akan akibat kemurkaan Allah dan kemarahan RasulNya, jangan engkau merasa iri dengan wanita yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasulullah SAW kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah SAW tidak mencintaimu, kalau tidak karena aku, tentu engkau telah dicerai!!"
Nasehat dan juga kemarahan ayahnya ini ternyata belum cukup untuk mengurangi sikap cemburunya hingga batas wajar, sampai akhirnya Allah menurunkan teguranNya, sebagaimana tercantum dalam surah Tahrim 3-5. Apa yang dilakukannya bersama Aisyah RA, sempat menyebabkan terganggunya ketentraman rumah tangga Rasulullah SAW. Beliau sempat mengasingkan diri bersama pembantunya, Abu Rafi RA, menjauhi semua istri-istrinya. Bahkan sempat berkembang isyu bahwa beliau menceraikan semua istrinya.
Sekali lagi Umar memperoleh kabar bahwa penyebab semua ini adalah Hafshah. Dengan luapan marah, bercampur sedih dan malu, Umar mendatangi putrinya tersebut dan berkata, "Barangkali Rasulullah telah menceraikanmu…jika beliau merujukmu, setelah menjatuhkan talak satu, itu hanya karena beliau mengasihani diriku. Jika beliau sampai mentalakmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya!"
Memang, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW menceraikan Hafshah setelah peristiwa itu, hanya kemudian datang Jibril membawa perintah Allah agar beliau merujuk Hafshah, untuk menghilangkan kesedihan Umar. Umar menjumpai Nabi SAW di tempat penyendirian beliau bersama Abu Rafi, ia sempat menangis melihat keadaan Nabi SAW yang begitu menyedihkan, dan meminta maaf atas sikap putrinya. Beliau hanya tersenyum, dan menyatakan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, tetapi hanya menjauhi mereka selama satu bulan.
            Setelah peristiwa ini, dan teguran keras Allah lewat Surat At Tahrim 3 - 5, barulah Hafshah menyadari bahaya yang ditimbulkan dengan sikap cemburunya, dan ia tak pernah lagi mengulanginya.

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy RA


           Zainab binti Jahsy masih kerabat Nabi SAW, ia terhitung masih keponakan beliau, dan telah memeluk Islam pada masa-masa awal Islam didakwahkan di Makkah. Pada mulanya ia menikah dengan bekas budak dan anak angkat Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah. Zaid adalah kesayangan Nabi SAW, sehingga ia pernah menjadi anak angkat beliau, namanyapun sempat dinisbahkan kepada beliau, Zaid bin Muhammad, sampai kemudian turun larangan untuk menjadikan anak angkat seperti anak kandung. 
Pernikahan Zainab dengan Zaid tidak bisa terus berlangsung karena berbagai permasalahan, dan berakhir dengan perceraian.
Adat jahiliah untuk menjadikan anak angkat seperti anak kandung begitu mengakar, sehingga tidaklah mudah untuk menghapuskannya begitu saja. Karena itu Allah menurunkan perintah kepada Nabi SAW untuk menikahi Zainab binti Jahsy, janda bekas anak angkatnya tersebut (QS Al Ahzab 37). Dengan pernikahan ini, adat yang mengakar tersebut akhirnya bisa terkikis habis. Zainab merasa bangga dan istimewa dengan pernikahannya ini, sebab istri-istri Nabi SAW yang lain dinikahkan oleh wali-walinya, sedangkan ia dinikahkan langsung oleh Allah SWT dan diabadikan dalam al Qur'an.
Zainab lahir sekitar 17 tahun sebelum kenabian, dinikahi Nabi SAW pada bulan Dzulhijjah tahun 5 hijriah, yakni ketika berusia 35 tahun, dan wafat pada tahun 20 hijriah ketika berusia 50 tahun, pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Ia adalah istri Nabi SAW yang pertama kali meninggal setelah kewafatan beliau. Umar bin Khaththab sendiri yang menjadi imam shalat jenazahnya.
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah SAW yang biasa bekerja dan menghasilkan uang dengan tangannya sendiri, bahkan hal itu telah dilakukannya sejak sebelum pernikahannya. Tetapi hasil kerjanya ini hanya digunakannya untuk bersedekah di jalan Allah, yakni membantu orang-orang miskin yang sangat membutuhkan dana dan kesulitan keuangan. Dalam kesehariannya ia tetap memilih hidup sederhana seperti dicontohkan Nabi SAW.
Ketika Rasulullah SAW akan wafat, para istri beliau ini bertanya tentang siapa di antara mereka yang paling dahulu menyusul beliau kembali ke hadirat Ilahy SWT, Nabi SAW bersabda, "Dia yang paling panjang tangannya."
Mereka pun saling mengukur tangan mereka dengan kayu. Tetapi ternyata yang wafat terlebih dahulu di antara mereka adalah Zainab binti Jahsy, padahal bukan dirinya yang tangannya paling panjang ketika diukur dengan kayu saat itu. Istri-istri Nabi SAW yang lainpun sadar bahwa yang dimaksud Nabi SAW dengan 'paling panjang tangannya' adalah yang paling banyak sedekahnya.
Semasa Umar bin Khaththab menjadi khalifah, kekayaan melimpah ruah memenuhi baitul mal, sehingga semua istri Nabi SAW diberi tunjangan sebesar 12.000 dirham setiap tahunnya. Ketika Zainab menerima tunjangan ini, ia menolaknya dan minta agar diberikan kepada istri-istri Nabi SAW lainnya saja. Ketika dijelaskan bahwa mereka juga memperoleh jumlah yang sama, ia begitu heran, sambil menutup mulutnya dengan ujung kain, ia hanya berkata, "Subkhanallah!!"
Ia memerintahkan utusan khalifah itu meletakkan uang di pojok kamar, dan menutupinya dengan kain tanpa sedikitpun menoleh pada tumpukan uang tersebut. Kemudian ia memerintahkan pembantunya, Barzah, untuk membagikan uang tersebut pada beberapa orang fakir miskin, janda dan anak yatim dengan menyebutkan jumlahnya masing-masing. Ketika uang tersebut tinggal sedikit, Barzah menyatakan keinginannya untuk memilikinya, dan Zainab berkata, "Ambillah sisa uang di bawah kain itu." 
Barzah mengambil dan menghitungnya, ternyata jumlahnya 84 dirham. Setelah habis dibagikan, Zainab kemudian berdoa, "Ya Allah, tahun depan, janganlah harta sebanyak itu akan datang kepada saya, yang kedatangannya bisa menyebabkan fitnah bagi saya."
Allah mengabulkan doanya. Sebelum pembagian tahun berikutnya, ia telah wafat, dan tidak meninggalkan sedikitpun harta dan uang di dalam rumahnya.         

Shafwan bin Umayyah RA


         Kekalahan kaum kafir Quraisy di Perang Badr, juga menewaskan Umayyah bin Khalaf, salah satu tokohnya yang melakukan penyiksaan dengan semena-mena terhadap Bilal bin Rabah. Hal ini membuat anaknya, Shafwan bin Umayyah begitu dendam pada Nabi SAW yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian bapaknya tersebut. Ia menghasud Umair bin Wahb untuk membunuh Nabi SAW. Kesulitan ekonomi keluarga dan hutang-hutangnya akan ditanggungnya jika ia mau membalaskan dendamnya, dan Umair bersedia. Dibuatlah kesepakatan di tempat tersembunyi di dekat batu besar. Tetapi Allah SWT mengabarkan kesepakatan tersebut kepada Nabi SAW lewat malaikat Jibril, sehingga akhirnya Umair bin Wahb masuk Islam. Keadaan tersebut makin membuatnya membenci Nabi SAW. 
Setelah perjanjian Hudaibiyah berlangsung, Khalid bin Walid pernah mengajaknya ke Madinah menghadap Nabi SAW untuk memeluk Islam, Khalid memang salah seorang sahabatnya. Tetapi Shafwan menolak dengan keras ajakan Khalid ini, bahkan ia berkata, "Jika tiada siapapun lagi yang tersisa kecuali aku, pasti aku tidak akan mengikutinya selama-lamanya."
Saat Penaklukan (Fathul) Mekkah, Shafwan melarikan diri dari Mekkah karena takut akan pembalasan kaum muslimin akibat perlawanan kerasnya selama ini kepada Nabi SAW. Umair bin Wahb merasa bahwa keislamannya tak lepas dari peran Shafwan ketika menyuruhnya untuk membunuh Nabi SAW, berinisiatif meminta jaminan perlindungan keamanan Rasulullah SAW bagi Shafwan dan beliau menyetujuinya, bahkan memberikan surban beliau sebagai jaminan.
Shafwan yang saat itu bersiap-siap naik kapal di Jiddah untuk lari ke Yaman, berhasil disusul Umair dan dibujuk untuk kembali dengan jaminan Rasulullah SAW dan masuk Islam. Ia bersedia kembali bersama Umair menemui Rasulullah SAW. Di hadapan beliau Shafwan meminta tangguh dua bulan untuk berfikir, tapi Nabi SAW justru memberinya waktu empat bulan untuk menentukan sikapnya.           
Dalam keadaan masih musyrik, Shafwan mengikuti Nabi SAW dalam Perang Hunain, beliau juga meminjam seratus baju besi dan perlengkapannya dari dirinya. Setelah kemenangan di Perang Hunain, Nabi memberikan ratusan unta yang memenuhi bukit kepadanya, sebagai ghanimah sekaligus pengganti sebagian baju besi dan perlengkapan yang rusak dalam peperangan tersebut. Shafwan berlama-lama memandangi unta-unta yang begitu banyaknya, yang diberikan kepadanya, seakan tak percaya kalau semua itu miliknya. Ia berkata, "Tidak ada kepribadian yang sebaik ini kecuali seorang nabi, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
            Keislaman Shafwan ini disambut gembira istrinya, Al Baghum binti Mua'ddal dari Bani Kinanah, yang telah memeluk Islam sejak sebelum penaklukan kota Makkah.

Selasa, 24 Januari 2012

Suraqah bin Malik bin Ju'syum RA

Suraqah bin Malik bin Ju’syum merupakan seorang tokoh terkemuka di daerah Najd yang berasal dari Bani Kinanah, dan sangat dihargai oleh kaum Quraisy Makkah. Karena itulah ketika Iblis ingin tampil sebagai manusia dalam mendukung permusuhannya kepada Nabi SAW, ia mewujudkan diri sebagai Suraqah bin Malik 
Dua kali iblis muncul dalam wujud sahabat ini, pertama saat kaum Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah, saat itu ia mendukung dan menguatkan pendapat Abu Jahal untuk membunuh Nabi SAW. Kedua pada saat perang Badar. Ketika pasukan kafir Quraisy ragu-ragu untuk meneruskan pertempuran, sekali lagi Iblis dalam bentuk Suraqah ini mendukung dan menguatkan mereka. Tetapi ketika iblis melihat pasukan malaikat yang dipimpin Malaikat Jibril, ia segera berlari terbirit-birit. Harits bin Hisyam sempat memegang tangannya dan berkata, “Wahai Suraqah, bukankah engkau berkata akan mendukung kami dan tidak akan meninggalkan kami!!”
Tentu saja Harits mengira dia adalah benar-benar adalah Suraqah bin Malik. Iblis memukul dada Harits hingga ia terjengkang, dan berkata, “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, siksaan Allah benar-benar sangat pedih…!!”
Sebagai hasil kesepakatan dari pertemuan kaum Quraisy di Darun Nadwah, para pemuda dari beberapa suku Arab berkumpul di depan pintu rumah Nabi SAW dengan satu tujuan,  membunuh beliau. Tetapi tentu saja dengan mudah Allah menyelamatkan Nabi SAW, beliau melewati mereka, bahkan sempat menaburkan pasir di setiap kepala mereka tanpa mereka menyadarinya (sebagian riwayat menyebutkan mereka tertidur), kemudian beliau berangkat hijrah bersama Abu Bakar.
Tetapi kegagalan tersebut tidak menyurutkan maksud kaum kafir Quraisy untuk menghabisi Nabi SAW. Mereka terus melakukan pencarian dan bahkan mengadakan sayembara, siapapun yang bisa membawa atau menunjukkan keberadaan Nabi SAW akan memperoleh hadiah 200 ekor unta.
Salah seorang yang berhasil menelusuri jejak perjalanan Nabi SAW adalah Suraqah bin Malik. Ia memperoleh informasi salah seorang dari kaumnya, Bani Mudlij, yang melihat sekelompok orang berjalan di pesisir, yang dikiranya adalah rombongan Nabi SAW yang dicari-cari kaum Quraisy. Suraqah membenarkan dalam hatinya, tetapi karena tidak ingin kedahuluan orang lain untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, ia berkata kepada orang itu, "Bukan, mereka adalah Fulan bin Fulan yang pergi karena tidak ingin kita lihat."
Tetapi diam-diam ia menyuruh pembantunya untuk menyiapkan kuda dan perlengkapannya. Ketika tidak ada orang yang melihatnya, ia segera memacu kendaraannya ke pesisir yang ditunjukkan orang tersebut. Suraqah mengendarai kuda yang cepat, sehingga ia bisa mengejar rombongan hijrah Nabi SAW tersebut dan jaraknya semakin dekat. Nabi Saw tetap tenang, sementara Abu Bakar yang duduk di boncengan unta Nabi SAW, terlihat cemas dan berkali-kali melihat ke belakang.
Setelah jarak makin dekat, tiba-tiba kuda Suraqah terjerembab jatuh, Nabi SAW terus saja berjalan tanpa memperdulikan Suraqah yang mengejarnya. Setelah berhasil mendekati lagi, Suraqah menyiapkan anak panahnya, tetapi lagi-lagi kudanya terjerembab, sementara Nabi SAW terus berjalan. Masih juga penasaran, setelah berhasil membebaskan kudanya, ia mengejar lagi, tetapi untuk ketiga kalinya, kudanya terjerembab dan kali ini diikuti dengan debu yang bertaburan di udara. Sadarlah Suraqah bahwa orang yang dikejarnya bukanlah orang sembarangan.
Setelah berhasil membebaskan kudanya dan tidak ada lagi niat untuk menangkap atau membunuh Nabi SAW, ia berhasil mendekati rombongan beliau dan memanggilnya. Setelah berhadapan dengan Nabi SAW, ia meminta maaf dan memohon untuk tidak diapa-apakan. Ia juga menawarkan untuk memberikan perbekalan yang dibawanya. Nabi SAW memaafkannya tetapi menolak pemberiannya, hanya saja beliau meminta untuk merahasiakan pertemuannya itu.
Suraqah meminta jaminan keamanan dari Nabi SAW, dan beliau menyuruh Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya di sebuah kulit, dan menyerahkannya kepada Suraqah. Sesaat kemudian Rasulullah SAW berkata pada Suraqah, "Wahai Suraqah, bagaimana perasaanmu jika engkau memakai dua gelang Kisra?"
            "Kisra bin Hurmuz?" Suraqah tercengang tak mengerti.                                                                    Nabi SAW tersenyum memandang ekspresi Suraqah, tetapi beliau tidak menjelaskan lebih lanjut. Kemudian beliau meninggalkannya meneruskan perjalanan hijrah.       
Begitulah waktu berlalu, di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, datang ghanimah dari Persia yang telah dikalahkan pasukan muslim. Umar teringat akan kisah Rasulullah SAW bersama Suraqah, ia mencari dua gelang Kisra di antara tumpukan ghanimah. Setelah ditemukan, Umar memanggil Suraqah dan berkata, "Pakailah dua gelang ini, naiklah ke mimbar dan angkat tanganmu, lalu katakan, : Mahabenar Allah dan RasulNya."      
Suraqah maju ke mimbar, ia melakukan apa yang diperintahkan Khalifah Umar dengan penuh haru. Terbayang di matanya apa yang dikatakan Nabi SAW bertahun yang lalu ketika beliau hijrah. Sungguh sangat tidak terbayangkan saat itu, bahwa orang-orang muslim akan mampu mengalahkan dan menghancurkan imperium besar yang telah berusia ratusan tahun, Kerajaan Persia.
           Tidak ada kejelasan riwayat, apakah Suraqah memeluk Islam saat bertemu dengan Nabi SAW di perjalanan hijrah tersebut atau waktu lainnya. Sebagian riwayat menyebutkan ia memeluk Islam ketika Nabi SAW kembali dari Haji Wada’ ketika beliau berada di Ji’ranah. Tetapi yang jelas pada akhirnya  ia memeluk Islam telah menjadi saksi dari kebenaran "ramalan" beliau SAW.

Senin, 23 Januari 2012

Salamah bin Akwa RA


             Salamah bin Amr bin Akwa al Aslami RA, atau lebih dikenal dengan nama Salamah bin Akwa, nama kunyahnya Abu Iyas, berba'iat kepada Nabi SAW bersama-sama kaumnya dari Bani Aslam. Setelah selesai berba'iat, ia berteduh di bawah bayang-bayang sebuah pohon. Setelah orang-orang semakin sedikit, tiba-tiba Nabi SAW memanggilnya, "Hai Ibnul Akwa, maukah kamu berba'iat!" 
"Aku telah berba'iat, Ya Rasulullah!" Jawab Salamah.
"Berba'iatlah sekali lagi…" Kata Nabi SAW.
Salamah menghampiri Nabi SAW, kemudian beliau menjabat tangan Salamah untuk berba’at dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Kemudian beliau memba'iat Salamah lagi, tetapi kali ini ba'iat atas maut, yakni bersedia berkorban nyawa dalam membela dan mempertahankan Islam.
            Salamah bin Akwa RA, seorang anak berusia 12 atau 13 tahun yang mempunyai kemampuan berlari sangat cepat, bahkan melebihi kecepatan kuda yang berlari. Ia juga mempunyai ketrampilan memanah yang sangat baik.
Suatu ketika ia berjalan-jalan melewati Ghabah, suatu tempat di luar kota Madinah, dimana unta-unta Nabi SAW dan beberapa penduduk Madinah digembalakan. Ia melihat sekelompok orang kafir yang dipimpin oleh Abdurrahman Fazari merampok unta-unta gembalaan itu dan membunuh para gembalanya.
Salamah berlari ke suatu bukit dan berteriak sekuat tenaga ke arah Madinah untuk memberitahukan perampokan ini.  Setelah itu ia berlari mengejar para perampok yang mulai kabur. Setelah agak dekat, ia juga memanah para perampok beberapa kali dengan berpindah-pindah tempat, sambil bersembunyi di balik pohon. Karena panah yang menyerang mereka dari berbagai tempat, para perampok ini sama sekali tidak menyangka kalau penyerang mereka hanya satu orang, mereka berlari ketakutan, beberapa ekor kuda yang ditungganginya roboh terkena panah.            
Tak lama berselang datang kelompok perampok lain yang dipimpin Uyainah bin Hishin, yang membantu kelompok Abdurrahman, hingga mereka mengetahui bahwa penyerangnya hanya satu orang, merekapun mengejar Salamah. Salamah lari ke arah Madinah dan menaiki sebuah bukit, dan mereka terus mengejar, tetapi tidak mudah menangkap Salamah karena kemampuan larinya yang amat luar biasa.
Ketika Salamah melihat sekelompok orang datang dengan menunggang kuda dari Madinah, seketika ia berhenti dan menghadap ke arah para perampok itu, ia bekata, "Tunggulah kalian di sana! Tahukah kalian siapa aku?"
 "Siapakah engkau?" Tanya para perampok itu. 
        "Aku adalah Ibnu Akwa, demi Allah yang menguasai jiwa Rasulullah SAW, jika kalian ingin menangkapku, kalian tidak akan berhasil. Tetapi jika aku ingin menangkap salah satu dari kalian, pasti dia tak akan lolos dariku." 
             Ketika itu, orang pertama dari Madinah telah sampai, yaitu Akhram Asadi RA. Salamah memintanya menunggu teman-teman lainnya sebelum menyerang perampok itu, tetapi Akhram berkata, "Biarlah aku mati syahid karenanya…!" 
 Setelah itu, ia menghambur dengan kudanya ke arah para perampok. Abdurrahman menyambut serangannya dan ia berhasil menyabet kaki kuda Akhram hingga terjatuh, dan segera menyerangnya lagi sehingga Akhram menemui syahidnya. Tak lama kemudian datanglah Abu Qatadah RA yang langsung menyerang, tetapi sekali lagi Abdurrahman berhasil menyabet kaki kuda Abu Qatadah hingga terjatuh. Tetapi kali ini Abu Qatadah cukup sigap, sambil terjatuh ia masih bisa menyerang Abdurrahman dan pada akhirnya berhasil memenggal lehernya. 
             Abu Qatadah, Salamah dan beberapa temannya menyerang para perampok kafir itu hingga banyak yang tewas, ketika makin banyak orang-orang Madinah yang datang, para perampok itu melarikan diri.

Minggu, 22 Januari 2012

Muhammad bin Maslamah RA


          Muhammad bin Maslamah RA adalah seorang Anshar dari Suku Aus. Ketika seorang pimpinan Yahudi bernama Ka'b bin Asyraf sering menghasut dan menyakiti kaum muslimin, Rasulullah SAW memutuskan agar ia dibunuh, beliau SAW bersabda, "Siapakah yang siap membunuh Ka'b bin Asyraf, sungguh ia telah menyakiti Allah dan RasulNya!!" 
Muhammad bin Maslamah secara spontan bangkit dan berkata, "Aku, wahai Rasulullah, aku akan membunuhnya untukmu. Aku akan membunuhnya!"
"Lakukanlah, jika engkau sanggup melakukannya!!" Kata Nabi SAW.
Mungkin karena kecintaan dan ketaatannya kepada Nabi SAW, membuatnya begitu saja menyanggupi tanpa dipikirkan lebih dahulu. Mungkin juga ia khawatir kedahuluan orang lain dalam menyenangkan hati Rasulullah SAW. Setelah kembali ke rumah, barulah ia menyadari betapa berat tugas untuk membunuh Ka'b, apalagi ia kenal cukup baik dengan tokoh Yahudi itu. Tiga hari tiga malam ia tidak makan minum kecuali untuk sekedar bisa hidup.
Keadaannya ini dilaporkan kepada Nabi SAW, dan beliau memanggilnya untuk menghadap. Ketika beliau bertanya tentang apa yang dilakukannya, Ibnu Maslamah berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mengucapkan suatu perkataan kepadamu (untuk membunub Ka'b bin Asyraf), sedangkan aku tidak tahu, apakah aku dapat melakukannya atau tidak!!"
Nabi SAW hanya tersenyum mendengar perkataannya, kemudian bersabda, "Kewajibanmu tidak lain adalah berusaha dengan sungguh-sungguh!!"
Ucapan Nabi SAW yang singkat ini telah membangkitkan semangatnya. Muncul suatu siasat di benaknya, ia berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, Izinkanlah aku mengatakan sesuatu kepadanya (yakni Ka'b bin Asyraf)."
Nabi SAW memberikan ijin. Hal itu ia perlukan karena muslihat yang akan ia lakukan, walau sedikit tetapi mengandung unsur kebohongan, bahkan bagi orang yang tidak tahu, bisa jadi ia dianggap murtad. Ia segera melangkahkan kakinya ke kediaman tokoh Yahudi tersebut.
Ketika telah bertemu dengan Ka'b, ia menceritakan kesusahannya dalam mengikuti Nabi SAW karena beban zakat, dan ia menemuinya untuk meminjam gandum. Ka'b meminta jaminan pinjamannya tersebut, yakni istri Ibnu Maslamah, tetapi ia menolaknya. Ia juga menolak ketika Ka'b meminta anaknyasebagai jaminan. Tetapi Ibnu Maslamah menjanjikan senjatanya sebagai jaminan dan Ka'b setuju, dan mereka sepakat untuk bertemu pada suatu malam.
Pada malam yang ditentukan, Muhammad bin Maslamah bersama dua atau tiga temannya berangkat menemui Ka'b di bentengnya, salah satunya adalah Ibnu Na'ilah, saudara sepersusuan Ka'b. Ia berkata kepada teman-temannya, bahwa nanti ia akan mencium dan memegang kepada Ka'b, dan saat itu hendaklah mereka menyabetkan pedangnya ke leher Ka'b. Setelah sepakat merekapun berangkat.
Nabi SAW sempat menyertai mereka sampai di Baqi al Gharqad, dan beliau melepas kepergiannya dengan ucapan, "Pergilah kalian dengan nama Allah!!" 
Dan beliau mengiringi dengan doa, "Ya Allah, bantulah mereka!!"
Ketika sampai di benteng kaum Yahudi tersebut, mereka dipersilahkan masuk. Ka'b sempat diperingatkan istrinya ketika akan menemui tamu-tamunya, bahwa ia merasa ada seseorang yang akan berbuat jahat. Tetapi Ka'b berkata dengan tenangnya, "Sesungguhnya hanya saudaraku Muhammad bin Maslamah dan saudara sepersusuanku, Ibnu Na'ilah yang akan datang. Sesungguhnya seorang yang mulia, jika diajak berkelahi pada malam hari, ia pasti akan menyambutnya!"
Setelah beberapa perbincangan, Ibnu Maslamah meminta ijin untuk mencium kepada Ka'b sebagai suatu bentuk penghormatan di kalangan orang-orang Arab kepada orang yang dimuliakan. Ka'b mengijinkannya. Begitulah, saat mencium kepala Ka'b, Ibnu Maslamah segera memegangnya dengan erat dan dengan cepat teman-temannya menyabetkan pedangnya sehingga Ka'bpun terbunuh. 
Begitu pimpinannya terbunuh, orang-orang Yahudi di benteng tersebut begitu ketakutannya dan tidak bisa berbicara apa-apa, sehingga Ibnu Maslamah dan teman-temannya bisa keluar dengan selamat dari benteng tersebut. Tentu ini tidak lepas dari doa Nabi SAW ketika melepas kepergian mereka. 
Tiba di Baqi al Gharqad, merekapun bertakbir, dan takbir ini didengar oleh Nabi SAW yang sedang shalat malam. Ketika sampai di hadapan Nabi SAW, beliau memuji Allah, menyambutnya dengan ucapan gembira, "Wajah-wajah ini telah mendapat kemenangan!"
"Juga wajah engkau, ya Rasulullah!!" Kata Muhammad bin Maslamah dan teman-temannya.
Ketika orang-orang yahudi dari Bani Nadhir mengkhianati perjanjian damai dengan Nabi SAW, dan bermaksud membunuh beliau, Nabi SAW mengerahkan pasukan mengepung perkampungan Yahudi tersebut. Muhammad bin Maslamah ditunjuk Nabi SAW menemui orang-orang yahudi tersebut untuk menyampaikan pesan kepada mereka, "Keluarlah kalian dari negeri Madinah ini, dan jangan kalian tinggal bersama kami setelah kalian merusak perjanjian antara kita. Kuberi kalian waktu selama tiga hari!"
            Ketika terjadinya Perang Tabuk, ia ditunjuk Nabi SAW sebagai pimpinan di Madinah, tetapi menurut riwayat lain, yang ditunjuk Nabi SAW adalah Siba' bin Urfuthah al Ghifary RA

Abdullah bin Atik RA


            Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku yang selalu bermusuhan semasa jahiliah. Ketika cahaya Islam menyinari dan menghilangkan permusuhan mereka, sikap saling bersaing tidak bisa hilang begitu saja. Hanya saja persaingan mereka kini dalam menunjukan bakti dan perjuangan serta pembelaan kepada Nabi SAW dan Islam. 
Ketika Suku Aus yang diwakili Muhammad bin Maslamah dan teman-temannya berhasil membunuh musuh Islam, Ka'b bin Asyraf, seorang tokoh yahudi yang sering menghasut dan menyakiti orang-orang Islam, Suku Khazraj berusaha untuk bisa "mengimbangi" prestasi tersebut. Mereka teringat pada Abu Rafi Sallam bin Abu Huqaiq, tokoh Yahudi yang tinggal di Khaibar, yang juga sangat memusuhi Nabi SAW dan orang muslim lainnya. Mereka meminta ijin kepada Nabi SAW untuk membunuhnya, dan beliau mengijinkannya.
Lima orang dari Bani Salimah dan Bani Aslam, yakni Abdullah bin Atik, Mas'ud bin Sinan, Abdullah bin Unais, Abu Qatadah Harits bin Rib'i dan Khuzai bin Aswad R.hum berangkat ke Khaibar untuk melaksanakan tugasnya. Nabi SAW menetapkan Abdullah bin Atik sebagai pimpinan rombongan tersebut, dan beliau melarang membunuh wanita dan anak-anak.
Mereka tiba di benteng Abu Rafi ketika matahari telah tenggelam, dan pintu benteng hampir ditutup. Ibnu Atik berkata kepada teman-temannya, "Tetaplah kalian disini, aku akan menyiasati penjaga pintu gerbang agar aku dibolehkan masuk!"
Abdullah bin Atik duduk tak jauh dari pintu gerbang dan menutupi dirinya dengan kain seolah-olah sedang buang hajat, sementara orang-orang telah masuk semuanya. Melihat masih ada orang di luar, penjaga itu berteriak, "Hai hamba Allah! Jika engkau hendak masuk, segeralah, karena aku akan mengunci pintu ini!"
Ibnu Atik segera saja masuk dan bersembunyi. Ketika penjaga telah berlalu, ia mengambil kunci yang ditaruh pada sebuah kayu pancang dan membuka pintu benteng sehingga teman-temannya bisa masuk. Mereka mendatangi rumah Abu Rafi, tetapi masih ada tamunya. Ketika tamu itu pulang, mereka memasuki rumah dan menuju kamar Abu Rafi yang berada di lantai atas. Setiap melalui pintu, mereka menguncinya sehingga akan mempersulit bantuan kalau mereka ketahuan.
Ketika sampai di kamarnya, keadaan sangat gelap sehingga sulit diketahui dimana Abu Rafi berada. Ibnu Atik berinisiatif memanggil namanya. Abu Rafi balik bertanya, "Siapa itu?" 
Abdullah bin Atik segera saja menebaskan pedang ke arah suara itu. Terdengar jeritan, tetapi tampaknya itu belum membunuh tokoh Yahudi tersebut. Ia diam-diam keluar kamar, sesaat kemudian masuk lagi seolah-olah datang untuk membantu. Ia berkata, "Suara apa yang tadi aku dengar, wahai Abu Rafi!"
"Celakalah ibumu," Kata Abu Rafi, "Barusan ada lelaki yang memukulku dengan pedang!"
Kali ini posisinya cukup dekat, mereka berlima memukulnya beberapa kali, dan terakhir menusuk perut Abu Rafi hingga tembus ke belakang. Setelah itu mereka segera keluar dari kamar dan rumah tersebut, tetapi Ibnu Atik kurang hati-hati sehingga terjatuh ketika menuruni tangga, betisnya retak dan ia membalutnya dengan sorban.
Beberapa saat kemudian orang-orang berkumpul ke rumah Abu Rafi karena adanya keributan, dan mereka mendapati salah satu tokohnya telah mati. Istri Abu Rafi menceritakan apa yang terjadi, ia juga sempat berkata, "Saat itu aku mendengar suara Ibnu Atik, tetapi aku menafikannya. Apa mungkin Ibnu Atik ada disini?"
Mereka berlima tidak langsung kembali ke Madinah, tetapi menunggu sampai pagi di luar dinding benteng untuk meyakinkan diri bahwa tokoh yahudi itu sudah mati. Ketika seseorang telah mengumumkan kematian Abu Rafi, mereka segera pulang. Tiba di Madinah, saat itu Nabi SAW sedang berdiri di atas mimbar, beliau langsung menyambutnya dengan bersabda, "Wajah-wajah yang telah memperoleh kemenangan!"
"Wajah engkau juga memperoleh kemenangan, Ya Rasulullah!!" sahut mereka.
Nabi SAW meminta pedang-pedang mereka untuk memastikan kematian musuh Allah tersebut, dan beliau bersabda, "Benar, ia telah mati, ini ada bekas makanannya di bagian mata pedang!!" 
Nabi SAW mengusap kaki Ibnu Atik yang sakit, dan seketika itu sembuh.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa mereka berlima mengklaim dirinya yang membunuh Abu Rafi. Setelah memeriksa pedang-pedang mereka yang masih membekas darahnya, Nabi SAW menyatakan pedang Abdullah bin Unais yang membunuhnya, karena ada bekas sisa makanannya.

Amru bin Murrah al Juhaini RA


            Amru bin Murrah RA berasal dari Bani Rifaah dari kabilah Bani Juhainah. Pada masa jahiliah, ketika sedang berhaji di Makkah bersama jamaah dari bani Juhainah, ia bermimpi melihat cahaya keluar dari Ka'bah. Cahaya ini menerangi gunung-gunung di Yastrib dan Asharu Juhainah, dan dari cahaya itu keluar suara, "Kegelapan telah sirna digantikan cahaya terang benderang, penutup para Nabi telah diutus."
            Kemudian ia melihat lagi cahaya keluar dari Ka'bah, kali ini tampak istana-istana di Hiirah (Yaman), dan putihnya istana-istana di Madain (Persia/Iran). Dari cahaya itu juga keluar suara, "Islam telah menang, berhala-berhala telah dihancurkan dan silaturahmi telah dijalin." 
Setelah itu Amru terbangun dari mimpinya dengan ketakutan, ia merasa akan terjadi sesuatu dengan kaum Quraisy, yang membuat goncang istana-istana di Yaman dan Persia. Ketika kembali ke perkampungan bani Juhainah, ia mendengar berita tentang seorang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. Ia segera melacak kebenaran berita tersebut, yang akhirnya membawa langkahnya menuju Madinah. Saat bertemu Nabi SAW, ia menceritakan mimpinya tersebut, dan dengan gembira Nabi SAW berkata. "Selamat datang wahai, Amru…"
Nabi SAW menjelaskan risalah Islam dengan panjang lebar kepada Amru, dan menyerunya untuk memasuki agama Islam. Tanpa ragu lagi Amru menyambut seruan beliau, ia mengucapkan kalimah syahadat dan berba'iat untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Amru memohon ijin Rasulullah SAW untuk mendakwahi kaumnya dan beliau mengijinkannya. Sayangnya hanya beberapa orang saja yang menyambut seruannya. Ada satu orang yang membantahnya dengan keras, bahkan menganggapnya murtad, pendusta, dan memecah belah kaumnya. Atas sikap permusuhannya yang begitu keras, Amru berkata, "Seorang pendusta, salah satu di antara aku atau engkau akan dimusnahkan oleh Allah, dikelukan lidahnya, dan dibutakanlah matanya…."
            Lelaki tersebut mati beberapa waktu kemudian. Sebelum kematiannya, mulutnya menjadi hancur sehingga ia tidak bisa menikmati makanan apapun, matanya buta dan akalnya juga rusak.     

Abdullah bin Hudzaifah As Sahmi RA


          Dalam suatu pertempuran melawan orang-orang Romawi, Abdullah bin Hudzaifah as Sahmi tertangkap oleh pasukan musuh bersama beberapa orang Islam lainnya. Pasukan Romawi menyiapkan wajan tembaga besar yang diisi oleh minyak yang mendidih. Tawanan muslim ditawari untuk masuk agama Nashrani, jika menolak, ia akan dilemparkan. Beberapa orang telah menjadi syahid karena tidak sudi menjual keimanan dan keyakinannya. 
Ketika tiba pada giliran Abdullah bin Hudzaifah, dengan tegas dia menolak permintaan mereka. Tetapi ketika dia diangkat untuk dilemparkan, tetapi tiba-tiba Abdullah menangis. Panglima Romawipun berkata, "Ia telah gentar dan menangis, kembalikan !"
Tetapi kemudian Abdullah berkata, "Jangan kalian pikir aku menangis karena takut dengan apa yang kalian perbuat. Tetapi aku menangis karena aku hanya mempunyai satu nyawa, yang aku persembahkan kepada Allah. Aku berharap mempunyai nyawa sebanyak rambutku, dan kau paksa aku, dan kau lakukan seperti itu satu persatu pada semua nyawaku."
Sang panglima begitu terkejut dan takjub dengan ucapan Abdullah, sehingga ia bermaksud melepaskannya, ia berkata pada Abdullah, "Ciumlah kepalaku, dan aku akan melepaskanmu!"
Abdullah menolak. Tetapi penolakannya tersebut tidak membuat sang panglima marah, tetapi malah menambah kekagumannya. Ia berfikir, alangkah baiknya jika orang seperti Abdullah bin Hudzaifah dengan kepribadian yang begitu mengagumkan tersebut menjadi saudaranya atau menjadi orang dekatnya. Sang panglima berkata lagi, “Masuklah ke dalam agama Nashrani, akan kunikahkan kau dengan putriku, dan kuberikan separuh dari kekuasaanku."
Abdullah tetap menolak. Karena sudah berniat untuk melepaskannya, sang panglima berkata lagi, "Ciumlah kepalaku, dan akan kubebaskan engkau dan delapan puluh temanmu yang masih kutawan."
Kali ini Abdullah menerima tawaran tersebut. Ia mencium kepala sang panglima dan kemudian pulang kembali ke pasukannya beserta delapanpuluh orang temannya. Peristiwa tersebut terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab.
Sekembalinya ke Madinah, ia menceritakannya kepada Umar. Umar begitu takjub dengan peristiwa ini dan ia berkata, "Wajib bagi orang muslim yang hadir saat ini untuk mencium kepada Abdullah, dan aku orang pertama yang akan melakukannya…."
            Umar bangkit dari duduknya dan mencium kepala Abdullah, diikuti oleh kaum muslimin lainnya yang hadir saat itu.           

Sabtu, 21 Januari 2012

Ikrimah bin Abu Jahl RA


            Saat Fathul Makkah, Ikrimah bin Abu Jahl berusaha melarikan diri karena takut dengan pembalasan, akibat kerasnya sikap permusuhan yang dilakukannya kepada kaum muslimin. Di pesisir Tihamah, ia menaiki sebuah kapal yang akan membawanya ke daerah Yaman. Nakhkoda kapal terus mengatakan kepadanya agar ia menyucikan dirinya, ketika ditanyakan tentang apa yang harus dilakukannya, sang nakhkoda berkata, "Ucapkanlah kalimat Laa ilaaha illallaah." 
"Tidak ada yang menyebabkan aku melarikan diri dari negeriku, kecuali dari kalimat tersebut," Kata Ikramah.
Nakhkoda tetap berkeras, kalau tidak, ia tidak akan membawanya berlayar. Dalam keadaan ini, tiba-tiba ada suara memanggilnya, yang ternyata istrinya sendiri, Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam, yang telah memeluk agama Islam. Ikrimah menghentikan pertengkarannya dengan sang nakhkoda dan berpaling pada istrinya.
Ummu Hakim setengah berteriak berkata, "Wahai putra pamanku, aku telah datang kepadamu dari sisi orang yang paling banyak menyambung silaturahmi, sebaik-baiknya manusia dan semulia-mulianya manusia, janganlah engkau binasakan dirimu sendiri."
Setelah dekat, ia berkata lagi, "Sesungguhnya aku telah meminta jaminan keselamatan untukmu dari Rasulullah SAW."
"Engkau telah melakukannya?" Kata Ikrimah setengah tidak percaya.
Istrinya menjawab, "Ya, aku telah berbicara dengan Nabi SAW dan meminta jaminan keselamatan untukmu. Dan beliau memberikan jaminan keselamatan itu untukmu!"
Tampaknya tidak banyak pilihan bagi Ikrimah, karena nakhkoda kapal sendiri menolak membawanya kecuali jika ia membaca syahadat, yang artinya harus memeluk Islam. Padahal hal itu menjadi sakah satu sebab ia ingin lari ke Yaman. Ikrimah memenuhi permintaan istrinya, dan mereka berdua berjalan kembali ke Makkah.
Ummu Hakim menceritakan kalau budak Rumawi yang mengantarkannya mencoba untuk menodai kehormatannya, kemudian ditolong oleh orang-orang dari Bani 'Akk, yang menangkap dan mengikatnya. Ikrimah menjadi marah, dan setelah menemui budaknya itu dan membunuhnya. Ketika Ikrimah ingin menggauli istrinya, Ummu Hakim menolaknya dan berkata kalau dia masih musyrik sedang dirinya seorang muslimah. Ikrimah berkata, "Sesungguhnya perkara (agama) yang menghalangimu untuk kugauli itu sangatlah besar." 
Di Makkah, Nabi SAW yang telah mengetahui bahwa Ummu Hakim berhasil membawa kembali suaminya, bersabda kepada para sahabat, “Ikrimah bin Abu Jahl akan datang kepada kalian sebagai orang yang beriman dan berhijrah, maka janganlah kalian mencaci bapaknya, karena cacian terhadap mayat akan menyakiti orang yang hidup, dan cacian tidak akan sampai kepada si mati."                                                                                              
            Ikrimah belumlah menyatakan beriman dan memeluk Islam. Ia kembali ke Makkah hanya karena ada jaminan keselamatan seperti yang dikatakan istrinya. Tetapi pandangan Rasulullah SAW memang bisa “menembus” ruang (tempat) dan waktu. Ketika melihat kedatangannya, Rasulullah SAW melompat mendekatinya dengan penuh gembira, sampai beliau tidak sadar bahwa bahu beliau terbuka tanpa kain selendang yang menutupinya.
Ketika telah berhadapan, Ikrimah menanyakan tentang kebenaran jaminan keselamatan dirinya yang diminta oleh istrinya, dan Nabi SAW membenarkannya. Ikrimah bertanya lagi tentang risalah yang dibawa Nabi SAW, dan beliau menjelaskannya dengan panjang lebar pokok-pokok ajaran agama Islam. Perkataan beliau yang bijak tanpa tidak ada nada paksaan tampaknya membuka pintu hatinya. Setelah penjelasan beliau tersebut, Ikrimah berkata, "Demi Allah, apa yang engkau seru adalah kebaikan, dan kepada urusan yang indah lagi baik. Demi Allah, sebelum engkau menyeru kami kepada risalah yang engkau bawa, engkau adalah orang yang terpercaya dan paling baik di antara kita."
Nabi SAW merasa senang dengan penuturan Ikrimah ini, dan ketika Ikrimah meminta Nabi SAW untuk mengajarkan kebaikan yang harus ia katakan lagi, Rasulullah memintanya membaca dua kalimah syahadah. Ternyata ia memenuhi permintaan Nabi SAW, diucapkannya dua kalimah syahadah tanpa keraguan sedikitpun. 
Belum cukup juga, ia bertanya kepada beliau tentang apa yang harus dikatakan untuk menunjukkan kemantapannya memeluk Islam, Nabi bersabda, "Katakanlah, aku mengambil Allah sebagai saksi, dan aku bersaksi di hadapan orang-orang yang hadir, bahwa aku adalah seorang Islam yang berjihad dan berhijrah."                                                                                              
            Ikrimah mengucapkan perkataan yang diajarkan Nabi SAW tersebut dengan penuh keyakinan. Dan Nabi SAW tampak begitu gembira, sehingga beliau menyatakan akan memenuhi apapun permintaan Ikramah sejauh yang beliau bisa berikan pada seseorang. Mendengar penuturan ini, Ikrimah berkata, "Ya Rasulullah, hendaknya engkau memohonkan ampunan bagiku atas setiap permusuhanku terhadapmu, atas setiap perjalanan yang untaku kupacu kencang untuk memusuhimu, atau dimanapun aku menemuimu untuk menyakitimu, juga atas setiap ucapan yang keluar dari mulutku, di hadapanmu atau di belakangmu."
Nabi SAW pun mendoakan keampunan seperti yang diminta Ikrimah, dan para sahabat yang hadir mengamininya.
"Aku telah ridlo, ya Rasulullah," Kata Ikramah, kemudian melanjutkan, "Demi Allah, ya Rasulullah, aku akan mengorbankan hartaku di jalan Allah, dua kali lebih banyak daripada harta yang kupakai untuk menghalangimu di jalan Allah sebelum ini. Dan aku akan berperang di jalan Allah, dua kali lebih banyak daripada peperangan yang telah aku lakukan untuk menghalangimu di jalan Allah sebelum ini."
Sesuai dengan janjinya, Ikrimah selalu menyertai Rasulullah SAW dalam setiap peperangan yang terjadi setelah keislamannya itu. Dalam perang Hunain, dimana pada awalnya pasukan muslim sempat terdesak dan kocar-kacir, Suhail bin Amr yang menyertai perang itu walau belum memeluk Islam, berkomentar dengan sinis, "Muhammad dan para sahabatnya tidak akan bisa memperbaiki apa yang telah hilang dari mereka, dan tidak akan pernah bisa mendapatkannya lagi."
Mendengar perkataan Suhail tersebut, Ikrimah membantahnya dengan berkata, "Ini bukanlah ucapan yang tepat dan urusan ini sedikitpun bukan hak Muhammad. Jika hari ini ia dikalahkan, maka besok ia akan memiliki kesudahannya sendiri."
Mendengar perkataan Ikrimah ini, dengan keheranan Suhail berkata, "Demi Allah, sesungguhnya jaman dimana engkau memusuhi Muhammad baru saja engkau tinggalkan."
"Hai Abu Yazid," Kata Ikrimah, "Demi Allah, dulu itu kita telah memacu kuda kita untuk tujuan yang sia-sia, sedang akal kita adalah akal kita sendiri. Kita dulu menyembah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan madharat apapun pada kita."
Suhail tak mampu lagi mendebat pernyataan Ikrimah tersebut.
Ikrimah pernah ditugaskan Rasulullah SAW menjadi pemungut zakat dari Bani Hawazin ketika beliau sedang berhaji. Bahkan ketika Nabi SAW wafat, ia sedang mengemban tugas Nabi SAW di daerah Tabalah, sebuah kota di Yaman yang cukup terkenal. Ikrimah sendiri akhirnya mati syahid dalam pertempuran Ajnadain, pertempuran melawan pasukan Romawi pada jaman Khalifah Abu Bakar. Tetapi sebagian ulama menyatakan bahwa Ikrimah syahid pada pertempuran Yarmuk pada jaman Khalifah Umar bin Khaththab.        
Pada riwayat yang menyebutkan ia syahid pada perang Yarmuk, ketika itu ia menyongsong musuh dengan beberapa sahabat, Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan sempat mencegahnya,       "Jangan berbuat begitu, sungguh kematianmu akan terasa berat bagi kaum muslimin…"
Ikrimah dengan tegas berkata, "Biarkan aku, ya Khalid, sungguh engkau telah sempat berjuang bersama Rasulullah SAW, sedang aku dan ayahku berada pada barisan yang paling keras menentang beliau…"
Kemudian ia berseru pada orang-orang yang memngikutinya untuk berba'iat atas maut (syahid) bersama dirinya, di antaranya adalah pamannya Harits bin Hisyam dan Dhirar bin Azwar, dan mereka mengikutinya. Ketika pertempuran berakhir, tiga orang terluka parah berdekatan, Ikrimah, Harits bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi Rabiah. Harits meminta air untuk minum, ketika dibawakan, ia melihat Ikrimah dan berkata, "Berikan air ini pada Ikrimah!"
Airpun dibawa ke Ikrimah. Ketika hampir minum, Ikrimah melihat Ayyasy dan berkata, "Berikan air ini pada Ayyasy!"
            Airpun dibawa ke Ayyasy, tetapi Ayyasy telah meninggal sebelum air sampai kepadanya. Ketika dibawa ke Ikrimah lagi, ia juga wafat, begitu juga ketika akan dibawa ke Harits, ternyata ia telah meninggal.

Dhamrah bin Ibnul Ishaq RA


            Dhamrah bin Ibnul Ishaq atau Dhamrah bin Jundub, adalah seorang lelaki dari Bani Laits yang telah tua dan buta matanya, tetapi kaya raya. Ia memeluk Islam sejak awal didakwahkan di Makkah. Ketika turun perintah hijrah ke Madinah, ia dengan segera menyambutnya. Tetapi orang-orang di sekitar, baik teman atau kerabatnya, berusaha untuk menahannya untuk tetap tinggal di Makkah karena keadaannya yang telah tua dan buta, sekaligus sakit-sakitan. 
Karena dorongan keimanan telah begitu merasuk dan mengental dalam jiwanya, walaupun dengan keadaannya itu ia diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak berhijrah, dengan tegas ia berkata, "Aku tidaklah termasuk yang diberikan keringanan itu, karena aku bisa membiayai perjalananku dengan hartaku. Bawalah dan keluarkanlah aku dari negeri orang-orang musyrik ini menuju Rasulullah SAW. Aku tidak ingin bermalam lagi di tempat ini…"
Kemudian Dhamrah memerintahkan budak-budaknya mempersiapkan perbekalan dan tandu untuk membawanya menuju Madinah, dan langsung berangkat tanpa menunda-nundanya lagi. Tetapi di tengah perjalanan, yakni di Tan'im, ia meninggal dunia dan dimakamkan disana.
            Beberapa sahabat di Madinah yang mendengar kabar kewafatannya, sempat menyesalkan keadaannya, karena ia belum sampai berhijrah dengan sempurna hingga menemui Nabi SAW di Madinah. Karena kesedihan para sahabat atas musibah yang dialami Dhamrah ini dan status hijrahnya, turun firman Allah QS an Nisa ayat 100 yang menyatakan bahwa ia telah memperoleh pahala sebagai muhajirin secara sempurna. Sebagian riwayat menyebutkan, ayat tersebut telah diturunkan sebelumnya  berkenaan dengan sahabat lainnya dalam peristiwa yang hampir sama, dan Nabi SAW membacakannya untuk menghibur kesedihan para sahabat tersebut.

Dihyah al Kalbi RA


           Dihyah al Kalbi RA adalah seorang sahabat yang mempunyai wajah, janggut (jenggot), perawakan dan usia yang menyerupai Malaikat Jibril AS saat berwujud sebagai manusia. Usai perang Khandaq, dimana Nabi SAW dan para sahabat beristirahat, datanglah Malaikat Jibril AS dalam ujud manusia menemui Nabi SAW, dan berkata, "Apakah engkau telah meletakkan senjata?Jangan demikian! Para malaikat sama sekali belum meletakkan senjata! Keluarlah engkau menuju Bani Quraizhah, dan perangilah mereka!"
Ketika Nabi SAW melewati Bani Ghanm, penduduk sekitar masjid yang dilewati kalau menuju rumah beliau, beliau bertanya tentang siapa yang baru saja lewat, merekapun berkata, "Telah melewati kami, Dihyah bin Kalbi!"
Dalam riwayat lain disebutkan, saat itu Nabi SAW sedang bersama istri beliau, Ummu Salamah RA, Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dalam wujud manusia. Setelah Malaikat Jibril berlalu, Nabi SAW bertanya kepada istrinya itu tentang siapa tamu yang baru datang, Ummu Salamah menjawab, "Dia adalah komandan tentara, Dihyah…"
Nabi SAW tersenyum dan menjelaskan bahwa tamu tersebut adalah Malaikat Jibril AS.
Inilah kesaksian tentang kesamaan Dihyah al Kalbi dengan penjelmaan Malaikat Jibril sebagai manusia.
Dihyah al Kalbi RA diutus Nabi SAW untuk menemui Kaisar Romawi, Hiraqla (secara umum dikenal dengan nama Hiraklius) dengan membawa surat Nabi SAW tentang ajakan untuk masuk Islam. Surat yang dibacakan di dalam majelis Kaisar Hiraqla, juga dihadiri Abu Sufyan dan teman-temannya yang sedang berdagang di Syam, tidak memperoleh tanggapan positif dari pembesar-pembesar Romawi yang hadir. Sedangkan Hiraqla sendiri melihat adanya kebenaran atas apa yang diserukan Rasulullah SAW, apalagi setelah tanya jawabnya yang panjang lebar dengan Abu Sufyan tentang pribadi dan latar belakang kehidupan Nabi SAW.
Hiraqla memanggil Uskup kota Iliya di Syam, Ibnu Nathur, yang biasanya menjadi rujukan dalam soal keagamaan, dan juga mendatangkan Dihyah al Kalbi dalam pertemuan tersebut. Ibnu Nathur ini di samping sebagai uskup, juga sahabat Hiraqla. Setelah mendengar penjelasan Hiraqla dan juga Dihyah, Ibnu Nathur membacakan beberapa ayat-ayat injil, dan akhirnya membenarkan kenabian Nabi Muhammad SAW dan seketika memeluk Islam. Tetapi Hiraqla sendiri tidak mau mengikuti sikap uskup ini walau sebenarnya kebenaran itu makin menguat di hatinya. Tidak ada lain yang menghalanginya memeluk Islam kecuali takut kehilangan kekuasaannya. Bahkan beberapa panglima perangnya sudah mengancam tidak akan mengakui kedudukannya jika ia memenuhi seruan Nabi SAW. 
Dihyah al Kalbi sering menemui sang uskup untuk lebih mengenalkan dan mengajarkan Islam. Pada hari ahadnya, sang uskup tidak hadir untuk memberikan ceramah dan nasihat seperti biasanya, padahal orang-orang Romawi yang menjadi jamaahnya telah berkumpul. Begitupun berulang pada beberapa hari ahad berikutnya, sehingga akhirnya orang-orang Romawi mengancam untuk membunuhnya jika tidak keluar.
Sang uskup, Ibnu Nathur menitipkan surat pada Dihyah untuk Nabi SAW tentang keislamannya, dan menyampaikan pada Nabi apa yang dilihatnya. Setelah itu Ibnu Nathur keluar menemui orang-orang Romawi, tidak dengan pakaian gereja kebesaran seperti biasanya, tetapi memakai pakaian putih. Ia mengucapkan syahadat di hadapan mereka sehingga mereka begitu murka dan akhirnya membunuh sang Uskup yang selama ini dipatuhi dan mereka dengar dan patuhi nasehat-nasehatnya.
Dihyah al Kalbi yang menjadi saksi langsung peristiwa mengenaskan tersebut, menceritakan peristiwa itu kepada Nabi SAW sekaligus menyerahkan surat sang Uskup, Ibnu Nathur untuk beliau. Surat tersebut dibacakan untuk Nabi SAW, dan mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Ibnu Nathur