Selasa, 12 Juni 2012

Istri-istri Rasulullah SAW


Secara umum, seorang lelaki muslim diperbolehkan atau diijinkan menikahi wanita muslimah lainnya hingga empat orang, tetapi bukan berarti disunnahkan. Al Qur’an sendiri menyarankan untuk menikahi hanya satu wanita saja jika tidak bisa berbuat adil, khususnya dalam hal yang bersifat lahiriah. Tetapi Rasulullah SAW diberi kekhususan, tidak hanya empat pernikahan. Bahkan tidak jarang Allah sendiri yang memerintahkan Nabi SAW untuk menikahi wanita tersebut, dan pada dasarnya Nabi SAW tidaklah menikahi seorang wanita kecuali diperintahkan atau diijinkan oleh Allah SWT.
Riwayat paling masyhur, istri-istri Rasulullah sebanyak sebelas orang, yakni :
 1.  Khadijah binti Khuwailid RA
 2.  Saudah binti Zam'ah RA
 3.  Aisyah binti Abu Bakar RA (Khumaira)
 4.  Hafshah binti Umar bin Khathhab RA
 5.  Zainab binti Khuzaimah RA
 6.  Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA
 7.  Zainab binti Jahsy bin Rayyab RA
 8.  Juwairiyah binti Harits bin Abu Dhirar RA
 9.  Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA
10. Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA
11 Maimunah binti Harits bin Hazn RA
Mereka ini adalah istri-istri Nabi SAW atau disebut juga Ummahatul Mukminin (para ibu kaum muslimin) yang dinikahi dan hidup bersama beliau, dan beliau tidak menikahi wanita lain (berpoligami) selama masih hidupnya Khadijah. Dua orang telah meninggal ketika beliau masih hidup, yakni Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah. Beberapa riwayat menyebutkan, bahwa beliau juga pernah menikah dengan beberapa wanita lainnya, tetapi tidak sampai tinggal bersama mereka, yaitu :
1. Seorang wanita dari Bani Qilab bernama Amrah binti Yazid al Qilabiyah.
2. Seorang wanita Bani Kindah bernama Asma binti Nu'man al Kindiyyah al Juwainiyah.
Keduanya dikembalikan kepada orang tuanya, sebelum sempat dikumpuli Rasulullah SAW.
Mengenai kegagalan pernikahan beliau dengan Asma binti Nu'man, sebuah riwayat menyebutkan adalah akibat kecemburuan Aisyah. Setelah pernikahannya dengan Mariyah al Qibthiyah, beliau menikahi Asma binti Nu'man. Aisyah sangat cemburu dengan kehadiran Asma dalam jajaran Ummahatul Mukminin, karena itu bersama dua istri Nabi SAW lainnya, Saudah dan Hafshah, mereka membuat rencana untuk menjebak Asma.
Setelah matang, dipilihlah Hafshah untuk melaksanakan rencana ini, ia menemui Asma, yang saat itu belum dikunjungi Nabi SAW, dan ia berkata, "Wahai Asma, sesungguhnya Nabi SAW jika mengunjungi istri-istrinya, sangat senang disambut dengan ucapan 'A'udzubillah', kemudian berdirilah membelakangi beliau…!"
Asma yang belum mengerti seluk beluk kehidupan istri-istri Rasulullah SAW, sangat berterima kasih dengan informasi ini. Ia sama sekali tidak berprasangka buruk pada Hafshah. Maka ketika beliau mengunjunginya, Asma dengan gembira dan wajah berseri menyambut beliau. Kemudian ia melaksanakan apa yang disarankan oleh Hafshah dengan lugunya, tanpa prasangka apa-apa kepada Rasulullah SAW.
Tetapi seketika itu ia jadi terkejut melihat reaksi Nabi SAW. Ia tidak sadar bahwa ucapan dan sikapnya itu sangat menusuk perasaan beliau. Nabi SAW bersabda, "Engkau telah memohon perlindungan kepada Allah…?"
Setelah itu beliau meninggalkannya. Beliau membatalkan pernikahannya ini dan menyuruh seorang sahabat memberikan mut'ah kepada Asma, dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Keluarga Asma sangat bersedih dengan peristiwa ini.
Setelah tahu duduk persoalannya, segera saja ayahnya, Nu'man bin Aswad menemui Nabi SAW untuk meminta maaf dan menjelaskan tentang apa yang dilakukan Hafshah atas perintah dan kesepakatan Aisyah dan Saudah. Mendengar penjelasan ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, "Mereka memang sama saja dengan perempuan-perempuan di zaman Nabi Yusuf AS. Siasat dan tipu daya mereka memang luar biasa."
Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW telah mengembalikan Asma kepada orang tuanya, dan Asma telah terlanjur meminta perlidungan kepada Allah dengan ucapannya tersebut, sehingga Nabi SAW tidak mungkin memperistrinya lagi.
Kisah ini sebenarnya cukup termasyhur, tetapi sebagian ahli hadits meragukan kesahihannya, karena rasanya tidak mungkin Nabi SAW memutuskan tali pernikahannya hanya karena kesalah-pahaman semata.
Selain mereka, Rasulullah SAW juga menikah dengan beberapa orang hamba sahaya, yaitu Mariyah al Qibthiyah, hadiah dari pembesar Mesir, Muqauqis, Raihanah binti Zaid an Nadhiriyah atau al Qurzhiyah, tawanan dari Bani Quraizhah, seorang tawanan bernama Jamilah dan juga seorang jariyah hadiah dari Zainab bin Jahsy, istri beliau sendiri.
Dakwah Nabi SAW kepada Juraij bin Mata, pembesar Mesir yang lebih terkenal dengan nama Muqauqis, walaupun ia tidak menyatakan diri memeluk Islam, tetapi ia memberikan sambutan yang baik atas seruan Nabi SAW, ia tidak menghalangi penyebaran Islam di bumi Mesir. Muqauqis membalas surat Nabi SAW dan diberikan kepada utusan beliau, Hathib bin Abi Balta'ah, bersama itu pula ia mengirimkan dua orang gadis yang mempunyai kedudukan terhormat bagi masyarakat Mesir, bahkan sebagian riwayat menyatakan mereka berdua adalah putri Muqauqis sendiri, yaitu Mariyah dan Sirin. Dua bersaudara ini dipersembahkan sebagai sahaya bagi Nabi SAW, juga beberapa lembar kain dan seekor baghal, yang bernama Duldul.
Nabi SAW mengambil Mariyah dan dinikahinya walaupun dalam status sebagai sahaya, sedang Sirin diberikan kepada sahabat Hasan bin Tsabit. Tidak seperti Ummahatul Mukminin lainnya yang tinggal di rumah di sebelah Masjid Nabi SAW, Mariyah ditempatkan di luar kota Madinah. Sebuah rumah di tengah kebun anggur di tempat bernama 'Alia. Sekarang ini dikenal dengan nama Masyraba Umm Ibrahim. Dari Mariyah inilah beliau memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim, tetapi meninggal ketika masih kecil.

2 komentar:

  1. kalau opini anda betul bahwa poligami tidak disunahkan kenapa para sahabat generasi Rosulullah dan generasi kedua, ketiga banyak mempraktekan poligami, bukan kah di dalam Al-Quran Allah berfirman bahwa Rosulullah adalah suri teladan yang baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ass.Wr.Wb, Mas ZiDit,memang terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum poligami dalam Islam. Saya hanya ittiba' (mengikuti) pada pendapat ulama yang menyatakan hukumnya 'boleh (mubah)', hanya saja sifat mubah ini, menurut para ulama, bisa saja berubah menurut situasi dan keadaan yang sifatnya kondisional, menjadi sunnah atau makruh, bahkan wajib atau juga haram. Memang benar bahwa kita diperintahkan ittiba' dan menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan, tetapi sayangnya kebanyakan dari kita terkadang 'mengabaikan' yang utama dari teladan itu, yakni akhlak dan amal ibadah beliau, dan 'membesarkan' dalam meneladani poligami, walau memang tidak ada salahnya. Padahal hampir pasti, kita tidak akan bisa seperti Rasulullah SAW dalam bersikap adil dan berakhlak karimah terhadap istri-istri kita, Wallahu A'lam

      Hapus